Cari Inspirasi dari Artis

* Seri Catatan Harian Bunda


Indonesia pasti kenal yang namanya Pegy Melati Sukma. Artis multitalenta yang ngetop di era 90-an itu kini sudah menjadi daiyah. Saya berkesempatan menghadiri ceramahnya saat dia datang ke Bogor, Sabtu (18/10/2014) lalu.

Acara di Masjid Balaikota Bogor itu bertajuk Inspirasi Keliling Negeri yang diadakan oleh komunitas Akhwat Bergerak dan Aksi Cepat Tanggap (ACT). Selain ceramah Mbak Pegy (enaknya pakai Mbak nggak ya, kalau nulis berita biasa sebut nama doang hehe...), juga penggalangan dana untuk membantu muslim Gaza-Palestina.

Mbak Pegy bersama timnya sedang keliling Indonesia. Setahun targetnya 50 kota. Masya Allah, modal 'mantan artis' dengan nama tenar memang jaminan ya, langsung punya jam terbang tinggi meski sudah alih profesi (eh, dakwah bukan profesi ya, aktivitas maksudnya).

Bogor kota ke 16 yang didatanginya. Saya tahu acara itu dari twitter. Kenapa saya tertarik datang? Emangnya (dulu) fans-nya Mbak Pegy? Saya memang punya gambar Pegy di rumah, berupa stiker yang menempel di mesin cuci merek Denpoo. Tapi itu dulu, sekarang si Denpoo sudah pensiun. Jadi, bukan itu alasannya hehe...

Begini ceritanya. Sebenarnya hari itu saya ada pilihan acara lain, yakni Halaqoh Islam dan Peradaban (HIP) di PPIB Masjid Raya, Bogor. Namun, karena saya juga ada acara di Majelis Taklim Qurota Ayun tak jauh dari rumah jam 11 siang, saya tidak jadi ke HIP. 

Pertimbangannya, dari Masjid Balaikota saya bisa lebih cepat sampai MT Qurota Ayun dibanding dari lokasi HIP. Alasan lain lagi, dari Balaikota saya bisa menyeberang sebentar ke depan Istana Bogor untuk menyenangkan anak-anak –tiga bocil ikut semua-- sekadar memberi makan rusa. Sekadar menghilangkan kepenatan anak-anak setelah sepekan sekolah dan hanya di rumah saja.

Alasan lain, saya punya “misi” ingin berkenalan dan berbincang dengan Mbak Pegy. Sebab, dulu pernah ada yang menelepon saya meminta untuk menjadi kontributor sebuah majalah Islam yang  akan diakuisisi Mbak Pegy, tapi terus tidak ada kelanjutannya.

Nah, saya ingin memanfaatkan moment itu untuk memberikan dua buah buku saya "The True Hijab" (antologi bersama teman-teman di grup Belajar Nulis, Mozaik, 2013) dan "Warna-warni Muslimah" (karya Kholda Naajiyah, Al-Azhar Press, 2014). Niatnya, supaya Mbak Pegy sempat membaca dan menambah perspektifnya tentang Islam.

Akhirnya, sampai di masjid Balaikota. Saya membayangkan masjid akan penuh karena pembicaranya mantan artis terkenal. Ternyata tidak. Jamaah yang hadir tak sampai separuh masjid. Bahkan kelewat sedikit. Mbak Pegy pun sempat berujar: “Jamaah di Bogor yang datang ini pilihan ya, sudah diseleksi oleh Allah, biasanya di kota lain bisa sampai 500 orang,” katanya.

Nah, saat baru duduk di masjid, saya mendapat SMS dari seorang ustazah, tidak perlu ke MT Qurota Ayun. Alhamdulillah, berarti saya punya waktu cukup untuk mengikuti acara ini sampai selesai. Sungguh kemudahan dari Allah SWT untuk memperlancar misi saya.

Ditambah lagi, dengan jumlah audiens yang tidak banyak, membuat suasana terasa nyaman. Anak-anak masih bisa bebas mengekplorasi diri tanpa mengganggu jamaah lain. Suasana sungguh adem, sampai si bocil tidur semua. Jadi saya bisa menyimak acara dengan baik.

Saya ingin menyerap teknik retorika pembicara, selain ingin tahu juga dengan konten yang disampaikan. Awalnya saya pikir hanya akan bercerita tentang kisah 'hijrah'-nya Mba Pegy sampai bisa fokus ke dakwah. Ternyata ada banyak juga inspirasi yang saya dapat.

Nah, untuk yang penasaran dengan kisah Mbak Pegy, saya ceritakan sedikit ya (yang banyak ada di bukunya, tapi saya juga tidak beli hehe...). Ini ringkasnya yang saya ingat saja.

Pegy bercerita, mengawali karir artis saat usia 14 tahun. Selama 10 tahun kemudian, dia baru punya kesempatan go international, dalam arti bisa tampil di luar negeri. Seperti di Amerika, Rusia, dll. Total menjadi artis selama 23 tahun. Selama itu, ia sangat sulit tergerak untuk sekadar umrah ke tanah suci. “Bahkan sampai teman dari travel ngasih diskonpun, saya tidak berangkat karena agenda yang sangat padat,” kata artis multitalenta itu.

Ya, selain pemain sinetron, ia juga main teater, model catwalk, presenter, syuting iklan, dll. Penghasilannya, jangan ditanya. Miliaran. Uang bukan masalah. Namun, suatu titik, ia mendapat ujian bertubi-tubi. Mulai ujian berupa suami, kerabat atau teman dekat yang mengkhianatinya, perusahaannya --tempat ia menginvestasikan uangnya-- bangkrut, hingga penyakit berat yang membuatnya tidak bisa berbuat apa-apa. “Muka saya ini sudah penuh suntikan di mana-mana. Semua ujian itu bersamaan, tidak silih berganti. Dua setengah tahun lamanya ujian itu,” ujarnya.

Itulah titik balik yang membuatnya 'hijrah'. Sampai awal tahun 2014 ini, ia pun bertekad mengabdikan diri untuk dakwah. Ia lalu dikenal sebagai inspirator hijrah. “Saat itu tawaran sinetron dan dunia artis lainnya masih banyak, tapi saya uji diri saya, bisa nggak saya menolaknya,” kata Pegy.

April lalu, dia sama sekali sudah tidak mau main sinetron. Sejak itu, ia merasakan banyak keajaiban dari Allah SWT. “Saya jadi artis butuh 10 tahun baru bisa tampil di luar negeri, dakwah, baru enam bulan sudah diundang ke Amerika, Hongkong,” katanya.

Karena itu, ia mengajak audiens untuk tidak ragu berhijrah. “Kalau mau hijrah, segera realisasikan, Allah pasti sudah menyiapkan jalan lainnya sebagai solusi,” kata Pegy menjawab pertanyaan seorang akhwat yang ingin keluar dari pekerjaannya sebagai pegawai di bank konvensional.

Lalu Pegy juga mengajak audiens bersedekah untuk membantu warga Gaza. Luar biasa, hanya sebentar dapat Rp10 juta dari audiens. Menurutnya, tabungan yang hakiki itu ya sedekah, karena itu tabungan untuk kehidupan di akhirat. “Siapa bilang kita itu mati, yang mati kan jasadnya saja, masih ada kehidupan sesudah dunia, kita nabungnya untuk akhirat, jangan nabung di bank,” ujarnya.

Nah, itulah sebagian isi ceramahnya. Habis itu, ada sesi pembagian doorprize. Wah, saya termasuk yang beruntung mendapat sebuah buku (sayangnya bukan buku Mbak Pegy hehe...ngarep.com). Saya “kehilangan” dua buku, eh, dapat satu buku penggantinya. Itulah rencana indah Allah SWT hari itu.(*)

Bogor, 28 Oktober 2014 
Mbak Pegy sedang memberi tausiyah di hadapan audiens, di Masjid Balaikota Bogor. Foto by Asri.





Pacaran Bikin Sakit


Oleh Asri Supatmiati

Pacaran sehat? Ngawur apa ngelindur tuh! Masak iya pacaran sampai dibahas di buku ajar segala? Di buku Pendidikan Kesehatan Jasmani kelas XI lagi. Emang pacaran itu salah satu cabang olahraga? Emang pacaran bisa bikin sehat jasmani dan rohani, gitu?
Di buku itu dijelaskan tentang pacaran sehat. Intinya, sehat fisik, berarti jangan ada kekerasan dalam pacaran. Sehat emosional, yakni hubungan terjalin dengan baik dan nyaman. Sehat sosial, artinya pacaran tidak mengikat, dimana hubungan dengan yang lain tetap terjaga. Sehat seksual berarti harus saling menjaga dengan tidak melakukan hal-hal yang berisiko.
Na’uzubillah min zalik. Ini buku pelajaran anak sekolah kok malah mengajarkan pacaran. Seumur-umur baru kali ini pacaran dijadikan kurikulum di bangku sekolah. Seolah pelajaran pacaran itu maha penting yang harus dipahami dan diaplikasikan para siswa.
Gaya Liberal
Pacaran adalah ciri khas gaya hidup bebas yang bersumber dari ideologi sekuler. Itu loh, ideologi yang memisahkan agama dari kehidupan. Dalam pandangan ideologi ini, manusia diciptakan dengan naluri seksual yang harus senantiasa dipuaskan. Pokoknya kalo syahwat itu muncul, kudu dilampiaskan sampai puas, karena kalo nggak bisa bikin koit. Begitu paham mereka.
Nah, pacaran menjadi salah satu pintu pemuasan naluri seksual itu. Gimana nggak, sepasang muda-mudi yang pacaran udah pasti aktivitasnya didominasi syahwat. Pandang-pandangan dengan perasaan deg-deg serr. Pegang-pegangan disertai rasa cenat-cenut kayak kesetrum. Berangkulan, berpelukan dan seterusnya (stt…nggak usah dibayangi apalagi dilakukan ya, bahaya kalau dilanjutkan).
Itulah fakta yang namanya pacaran. Hampir semua aktivis pacaran melakukan itu. Kalo nggak, namanya bukan pacaran dong. Mana puas cowok pacaran dengan cewek yang nggak bisa “diapa-apain”. Mana mau cewek pacaran sama cowok yang “nganggurin” dia.
Jadi, faktanya, pacaran itu selalu mengundang hadirnya syahwat. Bohong itu pacaran sehat. Selamanya pacaran itu nggak bisa dibikin sehat. Apalagi diajarkan di sekolah supaya bikin sehat. Masak aktivitas bahaya gitu dibilang sehat? Pacaran itu bukannya bikin sehat, justru bikin sakit. Jiwa raga. Lahir batin. Jasmani rohani. Dunia akhirat.
Memicu Penyakit
Pacaran nggak bakal bisa bikin sehat fisik. Faktanya, ada fenomena kekerasan dalam pacaran (KDP), baik kekerasan verbal maupun fisik. Pacar juga manusia, sering banget khilaf. Kalo udah emosi, kasarnya ketahuan. Kebun binatang keluar dari lisannya, ayunan tangannya juga ringan bak algojo yang tanpa beban mengeksekusi seorang pesakitan.
Konon, angka KDP ini ibarat fenomena gunung es, karena tidak banyak pacar yang merasa perlu melaporkan KDP pada pihak berwenang. Misalnya ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Komnas Perempuan, Komnas HAM atau polisi. Kenapa? Karena, kadang sang pacar punya rasa percaya diri yang sangat rendah. Merasa layak diperlakukan kasar oleh pasangannya, karena merasa tidak terlalu cantik, punya banyak kekurangan, dll. Duh! Sudah pacar kasar, masih juga dimaklumi!
Pacaran juga gak bakal bikin sehat seksual. Aktivitas pacaran itu sendiri penuh risiko. Pas pacaran, kalo dua-duanya saling “kesetrum”, trus nggak lanjut pada hubungan seksual, pasti bakal sakit hati. Bikin resah bin gelisah. Galau tingkat tinggi. Makanya, fakta membuktikan, banyak aktivis pacaran yang akhirnya berzina. Tanggung, kalau nggak sampai dipuaskan, sakitnya tuh di ubun-ubun. Gelisah tingkat tinggi.
Sebab, naluri seksual itu memang fitrahnya begitu. Kalau dia dibangkitkan dari ‘tidurnya’, menuntut pemuasan. Kalau nggak dipuaskan akan bikin hati nggak tenteram. Tapi, nggak bakal bikin mati sih, hanya gelisah saja. Itu fakta sebenarnya. Makanya, kalo nggak mau galau, ya jangan pacaran.
Pacaran juga nggak bikin sehat sosial. Udah pasti namanya pacar itu posesif. Nggak bakal bebas berinteraksi dengan yang lain karena terikat dengan sang pacar. Nanti dicemburui atau dianggap selingkuh. Nah, kalo udah ada KDP, nggak sehat seksual, nggak sehat sosial, gimana hubungan bisa sehat emosional? Mustahil.
Yang ada pacaran itu bikin sakit jiwa. Misalnya ketika terjadi pertengkaran hebat dengan sang pacar. Pasti keluar tuh cacian dan makian. Kadang mengungkit-ungkit segala hal yang udah diberikan pacar. Apalagi kalo kemudian putus dengan cara tidak baik. Sakitnya tuh di sini (nunjuk dada). Luka hati lama penyembuhannya. Banyak yang susah move on gara-gara diputus pacar. Bahkan ada yang sampai gila dan bunuh diri segala.
Lebih dari itu, pacaran juga memicu penyakit hati lainnya. Cewek kalo punya pacar, duh, bangganya selangit. Sok merasa cewek paling laku sedunia. Bibit-bibit sombong bin takabur tuh! Cowok juga begitu. Kalo sukses naklukin cewek, belagunya nggak ketulungan. Merasa cowok paling ganteng sedunia. Laku men! Dosa, kan takabur.
Makanya, jangan percaya namanya pacaran sehat. Apalagi bagi muslim, nggak ada istilah pacaran dalam Alquran dan Hadits. Haram hukumnya pacaran, karena dalam Islam nggak boleh kholwat (dua-duaan dengan lawan jenis yang bukan mahromnya). Yang pasti-pasti aja deh, kalo mau sehat, jangan pacaran!(*)
* Tulisan ini tayang di Majalah D'Rise

Ready Now...

Judul: Warna-warni Muslimah, 33 Suplemen Ideologis Menjawab Masalah Kekinian
Penulis: Kholda Naajiyah
Penyunting: M Iwan Januar
Penerbit: Al-Azhar Fresh Zone Publishing
Cetakan I: Agustus 2014
Tebal: 232 halaman
Harga: 43 ribu
Order: 08111157525
ISBN: 978-602-7986-22-0




Devisit Politisi Perempuan



Politikus muslimah yang berkualitas hanya akan lahir dari sistem Islam

Pesta demokrasi masih 2014. Tapi, partai-partai politik sudah sibuk gerilya mencari calon-calon kandidat unggulan. Termasuk yang sedang diburu adalah politisi perempuan. Kalau sekadar mengandalkan jenis kelamin, banyak perempuan yang rela jadi ¨kembang gula¨ parpol. Buktinya artis-artis perempuan pun jadi rebutan.

Masalahnya, sulit menemukan politisi perempuan berkualitas. Perempuan yang ambisius kekuasaan atau minimal melek politik. Ini dikeluhkan hampir semua parpol. Kuota 30 persen yang dulu ngotot diminta kaum perempuan, nyatanya tak berbanding lurus dengan upaya kaum hawa itu sendiri untuk melek politik.

Mulai di daerah hingga pusat, parpol mengaku sulit mencari sosok politikus perempuan. Wawasan politik para perempuan anggota dewan seperti di Bone, Pamekasan, Bengkulu, Bengkalis (Riau), Cilegon hingga Jakarta (anggota DPR RI), bahkan masih diragukan. Di antara alasan yang muncul karena mereka tidak siap berkarier di dunia politik.

ABSEN PEMBINAAN
Devisit perempuan yang melek politik, tak lepas dari melempemnya fungsi kaderisasi parpol. Meski jumlahnya semakin banyak, parpol-parpol itu mengalami disfungsi. Mereka hanya menggeliat menjelang perhelatan politik, seperti pilkada atau pemilu.

Tugas parpol berupa pembinaan dan pengkaderan hampir jalan di tempat. Para aktivis parpol hanya bergabung berdasar formulir dan daftar absen. Sementara proses pemahaman dan penularan filosofi politik tidak terjadi.

Terlebih saat ini, politik hanya identik dengan upaya meraih kekuasaan yang penuh intrik. Ini bukan dunia perempuan. Sejak lama, perempuan bukan makhluk yang ambisius kursi jabatan. Nalurinya yang halus menjadikannya sebagai sosok keibuan. Fitrahnya adalah menciptakan kedamaian, sebuah paradigma yang bertentangan dengan politik ala sekuler-kapitalis.

Walhasil tak banyak perempuan yang mau melirik politik. Baru belakangan ini saja perempuan mulai mengakses dunia yang dulu hanya identik dengan lelaki itu. Itupun lebih karena gengsi atau iming-iming materialistis yang menggiurkan dibanding kesadaran sebuah pengabdian.

Terbukti, ketidakpahaman perempuan dalam berpolitik praktis saat ini, telah menjerumuskan mereka pada lubang nista. Anggota DPR Wa Ode Nurhayati atau Angelina Sondakh contohnya. Mereka terpaksa meninggalkan kewajiban utamanya sebagai ibu gara-gara permainan kotor di lembaga legislatif itu.

Kalau begitu, apakah perempuan ¨haram¨ berpolitik? Justru sebaliknya, perempuan wajib melek politik. Politik dalam makna sesungguhnya, yakni berkenaan dengan pemahaman akan bagaimana tatacara melayani dan mengurusi umat.

Ya, perempuan harus paham, bagaimana seharusnya umat diatur. Perempuan wajib cerdas dan kritis terhadap kebijakan dan isu yang berkembang di masyarakat. Perempuan wajib ikut memikirkan umat. Tak harus duduk di kursi jabatan, kiprah politik perempuan berupa upaya pencerdasan kaumnya.


PARPOL SEJATI
Perempuan bisa melek politik jika ia bergabung dalam partai politik sejati yang bukan sekadar haus kekuasaan, tapi menjalankan tugas pembinaan pada anggotanya. Partai politik yang shohih adalah partai politik berideologi Islam.

Ia bertugas mencerdaskan anggotanya dan masyarakat secara umum tentang tatacara pengurusan umat. Perempuan harus ikut proses tatsqif (pembinaan) untuk menjadi kader berkepribadian Islam, cerdas, kritis dan paham berbagai cara pengurusan umat.

Dalam kitab Pembentukan Partai Politik Islam, Syaikh Taqiyuddin menyebut, individu partai tidak boleh sekadar yang bersemangat dan siap bergerak, namun juga padat dengan tsaqofah. Di sanalah terjadi proses penancapan tsaqofah, termasuk proses ricek aktivitas kesehariannya sebagai miniatur Islam. Dengan begitu lahirlah sosok politisi yang siap melayani urusan umat sekaligus sebagai teladan bagi umat.

Tidak seperti sekarang, kehadiran perempuan dalam parpol sebatas kuantitas, tanpa memperhatikan kualitas. Akibat buta politik, kontribusi mereka dalam memperjuangkan umat, khususnya kaum perempuan pun hanya fatamorgana.

TELADAN POLITISI MUSLIMAH
Sejarah Islam mencatat lahirnya politikus-politikus muslimah andal. Dimulai oleh para shahabiyah di masa Rasulullah SAW. Peran mereka tak sebatas dapur, sumur dan kasur. Mereka adalah pendidik umat, berdakwah mencerdaskan kaumnya, sekaligus menghasilkan para generasi terbaik.

Asma binti Abu Bakar mendapat gelar sebagai Zatun Naqatain (perempuan dengan dua ikat pinggang), karena kecerdikannya mengelabui para mafia Quraisy. Berkat jasanya Rasulullah SAW selamat saat hijrah ke Madinah.

Shabiyah yang lain adalah Khansa yang mendapat gelar ibu dari para syuhada. Bagaimana tidak, empat anaknya dipersembahkan untuk jihad hingga menemui syahid dengan penuh keikhlasan. Sungguh teladan perempuan berhati seluas samudera.

Selanjutnya pada era kekhilafahan, para politikus muslimah memiliki kontribusi besar dalam turut serta membangun peradaban. Abad ke-15, seorang Muhammad al-Fatih takkan pernah lahir sebagai penakluk Konstantinopel jika tak memiliki seorang ibu yang militan, Huma Hatun.

Siti Zubaidah, istri Khalifah Harun Ar-Rasyid, karya jeniusnya dikenang sepanjang sejarah. Peninggalannya berupa mata air Ain Zubaidah alias Mata Air Zubaidah di wadi Nu’man, Arab Saudi, masih dirasakan manfaatnya hingga kini, khususnya oleh para jamaah haji.

TULUS MENGABDI
Potret perempuan politikus yang berkualitas hanya akan lahir dari sistem Islam. Mereka adalah perempuan yang berambisi turut serta memikirkan kepentingan umat tanpa pamrih. Tidak mengejar kursi jabatan, bukan pula ketenaran, melainkan pengabdian tulus demi menggapai ridho Allah SWT.(kholda naajiyah)

Ibu-ibu peserta daurah ibu-anak di Tanah Baru, Bogor. Foto by Asri Supatmiati.