Sikap Hipokrit Pemerintah RI atas Iran



Oleh Asri Supatmiati, S.Si

Pemerintah RI mendukung resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 1747 tentang sanksi terhadap Iran terkait program nuklirnya. Sikap itu sangat mengejutkan, karena sebelumnya berulang kali pemerintah dan DPR menyatakan dukungannya terhadap program nuklir damai Iran.
Tak ayal, berbagai kecaman dilayangkan kepada pemerintah. Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) menilai, seharusnya pemerintah cukup abstain. Din Syamsudin, Hasyim Muzadi, Amin Rais dan berbagai elemen masyarakat lainnya menilai sikap pemerintah plin-plan.
Bahkan DPR sendiri menyesalkan 'pengkhianatan' pemerintah itu. DPR segera menggalang dukungan untuk mengajukan hak interpelasi kepada pemerintah.
Seakan tak mau disalahkan, pemerintah pun membela diri dengan berbagai argumen. Wapres Jusuf Kalla mengatakan bahwa pemerintah RI masih ada waktu untuk melakukan lobi untuk membela Iran sebelum sanksi terhadap negeri mullah itu benar-benar dijatuhkan (Radar Bogor, 28/03/07). Namun argumen itu tak lebih semakin menguatkan sikap plin-plan pemerintah.

Hipokrit
Masih teringat jelas, ketika Presiden Iran Ahmadinejad bertandang ke Indonesia belum lama ini, dengan senyum ramah dan peluk akrab, Presiden SBY menyambut pemimpin negara sahabat itu. Waktu itu, dengan tegas presiden dan staf-stafnya menyatakan dukungan terhadap proyek nuklir Iran untuk damai.
Bahkan dengan penuh persahabatan, Iran mengajak Indonesia membentuk Blok Islam dengan mengembangkan kerjasama di berbagai bidang yang dapat memajukan masing-masing negara, khususnya negeri muslim.
Iran juga berulangkali menjelaskan bahwa program nuklir yang dikembangkannya adalah untuk tujuan damai. Program berteknologi tinggi itupun bisa dipelajari dan dikembangkan di Indonesia di kemudian hari untuk kemaslahatan rakyat Indonesia.
Waktu itu, rakyat Indonesia menyambut gembira sikap tegas pemerintah Indonesia yang tidak terpengaruh propaganda Amerika Serikat dengan tuduhannya bahwa Iran mengembangkan program nuklir yang membahayakan. Namun, kebanggaan rakyat ternyata hanya sementara. Rupanya pemerintah tidak setegas yang dikira. Pemerintah terbukti hipokrit, lain di bibir lain di hati. Pemerintahan plin-plan dan tidak punya pendirian. Tak hanya mengkhianati persahabatannya dengan Iran, lebih dari itu pemerintah telah berkhianat terhadap rakyatnya sendiri.
Pemerintah masih memepertahankan jati diri sesungguhnya sebagai bangsa inferior yang senantiasa mudah didikte bangsa 'besar'. Pemerintah akhirnya terjebak perangkap propaganda AS dan sekutunya. Ini sekaligus semakin membuktikan bahwa PBB tak lebih sebagai kepanjangan tangan AS dan sekutunya. Apapun yang dikehendaki AS, selalu tercapai.

Preseden Buruk
Pemerintah Indonesia dan anggota DK PBB lain yang mendukung pemberian sanksi terhadap Iran, rupanya tidak ingat, bahwa AS sendiri punya nuklir. Israel juga punya nuklir. Bahkan, kedua negara itu telah lama mengembangkan industri persenjataan mutakhir yang lebih membahayakan bagi perdamaian dunia.
Terbukti pula sepakterjang mereka yang memanfaatkan senjatanya untuk menjajah, membunuh warga sipil tak berdosa dan menebarkan teror ke berbagai penjuru dunia. Bukankah dosa mereka jauh lebih nyata dibanding Iran yang baru tertatih berupaya membangkitkan teknologinya, itupun untuk kepentingan damai?
Dari sini tampak jelas bahwa upaya penjatuhan sanksi bagi Iran bukanlah semata-mata karena program nuklirnya. Lebih dari itu sebagai upaya untuk mengebiri perkembangan teknologi di negeri itu.
AS dan sekutunya tak ingin ada negara yang lebih superior dalam pengembangan teknologi, terlebih jika itu negeri muslim seperti Iran. Itulah motif sesungguhnya di balik propaganda AS melalui tangan PBB untuk menjatuhkan sanksi terhadap pengembangan program nuklir Iran.
Karena itu, dukungan RI terhadap resolusi itu kelak akan menjadi preseden buruk. Bukankah tidak mustahil, kelak ahli-ahli kita mampu mengembangkan program nuklir untuk kemaslahatan rakyat? Indonesia tidak akan pernah mendapat kesempatan untuk memajukan teknologinya karena belum apa-apa akan terhadang sanksi PBB, persis seperti senjata makan tuan. Jika demikian, kapan bangsa ini akan maju?
Mengokohkan Hegemoni AS
Keberadaan Indonesia di DK PBB mustinya mampu memainkan peran untuk turut menciptakan perdamaian dunia. Terutama, mampu membela kepentingan negeri-negeri muslim seperti Iran yang selama ini dizalimi AS dan sekutunya. Namun seperti sudah diduga, posisi Indonesia di PBB tidak ada gunanya kecuali mengokohkan hegemoni AS dan sekutunya.
Hal ini tidak mengejutkan, karena toh Indonesia bisa duduk di DK PBB juga atas 'jasa baik' AS. Seperti diketahui, beberapa tahun belakangan Indonesia dianggap sahabat penting bagi AS. Buktinya, pejabat teras AS bahkan sampai Presiden Bush sendiri menyempatkan diri berbasa-basi berkunjung ke negeri ini.
Dengan demikian, semakin terlihat jelas bagaimana peta kekuatan Indonesia di kancah internasional. Ternyata sama sekali tak mampu unjuk gigi, apalagi menampakkan taring. Yang ada hanya menjadi kacung, mengikuti apa kata Tuannya AS. Semua itu hanya melanggengkan hegemoni AS dalam konstelasi global.(*)

Asri Supatmiati, jurnalis, penulis buku-buku Islam.