Kemerdekaan Hakiki Perempuan



Agustus identik dengan perayaan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Indonesia. Tahun ini sudah ke 70. Lantas, sudahkah kita benar-benar merdeka? Pertanyaan klise yang tiap tahun dijawab: belum. Dalam skala negara, tampaknya kemerdekaan hanya sebatas di atas kertas. Secara de facto, negara kita masih dijajah ideologi sekuler-kapitalis. Secara politik masih dipengaruhi kebijakan negara adidaya pengemban utama Ideologi ini. Pemimpin negeri ini belum mandiri.
Ilustrasi. Foto: Tsabita. Lokasi: Sentul.
Bagaimana dengan kemerdekaan secara individu? Bung Hatta pernah berujar: “kemerdekaan kita bukan hanya merdekanya sebuah bangsa dari penjajahan, tetapi juga merdekanya setiap individu warga negara dari segala macam penindasan dan penghisapan.”

Hm, tampaknya kemerdekaan individual pun jauh dari kenyataan. Rakyat kebanyakan masih merasakan penindasan dan penghisapan tersebut. Masih dijajah pengangguran, kemiskinan, kebodohan, buta-huruf, hukum yang tidak adil, pajak yang mencekik, dan seterusnya.

Tak terkecuali perempuan. Memang, tampaknya perempuan saat ini begitu “merdeka” dibanding 10, 20 atau 30 tahun lalu. Bisa sekolah setinggi-tingginya. Berkiprah di mana-mana. Bebas berekspresi. Travelling ke mana dia suka. Gampang minta cerai dan seterusnya. Tapi, benahkah ini kemerdekaan mereka? 

Mewujudkan Lingkungan Ramah Anak



Diperingati tiap 23 Juli, Hari Anak Nasional tahun ini baru dirayakan 11 Agustus lalu di Istana Bogor.
Temanya "Wujudkan Lingkungan dan Keluarga Ramah Anak". Lingkungan yang dimaksud, tentu bukan hanya rumah, tetangga dan sekolah. Tapi juga sistem, yakni kebijakan dan aturan negara. Kelihatannya menunggu sistem yang ramah anak masih lama terwujud, mari kita mulai dari rumah, tetangga/lingkungan pergaulan dan sekolah. 

1. Rumah

Menciptakan rumah ramah anak berarti membuat rumah itu nyaman, bikin betah, dinamis dan mampu melejitkan potensi anak. Kondisi fisik rumah memungkinkan anak memiliki keleluasaan dalam beraktivitas. Tidak meletakkan barang-barang yang membahayakan anak di sembarang tempat, semisal benda pecah belah. Segera memperbaiki fasilitas yang rusak, agar tidak membahayakan anak. Seperti kabel yang terbuka, pintu lemari yang terancam lepas, atap yang bocor, dll. 

Agar Anak Semangat Kembali ke Sekolah



Pekan ini ibu-ibu kembali pada kesibukan rutin: menyiapkan anak sekolah. Bagi yang anaknya baru jadi pelajar atau naik ke level lebih tinggi, lebih sibuk lagi. Bukan hanya persiapan fisik, juga mental anak-anak.
Ilustrasi. Foto: Asri.
Butuh kesabaran ekstra, karena biasanya kesibukan pagi menjelang anak berangkat sekolah ibarat deadline yang menciptakan tekanan stres tersendiri. Apalagi jika anak lelet, ogah-ogahan dan membangkang.
Ya, tak sedikit anak-anak yang masih malu, takut dan gamang menginjakkan kaki di kelas baru. Bertemu dengan teman baru, guru baru dan suasana baru tak selalu menyenangkan. Apalagi bagi anak yang sulit bergaul, kurang percaya diri dan tak mudah beradaptasi. Butuh perhatian ekstra memang.
Tak hanya itu, libur yang lama kadang juga membuat anak-anak malas kembali kepada rutinitas sekolah. Nah, bagaimana agar anak-anak kembali semangat bersekolah? Beberapa tips berikut bisa dicoba:


Merombak Sistem MOS


Masa Orientasi Siswa (MOS) tiap tahun pasti memakan korban. Tak tanggung-tanggung, nyawa taruhannya. Memang tidak tewas di sekolah, tapi diduga karena kelelahan mengikuti MOS.
Contoh sistem perkenalan sekolah
di SIT Insantama.
Foto: SIT Insantama.

Seperti kita tahu, aktivitas MOS biasanya padat dengan kegiatan. Seperti “dijemur” di lapangan, aktivitas fisik dan seabrek kegiatan yang bikin capek di sekolah. Apalagi jika terkena hukuman, seperti skot jump atau push up. Belum lagi tugas-tugas nyeleneh yang kerap menyertai MOS. Seperti menyediakan pernak-pernak neko-neko yang aneh-aneh, mengerjakan tugas yang nggak masuk akal sepulang MOS yang harus dibawa esok harinya. Pontang-panting menyelesaikan tugas itu tak urung membuat para peserta MOS capek fisik. Belum lagi capek mental karena tekanan para senior.