Potret Miris Keluarga Metropolis



Siapa yang tak kenal Marshanda. Ketika papanya ditangkap Dinas Sosial beberapa waktu lalu, semua keheranan. Beruntung kini sang papa dan anak sudah berkumpul kembali bersama keluarganya. Fakta miris itu adalah bagian buruk dari potret keluarga metropolis masa kini. Keluarga modern serba sibuk yang rentan tercerai berai.





Kering Spiritual

Marshanda dan anak-anak lainnya –baik broken home maupun bukan-- adalah korban penerapan sistem sekuler. Sistem ini sukses mengguncang keutuhan rumah tangga disebabkan kurangnya nilai-nilai spiritual dan kasih sayang di dalamnya. Keluarga masa kini, khususnya di perkotaan, cenderung sangat sibuk mengejar materi. Hal ini karena tingginya tuntutan hidup. Warga kota, bukan hanya harus memenuhi kebutuhan pokoknya, juga musti mengongkosi gaya hidupnya. Bahkan, pengeluaran untuk life style ini bisa jadi lebih besar dan dianggap lebih penting dari sekadar kebutuhan pokok.
Akibatnya, di benak keluarga seperti ini hanya mengejar materi dan materi. Persaudaraan, silaturahmi, atau kepedulian dengan anggota keluarga kian minim. Hubungan kekerabatan dalam keluarga, baik keluarga inti maupun keluarga besar kurang terjalin. Satu sama lain kurang peka terhadap kondisi anggota keluarganya. Bahkan cenderung individualis.
Saling bantu dan kerjasama atau gotong royong mulai luntur. Termasuk dalam hal materi. Tak ayal, kesenjangan antara anggota keluarga atau kerabat sangat tinggi. Kadang kita temukan, di kota sang anak hidup serba berlebihan, sedangkan orangtua di kampung hidup bersahaja. Karakter orangtua yang tak pernah meminta pada anak, tidak klop dengan anak yang umumnya juga tidak peka dengan kebutuhan orangtua.
Bahkan di era teknologi saat ini, penggunaan alat komunikasi cukup menghalangi kedekatan orangtua secara fisik. Kelihatannya saja saling intens berkomunikasi melalui alat canggih. Tapi itu tidak cukup. Butuh kehadiran fisik agar efek komunikasi berupa ekspresi, emosi dan kasih sayang itu nyata.

Broken Home

Keluarga metropolis yang serba sibuk, sangat rentan pecah. Suami atau istri mudah stres. Memicu masalah-masalah ketidakharmonisan. Banyak pasangan suami istri memilih berpisah gara-gara dipicu hal 'sepele'. Cekcok sedikit, cerai. Tak puas materi, cerai. Urusan ranjang, cerai. Bosan dengan pasangan, cerai. Anak bermasalah, cerai. Astaghfirullah!
Sementara, sistem sekuler pun sangat memudahkan terwujudnya perceraian. Hampir dipastikan, semua permohonan cerai di pengadilan berakhir dikabulkan. Proses mediasi untuk mempertahankan rumah tangga selalu berujung pada kegagalan. Artinya, lembaga ini tumpul dalam mengantisipasi lonjakan perceraian.
Parahnya lagi, sistem sekuler tidak punya aturan main yang tegas, bagaimana jaminan kehidupan pasca cerai. Baik jaminan bagi anak-anak, istri maupun suami yang telah berpisah. Banyak anak terlantar tanpa dinafkahi oleh ayahnya pasca cerai. Banyak istri yang tidak dinafkahi pihak keluarga besarnya sehingga terpaksa kerja mencari nafkah, baik untuk dirinya maupun anak dalam tanggungannya. Keluarga metropolis seperti ini, ibarat jatuh tertimpa tangga. Sudahlah cerai, harus memikul derita. Sungguh nelangsa.

Allah Maha Adil

Memang, perceraian adalah jalan yang dibolehkan Islam. Ada banyak kondisi yang menyebabkan suami-istri tidak bisa melanggengkan rumah tangga. Bahkan jika dipertahankan, tujuan pernikahan berupa terwujudnya kebahagiaan, ketenangan dan ketentraman tidak tercapai.
Maka sungguh adil Allah SWT menitahkan perceraian sebagai solusi untuk mengatasi rumah tangga yang terus menerus bermasalah. Namun, standar “masalah” pemicu cerai itu, tentu harus dikembalikan pada syariat Islam. Masalah fundamental yang benar-benar tidak ada solusinya.
Masalah yang hanya bisa dihilangkan melalui perceraian. Misalnya, ketika suami atau istri tidak bisa menjalankan kewajibannya secara permanen. Entah karena sakit, koma, meninggalkan rumah tanpa kabar, tidak memberi nafkah dalam jangka waktu tertentu, gila, dll.
Akan terjadi kezaliman jika suami-istri mempertahankan ketidakharmonisan disebabkan masalah tersebut. Nah, siapa tahu dengan perceraian (dan bisa jadi masing-masing kemudian menikah lagi), akan menemukan sakinah, mawadah dan rahmah dengan pasangan barunya.

Solusi Bukan Masalah

Cerai adalah solusi bagi masalah rumah tangga. Jika perceraian dilakukan secara syar'i, dan konsekuensi dari perceraian juga diterapkan dengan syariat Islam, maka tidak ada korban-korban broken home. Artinya, anak-anak yang orangtuanya bercerai pun akan baik-baik saja. Baik dalam hal kejiwaan, aqidahnya, ketakwaan, kecukupan nafkah, kasih sayang, dll. Jadi, perceraian orangtua bukan menjadi alasan untuk menjadi pribadi yang terpuruk.
Demikian pula kedua belah pasangan yang bercerai, masing-masing segera move on untuk menemukan kebahagiaan, ketenangan dan ketentraman. Bukankah itu harapan semua pihak? Jadi, cerai bukanlah awal mula pemicu permasalan rumah tangga yang tak berkesudahan. Maka pasca cerai, seharusnya tidak muncul masalah-masalah baru yang lebih pelik dibanding mempertahankan rumah tangga.
Sayangnya, para pelaku perceraian hari ini, banyak yang mengabaikan syariat Islam. Akibatnya, muncul setumpuk persoalan baru yang lebih kusut dari proses perceraian itu sendiri. Masalah baru itu menyangkut antara lain: siapa yang berhak mengasuh anak; masalah tanggungjawab nafkah bagi anak atau istri yang dicerai; kisruh pembagian harta gono-gini; putusnya hubungan anak dengan orangtua, dll.

Memelihara Nasab

Pada banyak kasus perceraian saat ini, bahkan sampai terjadi penghilangan jalur nasab. Satu pihak tega memutuskan hubungan anak dengan salah satu orangtuanya pasca cerai. Bila anak ikut ibu, anak-anak didoktrin agar membenci ayahnya.
Dikobarkan kebencian terhadap ayah kandung yang meninggalkannya. Akibatnya, anak enggan berhubungan baik dengan ayah kandungnya. Bahkan banyak yang sama sekali melupakannya. Mengabaikannya. Tak peduli. Begitu pula sebaliknya jika anak ikut ayah. Ia pun melupakan ibunya.
Padahal Islam sangat mementingkan pemeliharaan nasab dan mengharamkan muslim memutuskan silaturahmi.

Keluarga Harmonis

Keluarga adalah elemen terkecil yang merupakan pondasi terpenting pembentukan masyarakat. Keluarga yang utuh, harmonis, sejahtera dan bahagia adalah jaminan terwujudnya masyarakat ideal. Namun, saat ini, bukan perkara mudah membangun sebuah keluarga ideal. Jalan menuju pernikahan semakin terjal, penuh rintangan dan hambatan. Sementara di sisi lain, keluarga yang sudah terbentuk pun kerap mengalami goncangan hingga sulit dipertahankan.
Satu-satunya cara agar keluarga kokoh berdiri adalah melandasi pernikahan dengan iman dan takwa. Demikian pula dalam menjalani kehidupan rumah tangga, harus mengedepankan syariat Islam. Penuh persahabatan. Penuh kepasrahan dan keihklasan. Penuh keridhoan dan penerimaan terhadap seluruh keadaan.
Keluarga yang dibangun dengan iman dan takwa, harusnya menjadi keluarga yang hangat dan harmonis. Masing-masing saling membutuhkan dan saling peduli. Mampu menjalankan kewajibannya dengan baik. Memenuhi rumah dengan perhatian dan kasih sayang. Mewujudkan suasana keimanan dalam interaksinya, sehingga tidak kering dari nilai-nilai ilahiyah.
Dengan demikian, keluarga Islam berbeda dengan keluarga metropolis. Unik, khas dan unggul yang inshaa Allah mampu mewujudkan sakinah, mawadah dan rahmah.(*)


Kholda Naajiyah
Rubrik Muslimah Media Umat Edisi 172 









No comments: