Menjadi Orangtua Tunggal

Oleh Kholda Naajiyah

Istilah single parent sebelumnya kita kenal di kalangan tertentu saja. Namun, hal itu kini banyak disandang oleh para pengemban dakwah. Ya, kenyataan hidup memang tak seindah impian. Tak jarang keluarga pengemban dakwah harus menghadapi kenyataan pahit berupa kehilangan pasangan hidup untuk selamanya. Terpaksa menjadi ibu tunggal atau ayah tunggal yang harus merawat anak-anak.
Bagaimana halnya dengan faktor perceraian? Rupanya, hal inipun melanda keluarga pengemban dakwah. Ada pasangan-pasangan yang bercerai disebabkan banyak hal. Yah, tak dipungkiri, pengemban dakwah juga manusia. Ada sisi-sisi khilaf yang menyebabkan ikatan rumah tangga akhirnya bubar. Kenyataan pahit ini tentu tak diharapkan. Apalagi bagi keluarga ideologis, inginnya membangun keluarga yang utuh dan lengkap, sekali seumur hidup. Namun, jika kenyataan itu menghampiri, tak perlu terus menerus larut dalam kesedihan. Berikut beberapa tips yang diharapkan bisa meringankan beban sebagai orangtua tunggal.

Kembali Mandiri
Cobalah kembali mengenali diri, apakah kita selama ini sangat tergantung pada pasangan? Jika iya, saatnya mengembalikan kemandirian diri. Terimalah kenyataan, kini Anda harus melakukan banyak hal sendiri. Bersabarlah. Bukankah sebelum menikahpun kita dulu melakukannya sendiri? Memang, dulu belum ada anak-anak, sehingga ringan. Tapi yakinlah, Allah SWT tidak akan menguji di luar kemampuan kita. Pasti ada jalan. Jika toh butuh bantuan, jangan segan-segan meminta pada keluarga, teman atau tetangga. Lalu, sempatkan waktu untuk memanjakan diri, menghimpun kembali semangat dan energi. Bukan untuk merenungi nasib, tapi menjalani kesenangan, hobi atau perawatan diri. Misalnya lakukan saat anak-anak tertidur sehingga kita bisa rileks.

Masalah Keuangan
Bagi ayah tunggal, tidak masalah karena memang sedari awal ia bekerja. Bagi ibu tunggal, ini problem. Jika mantan suami –karena cerai-- berlepas diri dari menafkahi anak-anaknya, atau karena suami meninggal, berarti ibu harus mencari cara mendapatkan sumber nafkah. Tentunya jika memang harus bekerja, pilihlah yang tetap kondusif dengan tugas mengurus rumah dan anak-anak. Pilihan tepat adalah berbisnis atau berkarya dari rumah. Tak perlu gengsi berjualan misalnya, toh saat ini banyak uslubnya. Kalau malu door to door ala sales, bisa jualan online. Tak punya modal, bisa menjualkan produk orang lain. Atau, manfaatkan potensi dan kemampuan terpendam kita. Seperti memanfaatkan modal kemampuan Bahasa Arab atau Bahasa Inggris untuk menjadi pengajar atau penerjemah. Sementara itu, jangan gengsi menerima bantuan keluarga besar, baik orangtua, kerabat atau pihak mertua. Memang sudah selazimnyalah demikian.

Fokus pada Anak-anak
Jadilah teladan ketegaran di mata anak-anak. Tunjukkan bahwa Anda kuat dan mampu melewati masa sulit ini. Fokus pada masa depan anak-anak akan membuat Anda bangkit. Bila anak-anak melihat orangtuanya kuat, penuh semangat dan bahagia, mereka pun akan tumbuh menjadi anak-anak yang ceria. Jangan sungkan menunjukkan rasa sayang dan perhatian pada anak-anak. Mereka perlu tahu bahwa mereka penting bagi kita dan kita membutuhkan mereka sama seperti mereka membutuhkan kita. Besarkan hati anak-anak bahwa tanpa pasangan Anda, mereka tetap bisa mengejar impiannya. Mereka harus tahu bahwa kita selalu ada untuk mereka. Teruslah mendampingi anak-anak sehingga mereka merasa nyaman dan percaya diri.

Figur Pengganti Sementara
Ingan, Anda tak bisa selamanya menjalani fungsi sebagai ayah dan ibu bagi anak-anak. Nah, sesekali biarkan anak-anak melepaskan kerinduannya pada figur orangtuanya yang telah hilang. Bukan berarti harus segera mencari pasangan hidup baru untuk melengkapi keluarga, tapi kita bisa mendapatkan figur yang hilang tersebut dari anggota keluarga lain. Misal, jika anak-anak kehilangan figur ayahnya, kita bisa meminta ayah, kakak, adik atau paman kita untuk sesekali menemani anak-anak melakukan kegiatan yang biasanya dilakukan bersama ayahnya.

Manajemen Waktu
Atur waktu dalam aktivitas dengan lebih ketat dan disiplin. Jika perlu, buat jadwal untuk diri sendiri dan untuk anak-anak. Waktu untuk bekerja, mengurus rumah, mengurus anak-anak, berbelanja, membayar tagihan, mengikuti kajian, dakwah dan sejenisnya. Usahakan menjalaninya dengan seefisien mungkin, sehingga kewajiban bisa dituntaskan, yang sunah bisa dikejar dan yang mubah atau yang makhruh tidak menjadi godaan penghalang.

Soal Batin
Adalah manusiawi jika hidup sendiri setelah perpisahan dengan pasangan akan dilanda kesepian. Namun, hal itu mudah untuk dialihkan. Toh dengan kesibukan mengurus rumah, mendidik anak, kegiatan kajian dan dakwah, akan membuat lupa untuk fokus pada masalah tersebut. Berpuasa sunah juga bisa menjadi pengendali, sebagaimana dianjurkan Nabi. Hanya saja jika memang sudah memiliki kemantapan hati untuk memutuskan mencari pasangan, ini juga lebih baik. Bukan sekadar mengusir sepi, niatnya memang benar-benar untuk kembali membangun keluarga baru yang sakinah, mawadah dan rahmah.(*)

* Tayang di Media Umat Edisi 143

Seorang ibu bersama anaknya. Lokasi: Curug Cilember. Foto: Asri


Kurangi Jam Kerja atau Stop!


* Wacana pengurangan jam kerja adalah perhatian setengah hati pada peran ibu

Oleh Kholda Naajiyah

Akhir November lalu, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengeluarkan wacana tentang pengurangan waktu kerja bagi perempuan. Kalla khawatir dengan perkembangan emansipasi wanita di era modern. Aktifnya perempuan dalam pekerjaan dan teknologi, dapat menyita waktu penting dalam pertumbuhan anak-anaknya. Menurut Kalla, seorang perempuan wajib berada di sisi anaknya dalam setiap tahap perkembangan (www.tempo.co, 02/12/14).
Hampir dua bulan sejak digulirkannya wacana tersebut, hingga hari ini belum ada tindak lanjutnya. Belum ada implementasinya. Namun baru usulan saja, resistensi bergulir dari berbagai pihak. Komnas Perempuan menolak wacana tersebut. Alasannya, hal itu akan semakin menguatkan diskriminasi pada perempuan. Padahal undang-undanga mengamanatkan untuk menghapus diskriminasi pada perempuan. Perempuan akan dinomorduakan di dunia kerja, sehingga akan sulit diterima bekerja. Sekalipun diterima di dunia kerja, akan digaji lebih kecil dibanding tenaga pria. Hal ini akan semakin “memiskinkan” kaum perempuan. Apalagi jika perempuan itu adalah kepala keluarga (viva.co.ic, 4/12/14).
Ironisnya, dari internal pemerintah sendiri ada penolakan. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yembise menolak wacana pengurangan jam kerja untuk wanita karena akan menimbulkan diskriminasi gender (beritasatu, 8/12/14).
Bagaimana respons para pekerja wanita sendiri? Ada yang pro dan ada yang kontra. Yang pro merasa lega, karena kebijakan pemerintah mengakomodasi kebutuhan mereka terhadap tugasnya di rumah. Paling tidak sedikit mengurangi dilema yang selama ini melanda: antara rumah dan kantor. Yang kontra, rata-rata karena khawatir gajinya berkurang, peningkatan karier terambat dan mendapat perlakuan diskriminatif.

SETENGAH HATI
Wacana pengurangan jam kerja wanita sebenarnya merupakan niat baik yang cukup menjadi angin segar di tengah kebingungan yang melanda wanita karier. Niat sejenis pernah diutarakan mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan yang ingin agar perempuan yang melahirkan dan memiliki balita, diberikan cuti lebih panjang. Setidaknya perlu dua tahun untuk mendampingi sang buah hati yang baru lahir hingga tuntas menyusui.
Niat baik itu antara lain bertujuan untuk memperbaiki hubungan ibu dan anak yang selama ini terkoyak karena kesibukan ibu. Sebab, ketika ibu bekerja, apalagi di kota besar yang butuh waktu tempuh 1-2 jam dari rumah menuju kantor, otomatis mengurangi kuantitas pertemuan dengan si anak. Anak masih lelap ibu sudah berangkat dan pulang kembali di rumah saat anak sudah tidur. Total 2-4 jam waktu habis di jalan. Ditambah 6-8 jam di kantor, kapan waktu untuk anak?
Dengan pengurangan jam kerja, ibu bisa mengurusi anak terlebih dahulu. Sebab ikatan batin ibu-anak itu harus dibangun sedini mungkin sejak si anak lahir, bahkan sejak dalam kandungan. Sebab jika ikatan batin ini sirna, tumbuhlah anak-anak bermasalah seperti yang terjadi belakangan ini.
Remaja saat ini tumbuh sendiri tanpa bimbingan berarti dari kedua orangtuanya, khususnya ibu. Akhirnya banyak yang terjerumus dalam hal-hal negatif seperti pergaulan bebas, tawuran, narkoba, miras dan kriminalitas. Hal ini akan berdampak buruk di masa mendatang karena merekalah calon-calon pemimpin bangsa ini. Jika di usia remaja saja sudah bobrok, bagaimana kelak akan mampu menjadi pemimpin?
Sayangnya, pengurangan jam kerja ibu –jika kelak diterapkan— dipastikan tidak akan mampu mengatasi persoalan buruknya generasi. Mengapa? Pengurangan jam kerja tidak akan berpengaruh signifikan pada pembentukan kepribadian anak karena ibu tetap saja disibukkan dengan urusan kerja.
Lagipula, ketersediaan ibu di rumah bukan saja dibutuhkan anak-anak yang masih bayi atau balita. Saat menjelang menjelang baligh dan masa peralihan menuju dewasa, itu juga fase-fase kritis dimana anak membutuhkan sandaran orangtuanya. Sudah sering diungkap dalam survei ke kesekian kalinya, perilaku menyimpang remaja seperti seks sebelum nikah, justru dilakukan di dalam rumah mereka sendiri. Ini karena tidak ada ibu yang seharusnya hadir di dalam rumah, menjaga dan mengayomi penghuninya.
Dengan demikian, pengurangan jam kerja itu hanyalah kebijakan setengah hati pemerintah yang seolah-olah peduli ibu dan generasi. Kebijakan seperti itu juga tidak akan mengurangi peran pekerja perempuan. Sebaliknya, kebijakan ini akan semakin menguatkan peran perempuan di ranah publik. Kaum ibu akan semakin berani beramai-ramai bekerja. Mereka semakin nyaman meninggalkan rumah setelah merasa “sudah” memberi perhatian lebih dahulu pada anak-anaknya dengan berangkat lebih siang atau pulang lebih cepat.
Apalagi, pemerintah juga memberikan solusi berupa didirikannya daycare atau tempat penitipan anak di berbagai lokasi yang didominasi pekerja perempuan. Padahal hakikatnya daycare seperti ini tidak akan mampu menggantikan peran ibu dalam hal pendidikan anak. Yang terjadi hanya pengalihan peran pengasuhan saja. Secara psikologis, keintiman dengan anak dan curahan kasih sayang tidak akan tergantikan.

BUDAK REZIM NEOLIB
Sejatinya, rezim neoliberal tidak akan pernah melepaskan kaum perempuan untuk kembali ke dalam rumah-rumah mereka. Rezim ini akan terus mempertahankan para perempuan pekerja. Mereka adalah aset penting dalam roda-roda perekonomian liberal. Maka itu, kebijakan yang dikeluarkan tidak akan keluar dari kerangka berpikir bahwa perempuan memang harus mencari nafkah. Perempuan harus ikut bertanggungjawab atas beban ekonomi keluarganya. Perempuan harus menghidupi diri sendiri. Perempuan harus mengatasi kemiskinan dirinya. Bahkan, dengan keikutsertaan perempuan dalam ranah pekerjaan, itu berarti mendorong pertumbuhan ekonomi bangsa dan ikut mengatasi kemiskinan massal yang menjadi bahaya laten beradaban ini.
Tidak ada itikad baik dan sungguh-sungguh oleh sistem neolib ini untuk menjadikan peran ibu sebagai posisi strategis dalam pembangunan sumber daya manusia. Mereka menggerutu ketika sumber daya manusia, khususnya generasi muda lemah dan bermasalah, namun tidak pernah meyakini bahwa itu semua disebabkan antara lain tercerabutnya peran ibu dari rumah-rumah mereka. Sebaliknya, mereka justru menggiring kaum ibu keluar rumah untuk lebih memperhatikan masalah ekonomi bangsa yang karut-marut disebabkan penerapan sistem neoliberal.
Sedangkan perhatian terhadap peran keibuan dicukupkan pada kebijakan pengurangan jam kerja dan menyediakan daycare saja. Intinya, ibu-ibu tetap saja “diperbudak”, diperas tenaganya demi mengatasi problem kemiskinan dunia. Ibu-ibu tidak dijamin penghidupan ekonominya agar bisa mengurus dan melahirkan generasi terbaik. Omong kosong jika negara ini akan eksis dan maju jika sistem neolib ini tetap dipertahankan.

ISLAM SEPENUH HATI
Menjalankan peran ganda, bekerja dan mengurus anak, hampir mustahil bisa dilakukan optimal di dalam sistem neoliberal. Sebab, sistem ini tidak menempatkan ibu rumah tangga sebagai peran penting. Sebaliknya, Islam sepenuh hati menjamin peran ibu di rumahnya.
Islam menjamin kebutuhan pokok perempuan dengan proses penafkahan yang sangat detail. Perempuan wajib dinafkahi oleh suami atau ayahnya jika belum menikah. Rasulullah saw. bersabda, “Kewajiban para suami terhadap para istri adalah memberi mereka belanja (makanan) dan pakaian.” (HR Ibnu Majah dan Muslim dari Jabir bin Abdillah ra).
Jika ayah atau suami tidak mampu, kerabat laki-lakinya harus menjadi penopang nafkah [Al-Baqarah: 233).
Sementara negara, yakni Khilafah, memberi nafkah langsung pada perempuan yang tidak mampu dan tidak memiliki siapapun yang akan menafkahinya seperti janda miskin. Abu Hurairah berkata, Rasulullah saw bersabda, “Siapa saja yang mati meninggalkan kalla (orang yang sebatang kara), maka dia menjadi tanggunganku.” (HR Muslim).
Jadi, jika memang peduli pada ibu dan generasi, bukan hanya mengurangi jam kerja perempuan, tapi berikan jaminan agar tanpa bekerja pun mereka mendapatkan hak-hak ekonominya. Setelah itu, kaum ibu mampu secara optimal menjalankan peran keibuannya dalam meletakkan pondasi pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas.
Mereka tak hanya akan mengurangi jam kerjanya demi memperhatikan anak-anak, bila perlu stop kerja! Semua karena dorongan keyakinan akan pentingnya peran ibu, ditambah sudah ada jaminan nafkah, sehingga tidak perlu mengejar kemandirian ekonomi sendiri.(*)

* Tayang di Media Umat Edisi 143






Rindu Hasanah Ibu Dari Titik 707 Km


Oleh Asri Supatmiati
Penulis buku-buku Islam

Trenyuh, marah dan geram. Di mana nalar seorang anak manusia, tega memenjarakan Ibu kandungnya? Berita anak durhaka itu menendang sanubariku. Ah, aku tak mau seperti itu. Lalu terbayanglah wajah Ibu yang terpisah 707 kilometer dariku.
Ya, aku ingin memeluk Ibu. Bogor-Magetan bukanlah dinding pemisah kerinduanku. Rindu dengan segala Hasanah yang pernah Ibu lisankan padaku. Hasanah yang mengalir dalam darahku dan akan terus menggiring langkah hidupku.
Aku tahu, Ibu bukanlah makhluk sempurna. Tapi, anakmu ini lebih-lebih, sangat jauh dari kesempurnaan. Namun, berkat Hasanah Ibu, aku kini mengerti arti kehidupan. Bahwa kita hanyalah hamba, yang berbekal Hasanah, kelak akan diminta pertanggungjawab di hadapan-Nya. Lalu bakti apa yang akan kubawa untuk menuju surga di bawah telapak kakimu, Ibu?
Aku tak mampu memanjakanmu dengan harta. Toh, jika pun aku mampu, sebanyak apapun pemberian itu, tak akan sanggup melunasi jasa mulia Ibu. Segunung, sebumi, selaut dan selangit, tidak akan menambah berat neraca balas jasa itu.
Pengorbanan materi, fisik, jiwa, pikiran, kesabaran, ketelatenan dan kasih sayang Ibu, tidak bisa ditimbang matematis. Tapi, jikapun dipaksakan dengan hitung-hitungan, nilainya pasti sangat fantastis. Mungkin triliunan. Tentu aku tak mampu.
Hasanah yang kau bekalkan padaku, itu saja yang kuharap kelak menjadi penolong Ibu. Aku akan berusaha menjaganya, menjadi muslimah shalehah yang makbul doa-doanya. Semoga umur Ibu panjang, sehingga kita bisa bertukar Hasanah. Ya, aku pun kini telah menjadi Ibu. Kelak, Hasanah itulah yang akan kuwariskan kepada anak-anakku, cucu Ibu. Maka, izinkan aku menukar Hasanah itu dengan surgamu, Ibu!(*)





Hasanah Ibu Kunci Surgaku


Oleh Asri Supatmiati

Hari itu, 20 tahun lalu. Ibu memelukku dengan tangis sendu. Berhamburanlah Hasanah dari bibir Ibu, melepas kepergianku. “Jaga diri baik-baik Nak, jangan lupa ibadah,” begitu sebagian dari Hasanah Ibu. Aku hanya terpaku.

Kulihat raut muka Ibu penuh kekhawatiran, melepas gadis bungsunya ke tanah perantauan. Apalagi itu perjalanan terjauh pertama dalam hidupku. Ibu begitu menyesalkan minimnya perbekalanku. Ah, andai kutahu Ibu, harta yang Ibu benamkan dalam koperku, bukanlah bekal terbaik. Hasanah Ibulah teman perjalanan hidupku yang paling berharga.

Berkat Hasanah Ibu yang mengalir deras dalam darahku, aku merasa menjadi manusia seutuhnya. Tentu kesempurnaan bukan milikku, tapi Hasanah Ibu telah membentukku menjadi manusia yang berguna. Goresan pena melalui ribuan artikel dan buku-buku keislaman yang kutulis di atas doa Ibu, kuharap menjadi tabungan amal yang kupersembahkan untukmu.

Ya, betapa aku tak mampu membayar semua Hasanah Ibu. Aku tak akan amnesia dengan segala pengorban dan perjuangan Ibu. Sembilan bulan aku bergantung hidup di rahim Ibu. Lalu dua tahun lamanya aku menyambung nyawa di dada Ibu.

Selanjutnya, begitu aku menghirup udara dunia, sejak itu Ibu berjuang dalam senyap demi mempertahankan nyawaku. Tanpa gemerlap panggung dan sorot lampu. Tak haus sanjungan apalagi tepuk tangan. Terlebih selempang penghargaan atau sebentuk piala tanda jasa. Kaulah pahlawan sejatiku.

Memegang teguh Hasanah Ibu adalah bukti baktiku. Itulah kunci surgaku. Aku percaya, malaikat tak akan salah mencatat. Sosok bersahaja tanpa pangkat dan jabatan di pundak Ibu, bukanlah halangan menggapai surga-Nya. Anakmu ingin serta, Ibu. Doakan aku istiqomah menjadi shalehah. Berbekal Hasanah Ibu, izinkan aku memungut surgamu!(*)


// Naskah ini untuk mencoba kemampuan diri mengikuti lomba yang diadakan BNI Syariah dengan tema cerita tentang Hasanah seorang Ibu yang akan menjadi teladan setiap orang. Jika berkenan bantu like dan share @asrisupatmiati @HASANAH_Titik @BNISyariah @wolipop #AndaiKuTahuIbu 

Terima kasih teman-teman...
  




Derita Ibu Digugat Anak


* Sekulerisasi dan liberalisasi melahirkan manusia durhaka

Zaman sudah edan. Setelah fenomena ibu kandung membunuh anak, muncul pula anak yang berusaha memenjarakan ibunya. Di Tangerang, sebelumnya rame dengan kasus nenek Fatimah (90) yang digugat anak kandung dan menantunya. Di Bogor, Titin Suhartini (48) juga digugat suami dan anak kandungnya.
Jika nenek Fatimah digugat Rp1 miliar (pengadilan membebaskan dari hukuman tapi penggugat masih banding), Titin diancam penjara 3 bulan jika tidak mengosongkan rumah yang jadi sengketa. Ya, semua gara-gara harta.

Cerita bermula, saat Titin yang bercerai medio 2013, membeli rumah di Perumahan Taman Cibalagung Kota Bogor, hasil pembagian harta gono-gini dari penjualan rumah lamanya dengan suami. Namun rumah itu ternyata diatasnamakan anak keduanya, Princes Gusti Santang yang selama ini tinggal bersama sang ayah. Nah, Princes ini kemudian menjadi penggugat Titin karena menghendaki ibu dan lima adiknya keluar dari rumah yang diakui haknya itu (Radar Bogor, 17/12).

"Kenapa tidak diselesaikan secara kekeluargaan saja. Kan, saya ibu kandungnya. Saya yang melahirkan," kata Titin berurai air mata. Sejak sengketa tanah meruncing Oktober lalu, kesehatan Titin menurun. Ia stres dan syok. Begitulah derita Titin akibat ulah darah dagingnya.
BUAH MATERIALISASI
Sungguh menohok sanubari, jika hanya gara-gara harta, anak tega memutuskan tali darah dengan ibunya. Ya, keperihan hati ibu bukan layaknya goresan luka di permukaan kulit yang mudah mengering. Kalau sampai ibu murka, adalah wajar karena anaknya kelewat kurang ajar.

Memang, ibu bukanlah makhluk 100 persen sempurna. Tapi, anak pun lebih-lebih ketidak-sempurnaannya. Mungkin ibu pernah menorehkan luka selama mengasuh, mendidik dan membesarkan sang anak. Tapi, anak pun tak kurang-kurangnya memicu nestapa ibu dengan tingkah polahnya. Lalu dalil mana yang membolehkan anak membalas dendam?

Selayaknya, anaklah yang memberi ibu, bukan merebut apa yang jadi miliknya. Alangkah indahnya jika anak telah dewasa dan ibu beranjak renta, anak berusaha sekuat tenaga memberi sebanyak-banyaknya segala hal yang dapat membahagiakan sang bunda. Makanan, pakaian, uang, rumah dan segala jenis harta lainnya. Walaupun sejatinya, ibu tak pernah meminta. Perhatian, kepedulian dan kasih sayang saja yang dia inginkan.

Lagipula, sebanyak apapun pemberian itu, tak akan mampu membayar lunas jasa-jasa mulianya. Harta segunung, sebumi, ditambah selaut dan selangit, tidak akan menambah berat neraca balas jasa itu. Pengorbanan materi, fisik, jiwa, pikiran, kesabaran, ketelatenan dan kasih sayang ibu, semuanya tidak bisa ditimbang secara matematis. Tapi, jikapun dipaksakan dengan hitung-hitungan, nilainya akan mencapai puluhan miliar atau bahkan triliunan.

Jadi, apalah artinya semiliar rupiah atau sepetak rumah ukuran 200 m2 saja, dibanding surga ibu. Anehnya, ada anak yang begitu bodoh ingin menukar surganya dengan dunia yang semu. Padahal surga yang itu luasnya melebihi langit dan bumi, lautan dan daratan, dengan segala kenikmatan tak terperi yang tiada bandingannya.

PRODUK SEKULER
Inilah manusia-manusia produk sistem sekuler-liberal. Ideologi inilah yang mengajari manusia untuk memberhalakan benda. Sistem ini hanya melahirkan manusia-manusia individualis yang telah mati rasa. Bahkan cenderung keji, sadis dan biadab.

Materialistis adalah corak kehidupannya. Kebahagiaan diukur oleh penguasaannya terhadap benda. Maka itu, manusia matre ini sangat hobi menumpuk harta. Sikut sana-sini bukan masalah asal tujuan tercapai. Bahkan terhadap ibu kandungnya sendiri, tak ambil pusing. Lahirlah manusia-manusia serakah, tamak dan haus harta.

Di samping itu, sistem sekuler-liberal juga telah memiskinkan manusia. Sistem kehidupan dengan penerapan sistem ekonomi liberal saat ini, membuat masyarakat sulit mengakses kepemilikan harta. Banyak pengangguran. Harga rumah mahal. Biaya pendidikan dan kesehatan melangit. Lalu mencuatlah angka kemiskinan. Kemiskinan memicu kenekatan. Nekat mencuri, merampok atau merampas harta milik orang lain.

Ditambah lagi keyakinan terhadap rezeki dari Allah SWT, sudah dianggap basi. Akibatnya harta secuil pun jadi rebutan. Bahkan, menjadi sumber sengketa antaranggota keluarga tiada habisnya. Antara ibu dan anak kandungnya. Na'udzubillahi minzalik.

JANGAN DURHAKA
Sungguh, sebodoh apapun seorang manusia, akal sehatnya tidak akan menemukan nalar melihat kenyataan seorang anak tega menggugat ibu kandungnya. Wanita, tempat dimana sang anak bergantung nyawa sembilan bulan di dalam rahimnya.

Tidak tahukah dia, bagaimana “sakit'-nya hamil, dan “derita” saat melahirkannya? Lalu, dua tahun sang anak lagi-lagi menggantungkan nyawa dari air susu ibunya. Air susu yang terus mengalir dalam darahnya, sepanjang umurnya. Nutrisi terbaik yang membuatnya mampu melewati masa-masa kritis di awal-awal kehidupannya.

Sungguh Maha Adil Sang Pencipta, jika kemudian mentahbiskan surga ada di telapak kaki ibu.
Diriwayatkan dari Mu’wiyah bin Jahimah as-Salami bahwasanya Jahimah pernah datang menemui Nabi lalu berkata: Wahai Rasulullah, aku ingin pergi jihad, dan sungguh aku datang kepadamu untuk meminta pendapatmu. Beliau berkata: “Apakah engkau masih mempunyai ibu?” Ia menjawab: Ya, masih. Beliau bersabda: “Hendaklah engkau tetap berbakti kepadanya, karena sesungguhnya surga itu di bawah kedua kakinya.”

Nah, jika kini sang anak begitu pongah mengusir ibu dari hatinya, sungguh ia telah membuang surganya sendiri. Apakah ia amnesia ke mana ia kelak kembali? Padahal Allah SWT berfirman: “Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada ibu bapakmu, hanya kepada-Ku-lah engkau akan kembali.” (Luqman: 14).

Semua paham, ada perintah Alah SWT untuk berbakti kepada orangtua. Allah SWT berfirman: “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada kedua orang tuamu dengan sebaik-baiknya” (Al-Isra': 23).

Berbuat baik kepada kedua orang tua artinya memberikan bakti dan kasih sayang kepada keduanya.
Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan: ‘Ah..’ (AI-Isra': 23)
Jadi, janganlah berkata-kata kasar kepada keduanya jika mereka telah tua dan lanjut usia. Sebaliknya, berlemah-lembutlah. Kasihilah dan jangan malah dimusuhi.

WAJIB BERBAKTI
Wajib bagi anak mengabdi setulusnya kepada orangtua, sebagaimana keduanya telah mencurahkan pengabdian sepenuh cinta pada sang anak di masa kecilnya. Sungguh, pengabdian orangtua kepada anaknya, jauh lebih tinggi dari pengabdian anak kepada orang tuanya. Bagaimana mungkin kedua pengabdian itu bisa disamakan?

Ketika kedua orangtua menahan derita agar sang anak hidup, kelak ketika orangtua renta, anak justru tak tahan menahan derita dalam merawatnya dan berharap orangtuanya segera meninggal. Na'udzubillahi minzalik.

Sungguh, jangan sampai hal itu terjadi pada diri kita. Marilah kita senantiasa mendoakan orangtua sebagaimana firman Allah SWT: “Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: ‘Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil’ (AI-Isra':24)

Terakhir, saatnya berupaya sekuat tenaga dalam memperindah jalinan kasih dengan kedua orangtua, khususnya ibu. Sebab, ridhonya adalah kunci pembuka ridho Allah SWT.(kholda)

* Tayang di Media Umat Edisi 142

Agar Anak Respek pada Orangtua


Oleh Kholda Naajiyah

Belakangan ini muncul fenomena anak-anak dewasa yang kurang respek kepada orangtuanya. Tak dipungkiri, itu disebabkan penerapan sistem sekuler liberal yang telah menghancurkan fungsi-fungsi keluarga dalam tatanan kehidupan masyarakat.

Munculah petaka berupa anak-anak pembangkang. Ada anak yang tega menggugat ibunya, anak yang kabur dari rumah, anak yang menikah tanpa restu orangtua dan anak yang tak peduli keluarganya. Dalam skala lebih “ringan”, ada anak yang kurang patuh pada orangtua, tak mau mendengar nasihatnya, bahkan mulai berani membantah dan membentak orangtua.

Apa yang salah? Adakah orangtua salah asuh sehingga anak-anak menjadi durjana? Nah, berikut ini beberapa tips yang bisa dilakukan untuk memperbaiki pola pengasuhan dan menasihati anak-anak yang cenderung membantah:

1 Kembalikan peran ibu dan ayah
Bisa jadi, tergerusnya fungsi ibu di rumah telah menggerus pula kesalehan si anak. Pasalnya, hari ini, begitu banyak kaum ibu yang alpa dengan fungsi keibuannya disebabkan banyak faktor. Nah, ibu punya peran sentral di rumah. Jangan terbalik. Libatkan ayah dalam mendidik anak, bukan sibuk dengan urusan mencari nafkah saja.

2 Introspeksi diri
Lihat kekurangan dan kesalahan dalam mendidik dan menjadi teladan bagi anak-anak. Ingat, anak adalah peniru orang tua. Jangan-jangan karakter anak yang suka membantah itu juga meniru orangtuanya.

3 Diagnosa sebab “kedurhakaan” anak
Ada anak yang tadinya penurut, tiba-tiba suka membantah. Bisa jadi hal itu karena ada kekecewaan yang dipendam si anak. Mungkin atas janji orangtua yang tak tertunaikan, orangtua yang tidak konsisten antara ucapan dan perbuatan. Atau bisa juga karena salah pergaulan.

4 Lakukan pendekatan
Jangan melakukan pembiaran dan malah menjauhinya. Dekatilah dengan lemah lembut, agar anak dapat merasakan kebaikan orang tua yang sudah tertutup oleh emosi sesaatnya.

5 Ingatkan kelahirannya
Anak diingatkan tentang siapa dirinya dan bagaimana proses kehadirannya di dunia ini. Jelaskan, anak tak akan ada tanpa perantara kasih sayang orang tuanya. Karena itu, wajib baginya hormat dan respek pada orangtua.“Dan, Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” (QS Luqman [31]: 14).

6 Nasihati dari hati ke hati
Allah mewajibkan kepada setiap anak untuk tetap mengasihi dan menyayangi kedua orang ibu bapaknya, bahkan diperintahkan selalu mendoakan untuk kebaikan keduanya. Tidak ada alasan bagi anak sedikit pun untuk berlaku kasar kepada dua orang ibu bapaknya.
Ingatkan bahwa orang yang berani mendurhakai orang tua, selanjutnya akan mendurhakai Allah. Bagaimana tidak, kalau kepada orang tua yang mengandungnya dengan kasih sayang dan melahirkannya dengan penuh pengorbanan, menjaga, mengasuhnya, serta mendidik dan membesarkannya, lalu tak pandai berterima kasih, besar kemungkinan anak ini tidak pandai berterima kasih atas nikmat-nikmat Allah.
Terakhir, sampaikanlah nasihat Rasul berikut: “Semua dosa itu akan Allah tunda hukumannya menurut kehendak-Nya sampai hari kiamat nanti, kecuali hukuman terhadap perbuatan zina dan durhaka kepada kedua orang tua atau memutuskan silaturahim, sesungguhnya Allah akan memperlihatkan kepada pelakunya di dunia sebelum datang kematian.” (HR Bukhari dalam kitab al-Adab al-Mufrad).
Demoga kelak anak-anak saat dewasa tidak menjadi generasi pembangkang.(kholda berbagai sumber)

* Tayang di Media Umat Edisi 142

Ibu-ibu saat menghadiri acara Konferensi di SICC Sentul. Foto: Asri