Oleh Asri Supatmiati
Jurnalis, Penulis Buku-buku Islam
Ujian Nasional (UN), baik di tingkat
SD, SMP maupun SMA, seolah sepaket dengan isu-isu (fakta?) berikut:
kecurangan, beredarnya kunci jawaban, kesalahan teknis penilaian, dan
hura-hura pasca pengumuman kelulusan. Sampai kapan ini terus
berulang? Tidak adakah mekanisme untuk menghentikannya?
UJIAN INTEGRITAS
Sudah menjadi rahasia umum,
pelaksanaan UN mempertaruhkan integritas para siswa, guru, kepala
sekolah dan bahkan pengambil kebijakan di Dinas Pendidikan. Pasti,
setiap sekolah memiliki target kelulusan 100 persen. Target itu
turun-temurun dari pundak kepala daerah, ke Dinas Pendidikan, ke
kepala sekolah, ke guru lantas ke siswa.
Target lulus ini, menyangkut jabatan,
nama baik daerah dan sekolah bersangkutan. Prestasi kelulusan menjadi
salah satu parameter sekolah dalam penerimaan siswa tahun ajaran
baru. Label sebagai sekolah yang sukses meluluskan anak didiknya akan
menaikkan taraf gengsi. Itu artinya berkah berupa kelimpahan jumlah
siswa akan didapat pada tahun ajaran baru nanti.
Selanjutnya, peluang bagi sekolah
tersebut untuk menjaring siswa-siswa potensial dengan nilai terbaik.
Ini penting guna mendongkrak kembali prestasi sekolah, baik melalui
UN maupun yang lainnya di tahun berikutnya.
Sayangnya, tanggungjawab mengharumkan
nama baik sekolah ini kerap dilakukan dengan cara-cara tidak terpuji.
Di sinilah dipertanyakan, dimana letak integritas para pendidik
sebagai orang-orang yang tercelup di lembaga pendidikan? Bukankah
pendidikan terlanjur ditahbiskan sebagai “dunia suci” yang jauh
dari intrik-intrik, kecurangan, keculasan, kolusi dan korupsi?
Profesi pendidik adalah teladan. Guru,
digugu dan ditiru (didengar dan diikuti, red). Anak didik selalu
merujuk pada guru. Guru adalah “malaikat” kecil di tengah
pelajar. Guru selalu benar, tidak boleh salah. Guru di mata anak
didik adalah “sosok suci”.
Bukankah berjuta kali guru memberi
wejangan tentang kejujuran, kedisiplinan dan nilai-nilai kebaikan
pada anak didiknya? Akankah bangunan kepercayaan yang disemai selama
bertahun-tahun itu dibiarkan runtuh seketika demi sebuah predikat
lulus UN?
Jika para pendidik --baik sebagai guru
atau elemen pengambil kebijakan-- mampu menjaga dan mempertahankan
integritasnya, anak didikpun akan menaruh hormat dan respek padanya.
Bahkan, ini akan mendorong anak didik untuk mengedepankan
integritasnya pula dalam menghadapi UN. Artinya, sekalipun banyak
peluang di depan mata untuk berbuat curang atau culas, jika pelajar
memegang teguh prinsip kejujuran, peluang itu akan dianggap angin
lalu.
Dengan begitu, tidak usah terlalu
mengkhawatirkan beredarnya kunci jawaban, isu kebocoran soal dan
sejenisnya. Pelajar yang menjunjung tinggi integritasnya akan percaya
diri dengan kemampuannya. Ia optimis dengan hasil usahanya sendiri
dan tak tergoda berbuat curang.
Sayang, pelajar seperti ini sudah
semakin jarang ditemukan. Kejujuran sangat mahal. Jujur sama artinya
bunuh diri. Masih ingat dengan kasus nyontek massal yang dibongkar
Alif dan ibunya, Siami di Surabaya, Mei 2011 lalu, yang justru
berakhir pada pengucilan mereka oleh sekolah dan para tetangga?
Sungguh miris!
KLIMAKS STRES
UN dianggap satu-satunya parameter
keberhasilan anak didik. Untuk mencapai keberhasilan UN, trial and
error tak henti di-uji-cobakan di lembaga pendidikan. Tujuannya,
demi melahirkan lulusan ideal. Sayang, alih-alih melahirkan lulusan
yang mumpuni di bidang sainstek dan takwa, sebagaimana maklumat
tujuan pendidikan nasional, output UN kian tahun kian mengecewakan.
Salah satunya, tergadaikannya integritas para pelakon di dunia
pendidikan.
Ini akibat UN terlalu disakralkan.
Lulus UN seolah selamat dari kiamat. Ini karena kecerdasan siswa
hanya diukur dari angka-angka, itupun hanya beberapa pelajaran. Masa
depan mereka tergantung UN. Adapun perilaku dan moral pelajar sama
sekali diabaikan.
Akibatnya, pemahaman soal nilai-nilai
kebaikan dan nilai-nilai agama sangat minim selama proses belajar
mengajar. Dengan tingkat keimanan dan ketakwaan yang masih labil
akibat minimnya pendidikan agama, ditambah lagi beban berat kurikulum
pembelajaran, membuat pelajar cenderung stres. UN adalah klimaksnya,
apapun dilakukan demi melewatinya dengan mulus, termasuk
menghalalkan segala cara.
PENDIDIKAN MORAL
Perlu perubahan revolusioner untuk
menghapus tradisi kecurangan dalam UN. Pertama, harus ada penanaman
rasa tanggung jawab intelektual kepada para pelajar. Bahwa, menuntut
ilmu itu sebuah kewajiban mulia, jangan dianggap beban berat.
Menuntut ilmu harus sungguh-sungguh dengan enjoy, sehingga terbiasa
menghadapi ujian. Mentalnya siap menerima apapun hasil ujian.
Kedua, sistem pendidikan sejak awal
harus dikondisikan untuk melahirkan siswa yang berkepribadian Islam
dan menjunjung nilai-nilai moral. Mereka memiliki tanggungjawab untuk
menolak kecurangan, bahkan antihura-hura pasca UN dengan corat-coret
seragam atau konvoi kendaraan. Mereka paham bahwa itu tindakan
sia-sia yang tak bernilai pahala.
Sekarang ini, penanaman mental dan
moral hanya dilakukan sesaat menjelang UN. Sebelum UN mengadakan
muhasabah bersama, tausiyah oleh ustad dan zikir bersama. Menjelang
UN mendekati Allah SWT, saat UN tak ingat Allah dengan main curang,
dan pasca UN, semakin jauh dari Allah SWT.
Ketiga, sistem pendidikan, termasuk
kurikulumnya, disesuaikan dengan perkembangan usia anak didik dan
minatnya. Jangan disamaratakan kemampuan siswa dengan UN yang tolak
ukur pelajarannya sama. Tidak semua anak jago matematika, mungkin dia
lebih jago bidang lain. Karena itu, perlu evaluasi, masihkah UN
menjadi model ideal sebagai parameter keberhasilan siswa?
Di sinilah peran institusi
pemerintahan yang mengurusi masalah pendidikan. Tentu, sistem
pendidikan ideal adalah sistem pendidikan Islam yang menanamkan
ketakwaan pada anak didik sejak usia dini, sehingga menjadi pribadi
kuat yang siap menghadapi apapun. Pribadi yang menjunjung tinggi
kejujuran dan menolak tindakan tak terpuji demi tujuan apapun.
Apalagi sekadar UN, sama sekali bukan ritual sakral yang harus
ditakuti.(*)