Family Time Tanpa Gadget ala Rasul




Budaya baru tengah terbentuk di era digital. Manusia tak lepas dari smartphone. Belanja pulsa jadi kebutuhan pokok. Gesek-gesek gadget jadi aktivitas harian. Obrolan pindah ke dalam genggaman. Gadget telah menjadi alat perekat, sekaligus perenggang. Menjadi sahabat karib, sekaligus musuh bagi keluarga modern.
Dianggap sahabat, karena begitu dekat dan mendekatkan yang jauh. Dianggap musuh, karena menjauhkan yang dekat, mengganggu interaksi dalam dunia nyata. Ancaman itu terutama adalah menggerus family time dalam rumah tangga. Maka muncul berbagai gerakan untuk mengambalikan family time tanpa gangguan gadget. Ini perlu didukung. Seperti berikut ini:

Hijab Halal di Sistem Haram



Sebuah papan reklame di pinggir jalan meremukkan hati para muslimah. Bukan, bukan karena reklame itu roboh. Tapi kalimat menggusarkan ini: “Yakin Hijab yang Kita Gunakan Halal?” Kewas-wasan pun menampar pikiran. Benarkah hijab yang telah kita kenakan dengan segenap perasaan takwa ini masih haram? Atau minimal subhat? Tidak cukupkah label hijab syar'i dengan parameter panjang dan menutup tonjolan badan kita kenakan? Berabad-abad lamanya hijab diperintahkan Kanjeng Nabi, dikenakan turun temurun hingga menjadi fashion item wajib para muslimah masa kini. Kenapa baru sekarang tiba-tiba (perlu) ada labelisasi halal? 

Deradikalisasi atau Deliberalisasi yang Dibutuhkan Anak?


* Musuh utama umat manusia adalah sekulerisme liberal, bukan agama.

"Perlu ada tindakan & hukuman yg tegas buat pengelola akun @gaykids*** biar tdk menjadi pelopor akun2 yg merusak generasi penerus bangsa," kata akun @wahyu_wibi. "@gaykids*** anak2 weehh dpat pelajaran darimana, astagfirullah. Benar2 kiamat sudh dekat," kata akun @MisDoraemon (TribunnewsBogor, 27/1/16).

Demikianlah kegeraman sebagian netizen (pengguna internet, red) melihat postingan foto anak lelaki, serta timeline menggunakan kalimat berbau seks dari pemilik akun. Bagaimana tak marah, kebanyakan follower-nya anak-anak usia SMP dan SMA. Sementara postingannya sungguh tak senonoh. Termasuk ajakan penyimpangan seksual.

Ya, satu lagi musuh orangtua yang mengancam putra-putrinya: LGBT. Komunitas lesbian, gay, biseksual dan transgender itu kini menyasar anak-anak bau kencur. Setelah masuk kampus, kelainan seksual itu kini menyasar anak usia labil, SMP dan SMA. Bahkan tidak ada jaminan kalau anak SD belum terinveksi penyakit liberal itu. Mengingat ada pula akun sejenis bernama gaysmp dan gaysma.

Tampaknya kerusakan mental dan moral anak-anak di negeri ini sudah (hampir) mencapai titik klimaks. Pacaran sudah merajalela, seks bebas bukan barang langka, perzinahan menggila, dan kini penyimpangan seksual menggejala. Kurang rusak apalagi?

Cinta Guru Kunci Keberkahan Ilmu



Hubungan guru dan murid seharusnya sangat dekat, dalam artian saling mencintai karena Allah SWT. Murid hormat dan sayang pada guru. Guru mencintai murid sebagai amanah. Murid yang berakhlak buruk pada gurunya tidak akan berkah ilmunya. Bisa jadi ia tidak dapat mengamalkan ilmunya, atau tidak dapat menyebarkannya.

Orangtua wajib menanamkan kecintaan pada guru terhadap anak. Agar anak senantiasa taat dan patuh pada guru di sekolah. Di sisi lain, orangtua juga harus menghormati dan mencintai guru-guru anaknya karena Allah SWT.

Bagaimanapun, para guru besar kontribusinya bagi perkembangan kecerdasan dan kepribadian anak-anaknya. Bukankah sebagian besar waktu anak justru lebih banyak dihabiskan di sekolah dalam rangka menimba ilmu dibanding di rumah? Lantas bagaimana menumbuhkan kecintaan terhadap guru?

Kriminalisasi Guru vs Hak Anak



Para pendidik sedang diuji kesabarannya. Pasalnya, Undang-undang Perlindungan Anak (UU PA) bisa menjadi ancaman kriminalisasi para guru. Seperti tragedi “saling gundul” di Majalengka, Jabar, yang menjadi kisah panjang sejak 2013 lalu.

Ceritanya, 19 Maret 2013 lalu, seorang guru SD Penjalin Kidul V, Aop Saopudin (31) menggunting rambut siswa yang gondrong. Rupanya Iwan, orangtua sang bocah, tak terima. Aop dipukuli dan digunduli. Didukung para guru di PGRI Kab. Majalengka, Aop lalu lapor polisi.

Iwan lapor balik atas tindakan Aop menggunduli anaknya. Di pengadilan, jakwa mendakwa Aop dengan 3 pasal yaitu: (1). Pasal 77 huruf a UU PA tentang perbuatan diskriminasi terhadap anak; (2). Pasal 80 ayat 1 UU PA tentang tindak kekerasan; (3). Pasal 335 ayat 1 kesatu KUHP tentang Perbuatan Tidak Menyenangkan.