Perempuan Sejahtera dalam Naungan Khilafah


Oleh Asri Supatmiati, S.Si

Kesejahteraan yang berujung pada kebahagiaan adalah dambaan setiap manusia, termasuk perempuan. Namun, kondisi tersebut agaknya belum dirasakan mayoritas perempuan. Sebaliknya, jika kita memotret perempuan masa kini, maka akan terpampang gambaran miris. Seperti perempuan yang rendah pendidikannya, banyak yang buta aksara dan kesulitan ekonomi karena kemiskinan. Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut, hingga Maret 2010, ada 31,02 juta penduduk miskin di Indonesia, atau 13,33 persen dari total penduduk Indonesia. Dan, sebagian besar warga miskin itu adalah perempuan.
Tak sedikit perempuan yang akhirnya stres, hilang ingatan, atau bunuh diri. Bahkan, perempuan pun kini terlibat perilaku kriminal seperti mencuri, menipu, menjual narkoba, membunuh anak kandung sendiri, serta korupsi. Tak hanya itu, angka kematian ibu juga tinggi akibat mahalnya biaya kesehatan. Perempuan banyak yang menjadi korban pelecehan seksual, perkosaan, kekerasan dan bahkan tubuhnya diperdagangkan dengan harga murah. Perempuan benar-benar bernasib malang.
Semua problem tersebut terjadi akibat diterapkannya sistem sekuler, yang memisahkan agama dari kehidupan. Benar, para perempuan itu beragama, bahkan Islam, tapi tidak menjadikan agama sebagai pedoman bagi seluruh aktivitasnya. Sebaliknya, menjadikan sekulerisme dan liberalisme sebagai panduan dalam menjalani kehidupan. Ditambah pula negara, yang sama sekali tidak menjadikan nilai-nilai Islam dalam mengatur rakyatnya. Negara bahkan lebih banyak menerapkan resep-resep negara asing yang memang menjadi pelopor diterapkannya sekulerisme-liberalisme. Lihat saja, negara Indonesia dari tahun ke tahun semakin liberal dan bahkan menuju pada kegagalan dan kehancuran. Akibatnya, bukan hanya perempuan yang bernasib buruk, kaum laki-laki, anak-anak dan remaja umumnya, mayoritas juga sengsara.

Profil Perempuan Sekuler
Dalam pandangan ideologi sekuler-liberal, persoalan yang menghimpit perempuan harus diselesaikan oleh perempuan itu sendiri dengan sudut pandang perempuan. Menurut sekulerisme, jika perempuan miskin, maka harus didorong untuk mandiri agar mampu mendapatkan penghasilan sendiri. Walaupun itu dilakukan dengan mengekspolitasi tubuhnya sebagai komoditi, tak mengapa demi materi. Termasuk menjual diripun, dianggap sebagai “bekerja”. Na'udubillahi min zalik.
Juga, sekalipun dengan melupakan kodratnya sebagai perempuan atau melanggar syariat Islam. Seperi menjadi tenaga kerja wanita yang berarti meninggalkan suami dan anak-anaknya bertahun-tahun. Jelas, hal ini sangat menyengsarakan perempuan itu yang dengan sangat terpaksa berpisah dengan orang-orang yang dikasihinya.
Perempuan pun dibujuk untuk berpolitik praktis, seperti menjadi anggota dewan atau menjadi bupati, gubernur dan jabatan strategis lainnya dengan harapan mampu melahirkan kebijakan yang senantiasa menguntungkan kaum perempuan. Padahal, negara kita pernah dipimpin presiden perempuan, namun apakah nasib perempuan menjadi lebih baik? Juga, banyak anggota dewan dan menteri perempuan, namun nasib perempuan masih jauh dari harapan.
Islam Jaminan Kesejahteraan
Kondisi di atas jelas berbeda halnya jika perempuan berpedoman pada Islam sebagai jalan hidup. Ya, seandainya Islam dijadikan landasan dalam menjalankan kehidupan di seluruh aspek, niscaya nasib perempuan akan menemukan kondisi terbaiknya. Kesejahteraan dan kebahagiaan sebagai tujuan hidup akan dirasakan. Ini karena Islam sudah mengatur dengan sangat indah upaya-upaya untuk menyejahterakan perempuan khususnya, dan umat manusia pada umumnya. Baik aturan individual maupun sistemik, sangat menguntungkan perempuan.
Sebagai contoh (1) nafkah perempuan ditanggung walinya, yakni orangtuanya sampai ia menikah. Jika wali dan kerabatnya tidak mampu, negara wajib menanggungnya. (2) Perempuan wajib menjaga harga dirinya agar tidak dieksploitasi, seperti diperintahkan menutup aurat, meminta izin wali jika keluar rumah, ditemani mahrom jika menempuh safar, dilarang tabaruj atau berdandan mencolok, dilarang mengeksploitasi diri. (3) Perempuan diwajibkan memerankan peran sesuai kodratnya, dilarang berdandan menyerupai laki-laki dan melakukan aktivitas yang membahayakan dirinya. (4) Perempuan diperbolehkan berkiprah positif di masyarakat, seperti mengabdikan ilmu, bekerja sosial, berdakwah dan berjihad.
Hal di atas hanya secuil jaminan Islam dalam menyejahterakan perempuan. Yang perlu dipahami, kesejahteraan tersebut akan bisa dinikmati jika seluruh aspek kehidupan diterapkan Islam secara kaffah. Artinya, kebahagiaan perempuan muncul jika diterapkan sistem politik yang adil, sistem sosial yang sehat, pendidikan dan kesehatan murah/gratis, dimudahkannya akses terhadap sumber daya ekonomi, distribusi kekayaan merata, eksploitasi sumber daya alam yang benar dan demi kepentingan rakyat.
Itu semua bisa terwujud jika Islam dijadikan pedoman dalam membangun negara. Sebagaimana Rasulullah SAW ketika mendirikan negara di Madinah, atau para Khulafaur Rasyidin penerus beliau yang mendirikan Khilafah Islamiyah sebagai sistem politik.
Mengapa Harus Khilafah?
Ada beberapa alasan mengapa Islam harus ditegakkan dalam bentuk Khilafah. Pertama, perintah Allah SWT. Di antaranya seruan Al-Maidah:44-46:
وَمَن لَّمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُوْنَ
“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah maka mereka itu adalah orang-orang kafir.”
وَمَن لَّمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْظَالِمُوْنَ
“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah maka mereka adalah orang-orang yang zalim.”
وَمَن لَّمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُوْنَ
Barangsiapa tdk memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.”
Kedua, fakta sejarah. Khilafah telah diterapkan selama 13 abad, hingga menguasai 2/3 wilayah dunia. Tidak ada sistem lain di dunia yang mampu menandinginya. Ilmuwan, ahli sejarah, ulama dan siapapun yang objektif mempelajari sejarah dunia mengakui eksistensinya. Ketiga, realitas keburukan sistem sekuler. Saat ini, di seluruh dunia, kegagalan sekulerisme dalam menyejahterakan dunia semakin tampak nyata. Bagaimanapun, umat manusia, membutuhkan alternatif sistem baru. Islam diyakini satu-satunya kekuatan baru demi terciptanya tatanan dunia baru.
Berdasarkan hal itu, tidak ada alasan bagi kita untuk menolak Khilafah. Bahkan, kita harus turut serta mendukung dan memperjuangkannya, bersama jutaan umat muslim di seluruh belahan dunia yang kini bahu-membahu memperjuangkannya. Lantas bagaimana peran kita, kaum perempuan dalam upaya memperjuangkan Khilafah? Sesuai seruan Allah SWT dalam surat Ali Imran:105 yang artinya: “Dan hendaknya ada di antara kalian segolongan orang yang menyeru kepada kebaikan, dan memerintahkan berbuat kebaikan dan melarang berbuat kejahatan.”

Khatimah
Aturan buatan Allah SWT berupa seperangkat syariat Islam tersebut, tidak hanya menyejahterakan perempuan, tetapi seluruh umat manusia pada umumnya. Bahkan bukan hanya muslim, warga non muslim yang mau tunduk dan patuh pada aturan Islam akan sejahtera. Karena itu, selayaknya kita, kaum perempuan khususnya dan umat Islam umumnya, sangat merindukan segera diterapkannya syariat Islam secara kaffah dalam naungan Khilafah Islamiyah. Bukan semata-mata mengejar kesejahteraan dan kebahagiaan, lebih dari itu juga demi menjalankan kewajiban sebagai hamba Allah SWT demi mendapatkan kerihoaannya. Karena sesungguhnya, keridhoan Allah SWT itulah kebahagiaan hakiki. Wallahu'alam bi showab.(*)

Asri Supatmiati, penulis buku Indonesia dalam Dekapan Syahwat.

Para perempuan, siapapun dia, ingin hidup sejahtera. Location: Chico Resort, Bogor. Foto by Someone.


Pemekaran dan Ancaman Disintegrasi


Oleh Asri Supatmiati, S.Si

Sepanjang sejarah Indonesia tak pernah lepas dari ancaman disintegrasi bangsa. Bahkan duka mendalam pernah melanda, ketika si bungsu Timor Timur melepaskan diri dari NKRI. Terlebih di era reformasi saat ini, dengan diterapkannya otonomi daerah (otda), ancaman disintegrasi bangsa justru semakin menguat. Terbaru, ada 33 usulan pemekaran provinsi dari 178 usulan pemekaran. Otda yang sejatinya diharapkan menjadi solusi untuk meredam ancaman disintegrasi, malah menjadi bumerang dengan tumbuh suburnya benih-benih perpecahan di daerah. Bagaimana hal ini bisa terjadi?

Ancaman Disintegrasi
Otda bukanlah solusi, melainkan justru menimbulkan masalah baru. Salah satu yang mengkhawatirkan adalah ancaman disintegrasi banga. Paham pelimpahan wewenang yang luas kepada daerah merupakan politik belah bambu yang telah lama dipupuk sejak zaman penjajahan. Otonomi daerah telah mengkotak-kotakkan wilayah menjadi daerah basah dan daerah kering. Pengkavlingan ini semakin mencuatkan ketimpangan pembangunan antara daerah kaya dan daerah miskin.
Adanya potensi sumber daya alam di suatu wilayah, juga rawan menimbulkan perebutan dalam menentukan batas wilayah masing-masing. Konflik horizontal sangat mudah tersulut. Contohnya, perseteruan antara nelayan di Cilacap karena ada salah satu pihak yang melewati batas daerah ketika mencari ikan. Padahal masih sama-sama wilayah Indonesia.
Di era otda, tuntutan pemekaran wilayah juga semakin kencang di mana-mana. Pemekaran ini telah menjadikan NKRI terkerat-kerat menjadi wilayah yang berkeping-keping. Satu provinsi pecah menjadi dua-tiga provinsi, satu kabupaten pecah menjadi dua-tiga kabupaten, dan seterusnya. Semakin berkeping-keping wilayah NKRI, semakin mudah separatisme dan perpecahan terjadi.
Dari sinilah, bahaya disintegrasi bangsa sangat mungkin terjadi. Bahkan, peluangnya semakin besar karena melalui otonomi daerah, campur tangan asing semakin mudah menelusup hingga ke desa-desa. Melalui otonomi daerah, bantuan-bantuan (baca: penjajahan) keuangan bisa langsung menerobos hingga ke kampung-kampung. Seperti bantuan dari lembaga-lembaga donor, pendampingan pemerintahan desa oleh LSM-LSM yang dibiayai asing, dan sebagainya.
Munculnya orang-orang asing berkedok LSM di daerah, menjadi provokator guna menyuburkan separatisme. Semangat primordialisme seringkali dijadikan alat untuk memecah-belah persatuan dan kesatuan bangsa. Dengan otda, Indonesia terkondisikan menjadi daerah otonom berdasarkan asal keturunan dan kesamaan suku. Semangat primordialisme ini membahayakan integritas bangsa. Contohnya suku Dayak mengusir orang-orang Madura di Kalimantan, orang Bugis-Buton-Makasar diusir dari tanah Ambon.
Bahkan dalam pemilihan kepala daerah, isu putra daerah asli sering menjadi prasyarat untuk dipilih. Parahnya lagi, hal ini merambah ke dunia bisnis. Dengan alasan bukan putra daerah, seorang pendatang tak memiliki kesempatan untuk bekerja atau berusaha.
Kondisi ini sangat ironis, berlawanan dengan semangat kesatuan dan persatuan bangsa yang sering digembar-gemborkan. Ketika wilayah-wilayah di belahan dunia lain sedang bersatu mencari satu titik kesamaan, otonomi daerah justru menebarkan titik-titik sengketa dan perpecahan antara satu sama lain. Negara Eropa bersatu dalam Uni Eropa, tapi Indonesia justru terancam tercerai berai atas nama otonomi daerah.
Bila hal ini dibiarkan, separatisme akan tumbuh subur dan mudah bagi kekuatan asing untuk memainkan kuku-kukunya guna memecah belah wilayah NKRI.

Provokasi Asing
Diterapkannya otonomi daerah di Indonesia sejak era reformasi, tak lepas dari kepentingan asing, yakni sekularisme global. Wacana otonomi daerah mencuat berkat provokasi para pakar asing yang menilai bahwa negara dengan wilayah yang begitu luas dan penduduk yang sangat majemuk, seperti Indonesia, haruslah meletakkan federalisme sebagai pilihan untuk mencegah terjadinya konflik kesukuan atau daerah.
Mereka mencontohkan Amerika Serikat, Jerman, Brazil, Afrika Selatan, Kanada, Australia, Argentina dan India. Namun, karena istilah federalisme dikhawatirkan justru memicu berdirinya negara-negara baru di daerah-daerah, maka gagasan otonomi daerahlah yang kemudian lebih populer. Padahal otda dan federalisme tipis bedanya.
Kemudian, federalisme bukanlah satu-satunya syarat dalam mengelola negara majemuk seperti Indonesia, karena menurut Samuel Hutington, hal itu mesti dibarengi dengan demokratisasi. Dengan demikian, demokratisasi yang bergaung nyaring sejak reformasi, semakin mendapat angin dengan diterapkannya otonomi daerah.
Dengan demikian jelaslah, otda sejatinya salah satu strategi untuk mengokohkan hegemoni sistem sekular-kapitalisme melalui upaya demokratisasi. Dengan otda, demokratisasi menerobos tanpa terbendung hingga ke pelosok-pelosok wilayah, termasuk desa atau kampung-kampung.
Dalam hal pemerintahan misalnya, di tingkat desa dilangsungkan pemilihan kepala desa (Pilkades) secara langsung. Sistem lurah yang ditunjuk oleh pejabat di tingkat atas (camat) sudah jarang dilakukan, kecuali di beberapa desa saja.
Padahal, pada praktiknya, Pilkades ini berpotensi menimbulkan konflik horizontal antarwarga sehingga rawan menimbulkan perpecahan. Antara pendukung calon kades saling berseteru, apalagi jika Pilkades diwarnai dengan dugaan-dugaan kecurangan. Melalui Pilkades, masyarakat juga menjadi terbiasa dengan money politics dan kolusi, sehingga semakin rusaklah tatanan pelaksanaan pemerintahan di tingkat paling kecil ini. KKN merajalela sebagai buah diterapkannya sistem kapitalisme-demokrasi.
Sampai di sini, asinglah yang banyak diuntungkan dengan pemberlakuan otonomi daerah. Sebab, prasyarat yang diajukan identik dengan upaya penyebarluasan kepentingan-kepentingan mereka di seantero dunia, yakni atas nama globalisasi, demokratisasi dan penegakan HAM.

Pertahankan Kesatuan
Kesatuan negara adalah sesuatu yang sangat urgen bagi bangsa dan umat, demi mencapai tujuan mereka dalam kehidupan. Oleh karena itu, negara harus dijaga dari ancaman disintegrasi.
Lagipula, akumulasi dari penindasan, kesewenang-wenangan dari sistem hukum dan pemerintahan yang ada, tidak akan selesai begitu saja secara otomatis dengan diterapkannya otonomi daerah. Karena, kerusakan sistem hanya dapat diselesaikan dengan mencampakkan sistem lama, kemudian diganti dengan sistem yang adil dan sempurna.(*)

Penulis adalah jurnalis, penulis buku-buku Islam.

Asri (tengah) berdialog dengan Istri Gubernur Jawa Barat Netty Heryawan. Foto by Sofyansyah/radar bogor.

Ruyati dan Hukuman Mati


Oleh Kholda Naajiyah

Kabar soal TKI selalu bikin trenyuh. Belum tuntas urusan Dasem yang harap-harap cemas menunggu hukuman pancung atau bayar denda Rp4,7 miliar, muncul Ruyati binti Satubi, TKI asal Indonesia, Sabtu (18/6/2011) yang dihukum mati setelah mengaku membunuh majikannya Khairiya binti Hamid Mijlid pada 2010.
Dipastikan, ini bukan akhir kisah tragis TKI. Pasalnya, terkuak bahwa ratusan TKI lain di berbagai negara juga terancam hukuman sama: mati. Semua pihak pun geram dan marah mendengar ini. Demo menuntut penghentian pengiriman TKI ke Arab Saudi pun mengalir. Apalagi negara tersebut belum mau menandatangani nota kesepakatan dengan pemerintah RI soal perlindungan TKI. Bahkan, warga mengancam sweeping warga Saudi di Tanah Air.
Persoalan kian melebar, karena keabsahan hukuman mati ikut-ikutan disoal. Apalagi, saat ini 90 negara di dunia sudah menghapuskan jenis hukuman ini. Sebelas negara lainnya menghapus hukuman mati kecuali untuk kejahatan-kejahatan luar biasa dan 32 negara tidak menghapus hukuman mati, namun tak pernah juga menerapkan hukuman mati.
Arab Saudi sebagai representasi negara Islam di dunia saat ini, masih mempertahankan hukuman mati (qishos). Padahal, banyak kalangan menilai hukuman ini tidak manusiawi. Tak ayal, citra (negara) Islam semakin babak belur, setelah isu terorisme dan Negara Islam Indonesia (NII).

AKAR KEMISKINAN
Kemarahan masyarakat terkait kasus di atas wajar belaka. Sebab, selama ini sudah sangat telanjang, betapa buruknya perlindungan negara terhadap TKI. Mereka terlantar dan terlunta-lunta di negeri orang, sementara tenaganya diperas demi mengalirkan devisa. Sematan “pahlawan devisa” atau “economic hero” hanya pelipur lara, seolah meninggikan derajat mereka. Padahal, hanya duitnya yang dimuliakan. Mereka tak lebih tumbal devisa.
Ironi ini terjadi, karena visi negara untuk menyejahterakan rakyatnya sangat lemah (jika tidak boleh disebut 'tidak punya'). Semua tahu, persoalan TKI berakar dari kemiskinan, ketidaksejahteraan dan ketidak-adilan. Seandainya masyarakat sejahtera, tercukupi kebutuhan sandang, pangan, papan, disamping pendidikan dan kesehatan murah, niscaya tidak akan ada yang sudi jadi TKI. Ya, seandainya bekerja di dalam negeri gaji cukup, tak akan ada yang rela berpisah bertahun-tahun dengan keluarga serta anak-istri/suami tercinta.
Bukankah masyarakat kita, khususnya pepatah Jawa mengatakan, mangan ora mangan asal ngumpul (makan tidak makan asal kumpul)? Artinya, seandainya boleh memilih, masyarakat kita lebih bahagia berkumpul bersama keluarga, kerabat, tetangga dan komunitasnya, meski istilahnya, tidak makan sekalipun. Inilah akar budaya masyarakat yang terpaksa dilabrak demi sebongkah harapan: perubahan nasib. Dan, karena mengharapkan perubahan nasib di dalam negeri ibarat mimpi di siang bolong, maka berbondong-bondonglah mengadu nasib ke negeri jiran. Padahal, ibarat judi, menjadi TKI bisa untung tapi bisa pula buntung.
Jahatnya, keadaan ini lantas dimanfaatkan para kapitalis yang memberhalakan materi. Dengan 1001 cara, mereka membujuk, merayu dan menjebak orang-orang miskin yang nyaris putus asa ini dengan seribu mimpi. Pemalsuan dokumen, pengiriman TKI ilegal, hingga perdagangan manusia mewarnai praktik kotor pengiriman TKI.
Karena itu, jangan harap episode Ruyati akan berhenti, selama kemiskinan masih bercokol di negeri ini. Juga, selama pemerintah memandang TKI sebagai aset mendulang devisa dan tidak bertindak tegas atas penjualan manusia dengan modus PJTKI (Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia).

AMBIGU
Menyoal hukuman mati, sepanjang sejarah selalu debatable. Masyarakat kita pun ambigu. Dalam kasus Ruyati, sebagian elemen masyarakat menggebu-gebu menentang hukuman mati karena dinilai tidak manusiawi. Padahal pada kesempatan yang sama, muncul wacana agar para koruptor dihukum mati saja karena sudah menyengsarakan seluruh rakyat Indonesia.
Demikian pula, jika ditanya apakah setuju dengan hukuman mati pada terpidana Bom Bali, yakni Imam Samudra, Amrozi dan Ali Imron? Mereka tidak akan menolak. Juga, layakkah pembunuh sadis seperti jagal Jombang Ryan, atau Ahmad Suradji alias Dukun AS, atau Sumiarsih yang membantai satu keluarga, dihukum mati? Tentu, sebagian besar masyarakat menganggukkan kepala.
Itulah fakta, mengapa hukuman mati diperlukan. Selain sebagai bentuk hukuman setimpal atas kejahatan luar biasa yang dilakukannya, sejatinya hukuman mati sangat manusiawi karena membela korban semaksimal mungkin. Bukankah nyawa korban yang begitu mudah dihilangkan para pembunuh itu sangat berharga?
Karena itu, kita harus objektif memandang sebuah sanksi atas tindakan kriminal. Terlebih, setiap negara tentu memiliki mekanisme hukum yang harus dihormati. Hukum pancung bagi Ruyati, jika memang terbukti membunuh, sudah proporsional. Karena dalam Islam, hukum qishos memang berlaku.
Meski begitu, sejatinya ada alternatif selain diqishos, yakni memohon ampunan keluarga korban. Terlebih, banyak yang meyakini, Ruyati membunuh bukan tanpa sebab, melainkan upaya membela diri dari kebiadaban majikannya. Sehingga, bisa saja ini akan meringankan hukumannya.
Inilah memang, yang disesalkan banyak pihak, yakni, mengapa dipancungnya Ruyati tanpa pendampingan pihak pemerintah Indonesia. Sebab, bisa jadi, jika pemerintah memang melindungi warga negaranya, lobi kepada keluarga korban c.q pemerintah Arab Saudi untuk memaafkan pelaku berpeluang menyelamatkan nyawa Ruyati. Dan itu yang dialami Dasem saat ini. Bahkan ada TKI juga sudah lolos dari hukum pancung karena mendapat ampunan.
SOLUSI IDEAL
Sangat tidak proporsional jika hukuman mati digeneralisir sebagai bentuk kekejian. Justru, ada saatnya hukuman mati wajib ditegakkan. Pemelintiran soal hukuman mati ini, tak lebih sebagai bentuk islamophobia, yakni ketakutan berlebihan terhadap Islam. Terlebih semangat mendirikan negara Islam, senantiasa terkait dengan upaya penegakan hukum qishos, yang selama ini memang tidak bisa ditegakkan tanpa institusi negara Islam.
Indonesia sendiri, meski tidak sekonsisten Arab Saudi, masih menerapkan hukuman mati. Tak hanya bagi warga negaranya, juga warna negara asing, terutama yang terlibat kasus narkoba. Apakah masyarakat Indonesia protes atas hukuman mati warga asing tersebut? Tidak sama sekali. Bahkan, sangat mendukung, demi harga diri bangsa dan masyarakat.
Terlebih dalam konteks Islam, hukuman mati itu sendiri mengandung pengampunan bagi terdakwanya, dan penghidupan bagi eksistensi manusia. Karena itu, semestinya kita justru meniru Arab Saudi yang tegas dalam menerapkan hukuman, baik bagi warganya sendiri maupun warga asing. Kita tahu, Arab Saudi termasuk negara yang tingkat kriminalitasnya paling rendah di dunia.
Bandingkan dengan kriminalitas di sekitar kita, yang kian hari kian meningkat baik kualitas maupun kuantitasnya. Berita pembunuhan, perkosaan, perampokan dan penganiayaan sudah menjadi sarapan pagi setiap hari. Begitu pula kemaksiatan, seperti narkoba, pornografi, pelacuran, perzinaan, dan perdagangan manusia, semakin menggila. Semua itu terjadi karena negara kita lebih berkiblat pada Barat (baca: Amerika Serikat) dibanding Timur (negara-negara Islam). Ironi, padahal negara kita mayoritas berpenduduk muslim.

KHATIMAH
Apapun yang terjadi, nyawa Ruyati sudah terlanjur melayang. Yang bisa kita lakukan sebagai sesama muslim adalah turut mendoakan, semoga pengorbanannya diterima Allah SWT. Baik pengorbanannya demi keluarga, maupun keridhoaannya menjemput ajal demi menebus dosa. Semoga Ruyati benar-benar bersih. Amin.(*)

Kholda Naajiyah, S.Si,
Aktivis Muslimah Hitbut Tahrir Indonesia.

Ruyati. Foto from Google.