Mematahkan Mitos di Jembatan Cinta, Ini Syaratnya


Oleh Asri Supatmiati
Founder Revowriter



“Cinta sejati membuat hari berlalu tanpa terasa dengan cepat. Memandang jauh ke Jembatan Cinta, di mana kisah itu dimulai dalam balutan rasa suka. Karunia cinta melengkapi perjalanan hati dan rasa.” Begitu kutipan di prasasti berjudul Zona Kematangan Cinta di Pulau Tidung. Tampaknya untuk menguatkan persepsi bahwa pantai dan hamparan laut adalah zona romantis para pecinta. Tapi, ada mitos yang tak perlu dipercaya. Apa itu?

***

WELCOME: Gerbang Jembatan Cinta. Foto: Asri.


Pantai adalah destinasi wisata yang tidak pernah bosan dikunjungi. Apalagi untuk anak-anak kecil. Bisa puas bermain pasir dan air. Terakhir kami ke pantai 2015. Sejak beruntun gempa dan tsunami, ada rasa was-was mau melipir ke pantai. Alhamdulillah awal tahun ini, kami diberi rezeki bisa kembali bermain pasir. Kali ini menuju Kepulauan Seribu.


Sehari sebelum berangkat, hujan tak berhenti mengguyur dari pagi. Ada rasa was-was, bagaimana jika besok kondisi cuaca tidak membaik. Tapi, malam itu kami tetap berkemas. Masing-masing membawa tiga stel baju. Satu koper kecil baju saya dan anak perempuan. Satu tas ransel baju suami dan tiga anak laki-laki. Hehe ... printilan cewek memang lebih banyak ya. Maklum. Tak ketinggalan satu tas tenteng lagi berisi jajanan. 


Hari itu, sebelum kokok ayam membangunkan bumi, kami sudah meluncur ke Stasiun Bogor. Di sana bertemu rombongan keluarga lainnya. Kami lantas salat subuh berjamaah di musala stasiun. Sambil menyeret koper, kami menuju commuterline. Masih pagi, jadi semua dapat tempat duduk.
Sekitar 1,5 jam, sampailah kami di stasiun Jakarta Kota. Selanjutnya menyewa taksi online menuju Pelabuhan Kali Adem. Biayanya tak sampai Rp70 ribuan. Sebenarnya ada busway ke sana, tapi berhubung pagi dan mengejar waktu, kami pilih yang praktis saja.


Pelabuhan ini adalah tempat berlabuh kapal tradisional. Di sini, kita bisa membeli tiket penyeberangan ke pulau yang dituju. Tarif tiket ke Pulau Pari Rp47 ribu. Pulau Pramuka Rp52 ribu. Pulau Tidung Rp52 ribu. Pulau Harapan Rp62 ribu. Pulau Kelapa Rp62 ribu. Anehnya, loket pembelian tiket ini hanya buka tak sampai dua jam. Kalau weekday, buka pukul 06.00-07.45 dan weekend pukul 05.30-07.45. 

TUTUP: Tempat beli tiket kapal tradisional. Foto: Asri.

Berhubung kami rombongan, tiket sudah dikoordinir. Tujuan kami ke Pulau Tidung. Ikut paket. Jadi, biaya sudah include tiket, biaya penginapan plus fasilitasnya, makan malam, snorkeling, Banana Boat, dan bakar ikan. Rata-rata paket liburan dua hari satu malam, antara Rp300 ribu hingga Rp650 ribu. Kalau naik kapal ekpress, bisa lebih mahal, kisaran Rp480 ribu hingga Rp870 ribu.


Sekitar pukul 08.30, kami naik ke kapal tradisional. Jangan bayangkan kapal ekspres nan mewah. Ini benar-benar kapal rakyat dengan interior kayu sederhana. Di dek bawah, penumpang bisa duduk di deretan kursi-kursi. Kami memilih naik di dek atas. Duduk santai di hamparan alas plastik tanpa kursi. Tempatnya cukup lega. Di sini bisa selonjoran, bahkan rebahan. 

Masing-masing penumpang wajib mengenakan pelampung. Agak deg-degan juga, mengingat kemarin hujan seharian. Angin dan ombak tergolong kencang. Padahal pelayaran ke Pulau Tidung memakan waktu sedikitnya 2,5 jam.


Jam pertama pelayaran, kami baik-baik saja. Masih bisa bercengkerama, bercanda sembari menikmati bekal sarapan. Sepotong pisang dan snack ala kadarnya. Sesekali anak-anak silih berganti ke anjungan kapal untuk melihat laut. Merasakan desir angin. Detik berikutnya, suara obrolan kian sunyi. Muka-muka penuh harap akan kesenangan, mulai pias.


Guncangan kapal, memicu pusing dan mual. Satu persatu penumpang kapal tumbang. Yang tadinya duduk, mulai merosot dan akhirnya merebah. Ada yang rebah nikmat alias tidur nyenyak setelah perut terisi nasi. Tapi lebih banyak yang menahan mual. Aku sendiri, hanya bisa memegangi perut yang terkocok. Rebahan, tanpa berani bergerak. Matapun tak mampu terpejam. Pasrah.


Tak lama, anak kedua seperti mau muntah. Sudah siap-siap kresek, tapi tidak jadi. Aku balurin saja pakai minyak kayu putih. Alhamdulillah, drama tidak berlanjut. Walau sunyi, tampaknya semua rombongan baik-baik saja. Tidak ada yang mengeluh.


Sekitar pukul 11.00 WIB, kapal akhirnya merapat di Pelabuhan Pulau Tidung. Lega rasanya. Rombongan disambut seorang guide. Deretan sepeda sudah menunggu. Siap membawa tamu ke penginapan. Aku, anak pertama dan kedua mencari toilet dulu. Sudah tak tahan. Padahal ternyata penginapan tak jauh. Tapi, ya sama saja, di penginapan juga nanti antre.


Dengan mengayuh sepeda, kami tiba di penginapan yang menghadap laut. Sayangnya, halamannya bukan pantai, tapi karang. Jadi tidak bisa untuk main air. Rombongan ibu-ibu ditempatkan di satu vila. Satu vila lainnya untuk bapak-bapak. Di sini kami disambut es kelapa muda. Tak lama keluar jatah makan siang.


SNORKELING HINGGA BANANA BOAT


Setelah duhur, barulah kami siap-siap melakukan aktivitas. Pertama, kami akan snorkeling. Bersepeda dari penginapan menuju dermaga kecil di pantai, kami harus naik perahu untuk menuju tengah laut. Jarak tempuh tak sampai 30 menit. Di laut berkedalaman sekitar 3-4 meter itulah, kami mengintip biota laut. Ada terumbu karang dan ikan aneka jenis di sana.


SNORKELING: Melihat biota laut. Foto: Asri.


Saya yang tidak pengalaman menyelam, tentu saja tidak bisa berlama-lama. Repot pakai alat pernafasannya. Jadinya malah tidak dipakai. Asal tahan nafas aja untuk menikmati pemandangan laut. Jadinya dua kali tertelan air. Benar-benar asin dan mengganggu tenggorokan hehe ...
Usai aktivitas snorkeling, kembali naik perahu menuju ke Pulau Tike. Singkatan dari Tidung Kecil. 


Di sini anak-anak melihat penangkaran penyu. Ember-ember raksasa berwarna biru, menampung masing-masing satu penyu besar. Di ruangan sebelah ada aquarium-aquarium ikan laut. Semisal ikan Nemo seperti di film kartun. Dari Pulau Tike, kami kembali ke pantai. Kali ini bermain Banana Boat. Satu boat untuk 5 orang. Speedboad berkecepatan tinggi mulai menarik boat. Lalu berbelok menukik. Akibatnya, penumpang terpental ke dalam laut disertai teriakan. Seru.


MENGABADIKAN SUNSET


Tak mau buang waktu, kami kembali mengambil sepeda di tempat parkir. Namun karena perut mulai lapar, di sepanjang jalan, membeli otak-otak dan gorengan. Setelah mengganjal perut, kembali mengayuh sepeda menuju pantai Tanjung Barat untuk menyambut sunset. Menyusuri jalanan konblok yang jaraknya mencapai lebih dari satu kilometer.


Nah, di sini pantainya relatif sepi. Suasana juga cukup tenang.  Anak-anak bisa puas bermain pasir. Kami yang dewasa melipir mengintip detik-detik sunset. Apalagi kalau bukan untuk mengabadikannya. Tak ketinggalan foto-foto siluet. Sayangnya, matahari lebih banyak tertutup awan, sehingga pemandangannya tidak terlalu spektakuler.

SUNSET: Foto siluet sambil menikmati sunset. Foto: Tata.


Puas berpose, dan karena hari menjelang maghrib, segera kami mengayuh sepeda menuju penginapan. Rombongan arak-arakan sepeda sempat terpisah. Nyaris tersesat. Gara-gara tak tahu nama penginapannya apa, jalan apa, jadi sewaktu bertanya-tanya juga sulit penduduk menjelaskan. Padahal setelah nekat melanjutkan perjalanan, ternyata tinggal satu gang sudah sampai penginapan. Pulau Tidung yang luasnya 50,53 hektare ini, memang sangat padat penduduk. Sebenarnya tidak usah terlalu takut tersesat, pasti ketemu tujuan. Belakangan saya baru tahu, ternyata, penginapan yang kami tempati memang tidak punya nama hehe ...


Sampai penginapan, dengan baju penuh pasir, antrelah kami untuk membersihkan diri. Kegiatan hari itu ditutup dengan barbeqiu. Bakar-bakar ikan dan cumi sebagai cemilan malam. Ikannya besra-besar dan rasanya mantap. Kenyang, kami bersiap untuk istirahat. Gerimis tipis-tipis mengantar kami ke peraduan.


JEMBATAN CINTA

Hari kedua, awan terlihat gelap. Kami kembali keluar bersepeda, menuju pantai. Kegiatan utamanya jalan-jalan ke Jembatan Cinta. Entahlah, mengapa disebut begitu. Mitosnya, yang berhasil melewati Jembatan Cinta, hubungan kekasih akan langgeng. Tentu saja ini tidak boleh dipercaya. Bagi saya, yang benar adalah, di sini bisa pose-pose romantis hehe ...

PINK: Jembatan Cinta. Foto: Asri.


Di sini kita akan menyusuri jembatan yang membentang di atas laut, yang menghubungkan satu pulau ke pulau lainnya. Jembatan itu dipagari besi penopang yang dicat pink. Ada satu tanjakan, plus berbelok dua kali untuk menyusuri keseluruhan jembatan. Di puncak tanjakan, anak-anak pantai asyik melompat ke laut yang tingginya mencapai lebih kurang 10 meter. Hebat sekali. Berani.
Nah, di salah satu saung pemberhentian, tak jauh dari belokan kedua, tertanam prasasti berjudul “Zona Kematangan Cinta”. Bunyinya: Cinta sejati membuat hari berlalu tanpa terasa dengan cepat. Memandang jauh ke Jembatan Cinta di mana kisah itu dimulai dalam balutan rasa suka. Karunia cinta melengkapi perjalanan hati dan rasa.


Karena tidak berniat ke pulau sebelah, dan langit kian gelap, kami berbalik arah. Kembali menyusuri Jembatan Cinta menuju pantai. Di sana ada dua ayunan yang bersentuhan dengan air. Anak-anak harusnya bisa kembali bermain basah-basahan. Masih ada baju ganti. Sayangnya, gerimis mulai turun. Kami berhamburan kembali ke tempat parkir sepeda mengamankan diri. Gagal deh, mau puas-puasin bermain pasir.

GERIMIS: Pose basah di ayunan. Foto: Tata.

Setelah itu kami lebih banyak menunggu di penginapan, sementara bapak-bapak salat Jumat. Rencana ingin berkeliling pulau untuk mencari oleh-oleh alias belanja juga tidak kesampaian. Ya, tidak lengkap jalan-jalan tanpa buah tangan. Sayangnya, di sini belum ada kawasan khusus pusat oleh-oleh. Hanya warung atau toko-toko kecil yang tersebar di antara rumah-rumah penduduk saja. Ada yang jual baju, kerajinan dari kerang dan ikan asin. Itupun jumlahnya tidak banyak.
Nah, berhubung habis Jumatan kapal sudah menunggu, jadilah membeli oleh-oleh seadanya di pelabuhan. Ikan asin, manisan rumput laut dan kerupuk udang. Beruntung, sewaktu kembali ke Jakarta, perjalanan naik kapal tidak sehoror saat berangkat. Laut tenang. Ombak stabil. Tidak ada yang mabuk sampai di Pelabuhan Kali Adem.


Walhasil, yang terekam adalah liburan yang menyenangkan. Kalau ada rezeki, mudah-mudahan bisa kembali lagi ke sini. Kalau bisa bersama keluarga besar yang lain. Bukan karena percaya dengan mitos Jembatan Cinta, tetapi bepergian bersama adalah salah satu cara mematangkan cinta dan persaudaraan. Tentunya dengan satu syarat, seluruh anggota keluarga bisa bersepeda hehe ... (*)

Bogor 30 Januari 2020

Keteguhan Istri Ditinggal Suami



Siyono digelandang Densus 88 dalam keadaan hidup, lalu dipulangkan dalam keadaan tak bernyawa. Tiba-tiba saja Suratmi, istrinya, harus menanggung hidup 5 anak-anaknya. Maka, dua gepok uang bernilai Rp200 juta jelas sangat menggoda iman.

Namun Suratmi sedikitpun tidak tergiur. Ia adalah sosok istri keluarga Islam yang teguh dan loyal terhadap Allah SWT. Berbekal istikharah, ia menolak mentah-mentah segala bujuk rayu agar meneken surat pernyataan berisi: menerima kondisi jenazah suami; tidak akan melakukan penuntutan pada Densus 88, tidak akan mengautopsi jenazah suami, dan mnerima uang kerahiman.

Ia lebih memilih tetap mencari keadilan atas kematian suaminya. Bahkan, sekalipun intimidasi dan ancaman bertubi-tubi, tak menyurutkan langkahnya. Saat tersiar rumors ia akan diusir dari kampungnya, Suratmi berkata tegas “Bumi Allah itu luas. Saya siap tinggal di manapun.”

Potret Miris Keluarga Metropolis



Siapa yang tak kenal Marshanda. Ketika papanya ditangkap Dinas Sosial beberapa waktu lalu, semua keheranan. Beruntung kini sang papa dan anak sudah berkumpul kembali bersama keluarganya. Fakta miris itu adalah bagian buruk dari potret keluarga metropolis masa kini. Keluarga modern serba sibuk yang rentan tercerai berai.



Keluarga Ideologis Gemar Bersedekah



Sedekah adalah perintah Allah SWT yang banyak keutamaannya. Sudah selayaknya keluarga muslim gemar bersedekah. Namun di zaman saat peradaban didominasi oleh ideologi sekuler saat ini, tampaknya bersedekah pun perlu strategi. Pasalnya, ada yang memanfaatkan kedermawanan umat Islam untuk menyuburkan pengemis. Maka, anjuran untuk tidak memberi pada pengemis jalanan ada benarnya.

Selain itu, ada juga yang meminta sumbangan untuk memperkaya diri. Bahkan untuk kegiatan misionaris, jika umat muslim tidak kritis mempertanyakan peruntukannya. Meski sedekah memang tidak perlu diungkit-ungkit demi menjaga keikhlasannya, ada baiknya kita tahu benar ke mana sedekah itu disalurkan, bukan?

Yang jelas, prinsip sedekah adalah memberikan sebagian harta kita pada mereka yang membutuhkan. Jika memberi pada orang yang mampu, itu namanya hadiah. Tetapi, sedekah atau hadiah, dengan niat menyalurkan sebagian rezeki kita, dua-duanya dianjurkan. Nah, orang-orang di sekitar kita inilah yang bisa dijadikan prioritas dalam menyalurkan sebagian harta kita:

Menyudahi Pengemis Abadi



Siapa yang tidak trenyuh melihat seorang ibu lusuh menggendong bayi polos itu menadahkan tangan. Meminta belas kasihan di perempatan lampu merah. Ibu-ibu pun segera iba dan mengulurkan recehan. Ikhlas lillaahi ta'ala.
Tak ada yang menyangka, rumors bahwa mereka adalah sindikat ternyata benar adanya. Penampilan memelas itu telah menipu para dermawan. Menggendong bayi penarik simpati, padahal hanyalah umpan. Bayi tak berdosa itu adalah korban eksploitasi.
Seperti diungkap Polres Metro Jakarta Selatan. Sepasang kekasih, ER (17) dan S (18) ditangkap karena mengekploitasi anak di bawah umur untuk menjadi pengemis. Satu bayi disewakan Rp200 ribu (Jawapos, 25/3/17).
Ironisnya, salah satu korban, bayi 6 bulan bernama Bon-bon itu, diberi obat penenang Clonazepam agar tidak rewel saat mengemis. Polisi juga menemukan 20 anak yang diduga menjadi korban tindak kejahatan. Bahkan salah satu korban mengaku punya empat saudara, dua diantaranya dijual ke luar kota, yaitu Klaten dan Malang (Jawapos, idem). 

Tips Belanja Sekaligus Peduli


Kebutuhan ibu rumah tangga yang tiada habis setiap harinya, harus dicukupi dengan belanja. Saat ini uslub belanja ibu-ibu sangat beragam, disebabkan berkembangnya jenis pasar. Nah, berikut tips dan trik belanja sesuai lokasinya:

1. Pedagang Keliling

Ada yang dipikul, pakai gerobak dorongan, sepeda pancal dan sepeda motor. Ada pemuda, ibu-ibu, hingga kakek-kakek yang berjualan. Ada yang jual ubi, sayuran, buah-buahan, perabot rumah tangga seperti sapu lidi, dll.
Mari cukupi kebutuhan rumah dari para pedagang keliling ini. Jadikan langganan. Bilang supaya besok datang lagi. Mereka adalah pekerja keras yang mencoba mengais rezeki setiap hari dengan cara halal.
Kalau perlu, tidak perlu menawar. Atau jika menawar, jangan sadis. Rupiah yang kita keluarkan sangat berarti bagi berputarnya roda kehidupan mereka. Untuk menghidupi satu keluarga. Jadi, ada misi kepedulian sosial di sana.