Bisnis Porno, Akankah Dipertahankan?


Oleh Asri Supatmiati, S.Si
(Penulis Buku Indonesia dalam Dekapan Syahwat)

Ikon majalah pornografi Playboy yang ditentang penerbitannya oleh masyarakat, nyatanya tetap eksis melenggang. Seolah tidak ada penguasa yang memiliki kewenangan untuk menghentikan penerbitan ikon majalah porno itu. Lalu kepada siapa masyarakat berharap adanya tindakan? Sementara semua pihak memahami bahwa penyebaran pornografi dan pornoaksi di tengah-tengah masyarakat kita sungguh sangat menyedihkan. Media cetak dan VCD porno dengan gampang diperoleh di kaki lima dengan harga yang murah. Yang lebih mengkhawatirkan lagi televisi pun banyak menyiarkan acara yang sebenarnya memuat visual-visual porno. Belum lagi acara-acara entertainment dengan goyangan yang sensual dan pakaian yang seronok.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri menegaskan keprihatinannya yang mendalam atas merebaknya pornografi dan pornoaksi. Menurutnya, pornoaksi dan pornografi di Indonesia kini sudah tidak bisa ditoleransi lagi, karena telah melampaui batas (Poskota.co.id, 3/29/2005).
Dampaknya pun cukup mengerikan. Selain merusak moralitas terutama para generasi muda, tidak sedikit tindakan kriminalitas seksual seperti pemerkosaan dan pelecehan seksual terjadi setelah pelakunya menonton tayangan-tayangan porno. Yang paling menyedihkan, yang banyak menjadi korban justru anak-anak di bawah umur.
Presiden SBY bahkan sangat terkejut ketika Menpora Ahyaksa Dault melaporkan kejadian sejumlah anak sekolah dasar kelas 3 di suatu daerah, melakukan masturbasi bersama-sama setelah menonton VCD porno. “Kalau misalnya ada kerusakan fisik atau bencana, dalam satu-dua tahun bisa kita perbaiki. Tapi kalau kerusakan moral, itu sangat sulit kita perbaiki. Bisa menyebabkan hilangnya satu generasi, karena itu pelakunya harus ditindak tegas dan maksimal,” kata Adhyaksa menirukan presiden (Poskota.co.id, 3/29/2005).
Pelecehan seksual, kehamilan di luar nikah, aborsi, perkosaan, insect adalah dampak-dampak selanjutnya dari merebaknya pornografi. Semua itu meluncurkan manusia pada derajat yang sangat rendah. Bagaimana tidak, dampak dari eksploitasi seksualisme di ruang publik telah melampai batas-batas kemanusiaan. Bahkan, peristiwa yang di dunia binatangpun tidak terjadi, kini melanda manusia. Seperti insect (hubungan seks dengan saudara kandung), pedofilia (menggauli anak di bawah umur), hubungan seks sesama jenis (homo/lesbi) atau bahkan hubungan seks dengan binatang juga aborsi akibat adanya kehamilan di luar pernikahan yang sah. Na'udzubillahi min zalik.
Di Barat, negara yang dikenal memegang prinsip liberalisme --termasuk liberalisasi seksual-- menuai buah pahit akibat diumbarnya seksualisme. Tingginya aborsi, perkosaan, pelecehan seksual, kehancuran rumah tangga seperti perceraian, sampai eksploitasi wanita merupakan akibat langsung atau tidak langsung dari kebebasan ini.
Ismail Adam Patel seorang penulis Inggris dalam bukunya Islam the Choice of Thinking Woman mengungkapkan fakta-fakta ini antara lain, di Inggris sejak dilegalkan pada tahun 1968 aborsi yang didaftarkan meningkat dari 22.000 (tahun 1968) menjadi 180.000 pada tahun 1991. The London Rape Centre (Inggris) melaporkan telah terjadi pemerkosaan 5.000 sampai 6.000 setiap tahunnya. Sementara angka pemerkosaan di AS berdasarkan angka statistik nasional menunjukkan 1,3 perempuan diperkosa setiap menitnya. Ini berarti telah terjadi 683.280 pemerkosaan setiap tahunnya. Di AS angka perceraian juga terus meningkat dari 708.000 pada tahun 1970 hingga 1.175.000 pada tahun 1990. Fakta ini menunjukkan bagaimana dampak kerusakan liberalisme ini di tengah masyarakat.

Tambang Uang
Melihat dahsyatnya dampak dari penyebaran pornografi dan pornoaksi sebagaimana digambarkan di atas, lantas mengapa sebagian masyarakat seolah membiarkan pornografi dan pornoaksi merebak? Dalam paradigma sekular-kapitalisme, dimana kebahagiaan diukur dari materi, maka perhitungan untung-rugilah yang menjadi standar.
Dewasa ini pornografi dan pornoaksi telah menjadi tambang uang yang menggiurkan. Industri pornografi yang melibatkan media massa mencetak omzet sangat menggiurkan di seluruh dunia. Secara global, pornografi menghasilkan keuntungan 7 miliar dolar AS per tahun; keuntungan yang lebih besar daripada yang diperoleh dari gabungan antara keuntungan industri film yang sah dan industri musik. Di AS pornografi menghasilkan keuntungan kotor 1 juta US dolar per hari. Sementara di Inggris, 20 juta eksemplar majalah porno terjual per tahun (Patel dalam Islam The Choice of Thinking Woman).
Laporan CBS News (edisi September 5, 2004, “Porn In The U.S.A.”) menemukan, masyarakat Amerika membelanjakan tidak kurang dari 10 milyar dolar per tahun untuk konsumsi pornografi saja. Dan bisnis menggiurkan ini mulai merasuki para pemilik modal di Indonesia. Tabloid Lipstik hanya butuh Rp 3 juta untuk biaya operasionalnya dalam sebulan, namun pendapatannya dari iklan mencapai Rp 60 juta per bulan (Majalah Tempo, 20-26 Maret 2006).
Pemegang lisensi Majalah Playboy PT Velvet Silver Media misalnya, konon rela merogoh satu miliar rupiah untuk membeli lisensi penerbitan majalah seks tersebut. Pikir mereka, jika Playboy kelak eksis, tentu investasi sebesar itu tidak seberapa dibanding keuntungan berlipat ganda yang akan diraup. Dan tak perlu menunggu lama, hasil penjualan edisi perdana yang kontroversial kemarin pun sudah cukup untuk menutupi modal.
Bayangkan, edisi Perdana April yang dicetak 100.000 eksemplar, menurut pengakuan Pimred Playboy Erwin Arnada langsung ludes dalam lima hari (Pikiran Rakyat, 17/4/06). Dengan harga Rp 39.000 (di lapak ada yang mencapai Rp 80.000), secara kasar berarti pihak Playboy mengantungi Rp 3.900.000.000. Jika dikurangi biaya pembelian lisensi dan ongkos produksi yang tidak seberapa, pihak Playboy sudah untung besar.
Padahal, itu baru edisi perdana yang isinya belum ‘panas.’ Jika belajar dari ‘guru’-nya di Amerika, Playboy yang menampilkan foto-foto wanita telanjanglah yang biasanya diburu pembaca. Makin kontroversi, makin laris. Seperti edisi pertama Playboy yang dicetak 70.250 eksemplar dengan menampilkan tubuh polos Marilyn Monroe, langsung ludes. Padahal waktu itu Amerika cukup gempar karena baru pertama kali ada majalah yang berani memuat secara vulgar foto perempuan telanjang dalam tiga halaman penuh. Sejak itu, oplahnya terus melonjak. Pada ulangtahun pertama, oplahnya 1.750.000 eksemplar. Puncaknya terjadi 20 tahun kemudian: 7.000.000 eksemplar. Tujuh juta! Fantastis bukan? Taruhlah harga majalah itu Rp 50.000 saja, berarti Playboy menghasilkan Rp 350.000.000.000 (350 miliar rupiah). Perhitungan bisnis seperti itulah yang membuat para pendiri Playboy Indonesia nekad.
Sementara itu, kendati data mengenai omzet bisnis pornografi di Indonesia belum ada –karena aslinya ilegal—namun industri pornografi di sini telah eksis sejak lama. Bahkan sejak 1929 sudah diperdagangkan film Resia Boroboedoer di Jakarta yang menampilkan untuk pertama kalinya adegan ciuman dan kostum renang. Sejak itu, dari zaman ke zaman pornografi makin meruyak.
Terlebih dengan dibukanya kran reformasi, euphoria kebebasan telah melahirkan media-media yang menjadikan pornografi sebagai selling poinnya. Ada ME, FHM, Popular dan Lampu Merah yang memang dikenal getol membangkitkan syahwat. Bahkan media ‘lebih sopan’ pun tak steril dari pornografi. Atau sekurang-kurangnya pernah memuat satu-dua artikel atau gambar berbau porno, seperti Majalah Matra, Panji, Citra, Aha, Bos dan Herworld.
Film-film, musik, karya sastra dan karya seni lainnya yang menonjolkan pornografi juga tak bisa lagi dihitung dengan jari. Tempat-tempat hiburan dan tayangan televisi yang menyajikan menu pengundang syahwat juga bebas berkeliaran. Semua diproduksi demi satu tujuan: mengeruk rupiah.
Bagi para investor, baik dalam negeri maupun asing, jumlah penduduk Indonesia yang sangat besar adalah pangsa pasar empuk bagi bisnis esek-esek ini. Apalagi selama ini belum digarap maksimal alias masih sembunyi-sembunyi. Padahal, konon sebagian lapisan masyarakat memang doyan mengkonsumsi media porno atau menonton pornoaksi di tempat-tempat hiburan. Buktinya, oplah majalah atau koran yang menjajakan pornografi meningkat tajam.
Itu pula sebabnya pendiri Playboy Hugh Hefner dengan senang hati memberikan lisensi majalahnya kepada pengusaha Indonesia. Sebab jika berhasil jaya di negeri berpenduduk muslim terbesar di dunia ini, Hefner akan menanggung untung besar.
Dengan demikian, tak aneh jika mereka yang dihidupi oleh industri pornografi dan pornoaksi ini menolak pemberantasan pornografi dan pornoaksi, atau setidaknya menolak diatur dengan undang-undang khusus. Ya, mereka yang merasa terancam sumber nafkahnya inilah yang getol menolak pengaturan pornografi dan pornoaksi dalam unnag-undang khusus. Umumnya mereka adalah para artis, produsen media porno dan sejenisnya. Mereka khawatir terhambat usahanya untuk mencari rezeki karena “menjual” kecantikan, kemolekan tubuh dan tarian erotisnya.
Mereka yang panen uang dari sektor ini jelas tidak peduli sama sekali terhadap dampak buruk yang terjadi seperti runtuhnya moralitas, meningkatnya kriminalitas dan maraknya hedonisme. Padahal, jumlah mereka yang diuntungkan dari industri pornografi dan pornoaksi ini jelas minoritas dibanding mereka yang merasakan dampak negatif dari industri haram ini.
Terlebih dampaknya bukan hanya dirasakan generasi saat ini, melainkan generasi penerus di masa mendatang. Jika demikian, manakah yang lebih penting menyelamatkan kepentingan kaum minoritas dibanding kaum mayoritas? Manakah yang lebih urgen, menyelamatkan bisnis pornografi dan pornoaksi atau menyelamatkan generasi penerus?(*)