Pemekaran dan Ancaman Disintegrasi


Oleh Asri Supatmiati, S.Si

Sepanjang sejarah Indonesia tak pernah lepas dari ancaman disintegrasi bangsa. Bahkan duka mendalam pernah melanda, ketika si bungsu Timor Timur melepaskan diri dari NKRI. Terlebih di era reformasi saat ini, dengan diterapkannya otonomi daerah (otda), ancaman disintegrasi bangsa justru semakin menguat. Terbaru, ada 33 usulan pemekaran provinsi dari 178 usulan pemekaran. Otda yang sejatinya diharapkan menjadi solusi untuk meredam ancaman disintegrasi, malah menjadi bumerang dengan tumbuh suburnya benih-benih perpecahan di daerah. Bagaimana hal ini bisa terjadi?

Ancaman Disintegrasi
Otda bukanlah solusi, melainkan justru menimbulkan masalah baru. Salah satu yang mengkhawatirkan adalah ancaman disintegrasi banga. Paham pelimpahan wewenang yang luas kepada daerah merupakan politik belah bambu yang telah lama dipupuk sejak zaman penjajahan. Otonomi daerah telah mengkotak-kotakkan wilayah menjadi daerah basah dan daerah kering. Pengkavlingan ini semakin mencuatkan ketimpangan pembangunan antara daerah kaya dan daerah miskin.
Adanya potensi sumber daya alam di suatu wilayah, juga rawan menimbulkan perebutan dalam menentukan batas wilayah masing-masing. Konflik horizontal sangat mudah tersulut. Contohnya, perseteruan antara nelayan di Cilacap karena ada salah satu pihak yang melewati batas daerah ketika mencari ikan. Padahal masih sama-sama wilayah Indonesia.
Di era otda, tuntutan pemekaran wilayah juga semakin kencang di mana-mana. Pemekaran ini telah menjadikan NKRI terkerat-kerat menjadi wilayah yang berkeping-keping. Satu provinsi pecah menjadi dua-tiga provinsi, satu kabupaten pecah menjadi dua-tiga kabupaten, dan seterusnya. Semakin berkeping-keping wilayah NKRI, semakin mudah separatisme dan perpecahan terjadi.
Dari sinilah, bahaya disintegrasi bangsa sangat mungkin terjadi. Bahkan, peluangnya semakin besar karena melalui otonomi daerah, campur tangan asing semakin mudah menelusup hingga ke desa-desa. Melalui otonomi daerah, bantuan-bantuan (baca: penjajahan) keuangan bisa langsung menerobos hingga ke kampung-kampung. Seperti bantuan dari lembaga-lembaga donor, pendampingan pemerintahan desa oleh LSM-LSM yang dibiayai asing, dan sebagainya.
Munculnya orang-orang asing berkedok LSM di daerah, menjadi provokator guna menyuburkan separatisme. Semangat primordialisme seringkali dijadikan alat untuk memecah-belah persatuan dan kesatuan bangsa. Dengan otda, Indonesia terkondisikan menjadi daerah otonom berdasarkan asal keturunan dan kesamaan suku. Semangat primordialisme ini membahayakan integritas bangsa. Contohnya suku Dayak mengusir orang-orang Madura di Kalimantan, orang Bugis-Buton-Makasar diusir dari tanah Ambon.
Bahkan dalam pemilihan kepala daerah, isu putra daerah asli sering menjadi prasyarat untuk dipilih. Parahnya lagi, hal ini merambah ke dunia bisnis. Dengan alasan bukan putra daerah, seorang pendatang tak memiliki kesempatan untuk bekerja atau berusaha.
Kondisi ini sangat ironis, berlawanan dengan semangat kesatuan dan persatuan bangsa yang sering digembar-gemborkan. Ketika wilayah-wilayah di belahan dunia lain sedang bersatu mencari satu titik kesamaan, otonomi daerah justru menebarkan titik-titik sengketa dan perpecahan antara satu sama lain. Negara Eropa bersatu dalam Uni Eropa, tapi Indonesia justru terancam tercerai berai atas nama otonomi daerah.
Bila hal ini dibiarkan, separatisme akan tumbuh subur dan mudah bagi kekuatan asing untuk memainkan kuku-kukunya guna memecah belah wilayah NKRI.

Provokasi Asing
Diterapkannya otonomi daerah di Indonesia sejak era reformasi, tak lepas dari kepentingan asing, yakni sekularisme global. Wacana otonomi daerah mencuat berkat provokasi para pakar asing yang menilai bahwa negara dengan wilayah yang begitu luas dan penduduk yang sangat majemuk, seperti Indonesia, haruslah meletakkan federalisme sebagai pilihan untuk mencegah terjadinya konflik kesukuan atau daerah.
Mereka mencontohkan Amerika Serikat, Jerman, Brazil, Afrika Selatan, Kanada, Australia, Argentina dan India. Namun, karena istilah federalisme dikhawatirkan justru memicu berdirinya negara-negara baru di daerah-daerah, maka gagasan otonomi daerahlah yang kemudian lebih populer. Padahal otda dan federalisme tipis bedanya.
Kemudian, federalisme bukanlah satu-satunya syarat dalam mengelola negara majemuk seperti Indonesia, karena menurut Samuel Hutington, hal itu mesti dibarengi dengan demokratisasi. Dengan demikian, demokratisasi yang bergaung nyaring sejak reformasi, semakin mendapat angin dengan diterapkannya otonomi daerah.
Dengan demikian jelaslah, otda sejatinya salah satu strategi untuk mengokohkan hegemoni sistem sekular-kapitalisme melalui upaya demokratisasi. Dengan otda, demokratisasi menerobos tanpa terbendung hingga ke pelosok-pelosok wilayah, termasuk desa atau kampung-kampung.
Dalam hal pemerintahan misalnya, di tingkat desa dilangsungkan pemilihan kepala desa (Pilkades) secara langsung. Sistem lurah yang ditunjuk oleh pejabat di tingkat atas (camat) sudah jarang dilakukan, kecuali di beberapa desa saja.
Padahal, pada praktiknya, Pilkades ini berpotensi menimbulkan konflik horizontal antarwarga sehingga rawan menimbulkan perpecahan. Antara pendukung calon kades saling berseteru, apalagi jika Pilkades diwarnai dengan dugaan-dugaan kecurangan. Melalui Pilkades, masyarakat juga menjadi terbiasa dengan money politics dan kolusi, sehingga semakin rusaklah tatanan pelaksanaan pemerintahan di tingkat paling kecil ini. KKN merajalela sebagai buah diterapkannya sistem kapitalisme-demokrasi.
Sampai di sini, asinglah yang banyak diuntungkan dengan pemberlakuan otonomi daerah. Sebab, prasyarat yang diajukan identik dengan upaya penyebarluasan kepentingan-kepentingan mereka di seantero dunia, yakni atas nama globalisasi, demokratisasi dan penegakan HAM.

Pertahankan Kesatuan
Kesatuan negara adalah sesuatu yang sangat urgen bagi bangsa dan umat, demi mencapai tujuan mereka dalam kehidupan. Oleh karena itu, negara harus dijaga dari ancaman disintegrasi.
Lagipula, akumulasi dari penindasan, kesewenang-wenangan dari sistem hukum dan pemerintahan yang ada, tidak akan selesai begitu saja secara otomatis dengan diterapkannya otonomi daerah. Karena, kerusakan sistem hanya dapat diselesaikan dengan mencampakkan sistem lama, kemudian diganti dengan sistem yang adil dan sempurna.(*)

Penulis adalah jurnalis, penulis buku-buku Islam.

Asri (tengah) berdialog dengan Istri Gubernur Jawa Barat Netty Heryawan. Foto by Sofyansyah/radar bogor.

No comments: