Seks Bebas Makin Liar



Oleh Asri Supatmiati, S.Si
Penulis Buku “Indonesia dalam Dekapan Syahwat”

Nilai-nilai umum di masyarakat menyepakati bahwa bermesraan dengan lawan jenis yang bukan pasangan sahnya, berciuman, berselingkuh hingga berzina adalah tindak asusila. Semua mengutuknya. Agama manapun mengharamkannya, menganggapnya sebagai perilaku maksiat. Namun lihatlah saat ini, di sekitar kita, di masyarakat yang mayoritas menganut Islam ini, perilaku yang melabrak nilai-nilai sakral itu sudah bukan barang langka. Pelakunya pun makin liar, tak lagi memiliki rasa malu dan usianya semakin dini.
Data yang menyebut separuh gadis di Jabodetabek tak lagi perawan adalah buktinya (BKKN.go.id, 2010). Di Surabaya, remaja perempuan lajang yang kegadisannya sudah hilang mencapai 54 persen, di Medan 52 persen, Bandung 47 persen, dan Yogyakarta 37 persen. Padahal data hanyalah fenomena gunung es, dimana jumlah sebenarnya jauh lebih banyak.
Berita anak gadis hamil di luar nikah sudah tak asing. Meski tidak ada data resminya, namun jika dikaitkan dengan data aborsi, akan membuat kita mengelus dada. Menurut Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, dr Titik Kuntari MPH seperti tikutip inilah.com (30/06/2009), aborsi di Indonesia berkisar 2-2,6 juta kasus pertahun, atau 43 aborsi untuk setiap 100 kehamilan. Sekitar 30 persen di antaranya dilakukan remaja usia 15-24.
Akibat perilaku zina lainnya adalah inveksi HIV/Aids, dimana angkanya terus melonjak setiap tahun. Data Kemenkes pada pertengahan 2010, HIV/AIDS di Indonesia mencapai 21.770 kasus AIDS positif dan 47.157 kasus HIV positif dengan persentase pengidap usia 20-29 tahun (48,1 persen) dan usia 30-39 tahun (30,9 persen).
Kasus penularan HIV/AIDS terbanyak ada di kalangan heteroseksual (49,3 persen) dan IDU atau jarum suntik (40,4 persen). Narkoba sebagai salah satu pemicu seks bebas dan penularan HIV dikonsumsi oleh 3,2 juta jiwa. Sebanyak 75 persen di antaranya atau 2,5 juta jiwa adalah remaja.
Dampak perilaku ini jelas sangat membahayakan. Terutama dalam menciptakan kualitas generasi di masa mendatang. Apa jadinya jika di usia dini mereka sudah terbiasa bertindak maksiat, menghalalkan perzinaan dan gonta-ganti pasangan. Generasi yang lahir hanyalah generasi cacat moral, bahkan lemah fisik tergerogoti penyakit menular seksual.
Kebiasaan aborsi pada remaja, juga berpotensi menyebabkan infertilisasi alias kemandulan. Ketika seks bebas sudah didewakan, maka institusi pernikahan kelak tinggal kenangan. Kalau sudah begitu, bagaimana akan diharapkan generasi baru berkualitas bisa dilahirkan? Ancaman lost generation pun bukan basa-basi.
Memang, pemerintah sebenarnya tidak tinggal diam. Sayang, upaya-upaya untuk mengantisipasi krisis moral ini menemukan jalan buntu. Kebijakan yang ada bukannya mencegah seks bebas, justru menumbuhsuburkan. Bahkan, sangat kontraproduktif.
Seperti mengajarkan remaja dengan pendidikan seks yang salah kaprah, yang justru membangkitkan rangsangan seksual. Atau menggencarkan kampanye penggunaan kondom dengan dalih mencegah penularan penyakit menular seksual termasuk HIV/Aids.
Lebih parah lagi, malah membuka keran lebar-lebar pertumbuhan produk-produk pembangkit birahi, seperti majalah porno, bacaan ngeres, video mesum, film setan-seks, musik cabul dan tayangan pengundang syahwat lainnya. Buktinya, lembaga sensor loyo.
Undang-undang Pornografi yang ada, sama sekali tumpul berhadapan dengan uang. Hasilnya, hanya menggelembungkan kekayaan para pemilik media dan pelaku industri hiburan sebagai garda terdepan liberalisasi seks. Sebaliknya, menambah jatuhnya deretan korban kejahatan seksual, pelaku penyimpangan seksual dan mendorong remaja berperilaku amoral.
Bahkan dengan dalih memajukan industri pariwisata, daya tarik seksual pun dijual. Perempuan dijadikan magnet penyumbang devisa. Sementara pasal-pasal penjerat tindak asusila yang ada, sama sekali tak mempan mengganjar pelaku dengan hukuman setimpal, sekaligus mencegah orang lain agar tak berbuat serupa.
Pemerintah pun tampak abai dalam membekali generasi dengan nilai-nilai agama. Pelajaran agama mendapat porsi minim. Lingkungan sekolah tidak islami, bahkan sudah terlanjur hedonis dan permisif. Pembinaan agama di luar sekolah dicurigai, bahkan pesantren tempat pembibitan nilai-nilai moral distigmatisasi negatif. Keluarga-keluarga modern yang serba sibuk memikirkan materi, cenderung membiarkan generasi muda tumbuh seiring kemajuan teknologi informasi yang sarat dengan info-info sampah.
Semua terjadi karena sistem yang ada, yakni kapitalisme-sekulerisme, tidak mampu melindungi masyarakat dari kerusakan moral. Bahkan, memang sistem inilah yang secara sistematis telah melakukan proses perusakan moral masyarakat. Menggilanya seks bebas bukan sekadar konsekuensi kemajuan zaman, melainkan suatu kesengajaan yang dirancang untuk menjauhkan umat Islam dari ajarannya. Indonesia menjadi ladang proyek liberalisasi seks yang diemban ideologi sekuler.
Untuk itu, dibutuhkan kerjasama semua pihak. Seks bebas sebagai penyakit sosial menjadi tanggung jawab kita bersama. Negara, masyarakat, keluarga dan individu-individu wajib menanggulanginya. Negara adalah benteng terdepan dalam menghadang budaya seks bebas yang bukan berakar dari nilai-nilai agama dan budaya kita. Perlu tindakan tegas mencekal berbagai produk perusak moral dan menerapkan hukuman setimpal bagi pelanggarnya. Juga, menerapkan sistem hukum yang tegas bagi para pelaku amoral.
Sementara masyarakat, harus menghidupkan amar-makruf nahi munkar agar tercipta masyarakat yang bersih dari perilaku amoral. Tentu saja, peran keluarga memegang kunci. Adalah kewajiban orangtua mendidik dan menjaga anaknya agar tidak terjerumus seks bebas. Membekali mereka dengan nilai-nilai halal-haram, membentuk menjadi kepribadian yang kuat dan kokoh, yang tak mudah terbeli kesenangan duniawi.(*)

Balita Pencari Nafkah



Oleh Asri Supatmiati, S.Si
Nara Sumber Voice of Islam, Program Cewek Only

Belakangan ini ajang adu bakat untuk anak-anak, bahkan bayi dan balita mencuat lagi. Di antaranya yang diselenggerakan oleh produsen beberapa merek susu formula. Mirip Idola Cilik yang kini sedang vakum, tapi menjaring usia lebih muda, mulai 3 hingga 6 tahun. Tujuannya: untuk menggali kemampuan sang buah hati dalam hal bernyanyi, menari, bermain musik atau gabungan ketiganya. Diharapkan, mereka menjadi anak yang kreatif dan percaya diri.
Seperti biasa, ajang seperti ini disambut luar biasa antusias oleh para orangtua. Mereka berlomba-lomba mendorong putra-putrinya untuk berani tampil. Apalagi kesempatan sangat terbuka. Maklum, audisi pencari bakat balita ini berlangsung di 25 kota di seluruh Indonesia. Nanti, pemenang di babak final, baru “diboyong” ke Jakarta untuk menampilkan kebolehannya. Perjalanan cukup melelahkan untuk menjadi bintang bayi.

EKSPLORASI
Mengekplorasi bakat anak-anak boleh-boleh saja, bahkan penting. Masing-masing anak memiliki talent dan kecenderungan untuk mengasahnya menjadi sebuah hobi yang menyenangkan. Selain itu, juga mengembangkan nalar dan kreativitasnya. Selama tujuannya untuk mendukung pendidikan, mendorong keinginan untuk mencuatkan potensi terpendam anak, sah-sah saja.
Bahkan, terkadang memang diperlukan ajang untuk menyalurkan energi anak di bidang kreativitas yang cenderung kurang wadah. Namun, jangan sampai ajang seperti ini jadi wadah untuk sekadar mencetak artis cilik.
Terutama orangtua, jangan sampai terobsesi dengan segala kelebihan anaknya. Ia lantas berharap anaknya –terutama yang menang-- akan menjadi mesin uang. Mendapat tawaran show sana-sini, jadi bintang iklan, main sinetron, jadi penyanyi, main film, dll.
Berlindung di balik ungkapan “demi anak”, orangtua bekerja keras menjadikan anaknya mau dan berani menjadi bintang. Bukan semata-mata kehendak si anak, tapi ambisi orangtua. Ujung-ujungnya duit puluhan, bahkan ratusan juga mengalir deras. “Hasilnya kan ditabung untuk masa depan dia juga,” begitu alasan sang mama-papa.
Anakpun, akhirnya terbentuk menjadi pribadi yang sok ngartis. Sehari-hari berlagak bak idola, bergumul dengan jadwal show yang padat dengan segudang fasilitas mewah plus lingkungan pergaulan glamour. Ia kehilangan dirinya sendiri: waktu bermain, hak privacy, dan teman-temannya.
Di sinilah dipertanyakan, batasan antara “ekplorasi” potensi anak dan “eksploitasi.” Sejatinya tipis sekali, karena jika tidak mampu mengendalikan diri, niscaya orangtua jatuh ke dalam kubangan eksploitasi anak.
Masalahnya, eksploitasi anak kerap hanya dialamatkan kepada kaum marginal. Ketika ada anak-anak mengemis, mengamen atau dipekerjakan, serta merta orangtuanya dituduh telah mengeksploitasi anak. Mereka dicaci dan maki, dicap orangtua gagal, tak bertanggungjawab, menelantarkan dan melanggar hak asasi anak.
Padahal, mayoritas kondisi itu terjadi karena keterpaksaan. Orangtuanya miskin, tidak berpendidikan, tidak memiliki penghasilan tetap, bahkan juga menggelandang. Mana ada orangtua di dunia ini yang tega melihat anaknya terlantar? Yang ada, negaralah yang tega membiarkan para orangtua seperti ini, kesulitan dalam memenuhi hak-hak anaknya.
Walhasil, anak-anak kaum marginal ini, boro-boro mendapat kesempatan meng-eksplore talentanya, mereka disibukkan diri mengais recehan. Di usia sangat dini mereka harus bergumul dengan kejamnya dunia. Kejamnya sistem yang tidak menjamin kesejahteraan dan keadilan, bagi orangtuanya, termasuk dirinya.
Nasib mereka jelas sangat kontras dengan dunia anak-anak di panggung hiburan. Orangtuanya, produsernya dan semua yang terlibat dalam eksploitasi justru disanjung dan dipuji. Tak pernah disorot dan dituding mengeksploitasi anak-anak alias bocah dibawah umur itu. Mereka justru dianggap berjasa bak pahlawan, karena berhasil menemukan bakat terpendam anak hingga menjadi “sukses”. Apa ukuran suksesnya? Terkenal dan mendatangkan uang.

MATERIALISTIS
Cara pandang yang sungguh tidak adil seperti di atas, dipengaruhi pola pikir dan gaya hidup masa kini yang serba materialistis. Bagi kalangan tertentu, anak dianggap aset bagi orangtuanya. Selama aset itu bisa dimanfaatkan untuk mendatangkan materi, kenapa tidak?
Mereka akan selalu berdalih, semua itu demi masa depan anak. Justru dengan mendapatkan honor, anak-anak mampu mewujudkan semua keinginannya. Lagipula, anak-anak enjoy, tidak merasa terpaksa dan dipaksa.
Padahal sudah bukan rahasia, anak-anak yang diorbitkan menjadi artis sejak usia dini, tak sedikit yang labil jiwanya. Kalaupun ada artis cilik yang sejak kecil menunjukkan ke-enjoy-annya, juga berprestasi bagus di sekolah, bisa dihitung dengan jari.
Yang pasti, umumnya artis cilik harus mengikuti jadwal manggung sana-sini yang cukup menyita energi. Belum lagi syuting sinetron atau iklan yang kerap sampai pagi. Mereka tak sempat bermain normalnya anak kecil, kecuali di sela-sela “jam kerjanya.” Padahal bermain adalah dunia anak yang sangat berharga.
Terlebih, sebagai idola, mereka dituntut tampil tanpa cela. Harus selalu tampak anggun, imut dan menggemaskan. Harus mandiri, tidak boleh cengeng, tak boleh melakukan kesalahan dalam setiap penampilannya.
Yang lebih memprihatinkan, anak-anak dengan bakat luar biasa ini, akhirnya hanya akan menjejali dunia hiburan ketika dewasa. Hampir dipastikan, artis cilik akan selamanya menjadi artis hingga dewasa, atau bahkan usia senja. Maklum, sudah mencicipi nikmatnya dapat duit di panggung hiburan yang serba gemerlap, akhirnya mengabaikan cita-cita luhurnya di masa lalu.
Akhirnya, tujuan mulia untuk menggali potensi anak demi mendukung pengembangan kecerdasan dan kreativitasnya di masa depan menjadi tergadaikan. Semoga bukan seperti ini yang akan terjadi. Semoga ajang-ajang penggalian bakat anak benar-benar murni sekadar sebagai wadah kreativitas anak. Bukan kedok melahirkan mesin-mesin uang baru di industri hiburan yang memang sangat menggiurkan.(*)

Abyan (baju hijau) menyanyi di perpisahan PAUD Belia Kita. Anak-anak suka nyanyi dan seni lainnya, tapi bukan untuk dieksploitasi. (Foto by Asri. Location: PAUD Belia Kita, Curugmekar, Bogor)


Republik Zina Menunggu Binasa



Oleh Asri Supatmiati, S.Si
Penulis buku “Indonesia dalam Dekapan Syahwat”

Masih gadis sudah tidak perawan? Tak perlu mengernyitkan dahi. Saat ini perempuan belum menikah tapi sudah tidak virgin bukanlah barang langka. Survey terbaru yang dilakukan lembaga internasional DKT bekerja sama dengan Sutra and Fiesta Condoms mengungkap, remaja tak lepas dari seks bebas. Buktinya, 462 responden berusia 15 sampai 25 tahun semua mengaku pernah berhubungan seksual. Semua, 100 persen! Dan, mayoritas mereka melakukannya pertama kali saat usia 19 tahun. Survey dilakukan Mei 2011 di Jakarta, Surabaya, Bandung, Bali, dan Yogyakarta (Republika.co.id, 12/12/2011).
Selanjutnya, data yang diungkap lebih miris lagi. Yakni, sebanyak 88 persen hubungan seks dilakukan bersama pacar, 9 persen dengan sesama jenis (terutama wanita), dan 8 persen dengan PSK (untuk pria). Umumnya mereka melakukan zina di tempat kos (33 persen), hotel atau motel (28 persen), sementara rumah 24 persen. Lama pacaran mereka sebelum berhubungan seksual, rata-rata satu tahun.
Perzinaan agaknya sudah menjadi gaya hidup sebagian warga berhaluan liberal di Republik ini. Tepatnya, sejak kran liberalisasi di berbagai bidang dibuka, life style ala Barat yang sarat dengan gelagak syahwat turut menjadi penumpang gelap. Dilegalkan tidak, tapi merebak di mana-mana. Pornografi, pornoaksi, pelacuran, permesuman dan hiburan maksiat, begitu dekat, mengulik urat syahwat.
Tak peduli lelaki baru baligh, atau gadis bau kencur, jika saraf-saraf nafsunya sudah diobrak-abrik, apa pun dilakukan. Jika pintu legal pernikahan begitu terjal, zina gratis jadi pelampiasan. Toh suka sama suka, saling menguntungkan, tak ada yang dirugikan. Dan lebih penting, toh tak ketahuan. Boro-boro dikenai rajam atau sekadar dikucilkan, dengan bangga pelaku zina mem-videokan adegan vulgarnya.
Bagaimana dengan memperkosa? Memang terlalu berat risikonya. Kalau zina suka sama suka, tidak ada delik pidananya. Perkosaan hanya dilakukan mereka yang “kebelet” melampiaskan nafsu tapi tak punya pacar, atau tak punya uang untuk membayar pelacur. Juga, yang tak kuat nikah karena biaya administrasinya mahal, atau tak punya calon saking tak lakunya. Dan, di negeri ini, tipe seperti inipun tak kalah banyaknya. Fenomena pemerkosaan di angkutan umum adalah salah satunya. Korbannya sudah banyak berjatuhan, perempuan semakin terancam di luar sana. Kejahatan seksual mengintai setiap detik. Kalau tak diperdaya dengan rayuan gombal, dicaplok para pemerkosa. Duh!

Melarang atau Merangsang?
Omong kosong jika negara melindungi warganya. Yang ada bukannya melarang, malah merangsang mereka untuk menjadi penikmat syahwat. Memblokir situs porno hanya sebatas niat baik. Baru sejenak sudah jebol lagi. Bahkan dipelopori jajaran pejabat sendiri (ingat kasus anggota DPR yang ketahuan mengakses situs porno saat sidang?).
Juga, tidak pernah bersedia menghukum berat para pelaku zina. Bagaimana pelaku zina akan kapok, kalau ketahuan justru dinikahkan? Jangan heran jika kita membaca berita, tiap hari selalu ada episode-episode anyar video-video mesum amatir dengan aktor-aktris muda-mudi yang dimabuk asmara, pelajar kurang ajaran, atau pasangan selingkuh.
Sekali lagi, negara justru menggelontorkan kebijakan yang memperlonggar perzinaan. Media massa, novel, komik, iklan, lukisan, sinetron, film, foto, lagu dan tayangan realty show bertema cabul pun bebas beredar. Tidak akan dibredel sekalipun sudah protes massal oleh masyarakat. Pelacuran, eksploitasi aurat perempuan, dan tempat-tempat hiburan yang menjajakan syahwat, dibiarkan. Tidak akan ditutup asal menyumbang pajak.
Di sisi lain, negara membuat berbagai larangan untuk menyumbat penyaluran syahwat dengan cara-cara legal. Usia pernikahan terus dinaikkan, biaya nikah dimahalkan dan syarat penikahan diperketat. Termasuk, upaya pelarangan poligami sekalipun bagi mereka yang mampu. Mungkin memang inilah yang diharapkan negara liberal ini: industri porno menggeliat, zina dini meningkat, pemerkosaan berlipat, kehamilan di luar nikah tumbuh cepat, aborsi dipersingkat, dan lahirlah generasi-generasi bejat. Persis di Barat, yang kini di ambang kebinasaan. Akankah Republik ini diam saja menunggu saat yang sama?

Menolak Agama?
Fenomena di atas tentu bukan perkara remeh. Muda-mudi calon pemimpin masa depan, sudah sedemikian amoral. Berani menghalalkan zina yang jelas-jelas diharamkan. Anehnya, terhadap persoalan ini, tidak ada –kecuali kalangan Islam-- yang menuding sistem hidup sekuler-liberallah yang menjadi akar masalahnya. Padahal sistem inilah yang “mewajibkan” remaja pacaran, hingga merasa tak gaul tanpa berhubungan badan dengan pujaan hatinya.
Sistem inilah yang mengajarkan, bahwa perempuan harus membuka auratnya, mempertontonkan kepada lelaki bukan mahromnya. Sistem inilah yang memandu tumbuh kembang remaja, tanpa didampingi kedua orangtuanya yang sangat sibuk digilas roda perekonomian. Sistem inilah yang memberhalakan materi, uang dan kenikmatan seksual.
Memang, mereka mengharapkan “agama” (baca: Islam) mampu menyelesaikan persoalan ini. Pada saat remaja ketahuan amoral, segera semua pihak berteriak “ini karena kurangnya pendidikan agama” atau “para ulama harusnya lebih berperan membina akhlak remaja” dan “para guru dan orangtua harus menanamkan nilai-nilai moral lebih intens pada anak-anaknya.”
Agama dijadikan tong sampah saja, sekadar untuk memperbaiki keadaan yang sudah rusak. Anak nakal dan bandel, dikirim ke pesantren. Image pesantren sebagai pendidikan mulia pun babak belur. Terlebih lagi, pada saat yang sama diopinikan bahwa pesantren adalah “produsen” teroris. Lulusan pesantren, orang-orang mukhlis itu, didakwa membahayakan eksistensi negara. Sementara para pelaku maksiat dianggap pahlawan penyumbang devisa.
Tapi, baiklah, agama (baca: Islam) bersedia memperbaiki keadaan. Bahkan punya sulosi komprehensif untuk menuntaskan segala persoalan. Bukan hanya mengatasi perzinaan, itu terlalu “mudah.” Bahkan mengatasi kemiskinan, kelaparan, ketimpangan sosial, kriminalitas, dll, serahkan saja padanya.
Tapi, mengapa ketika Islam –yang dipeluk mayoritas penduduk negeri ini-- mengajukan syariatnya sebagai solusi, dicap mengancam eksistensi negara, radikal, ekstrimis, intoleran, bahkan antipemerintah? Kenapa negara dengan setia menerapkan sekulerisme, padahal sekulerisme itu sendirilah yang melahirkan semua kebobrokan sosial ini? Sebaliknya, kenapa menuduh ideologi Islam, yang belum pernah diberi kesempatan memerintah negeri ini, dengan tuduhan-tuduhan miring? Tampak jelas, siapa yang bermuka dua, antara butuh dan tidak butuh terhadap Islam.
Inilah tanda-tanda akhir zaman. Ketika perzinaan merajalela dan masyarakat menganggapnya biasa. Kalau sudah begini, Republik ini tinggal menunggu kebinasaan. Diriwayatkan dalam Shahih Bukhari, Abu Malik al Asy'ari bahwa dia mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sungguh ada dari umatku beberapa kaum yang menghalalkan/menganggap halal perzinahan, sutera, minuman keras, dan musik-musik." (HR. Bukhari)
Diriwayatkan pula dari Abu Hurairah r.a, dari Nabi SAW beliau bersabda: "Demi Allah yang diriku di tangan-Nya, tidaklah akan binasa umat ini sehingga orang-orang lelaki menerkam wanita di tengah jalan (dan menyetubuhinya) dan di antara mereka yang terbaik pada waktu itu berkata, "alangkah baiknya kalau saya sembunyikan wanita ini di balik dinding ini." (HR. Abu Ya'la. Al Haitsami berkata, "perawi-perawinya shahih." Lihat Majmu' Zawaid: 7/331)(*)