QUIS SETAHUN SATU BUKU

 Buku-buku karyaku sejak 2005-2015
- The World of Me (GIP, 2005) --> Terbitan Malaysia Dunia Remajaku (Sinergi)
- Wow, Ternyata Asyik Lho Jadi Ibu (edisi revisi dari Bersiap Jadi Ibu Al-Azhar, 2005)
- Ssst...Mau Nikah, Butuh atau Kebelet? (edisi revisi dari Married, Siap Apa Pengin? Al-Azhar, 2005)

Mencegah Pesimis dan Putus Asa


Oleh Kholda Naajiyah

Bunuh diri biasanya terjadi pada orang-orang yang putus asa. Putus asa adalah sikap yang sangat pesimis, baru mencoba sekali lalu bilang tidak bisa. Bagaimana cara mengatasi rasa putus asa?

1 Tentukan Tujuan Hidup
Ingatlah bahwa kita adalah manusia, hamba Allah SWT yang diciptakan untuk mendapatkan keridhoaan Allah SWT. Maka, rumuskanlah tujuan hidup untuk ibadah kepada-Nya. Untuk mewujudkan peribadahan itu, buat target-target jangka pendek dan jangka panjang. Di bidang pendidikan, ilmu apa yang kita targetkan. Di bidang materi, harta apa yang kita ingin miliki. Di bidang sosial, status seperti apa yang kita kehendaki. Dan seterusnya.

2 Motivasi yang Besar
Butuh semangat juang dan tekad besar untuk mewujudkan tujuan hidup. Motivasi bisa berupa materi, yakni modal untuk mencapai tujuan. Bisa juga motivasi berupa anak-anak, istri, orangtua dan mertua. Motif untuk membahagiakan mereka. Namun, motivasi terbesar adalah motivasi ruhiyah, yakni dorongan untuk beribadan dan mencapai ridho Allah SWT semata.

3 Bekerja Keras
Orang-orang sukses mencapainya tidak dengan bersantai. Mungkin, ketika mereka sudah sukses akan lebih santai, karena sudah memiliki banyak asisten yang menggantikan pekerjaannya. Dalam kondisi sudah bebas finansial, uanglah yang bekerja untuk mereka, bukan mereka yang bekerja untuk uang. Namun, pada awal merintis jalan menuju sukses, dibutuhkan kerja keras. Kerja yang tidak biasa-biasa saja. Kerja yang di atas rata-rata orang bekerja.

4 Realistis
Bermimpi boleh. Bercita-cita setinggi gunung boleh. Tapi, harus tetap disesuaikan dengan modal yang dimiliki dan kemampuan yang ada. Sebab, jika tujuan terlampau tinggi sementara modal pas-pasan, sakit rasanya jika tidak terwujud. Maka, jika punya mimpi besar, harus menyiapkan modal yang besar pula. Harus melakukan langkah-langkah yang besar pula. Pencapaian pun akan besar.

5 Fokus pada Diri Sendiri
Maksudnya, jangan terlalu mempedulikan apa yang sudah dicapai orang lain. Fokuslah pada apa yang ingin kita tuju dan bagaimana cara kita mencapainya. Ya, cobalah untuk lebih peduli pada diri kita, pribadi kita, kebahagiaan kita, pendidikan kita atau semua tentang kita. Maka kita akan tahu apa yang kita butuhkan dan apa yang terbaik untuk kita.

6 Bersyukur
Selalu merasa cukup akan nikmat Allah SWT, itulah kunci orang yang tenang hatinya. Tidak pesimis dan putus asa. Yakinlah, Allah SWT memberikan segala yang terbaik untuk kita.

7 Berdoa
Allah SWT akan memberikan apa keinginan hamba-Nya yang berdoa. Namun, bukan berarti segala doa pasti terkabulkan. Allah SWT pasti hanya mengabulkan doa yang sesuai dengan kebutuhan hamba-Nya. Jika merasa doa tidak dikabulkan, berarti Allah SWT sedang memberi ujian kesabaran. Maka, jangan putus harapan.


8 Akhirat Terbaik
Ingatlah, tujuan apapun yang ingin dicapai di dunia, akhiratlah yang terbaik. Maka, jika merasa tidak terkabulkan segala keinginan di dunia ini, ingatlah masih ada kampung akhirat. Jangan dikira kehidupan hanya dunia dan akan berhenti ketika mati. Bahkan saat mati itulah, kehidupan kekal baru saja akan dimulai. Jadi, jangan terlalu fokus pada dunia, justru fokuslah pada akhirat maka dunia akan mengikuti.(*)
FOTO: https://widyawidluv.files.wordpress.com
  
Tulisan ini tayang di Media Umat Edisi 149

Wanita dan Anak Korban Bunuh Diri


Oleh Asri Supatmiati



Diah (7) sedih kehilangan Theola Nadifa (7) alias Ola. Akrab sejak TK hingga kelas 1 di SDN 1 Semampir, Kediri, Diah menganggap Ola seperti saudara. Ola sendiri anak yang cerdas. Hampir semua mata pelajaran nilainya 80-100. Bahkan pernah menjuarai lomba seni montase tingkat provinsi ketika TK. Sayang, masa depan Ola terhenti. Ia menjadi korban keputus-asaan kedua orangtuanya yang nekad bunuh diri.

Ya, rentetan kasus bunuh diri terus terjadi. Di Bali misalnya, sejak awal tahun hingga Maret, sudah 28 kasus. Mulai dari polisi, pelajar SMP, SMA, mahasiswa, pembantu rumah tangga (PRT), bahkan mantan anggota DPRD. Gubernur Bali I Made Mangku Pastika pun meminta kepada akademisi, praktisi, tokoh agama, dan pihak kepolisian untuk mencari solusi kasus genting ini (sindonews.com, 3/3/15)

Sementara itu, dua polisi bunuh diri di tempat berbeda. Satu di Desa Cot Gapu, Kecamatan Kota Juang, Kabupaten Bireuen, Aceh. Kepala Unit Provos Polsek Juli Bireuen, Brigadir Kepala Oktaviano (35), tewas dengan luka tembak di kepala. Satu lagi, Brigadir Arifin (40) di Kepolisian Sektor Manggala, Makassar, yang menembak kepala sendiri setelah apel pagi (tempo.co.id, 5/4/15)

Kasus lain, juragan bakso di Serang, Wahyudin (45) tewas gantung diri. Ibu rumah Aam (35), gantung diri di kontrakannya di Kecamatan Binong. Pemuda Bukittinggi, Riki Nisi Jaya (24) juga gantung diri (sindonews.com, 10/4/15).

Paling tragis adalah yang menimpa Ola, ayahnya Yudi Santoso (41) dan ibunya Fajar Retno (40). Mereka ditemukan tewas membusuk di atas kasur Jumat (3/4/15) lalu. Dalam wasiatnya, mereka mengaku lelah dan putus asa karena tak henti menghadapi masalah (tempo.co.id, 5/4/15).


Putus Asa Global

Fenomana bunuh diri bukan hanya di Indonesia, juga di berbagai negara. Secara global, dunia juga mengarah pada keputus-asaan hingga berujung pada bunuh diri. Tertinggi di Korea Utara, Korea Selatan dan Jepang. Motifnya, bukan saja karena kesulitan ekonomi. Nyatanya orang yang bergelimpang harta dan ketenaran pun melakukannya. Seperti artis-artis Korea Selatan atau orang-orang sukses di Jepang.

Mereka memilih bunuh diri dengan anggapan masalah akan selesai. Dalam keyakinan budaya mereka, bunuh diri adalah menyelamatkan martabat dan harga diri. Apalagi kebanyakan mereka tak memiliki pondasi agama, sehingga menganggap bunuh diri sebagai akhir segalanya.

Lantas, mengapa muslim juga bunuh diri? Tentu agama Islam tidak bisa dituduh sebagai pemicunya. Semua paham, Islam mengharamkan umatnya bunuh diri. Dilarang keras. Berarti, ada faktor di luar agama yang memicu tindakan nekat tersebut. Sebuah tekanan yang demikian dahsyat.

Ola dan ayah-ibunya semasa hidup. Foto: kompas.com.
Tekanan itu akibat dari penerapan sistem hidup yang kejam, keras, tidak manusiawi dan memicu depresi. Depresi yang bukan hanya melanda individu-individu, melainkan mayoritas masayarakat. Depresi masal. Kondisi ini berbanding lurus dengan makin beratnya beban ekonomi dan beban psikologis. Segalanya mahal. Hidup banyak masalah. Tidak tenteram. Jauh dari kebahagiaan. Semua karena diterapkannya sistem kapitalis sekuler yang tidak menjamin pemerataan kesejahteraan dan kering nilai-nilai keimanan.

Kegagalan Sistemik

Fenomena bunuh diri adalah bukti nyata gagalnya negara dalam menjamin ketenteraman, kenyamanan dan kebahagiaan hidup warganya. Gagal menjamin kebutuhan pokok warganya. Gagal mendidik warganya menjadi pribadi yang optimis, tangguh dan antidepresi.

Negara tidak mampu membekali warganya kemampuan untuk mengatasi masalah. Bahkan, negara berlepas tangan dari dampak-dampak akibat kebijakannya yang menyengsarakan dan menzalimi umat. Cenderung tidak peduli dengan apa yang akan dialami rakyatnya.

Misalnya, kebijakan mencabut subsidi yang membuat harga-harga kebutuhan pokok melambung tanpa terkendali. Demikian juga kebijakan liberalisasi di berbagai sektor kehidupan, menciptakan masyarakat liberal yang jauh dari nilai-nilai agama.

Dalam masyarakat liberal, terjadi persaingan bebas. Siapa yang memiliki modal terbaik, dialah yang menang. Modal itu bisa berupa harta, kecantikan atau ketampanan, jaringan atau relasi, dan fisik lainnya. Jika tidak memiliki, hilanglah peluangnya untuk menjadi orang sukses.

Inilah yang memicu persaingan tak sehat, perilaku culas dan keserakahan. Nilai-nilai kemanusiaan pun luntur. Berganti dengan sikap saling iri, dengki, hasut, dan dendam. Interaksi dalam masyarakatpun tak lagi guyub (akrab), tapi egois dan individualis. Masyarakat yang merasa terpinggirkan pun akhirnya apatis.

Derita Wanita dan Anak

Bunuh diri jelas bukan solusi. Bahkan menyisakan sederat persoalan baru bagi keluarga yang ditinggalkannya. Menambah orang stres baru. Dalam berbagai kasus bunuh diri, kerap kali anak-anak dan wanita menjadi korban. Misal, jika yang bunuh diri suami atau kepala rumah tangga, bagaimana nasib istri dan anak-anak yang ditinggalkannya? Pasti depresi. Bunuh diri menyisakan penderitaan bagi perempuan dan anak-anak ini.

Demikian pula jika suami pelaku bunuh diri malah mengajak dan memaksa istri dan anak-anaknya. Akhirnya, perempuan dan anak yang biasanya berada pada posisi lemah, tak kuasa menentang kehendak suami. Apalagi jika istri juga merasakan keputus-asaan yang sama. Jangan sampai bunuh diri menjadi trend di kalangan bapak-bapak.

Sedangkan anak-anak, menjadi korban egoisme orang tuanya. Terpaksa mengakhiri masa depannya lebih awal. Padahal anak-anak inilah pewaris keluarga. Jika satu keluarga bunuh diri, habislah keturunannya. Hilanglah eksistensi generasi keluarga tersebut.

Terlebih, anak-anak adalah calon generasi penerus bangsa. Fenomena bunuh diri yang melibatkan anak-anak mereduksi kesempatan untuk melahirkan generasi-generasi terbaik. Ini tak bisa dibiarkan oleh negara. Anak-anak potensial itu harus diselamatkan dari kejahatan bunuh diri.
Iman yang Kokoh

Berbeda dengan sistem sekuler yang menafikkan agama, Islam membekali umatnya dengan nilai-nilai keimanan dan ketakwaan yang kokoh guna mencegah orang berputus asa. Muslim yang bunuh diri itu, bisa dipastikan, tidak mempelajari ajaran Islam ini dengan baik. Bukankah banyak muslim yang awam dengan agamanya sendiri?

Islam mengajarkan umatnya untuk memiliki tujuan hidup yang jelas. Lalu memilihkan jalan hidup yang lurus dan benar, agar sampai pada tujuan tersebut. Selama perjalanan menuju tujuan itu, Islam juga memberikan rambu-rambu aturan dan panduan, agar tidak salah jalan atau bahkan tersesat.

Itulah pedoman dalam Alquran dan Sunnah. Sebuah sistem hidup yang lengkap, mulai pondasi keimanan yang membentuk prinsip hidup yang optimis, hingga penerapan aturan negara yang manusiawi. Karena itu, kembali pada Islam adalah satu-satunya solusi menanggulangi bunuh diri. Hal ini bisa dimulai dari diri umat Islam sendiri, jangan berhenti mengkaji agar memahami Islam secara komprehensif. Selain jangan berhenti mendekatkan diri pada Allah SWT tentunya.(*)

* Tulisan ini tayang di Media Umat Edisi 149 

Teman Tapi Maya


Oleh Asri Supatmiati

Kamu pakai smartphone? Ya, kamu! Rata-rata remaja usia kamu kan udah pada pegang gadget canggih itu. Kalau nggak Android, pasti BlackBerry. Tapi yang nggak make jangan berkecil hati yah, justru kalian selamat dari fitnah yang satu ini: TTM alias teman tapi maya.

Yup, sekarang ini remaja seolah-oleh berlomba banyak-banyakan teman. Bangga deh kalo nomor kontaknya ratusan atau ribuan. Jadinya jor-joran jumlah nomor kontak di hape. Lalu sibuk berlama-lama chatting dengan nama.

Godaan buat berteman dengan orang-orang yang sama sekali nggak kita kenal pun makin merajalela. Bayangin aja, hanya duduk manis di rumah atau di angkot, bisa tergenggam puluhan atau ratusan teman. Selain melalui media sosial, juga lewat smarthphone tadi.

Contohnya, marak broadcast atau pesan model kayak gini: “Dimas, goodboy, kece, lucu, tmn lama, 52B785*8 gk invite rugi Guys.” Atau semacam bunyi 'iklan' gini: “Rohmatul, cantik, putih loh, kayak Masha, rambutnya awaw, 74B868*D, classmate, baik, #last yaa”. Ada juga yang pake bahasa promosi macam ini: “Mita, adekku, cantik, baik, unyu-unyu dah, 53A024*4 last terakhir.”

Maksud pesan itu, biar pada nge-add, nambah kontak di BBM. Nambah temen. Nambah kenalan. Di akun Twitter, model nyari temen kayak gitu juga ada. Misal di @kontak*** (sengaja dibintangi biar gak kamu tengok ya, bahaya!) ada pengantarnya kayak gini: “Kontak BBM kamu sepi, nambah teman chat BBM susah, cukup nih Follow @Kontak*** temukan banyak teman di sana cowo/cewe cakep ada disini:) #SharePin.”

Jadi, akun itu dijabani orang-orang yang nyari temen dengan kalimat iklan mirip di atas. Tentunya disertai foto-foto diri yang paling kece. Nah, yang tergoda, udah pasti bakalan nge-add dan akhirnya chatting dah. Bahkan, kalau lanjut, bisa kopi darat. Trus apa bahayanya?

Profil Teman

Berteman, bergaul, itu boleh-boleh saja kawan. Bagus memang. Katanya manusia itu kan makhluk sosial, jadi nggak mungkin hidup sorangan. Musti punya jaringan. Masalahnya, siapa yang kita ajak berteman? Siapa yang kita ajak chatingan? Penting nggak? Manfaat nggak? Itu kudu dijawab dulu dengan benar.

Saat ini, di dunia nyata, kita udah punya banyak teman. Di sekolah misalnya. Ada yang sekadar kenal nama, ada yang teman biasa dan ada juga sahabat karib. Mungkin tiap hari ketemu. Saling sapa, bercengkerama dan berinteraksi. Itu saja, kita nggak kenal-kenal banget dengan karakter seluruh teman offline kita. Kita kerap nggak sreg dengan beberapa di antaranya. Makanya terjadilah gesekan.

Lagipula, tak semua teman di dunia nyata membawa maslahat. Ada yang malah menjerumuskan ke hal-hal yang nggak bermanfaat. Bahkan, ngajak melakukan hal-hal yang nyerempet-nyerempet maksiat. Kalau kita nggak punya benteng iman, bisa-bisa terjerembab.

Misal, ada yang ngajak ngobrol duaan, padahal lawan jenis. Ada yang ngajak ngeceng, padahal waktunya ngaji. Ada yang nawarin boncengan, padahal bukan murim. Mau nolak nggak enak. Nah, kalo segala keinginan teman model gini dituruti, berabe kan. Bisa-bisa kredit dosa nih.


Terlebih lagi teman-teman maya yang kita kumpulin melalui boradcast atau media sosial tadi. Secara fisik, kita nggak pernah ketemu. Bahwa dia baik, lucu, unyu atau rugi kalau nggak kenalan, itu kan cuma klaim. Bahasa iklan. Siapa yang bisa jamin?

Namanya aja, kita nggak tahu pasti, apakah itu asli atau palsu. Foto yang dia pajang, juga belum tentu gambar aslinya. Kece, cakep, cantik, putih, itu juga bisa dibikin. Banyak aplikasi modifikasi foto, kan? Jadi, jangan ketipu.

Lebih-lebih agamanya, perangainya, perilakunya, akhlaknya, mana kita tahu? Bagaimana karakternya? Apa dia beneran cowok atau cewek baik-baik? Apa bener dia orangnya asyik? Mungkin memang, selama chatting dia menunjukkan karakter yang tampaknya baik-baik saja. Bahkan, dari chattingan itu tak sedikit cewek atau cowok kecantol, simpati dan jatuh hati.

Padahal, chatting itu kan setingan. Bisa aja dia bikin kalimat-kalimat indah, lemah lembut, menyentuh, inspiratif dan sederet kalimat memikat lainnya. Karena, sebelum chatting mikir dulu. Atau cukup copypaste. Tertipu deh!

So, D'Riser, berteman kudu selektif. Musti kenal betul profil teman kita. Dan itu hanya mungkin jika kenalan di dunia nyata.

Cuma Semu

Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda: “Seseorang tergantung agama teman dekatnya, maka hendaknya kalian memerhatikan siapakah teman dekatnya.” Hadits ini diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah melalui dua jalur periwayatan, oleh Al-Imam Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Al-Hakim, Ath-Thayalisi, Al-Qudha’i (dalam Al-Musnad No 187).

Nasihat itu benar adanya. Jangan asal nambah koleksi teman, padahal cuma semu. Teman-teman maya yang kita kenal itu hanya menambah daftar panjang kegiatan buang-buang waktu kita. Iyalah, palingan cuma chatting iseng-iseng. Ngobrol ngalor-ngidul ngomongin hal-hal yang sifatnya mubah, atau bahkan yang nggak berguna. Apalagi buat cewek, jangan-jangan malah jadi ajang ngegosip.

Bagaimana kalau temennya muslim? Bahkan aktivis dakwah misalnya. Hm, silakan aja. Yang penting prinsip berteman adalah membawa pada kebaikan. Banyak teman, banyak mendapat inspirasi kebaikan. Banyak yang mengingatkan untuk makin dekat dengan Allah SWT.

Masalahnya, kamu yakin kalau segudang teman bakal makin membuatmu dekat sama Allah SWT? Bukan malah sebaliknya, lebih mendekatkan dirimu pada hapemu semata? Sibuk main hape seharian sampai lupa daratan.

Lagian, buat apa juga berlomba-lomba banyak teman? Emang sih, ada pepatah seribu teman masih kurang, satu musuh terlalu banyak. Tapi, bukan teman-teman maya yang kamu butuhkan. Cari teman sejati. Teman tapi nyata.

Teman satu perjalanan di jalur kebenaran. Tempat bersandar dalam suka dan duka. Yang bisa menguatkanmu saat kau lemah. Yang mengajak ke jalan takwa saat kau futur. Bukan teman yang mencuri habis waktumu hingga menjauhkan dari-Nya. Yang cuma sok jaim di dunia maya.

So, nggak usah tergoda add ini-itu. Nggak usah banggakan banyaknya nomor kontak di hapemu. Itu cuma semu, kawan!(*)

* Tayang di D'Rise edisi April 2015...cekidot!

Foto: www.facebook-friends.com.


Memutus Rantai Kekerasan Ibu pada Anak


Oleh Kholda Naajiyah

Selalu ada kabar miris dari rumah tangga Indonesia. Kali ini anak disetrika ibu tirinya. Korban adalah Denis (10), siswa kelas 3 SD di Duren Sawit, Jakarta Timur. Penganiayaan dilakukan oleh Eni (33) Minggu (22/3) siang. Saat itu korban baru saja pulang setelah bermain. Ia disiksa dengan alasan tidak mau tidur siang (detik.com, 22/3).

Walaupun faktor pemicu terhadap kejadian itu beragam –tak hanya faktor ibu, juga anak-- namun ini menjadi peringatan, betapa pentingnya membenahi pola pendidikan dalam keluarga. Pasalnya, Denis bukanlah korban pertama. Jika kita rajin mengikuti berita, banyak kasus sejenis di berbagai tempat yang memiliki benang merah yang sama, yakni langgengnya pola didik anak melalui kekerasan secara turun temurun.

Pola pendidikan ini bukan berasal dari Islam, melainkan akar budaya masyarakat. Sebab, Islam melarang menganiaya anak. Pendidikan dan pendisiplinan dilakukan dengan cara yang baik dan bijak. Nah, bagaimana agar kekerasan ibu terhadap anak tidak terjadi lagi?

Pembenahan di sisi ibu
Semua ibu paham anak adalah amanah. Anak memiliki pola pikir meski belum sempurna. Harus paham betapa buruknya dampak kekerasan terhadap anak, karena kelak jika dewasa bisa jadi anak tersebut akan menjadi pelaku kekerasan. Memang, banyak faktor ibu mudah emosi. Capek, lapar, banyak pikiran dan stres. Ibu harus mengatasinya. Kenadlikan diri. Tanamkan iman dan keikhlasan dalam menjalankan tugas. Penuhi kasih sayang pada seluruh anggota keluarga.

Pembenahan di sisi ayah
Ayah wajib berjuang habis-habisan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Sebab, faktor ekonomi kerap menjadi pemicu stres istri. Sudah kerja keras mengurus rumah, masih harus memutar otak mengatur keuangan. Ditambah mengatur anak-anak yang jauh lebih sulit lagi. Maka, sesibuk apapun, ayah sebagai kepala keluarga harus memperhatikan istri dan anak-anaknya. Istri melampiaskan stres pada anak kadang karena tidak ada ruang untuk didengar. Padahal suami cukup mendengar keluhan istri saja, tak perlu berkomentar –apalagi pedas--. Karena memang seperti itulah karakter istri jika capek.

Pembenahan di sisi anak
Anak harus diajak mengerti dan berempati pada kondisi rumah. Jalin kedekatan dengan anak agar menjadi sahabat mereka. Tanamkan rasa tanggungjawab agar patuh pada orangtua. Memang, anak zaman sekarang cenderung sulit diatur. Mereka keasyikan dengan dunianya sendiri, tanpa memahami kerepotan orangtua. Misal kecanduan main game sehingga sulit diarahkan untuk melakukan sendiri kegiatan positifnya. Jangankan membantu orangtua, merapikan kamar atau mengerjakan PR saja masih harus dikejar-kejar. Harus diomeli baru bergerak. Ini yang harus diubah. Tumbuhkan tanggungjawabnya.

Pembenahan di keluarga
Bisa jadi, kekerasan ada karena beban di pundak ibu terlalu berat. Ayah bisa ikut berperan. Selain itu juga anak yang usianya lebih besar. Anak yang lebih tua diajak memiliki tanggungjawab terhadap adik-adiknya, sehingga ibu tidak stres karena semua diurus sendiri olehnya. Anak usia baligh sudah harus diajari mengasuh adik-adiknya. Juga, mengurus kepentingannya sendiri. Seperti mencuci bajunya sendiri, menyetrika dan merapikan kamarnya. Keterampilan itu penting ditanamkan pada anak-anak agar tidak menghabiskan waktunya hanya bermain dan bersantai ria.

Pembenahan negara
Negara juga punya andil melanggengkan kekerasan dalam rumah tangga. Ketidaharmonisan suami-istri atau orangtua-anak adalah dampak penerapan kebijakan yang melemahkan keluarga. Kemiskinan, perceraian, perselingkuhan dan pertukaran peran laki-laki dan perempuan baik di ranah domestik maupun publik telah mengacaukan interaksi dalam rumah tangga. Untuk itu negara harus segera memutuskan mata rantai kekerasan ini dengan menerapkan sistem Islam.(*)


* Tulisan ini tayang di Media Umat edisi 148

Perempuan: Sistem Sekuler vs Islam


Oleh Kholda Naajiyah

Baru saja diselenggerakan Konferensi Perempuan Internasional serentak di lima negara, yakni Palestina, Turki, Tunisia, Indonesia dan Inggris, Sabtu (28/3). Konferensi bertemakan ‘Perempuan dan Syariah: Memisahkan Realita dari Fiksi’. Direktur Divisi Muslimah Hizbut Tahrir, Nazreen Nawaz mengatakan, agenda fenomenal Hizbut Tahrir Internasional ini membahas, apakah hukum sekuler ataukah hukum syariah yang harus menetapkan hak-hak perempuan di dunia.

Saat ini, perempuan di dunia dipimpin oleh sistem sekuler. Sistem ini menempatkan perempuan pada posisi sejajar, sama persis dengan laki-laki. Di dunia Barat, hal ini sudah lama terwujud. Bahkan karena dampak buruknya, akhirnya meredup.

Di dunia Islam, kampanye kesetaraan dan keadilan gender ini tak henti diulang-ulang. Bukan dengan mengedepankan keunggulan sistem sekuler itu sendiri, justru menyerang sistem Islam terkait syariahnya terhadap perempuan.

Mereka sengaja menutup-nutupi kegagalan sistem sekuler dalam menjamin hak-hak perempuan. Sebaliknya, mengulang-ulang tuduhan terhadap syariah Islam sebagai tidak layak untuk diterapkan pada perempuan. Lantas, apakah hak-hak perempuan bisa mendapatkan jaminan terbaik di bawah sistem sekuler ataukah sistem Islam? Berikut perbandingannya.

Sistem Sekuler

Pada intinya, pemikiran dasar sistem sekuler menempatkan perempuan sebagai makhluk yang sama dengan laki-laki (musawah). Tidak ada lagi pembedaan berdasar jenis kelamin. Semua aspek disamaratakan, tanpa memandang fakta adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan.

Laki-laki dan perempuan diatur dengan regulasi yang sama. Mereka boleh berkontribusi di ruang domestik maupun publik dengan aktivitas yang sama. Dalam sistem pemerintahan, perempuan boleh menduduki jabatan apa saja. Dalam sistem hukum, kedudukan laki-laki dan perempuan sama saja. Dalam sistem ekonomi, pendidikan dan kesehatan, sama sekali tidak dibedakan.

Dalam sistem sosial, laki-laki dan perempuan juga bebas berekspresi, berperilaku dan bergaul tanpa aturan baku. Hak individu laki-laki dan perempuan sama-sama dijunjung tinggi. Dalam rumah tangga, perempuan berperan sama persis dengan laki-laki. Boleh menjadi kepala keluarga. Tidak harus taat pada suami. Boleh meminta cerai. Boleh menolak hamil. Tidak boleh dilarang jika ingin bekerja dll.

Secara global hasil dari penerapan sistem tersebut: perempuan mengejar karier setinggi langit. Karier yang diraih dengan mengekploitasi seluruh potensi keperempuanannya. Fisik, pikiran dan bahkan tubuh diperas habis-habisan demi meraih eksistensi diri.

Dampaknya: sistem sekuler ini menjauhkan perempuan dari hak-haknya. Hak untuk menikah dan menjalani kehidupan rumah tangga misalnya. Sebab, dengan disibukkan untuk mengejar karier, mereka enggan menikah. Kalaupun menikah, malas punya anak. Kalaupun punya anak, ogah mendidiknya. Lahirnya anak-anak bermasalah.

Sistem sekuler ini telah sukses menjauhkan perempuan dari kehangatan keluarga. Suami istri tidak harmonis. Keduanya sama-sama sibuk. Perempuan sibuk inipun mengalami alienasi (keterasingan), depresi dan masalah psikologis lainnya. Ia berusaha menutupi naluri dan kodrat sebagai perempuan. Hati kecilnya membutuhkan perlindungan dan pertolongan, tapi fisiknya menampakkan ketangguhan di ruang publik. Dilema peran ganda tak terelakkan.
Dampak bagi istri: stres dan depresi. Dampak bagi suami: tidak tenang, cemburu dan curiga pada istrinya. Selain itu, juga tidak terpenuhinya hak-hak suami. Dampak bagi keluarga: tidak harmonis. Dampak bagi anak-anak: kehilangan kasih sayang, kehilangan figur orang tua, kehilangan teladan pemimpin dan pendidik di rumah. Dampak bagi rumah tangga: disharmonisasi berujung perceraian. Dampak bagi masyarakat: meluasnya ekses-ekses sosial seperti perselingkuhan, pergaulan bebas, pelecehan seks, pemerkosaan dan kemaksiatan lainnya.

Sistem Islam

Pada intinya, pemikiran dasar sistem Islam menempatkan perempuan sebagai makhluk yang sama dengan laki-laki dalam posisinya sebagai manusia. Ada pembebanan hukum yang sama bagi keduanya, tanpa membedakan jenis kelamin.

Namun, jika dilihat dari sisi jenis kelamin, Islam membedakan laki-laki dan perempuan. Pembedaan ini bukan karena tidak adanya kesetaraan (musawah), melainkan menunjukkan adanya keadilan. Ada aturan khusus untuk laki-laki dan ada aturan khusus untuk perempuan.

Tidak boleh laki-laki dan perempuan saling iri atau bertukar peran karena hal itu hampir-hampir mustahil dilakukan. Hal ini karena peran kelelakian dan keperempuanan itu didasari perbedaan fisik dan psikologis yang benar-benar tak bisa dipertukarkan.

Pembedaan ini meniscayakan pengaturan dalam aktivitas laki-laki dan perempuan. Laki-laki lebih banyak dibebani kewajiban di ruang publik, seperti menjadi pemimpin negara, mencari nafkah, salat berjamaah di masjid, dll. Sedangkan perempuan lebih banyak dibebani kewajiban di ruang domestik, seperti mengurus rumah dan mendidik anak. Namun, perempuan tidak dilarang berkontribusi di ruang publik. Seperti mengakses pendidikan, kesehatan, bekerja, dakwah, dll.

Ada perbedaan aturan untuk laki-laki dan perempuan. Dalam sistem pemerintahan, perempuan dilarang menduduki jabatan kepala negara. Ya, mengatur rumah tangga saja sudah pusing, apalagi mengatur negara, bukan?

Dalam sistem hukum, kedudukan laki-laki dan perempuan sama di mata Allah SWT, namun ada pembedaan sesuai karakter dasar kedua jenis kelamin tersebut. Misal dalam persaksian, wanita harus dua dibanding satu laki-laki. Kecuali untuk kasus dimana hanya kaum wanita saja yang bisa mengakses lokasi kejadian yang privat khusus wanita.

Dalam sistem ekonomi, pendidikan dan kesehatan, perempuan juga boleh saja berkontribusi sama dengan laki-laki. Karena, amal kebaikan memang boleh dikejar baik laki-laki maupun perempuan. Dalam sistem sosial, laki-laki dan perempuan tidak bebas berekspresi. Tingkah laku mereka wajib terikat pada syariah. Ada hukum pergaulan untuk menjaga kehormatan masing-masing jenis kelamin. Hak individu laki-laki dan perempuan sama-sama dijunjung tinggi.

Dalam rumah tangga, perempuan dan laki-laki dibagi perannya. Suami sebagai kepala rumah tangga, wajib mencari nafkah. Istri sebagai manajer rumah, wajib mengasuh dan mendidik anak. Nah, dua peran berbeda ini tidak boleh diperebutkan atau dipertukarkan. Jika keduanya mengambil peran yang sama, lantas siapa yang menjalankan peran satunya lagi? Jika suami dan istri sama-sama kepala rumah tangga, siapa yang layak ditaati? Jika suami dan istri sama-sama bekerja, siapa yang mengurus rumah dan mendidik anak-anak?

Hasil penerapan sistem Islam ini: perempuan tercukupi kebutuhannya, tenteram jiwanya, merasakan kehangatan keluarga, tersalurkan fitrah dan kecintaannya pada dunia anak-anak, tidak terbebani peran ganda, terjaga kehormatannya, tidak menjadi komoditi umum, dst.

Dampak positifnya bagi perempuan, yakni tercegah dari pelecehan, kekerasan, diskriminasi dan eksploitasi. Dampak positif bagi suami: merasa tenang karena istri taat di rumah, tenteram jiwanya karena tidak tergoda perempuan lain di ruang publik. Dampak positif bagi anak-anak: ada yang senantiasa mengawasi dan mendidik mereka, menyambut hangat dan melindungi mereka, penuh limpahan kasih sayang.

Dampak bagi keluarga: harmonis, tenteram dan bahagia. Minim konflik rumah tangga, apalagi hancur dalam perceraian. Lahirlah generasi-generasi anak-anak yang baik. Dampak bagi masyarakat yakni kehidupan sosial yang sehat.

Saatnya Khilafah

Dari pemaparan singkat di atas, sistem manakah yang lebih cenderung dengan fitrah perempuan? Sistem manakah yang lebih menjamin ketentraman dan keadilan bagi perempuan? Sistem manakah yang menjunjung tinggi kemuliaan perempuan? Jelas dan gamblang bagaimana posisi, hak dan peran perempuan yang benar sebagaimana ditetapkan oleh Islam. Maka, saatnya perempuan berontak dari sistem sekuler beralih ke sistem Islam.(*)

* Tayang di Media Umat edisi 148
Foto ilustrasi by MMC MHTI.