Parenting

* Seri Catatan Buah Hati Bunda (1)

Obat Kulit Mahal

Oleh Asri Supatmiati

Suatu pagi yang cerah. Hari itu kami berencana membawa Ariiq (2 th) ke rumah sakit. Badannya sih tidak panas, tidak batuk atau pilek. Perutnya juga tidak kembung, muntah-muntah atau mencret. Kali ini penyakitnya gatal-gatal pada kaki dan tangan. Muncul bentol-bentol putih, seperti berisi air, tapi tidak lembek.
Sebenarnya ini bukan penyakit baru, sudah beberapa minggu. Bukan sengaja didiamkan, karena sebenarnya sudah diberi obat dari dokter umum dan dokter anak. Tapi ya itu tadi, penyakitnya bandel. Obat-obat yang tidak murah itu cuma menghilangkan rasa gatal sementara. Bentol-bentolnya muncul lagi, muncul lagi. Padahal Dik Ariiq sudah kupaksa diet dari makanan yang konon katanya pemicu gatal. Seperti ayam broiler, telur, ikan laut dan mecin.
Kata dokter yang sebelumnya memeriksa Ariiq, gatal-gatal itu terjadi karena kulitnya sensitif. Jadi, kena gigitan serangga, kuman atau makanan mengandung mecin/pengawet, alergi itu muncul. Makanya, gatal-gatalnya tak juga sembuh total. Akhirnya aku putuskan membawanya ke dokter spesialis kulit. Terbayang, pasti bakal merogoh kocek lebih dalam.
***
“Mas Abyan, Dik Ariiq, mau makan dulu apa mandi dulu?” seperti biasa, pagi-pagi setelah kakak Tsabita berangkat sekolah aku berkoar-koar.
“Makan dulu ah...tapi sambil main ke lapangan ya, Mi,” jawab Abyan (3,5 th).
“Nggak ah, makannya di rumah aja ya. Nanti Mas mau ikut nggak, umi mau nganterin Dik Ariiq ke rumah sakit,” kataku.
“Ke rumah sakit Mi? Mau-mau...Mas ikut ya Mi,” Abyan paling semangat kalau akan diajak ke rumah sakit.
“Iya, mau ke dokter kulit. Tapi Mas makan dulu, baru mandi. Yuk, sambil nonton berita aja ya...” Ariiq yang sudah bisa nyetel tivi langsung memencet tombol. Seperti biasa, mencari gambar mobil, bus atau kereta api di sela-sela berita.
Usai makan dan mandi, berangkatlah kami dengan motor ke rumah sakit.
***
Selama ini, Abyan dan Ariiq cukup sering berobat ke rumah sakit. Setiap sakit, tak mempan bila hanya mengandalkan obat-obat herbal. Seringnya, kalau belum ketemu dokter, belum sembuh. Tapi, bukan karena terkesan dengan dokternya kalau Abyan suka ke rumah sakit, tapi karena di ruang tunggu pasien anak ada tempat permainannya.
Ada ayunan, prosotan, jungkat-jungkit dan kuda-kudaan. Jumlahnya sedikt, tapi cukup menghibur pasien anak-anak. Namanya sebut saja Rumah Sakit Berbakti. Bukan rumah sakit paling elit di kota ini, karena masih ada yang lebih bagus (dan mahal pasti). Bahkan, di sini antreannya cukup panjang.
Itu pula yang membuat aku paling malas ke rumah sakit. Nunggu dokternya lama (nggak banyak kan dokter yang ontime), antrean pasien panjang, belum lagi nunggu obat di apoteknya. Bisa berjam-jam. Pokoknya kalau ke rumah sakit, sudah harus siap mental, bakal capek setengah hari di sana, dari pagi pukul 09:00 sampai duhur atau bahkan pukul 14:00.
Beda sekali dengan layanan di rumah sakit nomor satu yang terkenal elit. Tak perlu antre lama, karena kita akan diberitahu kira-kira jam berapa sebaiknya datang untuk mendapat pelayanan sesuai nomor antrean. Tak hanya itu, mulai bagian pendaftaran, perawat hingga dokternya, ramah dan komunikatif. Menunggu obat diracik pun singkat. Kita juga tidak perlu menunggu di depan apotek, karena pengeras suara akan memanggil bila obat sudah tersedia.
Itu pernah aku alami sendiri, juga saat memeriksakan Ariiq di salah satu rumah sakit terbaik untuk ibu dan anak. Tentu saja, semua itu harus dibayar mahal, melebihi biaya di rumah sakit umum standar. Duh, sedih ya, pelayanan saja harus dibeli. Kalau mau pelayanan yang nyaman, bayarnya harus mahal. Kalau bayarnya murah, pelayanannya ya standar. Kalau mau gratis, ya pelayanannya buruk.
Mirip paradigma pejabat kita yang mengurusi layanan publik. Kerap, ketika berniat menaikkan tarif-tarif yang mencekik leher rakyat, mereka selalu berdalih “untuk meningkatkan layanan”.
Seperti ketika tarif air, listrik, jalan tol atau karcis kereta api dinaikkan. Artinya, kalau air mau ngalir terus, listrik tidak byar pet dan kereta api tak telat terus, ya harus mau bayar lebih mahal dong. Jadi kalau tarif murah, lantas pelayanan pada rakyat boleh buruk? Padahal, faktanya, pelayanan tak juga membaik setelah tarif-tarif itu naik.
***
Di RS, Abyan dan Ariiq tak menyia-nyiakan kesempatan. Di ruang tunggu, segera mereka asyik mencoba semua permainan yang ada. Selain itu, juga mengeksplore semua sudut ruang tunggu pasien dokter kulit yang sejatinya tak begitu luas.
Sampailah giliran dipanggil dokter. Dokter perempuan itu tak sampai 15 menit memeriksa dan mencatatkan resep. Menebus obat di apotek, harus nunggu sampai sekitar dua jam. Duh, Abyan dan Ariiq pun sudah tampak bosan. Akhirnya setelah melepas empat pecahan Rp100 ribuan, tiga jenis obat pun dalam genggaman. Sirup, puyer dan salep oles. Paling-paling kalau ditimbang cuma sekitar seons. Duh!
***
“Mi, Dik Ariiq dikasih salep ya...” suatu duha, saat Aku sedang berkutat di dapur, Abyan sudah memegang salep obat kulit Ariiq di tangan.
“Nggak usah Mas, tadi habis mandi udah, nanti sore aja lagi diolesin ya...” kataku sambil mengambil salep dari tangannya. Kuletakkan kembali salep di atas meja belajar.
Aku kembali berkutat di dapur. Abyan dan Ariiq tampak asyik bermain di ruang tengah. Sesekali kudengar candaan mereka berdua. Sampai kemudian Abyan ke dapur lagi.
“Mi...Mi...Lihat Dik Ariiq...sudah dikasih salepnya...”
Kulihat tangan dan kaki Ariiq belepotan salep. Juga mukanya. Bahkan, ya ampun..... rambutnya....model mowhak dengan olesan salep gatal sebagai perekatnya.
Di tangan kiri Abyan, botol salep tinggal tersisa di bagian dasar dan pinggiran. Di tangan kanannya, sendol teh kecil bekas mencongkel salep.
“Maaaaaassss......Aduuuuuuuh....kan umi bilang jangan disalepin....ini obat mahalllllll.........bukan mainannnnnnnn.....”
Kulihat mimik Abyan serius menahan rasa bersalah. Biasanya kalau dimarahi dia langsung melawan, kali ini cuma diam, tapi air matanya meleleh.(*)


** Seri Catatan Buah Hati Bunda (2)

Mahal Kok Dibeli...

Oleh Asri Supatmiati, Jurnalis, Ibu tiga anak

Abyan (3,5 th) dan Ariiq (2 th) paling suka main mobil-mobilan. Bus adalah jenis kendaraan favorit Abyan. Ariiq, sebagai adik, biasanya menjadi follower. Semua kelakuan masnya diikuti. Masnya suka bus, Ariiq suka bus. Masnya suka mobil boks, Ariiq pengin juga. Makanya, kalau mainan mobil-mobilannya hanya satu untuk model yang sama, sudah pasti selalu berebut. Ujung-ujungnya, Ariiq yang menangis.
“Ini yang ngambil Mas, berarti punya Mas,” begitu selalu pembelaan Abyan.
“Ini yang mbeliin Umi, berarti punya Umi,” timpalku sekenanya.
Koleksi mainan mobil-mobilan AA (Abyan dan Ariiq) tak bisa dibilang banyak. Sayang membelikannya mainan saat mereka belum “open” (bahasa Jawa, artinya suka merawat. Bukan bahasa Inggris yang artinya buka). Soalnya sering hilang (ada saja yang keselip entah dimana karena ukurannya kecil, ketinggalan saat dibawa ke luar rumah, dll).
Bukan hanya itu, umur mainan sangat pendek. Apalagi kalau terbuat dari plastik, sepuluh kali banting sudah harus jadi penghuni tong sampah. Paling rentan rodanya. Pasti copot duluan. Padahal, AA, dua-duanya, sama-sama suka membanting mainan kalau marah. Entahlah belajar darimana. Mungkin tanpa sadar, ibunya ini membanting barang juga kalau marah, makanya ditiru.
Sebab, anak-anak balita adalah peniru ulung. Bisa meniru dari teman-temannya. Mungkin melihat anak lain yang mengekspresikan rasa marahnya seperti itu, atau lihat dari televisi. Nah, mengenai pengaruh teman, kurasa tidak. AA jarang bergaul, karena di sekitar rumah anak-anak sebayanya hampir tidak ada. Kalaupun ada, mereka jarang main ke luar. AA sih, setiap hari main ke luar rumah. Ke depan rumah atau ke lapangan.
Lalu pengaruh televisi, sepanjang pantauanku, AA tidak memiliki ketergantungan pada televisi. Beda dengan kakaknya Tsabita (10 th), yang waktu kecil hobinya nonton Dora The Explorer, Spongbob, The Legend of Change, Barney, dll. Kalau sudah di depan tivi di rumah, ia dijuluki “bengong nomor satu di dunia.” Soalnya “khusyuk” banget. Padahal itu film sudah berulang kali dia saksikan. Astaghfirullah!
Kalau begitu pengaruh orang rumah? Yah....aku cuma bisa introspeksi, mungkin ini memang salahku. Mungkin juga kakaknya begitu, abinya juga, atau pengasuhnya. Makanya, benar kata pepatah, anak-anak adalah cermin orangtuanya. Atau, buah tak akan jatuh jauh dari pohonnya. Walaupun tak selamanya benar, tapi memang faktanya anak-anak kerap hanya meng-copy-paste apa yang kita lakukan. Makanya, hati-hati berhadapan dengan anak. Salah-benar ditiru oleh mereka.
***
Kembali soal mainan, karena sering rusak, aku jarang mengabulkan keinginan Abyan yang kerap minta mainan (Ariiq belum punya inisiatif minta mainan). Memang, kalau beli yang harganya mahal, mungkin akan awet karena bahannya asli metal. Tapi, kurasa mainannya masih mencukupi. Sudah ada truk, bus, sedan, balap, mobil pos, mobil polisi, kijang, ambulan, tangki, dll. Ukurannya mulai yang bisa dinaiki AA, sampai yang dipegang segenggaman mereka. Harganya mulai Rp5.000 sampai Rp100 ribu. Kalau ditaksir-taksir, sudah lewat Rp500 ribulah untuk membeli mainan-mainan itu. Toh, seberapa banyak pun dibelikan mainan, anak-anak tak akan pernah merasa cukup. Biarpun seisi toko dipindah ke rumah, tidak akan merasa puas.
Beruntung Abyan anaknya cukup pengertian. Dalam arti, tidak pernah merengek-rengek minta mainan bila berada di depan sang penjual. Merengeknya di rumah, membayangkan punya mainan ini-itu.
“Mi...Mas belum punya mainan mobil yang ada jalurnya ih Mi...”
“Mi...Mas pengin mobilan yang pakai remot ih Mi...”
“Mi...beliin kereta Thomas dong Mi...”
“Mi...kalo udah gajian beliin mobil pink yang di warung depan Indomaret itu ya Mi...”
Paling-paling rengekan seperti itu yang berdengung di telinga ini. Tapi, kalau berhadapan langsung dengan mainan di toko, warung, supermarket atau pedagang kaki lima, dia tidak pernah merengek, apalagi sampai menangis. Kok bisa?
Biasanya aku punya senjata pamungkas: “Harganya mahal”. Alasan itu ternyata cukup mempan untuk membuatnya diam.
“Nanti ya, Mas nabung makanya, jangan jajan melulu, nanti uangnya buat beli mobilan,” bujukku sebagai lanjutan.
“Kalau yang ini murah nggak Mi?”
“Mahal,”
“Kalau sudah murah boleh dibeli ya Mi?”
“????”
***
Suatu hari, saat di kompleks ada yang sedang hajatan, berjejeranlah mobil-mobil di lapangan yang sudah disulap menjadi lokasi parkir. AA girangnya bukan main. Mereka begitu menikmati bermain di lapangan, melihat-lihat beraneka merek kendaraan di sana. Matanya begitu berbinar, terkagum-kagum memperhatikan mobil-mobil itu.
Satu persatu kendaraanpun diabsennya.
“Ini mobil apa Mi?” kata Abyan.
“Avanza” kataku.
“Ni obil apanja ya Mi...” Ariiq nimbrung.
“Harganya berapa? Mahal apa murah,” tanya Abyan lagi.
“Seratus jutaan, murah sih...”
“Ni mulah ya Mi...” Ariiq copy paste.
“Kalau ini mobil apa Mi?” Abyan menunjuk mobil warna silver.
“Ini Fortuner, termasuk mewah ini Mas...”
“Ni mewah ya Mi...” tumben Ariiq jelas ngomongnya.
“Harganya berapa? Mahal nggak Mi?” tanya Abyan lagi.
“Mahal Mas, 300 juta lebih...” kataku.
“Yang ini mobil apa Mi?” kali ini Abyan menunjuk mobil warna hitam.
“Wah, ini Alphard Mas. Mahal banget ini Mas, harganya bisa sampai satu miliar, harus buanyak duitnya,” kataku menjelaskan, sebelum dia bertanya.
“Kok orang-orang aneh ya Mi, mobil mahal-mahal kok dibeli...” timpal Abyan.
“????”(*)

 
-->

** Seri Catatan Buah Hati Bunda (3)

Mobil Korengan
Oleh Asri Supatmiati, Jurnalis, Ibu tiga anak

Abyan dan Ariiq paling suka main air. Pastinya Abyan yang memulai, nanti adiknya ikutan. Air apa saja. Main air di kamar mandi, wow hobi. Berendam di bak cucian, sangat menyenangkan. Berhujan-hujanan pakai shower, segeeeerrrr!
Kalau sudah di kamar mandi, wajan, penggorengan, gelas, sabun, mobilan, bola, baju basah dan apa saja bisa jadi bahan eksplorasinya. Makanya sehari bisa mandi tiga sampai empat kali. Tinggal uminya kucing-kucingan matiin air dari kran meteran, khawatir tagihan jebol hehe...
Tak hanya itu, kebiasaan main air sambil mencuci motor atau sepeda, enjoy aja. Sambil semprot-semprotan, tertawa senang, dan sekalian bersihkan badan.
Bagaimana dengan main hujan-hujanan? Kalau ini jarang. Bukannya nggak boleh, tapi di Bogor ini hujannya kerap sangat mengerikan. Disertai angin kencang dan petir menyambar-nyambar. Malah petirnya mencapai frekuensi 13.056 kali per bulan, sehingga tercatat di Guinness Book of Record. Jelas sangat berbahaya bila mengizinkannya main hujan-hujanan.
Tapi, bukan berarti tidak pernah. Sebagai pengalaman bagi anak, sekali seumur hidup harus pernah merasakan mandi hujan-hujanan. Ada tipsnya supaya anak tidak sakit sehabis hujan-hujanan.
Pertama, lihat kondisi fisik anak-anak, sedang sehat atau tidak. Kedua, usianya jangan di bawah 2 tahun, masih rentan. Ketiga, jangan hujan-hujanan saat baru turun hujan, karena airnya masih terlalu deras dan kandungan asamnya tinggi, tak baik untuk kesehatan.
Keempat, jangan main hujan-hujanan di lapangan terbuka, di bawah pohon, dekat tiang tinggi, karena berbahaya jika ada petir. Cukup di depan teras rumah atau taman rumah. Kelima, jangan lama-lama, cukup sampai anak merasakan basah. Makanya, biar tidak lama, izinkan berhujan-hujanan saat kita yakin hujan sebentar lagi reda.
***
Kembali soal main air, yang juga tak kalah suka adalah main air becek di lokasi bekas hujan. Terutama main becek di lapangan, wow ketagihan. Mau dilarang, percuma saja. Tetap nekat. Anak-anak memiliki rasa ingin tahu sangat tinggi. Ia akan mencoba apa saja, ingin merasakan becek-becekan juga. Jadi, kalau dilarang hanya menyumbat rasa ingin tahunya.
Paling-paling aku kasih batasan waktu. “Mas, main becekannya jangan lama-lama ya. Airnya kan becek, kotor, nanti korengan, gatal-gatal kalau nggak segera dibilas,” kataku.
Bukannya berhenti, Abyan malah sengaja menceburkan pantatnya ke lokasi becekan. Jadilah celananya basah semua. Begitupun mobil-mobilan jeep yang bisa dinaikinya itu, akhirnya basah dan kotor. Kalau dia sudah merasa tak nyaman dengan basahannya, biasanya langsung digiring pulang untuk dibilas.
***
Suatu hari, Abyan ikut mengisi training di Parung (nggak kuat mendengar rengekannya minta ikut: “Mas kangen sama Umi”). Nah, jalur ke Parung sebetulnya mulus. Jalannya lebar dan bagus. Hanya, karena suatu sebab, terjadi kemacetan panjang. Angkot yang kunaiki terjebak lama di tengah kemacetan panjang.
Di sisi jalan, kondisinya sangat becek dan berlubang membentuk kubangan. Mungkin karena habis hujan. Namun, demi menghindari macet, banyak kendaraan melintasi bahu jalan itu. Walhasil kendaraan itu harus bergoyang-goyang menyelamatkan diri dari kubangan.
Seperti biasa, Abyan tak henti-hentinya mengabsen kendaraan yang lewat.
“Bis gedeee....” telunjuknya mengarah ke bus yang lewat di bahu jalan.
“Mobil tangkiiii...” begitu seterusnya.
Sampai yang bikin tersenyum saat dia berkomentar:
“Kok mobilnya lewat becek-becekan sih Mi...nanti mobilnya korengan dong...”(*)




** Seri Catatan Buah Hati Bunda (4)

Ikannya Bobo Ya Mi...

Oleh Asri Supatmiati, Jurnalis, Ibu tiga anak

Anak kecil paling suka melihat binatang. Binatang apa saja, terutama binatang peliharaan seperti kucing, ikan, burung, kelinci, bebek atau hamster. Mereka suka mengamati gerak-gerik dan ekspresi para binatang itu. Lucu dan menggemaskan.
Nah, Abyan (4) dan Ariiq (2) pun sangat senang para binatang itu. Tak perlu memelihara sendiri, karena urusannya bisa ribet. Memang, menurut para ahli pendidikan anak, memelihara hewan bagus untuk perkembangan sosial anak. Anak jadi punya empati, melatih kesabaran dan ketelatenan. Tapi, ya itu tadi, repot. Mengurus anak saja sudah menghabiskan energi, apalagi ditambah mengurus binatang peliharaannya. Toh di sekitar rumah, di lingkungan, mereka tetap bisa belajar tentang dunia binatang itu.
Ada banyak kucing liar yang tiap hari berseliweran di sekitar rumah. Kalau sedang main, atau sambil disuapi di luar rumah, duo AA (Abyan dan Ariiq) suka sekali menggoda para kucing itu. Terutama Ariiq, langsung minta jatah makanan untuk diberikan pada kucing-kucing itu. Entah duri ikan atau tulang ayam. Ariiq begitu ekspresif dan tertawa lepas melihat ulah para kucing itu. Dari sana mereka belajar bahwa kucing maunya cuma yang amis-amis. Diberi nasi, tahu atau tempe nggak bakal mau.
Terkadang, kami jalan keliling kompleks dan berhenti sejenak di depan rumah tetangga yang memelihara kelinci atau ayam. Setelah Abyan dan Ariiq puas melihat ulah binatang-binatang itu, baru beranjak. Kadang juga melihat bebek, walaupun lokasinya becek dan jorok. Tapi yang penting mereka senang.
Kerap juga mencuri-curi pandang ke akuarium tetangga yang diletakkan di pojok teras, menyaksikan ikan-ikan hias warna-warni berseliweran. Tak pernah bosan. Nah, kalau ikan, sering AA memeliharanya walau hanya di ember. Maklum, tidak punya akuarium, fish ball, apalagi kolam ikan.
Seperti hari itu, ada penjual ikan keliling lewat. Abyan pun minta dibelikan sekantong plastik isi tiga ikan hias warna orange. Harganya Rp2.000. Ikan-ikan itu dibiarkan saja berhari-hari di ember sebagai hiburan. Artinya, tak diberi makan karena memang sengaja tak dibelikan makanan khusus ikan.
Habis, kadang abang penjual ikannya tak sekalian menjual makanan ikan. Malas banget kalau harus ke pasar atau toko sekadar beli makanan ikan, padahal cuma untuk tiga ekor ikan kecil. Sayang juga sih, beli makanan ikan, karena cuma akan terpakai sedikit (hehe...pelit?). Sementara diberi makan nasi, roti atau sejenisnya, hanya membuat keruh air dan ternyata tidak dimakan. Malah, ikannya cepat mati.
Terutama, saat belum tahu bagaimana memelihara ikan agar bertahan hidup. Selama ini, aku selalu sibuk mengganti air ember setiap malam agar airnya terjaga tetap bersih. Tapi, rupanya itu justru mempercepat kematian ikan-ikan mungil itu. Aku pikir karena tak dikasih makan ikan itu mati, ternyata ada sebab lainnya.
Suatu kali, aku melihat sendiri, ikan-ikan itu bertahan hidup justru dengan memakan kembali kotorannya. Makanya, airnya jangan sering-sering dibersihkan, karena justru membuang makanan ikan. Dan terbukti, ikan bisa bertahan lebih dari sepekan, tanpa kuberi makan apapun.
Cuma, tangan-tangan usil AA saja yang “mempercepat” ajal para ikan yang malang itu. Bagaimana tidak, airnya terus saja diobok-obok. Ikannya ditangkapi pakai saringan santan, lalu diceburin lagi. Atau “dikejar-kejar” dengan gelas plastik, ditangkap dan dimasukkan air lagi. Sekali waktu air di ember diputar-putar hingga membentuk pusaran. Pokoknya ikan itu pasti pusing dan stres.
“Aduuhh....nanti ikannya pusing diputar-putar gitu,” kataku.
“Itannya ucing ya Mi...” Ariiq seperti biasa, langsung copy paste. Abyan cuma cekikikan girang. Merekapun begitu asyik, tenggelam bercengkerama dengan ikan-ikan itu.
Sampai kutemukan air ember sudah keruh tak karuan. Terang saja, Abyan memasukkan sabun ke dalam ember itu. Lalu susu ultra cokelat sisa diminun, dituangkan pula oleh Ariiq. Hasilnya, dua dari tiga ikan itupun tak kuat. Keduanya ngambang dalam kondisi megap-megap meregang nyawa.
“Aduhuhh...ini kok jadi keruh banget....mati deh ikannya...” seruku.
“Itannya bobo ya Mi...” tumben Ariiq nggak copy paste, tapi punya pendapat sendiri. Melihat ikan dalam posisi ngambang, dibilangnya sedang tidur. Aku dan Abyan ketawa geli.
“Ikannya mati Riiq, tuh lihat nggak napas lagi, bukannya bobo. Udah ya main ikannya, sini Umi ganti airnya,” tukasku mengakhiri eksplorasi mereka hari itu.(*)



** Seri Catatan Buah Hati Bunda (5)

Alamat Palsu vs Alfatihah

Oleh Asri Supatmiati

Sekarang sedang demam Ayu Sin Ting (ups!!!...Ting Ting). Alamat Palsu terngiang-ngiang dimana-mana. Membuai siapa saja yang mendengarnya. Terus terang, lagunya memang easy learning, mendayu-dayu merdu dan mudah ditiru. Makanya, tanpa sadar kita (saya maksudnya! Anda?) pun ikut melantunkannya.
Lupa naruh kunci, langsung nyanyi “dimana...dimana...dimana...” Mencari kaos kaki, jam tangan, handphone, dll, lirik itu begitu mewakili. Jadilah Alamat Palsu seolah jadi lagu wajib saat ini. Apalagi sang biduan tak henti-henti nongol di televisi, mendayu-dayu di ringtone HP relasi, wajahnya menghiasi koran dan majalah tiap hari. Jadilah Ayu Ting Ting plus Alamat Palsunya benar-benar bikin “sinting” semua orang. Membius siapa saja, tak terkecuali anak-anak.
Terlebih, anak-anak paling suka dengan nyanyian. Sangat cepat menghafal lirik-lirik lagu. Itu sebabnya di TK atau PAUD pelajarannya nyanyiiiii...melulu. Abyan (4) saja, sudah hafal hampir semua lagu anak legendaris seperti Balonku Ada Lima, Bintang Kecil, Naik Kereta Api, Kasih Ibu, Satu-satu, dll. Lagu favoritnya Naik Kereta Api. Kalau sudah nyetel VCD lagu anak, bagian lagu Kereta Api diulang-ulang sampai berkali-kali. Kalau nggak ada remote, dia pencet prev berulang kali.
Ariiq (2) juga mulai menghafal beberapa lagu, meski ejaannya belum jelas. Kini tiada hari tanpa menyanyi dan menyimak lagu anak-anak itu. Ariiq paling suka dengan lagu Kasih Ibu. Bisa berulang-ulang dia pencet tombol prev sendiri untuk mengulang lagu itu.
Karena beda lagu favoritnya, jadinya sering berebut deh saat nyetel VCD. Abyan kadang nggak mau ngalah, penginnya Kereta Api. Sementara Ariiq juga tak kalah sengit, maunya Kasih Ibu. Kalau sudah begitu, biasanya Abyan kualihkan ke laptop untuk mendengarkan lagu lain.
Masalahnya, di laptop belum ada lagu anak-anak. Belum download atau copy dari MP3. Belum sempat mencarikan lagu anak-anak legendaris itu atau lagu lain yang lebih baik. Lagu religi misalnya. Adanya lagu-lagu lama, seperti Ramadhannya Seventen. Yang ada malah lagu Alamat Palsu yang didownload kakaknya, Tsabita (10).
Memang, seisi rumah suka mendengarkan musik. Yaa, walaupun tidak sampai music mania. Artinya, nggak sampai membeli kaset/VCD-nya, menjadikannya ringbacktone yang suka nyolong pulsa itu atau sengaja nyetel acara musik yang menyita waktu seperti Dahsyat. Nggak banget!
Nah, kembali soal lagu Alamat Palsu, Abyan juga suka menyetel itu berulang kali. Kadang aku risih juga, karena lagu itu tidak pas untuk anak kecil. Untungnya cuma lagunya, tidak ada rekaman videonya (yang serba buka aurat, campur baur laki-perempuan). Tapi percuma dilarang keras, karena ujungnya pasti marah. Paling-paling kualihkan, kalau sudah mendengarkan satu kali, ya harus ganti dengan lagu lain.
Tapi, aku tidak terlampau mengkhawatirkannya. Maksudku, anak-anak itu (dan juga orang dewasa) memang sangat cepat menghafal lagu-lagu populer, tapi juga cepat lupa seiring tenggelamnya lagu itu. Sebab, lagu-lagu populer para artis itu umumnya tidak melegenda. Tidak akan diingat anak selamanya. Berbeda dengan lagu anak-anak yang melegenda seperti Kasih Ibu dkk.
Dulu, Tsabita waktu usia 3 tahunan juga hafal dengan lagu-lagu Peterpan yang sedang top, karena teman-teman bermainnya suka mengajak menyanyikannya. Tapi beberapa bulan kemudian juga melupakannya, seiring dengan munculnya lagu-lagu baru yang lebih populer.
Nah, Alamat Palsu juga hanya akan menjadi fenomena sesaat. Sama seperti ketika Keong Racun booming. Tak lama lagi, orang-orang akan bosan. Apalagi kalau terus-terusan diperdengarkan. Biasanya, kalau orang sudah hafal liriknya, mulai muncul kebosanan. Semoga saja Abyan segera melupakan Alamat Palsu itu.
Sebab, kini Alamat Palsu itu menjadi saingan dalam pelajaran menghafal Abyan dan Ariiq. Ya, aku sedang memprogram mereka berdua untuk menghafal doa-doa dan surat-surat pendek Juz 'Amma. Tapi, ya itu tadi, harus bersaing dengan hafalan mereka terhadap lagu-lagu, termasuk Alamat Palsu. Nggak salah sih mendengarkan lagu, karena itu cara cepat memperkaya kosakata dan melatih kemampuan bahasa mereka. Cuma, kalau lagunya bukan lagu anak-anak, memang bikin risih.
Masalahnya, Abyan susah sekali diminta hafalan, semisal doa atau juz 'amma. Bukan susah mengingatnya, karena indera anak yang paling cepat merespons saat balita adalah indera pendengaran. Aku yakin, dia sebenarnya bisa menghafal dengan mudah. Tapi, susah diminta komitmennya untuk menirukan hafalan. Adaaa...saja alasannya. Mulutnya bungkam, padahal biasanya ngoceh tiada henti.
Paling-paling dia nyeletuk menanyakan kalimat hafalan yang didengarnya “asyik” di telinga. Seperti ketika aku bacakan Al-Ikhlas “lam yalid walam yulad, walam yaqullahu qufuwan ahad”, nanti dia nyeletuk “yakul itu apaan sih Mi, yang diminum itu kan...”
Makanya, kalaupun dia tidak serta merta mengikuti bacaan itu, aku tetap memperdengarkan dia bacaan-bacaan surat pendek biar dia hafal. Mulai Alfatihah, Al-Ikhlas, An-Nas dan seterusnya. Kalau tidak melalui mulutku, kusetel saja murotal di VCD atau laptop. Dengan sering mendengar, insya Allah akan bisa disimpan di otaknya dan kemudian dilafazkan kapan dia mau.
Aku tak pernah menghitung berapa kali bacaan hafalan itu kuperdengarkan. Karena, biasalah, ibu-ibu selalu banyak urusan. Tapi, menurut praktisi pendidikan anak usia dini dalam suatu pelatihan, untuk membuat anak hapal, minimal harus memperdengarkan hal yang sama sebanyak 15 kali per hari. Jadi kalau ingin cepat hafal Alfatihah, bacakan surat itu 15 kali sehari (banyak kali ya?).
Tak harus anak dalam kondisi duduk rapi menghadap kita lalu menghafal, tapi dalam kondisi apa saja. Saat anak sambil mandi, main, makan, menjelang tidur, dll, perdengarkan ayat alquran itu. Kalau cara itu dilakukan dengan konsisten, dalam waktu satu tahun anak bisa hafal satu juz. Subhanallah! Sepertinya memang harus dicoba. Bismillah! Ya Allah, berilah kemudahan Abyan dan Ariiq dalam belajar menghafal. Amin.(*)

-->
** Seri Catatan Buah Hati Bunda (6)

Pinky Boy

Oleh Asri Supatmiati, Jurnalis, Ibu tiga anak

Abyan (4), sejak bisa mengidentifikasi warna, paling suka pink. Entah, darimana seleranya itu mencuat. Walaupun kakaknya, Tsabita --sebagai anak perempuan-- menyukai warna pink, toh bukan pink maniac (dalam artian semua benda harus pink). Jadi, kurasa memang Abyan juga punya ketertarikan tersendiri dengan warna itu. Buktinya, kalau memiliki barang penginnya warna pink.
Waktu aku membeli tiga botol minum dengan warna pink, ungu dan hijau, Abyan memilih pink. Kalau melihat kakaknya membawa botol pink itu ke sekolah, sudah pasti Abyan meradang. “Itu punya Mas, jangan dibawa kakak...” Terpaksa kakaknya ganti botol minum lainnya.
Waktu membeli kotak makan berbentuk mobil-mobilan, dia memilih pink. Ariiq sebagai adik, belum punya inisiatif meminta warna tertentu, jadi ngalah saja diberi yang biru. Waktu membeli bangku kecil buat duduk, dia mintanya pink.
Kalau membeli jajanan, seperti susu murni nasional atau susu ultra: pilih pink. Wafer tango: pink. Donat: toppingnya pink. Es krim: pink. Bukan karena suka rasanya strawberry-nya, semata-mata karena pink-nya. Setiap masuk kelas PAUD, menyimpan tas harus di loker yang pink. Duduk juga memilih bangku dan meja pink. Menyimpan sepatu di rak warna-warni di luar kelas, pilih yang dicat pink.
Tapi baju, celana, tas atau sendal, belum punya yang pink. Pernah dia minta dibelikan sendal “baim” warna pink, tapi tidak kukabulkan. Bukan apa-apa, jarang sendal model laki-laki yang warna pink. Kebanyakan warna gelap: biru tua, cokelat tua. Yang warna cerah ada sih, tapi cuma biru muda, orange atau putih. Akhirnya kubelikan biru muda.
Warna pink sebenarnya bagus dan lucu-lucu, tapi kebanyakan model perempuan. Well, kalau sendal perempuan memang semua warna ada, mulai warna cerah sampai gelap. Komplit! Kalau belanja fashion anak, paling mudah untuk anak perempuan bukan? Anak laki-laki ya terbatas, model maupun warnanya.
Demikian pula saat akan dibelikan tas, pesan warna pink bergambar mobil. Tapi, pink selalu bergambar barbie, princess, Hello Kitty, Strawberry short cake, Dora, dll, khas anak cewek. Untuk cowok cuma hitam, biru tua, hijau dan merah. Gambarnya kalau nggak Spider Man, Ben 10, Ultra Man, The Cars, Thomas and Friends, dll. Akhirnya pilihan jatuh ke warna merah bergambar mobil. Lalu sewaktu membeli botol minum kecil pengganti dot susu, dia sendiri meminta yang pink.
“Cowok kok sukanya warna pink.” Komentar itu muncul dari penjual, guru PAUD, temanku, ibu-ibu lain yang tahu selera Abyan. Makanya, dia dijuluki pinky boy. Seru dan lucu aja, melihat kesukaannya dengan warna itu. Lantas, adakah yang salah dengan selera pinknya? Sama sekali tidak. Memangnya siapa yang membuat aturan bahwa warna pink hak ekslkusif anak perempuan, lalu anak laki-laki dilarang menyukai warna itu?
Siapa yang mengkotak-kotakkan warna: pink untuk perempuan, biru untuk laki-laki? Persis seperti para ibu yang selalu menyambut kelahiran buah hatinya berdasar warna. Kalau di-USG perempuan, langsung memborong perlengkapan bayi warna pink. Sebaliknya jika laki-laki, yang dibeli warna biru. Rumah sakit atau klinik bersalin mencontohkan itu. Bayi laki-laki disambut di ruangan serba biru, dengan baju, topi, kaos kaki, kaos tangan dan bedong biru. Bayi perempuan didandani serba pink.
Begitulah, sejak bayi, kanak-kanak hingga dewasa, otak kita didoktrin bahwa pink itu untuk perempuan. Dianggap aneh, ditertawakan dan diledek jika ada laki-laki memiliki benda-benda warna pink. Sampai sekarang, banyak laki-laki dewasa yang tak percaya diri kalau memakai warna pink. Atau sekadar memiliki pernak-pernik warna pink. Maklum, memang sangat sedikit pernak-pernik laki-laki yang berwarna pink. Hanya pria metroseksual dan fashion minded yang pede memakai warna melow itu (presenter Indra Bekti salah satunya).
Para lelaki itu sudah kadung didoktrin agar membenci warna pink, walau di hatinya mungkin juga suka melihat benda pink. Cuma, kalau harus mengenakannya, takut diomongin orang. Takut dicap banci atau cengeng, karena memilih warna perempuan.
Duh, betapa beruntungnya (atau egois?) perempuan. Dia boleh menyukai warna apa saja tanpa ada larangan “itu warna laki-laki”. Sementara anak laki-laki tidak boleh memilih warna pink karena “itu warna perempuan.” Kurasa, paradigma ini akan abadi sepanjang masa.
Padahal, pink hanyalah warna. Dia universal. Dia tidak diharamkan untuk siapa saja. Memang, Rasulullah SAW melaknat kaum laki-laki yang berpenampilan seperti wanita dan wanita yang berpenampilan laki-laki (HR Al-Bukhari). Tapi, bukan masalah warna kan? Kalau ada laki-laki mengenakan baju koko warna pink misalnya, haramkah?
Jadi, sebelum Abyan dewasa, biarlah dia dengan pilihannya. Biarlah dia mencintai seleranya. Biarlah dia puas-puaskan dengan pink-nya. Biarlah dia menjadi pinky boy. Biarlah dia menikmati hidup yang penuh warna. Mumpung masih anak-anak. Toh, kalaupun seleranya saat ini lain dari anak-anak umumnya, justru dianggap lucu dan menggemaskan. Untuk apa dilarang, hanya akan mematikan imajinasi dan kreativitasnya.
Lagipula, kalau dia dewasa kelak, mungkin dia tak bebas lagi menikmati warna pink kegemarannya. Dia terpaksa masuk dalam kotak belenggu lelaki umumnya, bahwa pink itu perempuan. Kalau dia bertahan dengan selera pink-nya saat dewasa, siap-siap saja ditertawakan sinis. Dunia memang tak adil!(*)

Bogor, 4 November 2011.

Seri Catatan Buah Hati Bunda (7)

Arti Sebuah Nama

Tsabita Rifdhatul 'Aisy, artinya kira-kira “teguh sebagai pemberi dan pertolongan hidup”. Nama yang indah bukan? Tiga kata itulah yang kusematkan untuk anak pertamaku yang berjenis kelamin perempuan.
Walau lahir pasca Lebaran, namanya sama sekali tak berbau Fitri atau Ramadhani. Sengaja. Emoh nama pasaran he..he... Maunya memberi nama anak dengan sebutan yang islami, bermakna bagus, tapi juga tidak terdengar pasaran.
Tapi, harapan untuk memberikan nama yang eksklusif, ternyata tak kesampaian 100 persen. Memang, kalau nama Tsabita sudah pasti banyak yang menyandangnya. Tapi kalau padanan tiga kata itu, aku yakin tidak akan ada yang menyamai (gak percaya, cek aja di Mbah Google, he..he).
Tapi perkiraan itu meleset. Percaya atau tidak, ternyata nama itu ada yang menjiplak habis. Bukan hanya satu kata, tapi dari T sampai Y (dari Tsabita sampai Aisy maksudnya). Bagaimana ceritanya?
Mulanya, aku tak tahu dan tak kenal sama sekali dengan “mama Tsabita yang lain itu”. Belakangan, tanpa sengaja, kami saling kenal. Perempuan muda itu membuat sebuah pengakuan, telah menjiplak nama anakku untuk anak perempuan pertamanya.
Dari mana dia tahu nama anakku? Rupanya dia pernah membaca profilku di salah satu majalah (Ye, jelek-jelek begini aku pernah nongol di media loh!) “Maaf ya Mbak. Habis namanya bagus,” katanya waktu itu. “Iya, nggak apa-apa lagi,” jawabku sembari tersenyum simpul (kecut?). Kaget plus geli aja rasanya. Nama anakku ada yang menyamai, persis lagi (Itu berarti nama yang bagus, kan?). Cuma nama panggilannya saja yang beda. Anakku Tata, anak dia Bita.
Tak apalah. Ikhlas saja! Buat apa dongkol. Toh banyak sekali nama-nama di dunia ini yang cenderung sama, bukan? Coba cek di Google, ketikkan namamu, pasti “pasaran” juga he...he...
Untungnya, anakku lebih dulu lahir dua tahun dibanding anaknya. Jadi ketahuan kan, siapa yang meniru. Lagipula, ada hikmahnya kok. Kini aku punya “saudara” baru, ya “mama Tsabita” itu. Kami saling sharing, kirim SMS tausiyah dan saling mendoakan. Kebetulan kami sama-sama suka menulis. Hubungan silaturahmi yang indah, insya Allah tanpa pamrih. Semoga langgeng. Amin.(*)



** Seri Catatan Buah Hati Bunda (8)

Mandiri vs Manja

Oleh Asri Supatmiati, Jurnalis, Ibu tiga anak

Anak-anak memang beda sekali karakternya, walaupun diasuh dengan pola yang sama. Seperti Abyan (4) dan Ariiq (2). Abyan manjanya (?) minta ampun, nempel terus sama uminya. Beda sekali dengan adiknya, Ariiq yang justru jauh lebih mandiri dan tidak kolokan. Tidak selalu apa-apa harus umi. Malah, aku terheran-heran dengan kemandirian Ariiq. Kok bisa sebagai adik dia begitu legawa, mengalah dan tidak kolokan sama uminya.
Kalau Abyan sedang tidak di rumah, sementara uminya ada tamu, Ariiq akan memilih “menyingkir” dengan sendirinya. Tidak berani nimbrung dan merecoki. Ia main mobil-mobilan sendiri. Ia berani ikut nimbrung kalau ada Abyan. Beda dengan Abyan. Malah sengaja mencari-cari perhatian. Minta digambarin bus gandenglah, minta diantar pipis, minum harus uminya yang mengambilkan, minta dibikinin susu, dll.
Ariiq kalau ngantuk, tak harus sambil ngedot atau diceritakan, bisa langsung tertidur. Dia akan mencari sendiri posisi yang nyaman, apakah di lantai, karpet, sofa atau kasur, yang jelas kalau ngantuk langsung merem saja. Subhanallah, bener-bener “bageur”.
Beda banget dengan Abyan, sebelum tidur harus minum susu, minta dikelonin, diceritain atau dikipasin. Ariiq kalau mau minum air putih suka mengambil gelas sendiri dan mencairkan dari dispenser. Abyan, kadang harus diambilkan uminya. Pokoknya serba “sama umi aja.”
Sebenarnya kalau nggak ada uminya, Abyan bisa mandiri, tapi kalau ada uminya, kolokannya minta ampun. Setiap mau kutinggal pergi, dia kerap bilang “Mas kangen sama Umi.” Padahal sudah seharian ditungguin.
Nah, kembali soal kemandirian Ariiq, misalnya waktu Ariiq baru niat mau disapih. Mengherankan sekali, ternyata dia menyapih dirinya sendiri. Dikasih ASI sama sekali nggak mau. Jadinya tanpa dikasih pahit-pahitan, dia sudah lepas ASI, pas di hari ulang tahunnya ke 2. Subhanallah, mudah sekali. Padahal aku sudah membayangkan bakal repot saat disapih, malam-malam biasanya rewel terus. Itu juga yang menyebabkan para ibu menyerah, nggak kuat mendengar rengekan anaknya. Akhirnya susah disapih.
Lalu saat Ariiq berganti minum susu botol, iapun tidak susah beradaptasi. Bisa ngenyot dan tidak pilih-pilih susu. Rasa plan khas susu batita ayo, rasa cokelat juga doyan. Beda dengan Tsabita dulu, waktu kecil disapih susahnya minta ampun. Diganti dot susu, sama sekali nggak bisa ngenyot dan nggak doyan susu formula.
Tentang ke-”bageuran”-an Ariiq ini, memang sudah banyak buktinya. Suatu hari, karena sesak nafas, Ariiq kubawa ke dokter spesialis THT. Setelah diperiksa, dokter merekomendasikan agar Ariiq di-rontgent. Usianya belum genap 2 tahun waktu itu. Tiba di ruang rontgent, seorang perawat perempuan, menyambut kami. Setelah membaca sekilas surat rekomendasi dokter itu, raut mukanya mengkerut.
“Wah, adik ini ya yang mau di-rontgent,” nadanya pesimis memandang Ariiq. Segera ia ceramah panjang-pendek, bahwa anak usia belum 2 tahun, sulit difoto. Kalau nggak nangis, pasti bergerak-gerak. Hasilnya tak akan maksimal. Apalagi bagian hidung, posisinya sangat sulit. Nanti kalau diulang-ulang, kasihan, bisa kena radiasi. Bahaya. “Pokoknya nggak bisa, pasti sulit,” tegasnya.
Asli aku bengong mendengarnya. Bagaimana bisa seorang radiologist yang bertugas di rumah sakit elit di kota ini, yang kurasa sudah pengalaman, menolak mentah-mentah calon pasiennya? Bahkan, dengan ungkapan-ungkapan negatif yang menjatuhkan mental pasien, bukan ungkapan positif yang memotivasi pasien?
“Mbak, kok ngomongnya gitu sih? Dicoba juga belum,” sergahku. “Kalau dokter sudah merekomendasikan, bukankah itu berarti pasien sekecil ini memang memungkinkan untuk dirontgent? Apakah selama ini belum pernah ada pasien sekecil ini? Atau kalau ada langsung ditolak? Lalu apa gunanya rekomendasi dokter?”
“Yah, kita coba saja ya Bu, tapi saya nggak berani jamin hasilnya maksimal, takut nggak kebaca, nanti harus mengulang lagi...” ia sedikit melunak. Batinku, nah, gitu dong, harusnya dari awal begitu ngomongnya. Sudah menjadi tugas Anda untuk me-rontgent setiap pasien yang dirujuk ke ruang ini, jadi laksanakan saja, apapun hasilnya.
Setelah itu, Ariiq disuruh telungkup di sebuah meja panjang dengan posisi hidung tepat menyentuh meja. Tenang, diam, nurut. Lalu disuruh berdiri menghadap tembok, sedikit miring untuk mendapat posisi terbaik. Anteng, tak meronta. Fotopun berjalan lancar. Perawat itu tanpa komentar. Aku pun sudah malas meladeninya. Kudiamkan saja. Aku tahu, dia pasti malu dengan kata-katanya sendiri.
“Tunggu saja ya Bu, kalau hasilnya tak terbaca, nanti kita telepon,” katanya sambil menyerahkan tanda terima. Beberapa hari berlalu, tak ada telepon dari RS itu. Tak ada pengulangan foto. Lalu sesuai jadwal, aku kembali ke rumah sakit untuk mengambil hasil rontgent dan menyerahkan kembali ke dokter untuk mengetahui hasilnya. Ternyata hasil fotonya bisa dibaca.
Setelah itu, Ariiq harus menjalani terapi, MWD namanya. Dia harus tidur terlentang, dengan mata terturup rapat dengan alat semacam kacamata yang dilapisi tisu, lalu alat semacam lampu yang memancarkan sinar diletakkan sekitar 10 cm di atas hidungnya. Selama 15 menit, Ariiq tidak boleh bergerak alias diam saja. Bayangkan, anak lagi melek, disuruh jadi “patung” 15 menit lamanya dengan mata tertutup. Tapi Ariiq melalui itu dengan mulus. Sampai 10 kali terapi malah. Para terapistnya juga salut, dapat pasien kecil yang nurut. “Dik Ariiq hebat ya, semoga cepat sembuh,” begitu komentar beberapa terapisnya (aku lupa namanya). Para terapis di sini malah lebih komunikatif dan ramah, bahkan dibanding dokternya.
Cerita soal “anteng-nya” Ariiq tak hanya itu. Sewaktu aku mencoba pengobatan alternatif untuknya, terapisnya juga memuji. “Anak ini bakal baik sosialisasinya, nggak takut sama orang baru. Biasanya anak-anak belum saya pegang sudah nangis duluan,” kata Pak Kusnadi, terapist refleksi anak. Sampai sekitar 30 menit diterapi, anteng saja. Menikmati. Juga ketika diterapi kay oleh terapist lain, sangat nurut. Tanpa suara atau keluhan sedikitpun. Bahkan mungkin keenakan, malah sampai tertidur.
Begitu pula saat dibawa ke dokter gigi untuk ditambal beberapa karies giginya, diam saja menurut, tak ada rasa takut. “Wah hebat ya Ariiq, nurut. Tadi pasien sebelumnya lama mbujuknya, malah sampai nangis,” kata dokter diamini perawatnya. Sebelum Ariiq, memang ada anak SD sekitar kelas 3 yang periksa gigi juga. Terdengar suara tangisannya sampai ke luar. Ariiq sampai menunggu lama karena anak itu tak juga selesai ditangani dokter. Mungkin karena kecapekan, baru semenit diperiksa gigi, Ariiq malah ketiduran. Enak kali, masuk ruang ber-AC, ditidurkan sambil ditambal giginya. Bener-bener nih anak.(*)

-->
** Seri Catatan Buah Hati Bunda (11)

Bye Bye Dot!

Alhamdulillah, Abyan (4) dan Ariiq (2 th, 5 bln) saat ini sudah berpisah dengan dot susunya. Abyan terutama, memang cukup terlambat untuk disapih dari dot susunya. Bukan apa-apa, semata-mata menunggu kesiapan Ariiq.
Soalnya selama ini, kalau hanya Abyan yang disapih, tidak mempan. Setiap kali Ariiq minta minum susu dot, Abyan juga mau. Makanya, sebelum disapih dot, Abyan minum susunya masih seperti bayi, ngikuti frekeuensi Ariiq. Sudah kusiasati pakai dot yang lubangnya tiga, atau gelas menyerupai dot, tak mempan. Masih juga minta ngedot susu.
Sehingga, disapihnya harus bareng. Kalau Abyan saja, sementara Ariiq masih ngedot, sudah pasti Abyan minta dot lagi, minta dot lagi. Nah, saat Ariiq sudah 2 tahun lewat dan merasakan beberapa bulan ngedot (sebagai ganti ASI), saatnya Abyan juga disapih.
Masalahnya, menurut cerita kebanyakan ibu-ibu, menyapih dari dot lebih susah dari ASI. Dulu, tetangga di kampung, sampai anaknya kelas 1 SD masih ngedot. Anak teman kuliahku, juga sampai 7 tahun masih ngedot. Aku pernah lihat di kereta, gadis usianya sekitar 5 tahun masih memegang dot. Bahkan ada yang masih ngenyot empeng. Duh! Gimana ya cara menyapih yang mudah?
Akhirnya aku browsing di internet, ada salah satu tips menyapih dari dot yang disarankan, yakni anak diminta membuang dotnya sendiri ke tempat sampah. Tips yang patut dicoba.
Nah, akhir Desember lalu, Abyan dan Ariiq kuminta melakukan “ritual” perpisahan dengan dot susunya. Caranya, dot-dot susunya mereka buang sendiri ke tempat sampah. Dengan begitu mereka tahu bahwa mereka tak bisa lagi minta susu di dot karena di rumah tidak ada dot. Tentu saja, dot mereka yang jumlahnya 8 biji itu tak dibuang beneran. Sehabis mereka buang di tempat sampah, tanpa sepengetahuan mereka kuambil lagi (tempat sampah bersih di rumah, sudah kulapisi tas kresek bersih juga). Hehe...sayang kan, masih bisa dimanfaatkan.
Selanjutnya, sebagai kompensasi atas kerelaan mereka membuang dotnya sendiri, tentu saja ada “imbalannya”. Aku berikan saja mereka kado, yang isinya gelas-gelas minum pengganti dot susu mereka. Juga, hadiah mainan sesuai keinginan mereka. Sebelumnya, tentu sudah kuberikan pemahaman dulu, khususnya kepada Abyan, mengapa dia harus berpisah dengan dotnya.
“Mas kan sudah 4 tahun, sudah sekolah PAUD, jadi minum susunya pakai gelas aja ya,” kataku suatu ketika.
“Lihat Mas, nanti bibirnya monyong,” alasanku di lain waktu.
Memang, awal-awal disapih, kondisi mereka sempat drop. Mungkin karena perut biasa terisi dengan susu hangat, ketika tidak, menjadi kosong dan masuk angin. Bergantian Abyan dan Ariiq sakit. Panas, kembung, flu dan muntah-muntah.
Dan seperti biasa, Abyan kalau sakit kolokannya luar biasa. Apa-apa serba uminya. Sementara Ariiq, malah lebih anteng. Rewel sedikit memang, tidak seperti saat sehat, tapi tidak serewel Abyan.
Tapi alhamdulillah, sejak membuang dotnya, belum pernah sekalipun mereka merengek minta minum susu di dot. Memang, frekuensi minum susunya jadi sangat drastis berkurang. Abyan yang bisa 5-6 kali ngedot, kadang sehari tak sekalipun minum susu.
Ariiq masih mendingan, mau minum susu di gelas, walau awal-awalnya juga susah. Lalu kusiasati dengan susu kemasan, akhirnya mereka mau. Sampai sekarang, mereka minum susu paling-paling sehari 1-2 kali.
Tapi, menurut para ahli gizi seperti juga banyak ditulis di internet, anak di atas 2 tahun memang sudah harus dikurangi frekuensi susunya. Sebab, mereka butuh asupan gizi yang lebih bervariasi dari kandungan susu sapi. Lagipula, kalsium yang identik dengan kandungan dominan susu, bisa diperoleh dari sumber makanan lain.
Alhamdulillah, sekarang Abyan dan Ariiq sudah lebih bagus pola makannya. Kalau sedang tidak sakit, ngemil terus. Cuma, masih ada PR lagi nih, bagaimana mengalihkan kegemaran mereka dari ngemil jajanan pabrik ke jajanan tradisional.(bersambung)


Catatan Buah Hati Bunda (12)

Celoteh Balita

Beli Adik Baru...

Abyan (4) dan Ariiq (2) memang sedang lucu-lucunya. Kalau lagi akur, bisa main bareng tanpa bertengkar. Tapi kalau sudah rebutan mainan, salah komunikasi atau salah paham, ujung-ujungnya marah-marahan. Kerap, Abyan pura-pura memukul atau marah dengan maksud bercanda, Ariiq menanggapinya serius. Jadinya emosi.
Nah, Abyan kalau marah suka memukul Ariiq, atau membentaknya. Sedangkan Ariiq terkadang kalau marah memilih diam, mojok dan nggak mau ditegur sapa. Tapi sebelum genap 2 tahun, Ariiq kalau marah atau kesal suka mengguling-gulingkan badan ke lantai. Kadang nggak kira-kira, kepala langsung dijatuhkan saja ke lantai, jadinya menimbulkan suara benturan.
“Mas Abyan, jangan bikin marah Dik Ariiq, kasihan tuh nanti kepalanya pecah. Kalau nggak ada Dik Ariiq lagi gimana...”
“Gampang Mi, beli adik lagi...” kata Abyan.
***

Kamar Ikhwan

Setiap akan tidur, Abyan dan Ariiq suka diceritain buku. Masalahnya, kalau harus ngeloni mereka berdua, agak repot di kamar mereka. Soalnya posisi tempat tidur kan nggak sejajar, karena model sorong, dimana satu kasur di atas dan satu di bawah. Akhirnya malah berebut uminya.
“Umi di atas aja sama Mas...” rengek Abyan.
“Uminya cini...” rengek Ariiq dari kasur bawah.
“Ya udah, bobo di kamar umi aja deh, di sini berebut umi wae...” kataku.
Akhirnya pindahlah ke kamarku. Aku di tengah, Abyan di kanan dan Ariiq di kiri. Selalu begitu posisinya. Setelah diceritakan sambil terkantuk-kantuk, tidurlah.
Itu biasanya terjadi saat bobo siang. Kalau malam, Abyan dan Ariiq suka tidur desak-desakan di kamar kakaknya, Tsabita. Makanya setiap kali sering kubilangin agar mau tidur di kamarnya sendiri.
“Mas Abyan dan Dik Ariiq kan ikhwan, jadi bobonya sama ikhwan. Kakak akhwat, boboknya sama akhwat. Mas bobo di kamar sendiri bareng Dik Ariiq ya...” kataku.
“Di kamar Umi ada ikhwan (maksudnya abinya, red), jadi Mas boleh bobo di kamar umi...” tukas Abyan sambil ngeloyor ke kamarku.
***

Lagu Bahasa Inggris

Abyan suatu hari menyanyikan lagu yang baru diajarkan di PAUD:
“Blue blue blue, itu warna biru...
red red red, itu warna merah...
green green green itu warna hijau...
gelo gelo gelo itu warna kuning...”

Yellow kalee....
***

Ke Sukabumi Nih...

Liburan lalu, Abyan (4) begitu akrab dengan Kaisha (4) dan Faiza (2), sepupu dari Sukabumi. Padahal dulu Abyan dan Kaisha waktu masih 1-2 tahunan suka berantem, berebut mainan. Pokoknya kalau ketemu nggak konek.
Sekarang kalau ketemu ada saja permainan mereka yang seru dan bikin ketawa tergelak-gelak. Bahkan saat berpisah usai liburan, saking terkesannya, Abyan masih suka membayangkan kehadiran mereka. “Kalau ada Kaisha enak ya Mi, bisa main bareng...” celetuknya suatu ketika.
Apalagi kalau sedang tidak konek dengan adiknya, Ariiq. Akhirnya Ariiq yang diomelin.
Kalau nggak sreg saat main dengan Ariq, misal Ariq nggak mau diajak main mainan tertentu, jadinya suka mengancam begini: “Ya udah, Mas pulang ke Sukabumi nih...”(*)



Insya Allah

Abyan (4): “Mi nanti beliin mainan mobil itu ya...”
Umi : “Insya Allah...”
Abyan: “Iihh...umi jangan ngomong gitu, nanti malah nyanyi lagi...jawab saja iya...gitu...”
(Abyan tahunya Insya Allah itu lagunya Maher Zain).


Emangnya Masalah?

Abi : “Dik Ariiq bobo sama abi yuk...”
Ariiq (2,5 th): “Nggak ah...ama umi aja...”
Abi : “Kenapa nggak mau sama abi?”
Ariiq : “Emangnya napa? Macalah?”


Ikan Galau

Suatu pagi, seperti biasa kalau sedang belanja Abyan dan Ariiq ikut nimbrung. Biasanya mereka ikut-ikutan ngasih saran beli apa. Tapi yang paling diincarnya ikan. Ya, Abyan terutama, selalu ingin melihat ikan apa yang dibawa abang sayur. Akhirnya belilah sebungkus ikan kembung.
Saat aku menyiapkan bumbu untuk menggarami ikan, Abyan dan Ariiq asyik memainkan ikan itu. Sambil membolak-balik ikan itu, Abyan ngobrol sama Ariiq:
“Lihat nih Riq, ini ikannya lagi galau...”
“Hah, ikannya galau? Kayak apa sih ikan galau?”
“Ini Mi, mulutnya rapet, cemberut, itu kan namanya galau...”
“Ah, Mas kata siapa?”
“Ya kata Mas sendiri...” jawab Abyan mantab.


Adik di Perut

Abyan (5) sudah tahu di perut uminya ada adik bayi. Beda dengan Ariiq yang nggak ngeh kalau mau punya adik baru. Abyan sering mengelus-elus sambil nanya-nanya tentang calon adiknya.
¨Mi, kenapa sih adiknya di perut? Nanti bau pipis dong...¨ tanyanya suatu ketika, membuatku menjelaskan bahwa adik di dalam perut tidak akan tercampur dengan tempat penampung pipis hehe...
Lalu kadang nanya: ¨Adiknya kapan keluarnya, Mi? Nanti ngeluarinnya gimana?¨
Kujelaskan kalau proses pembentukan adik di perut lamanya sembilan bulan. Nanti sudah waktunya akan dikeluarkan dokter atau bidan.(*)

** Seri Catatan Buah Hati Bunda (13)

Belajar Entrepreneur

Sekarang katanya zaman entrepreneur. Anak-anak kecil pun sudah diajarkan untuk memiliki jiwa entrepreneur. Buktinya, ada sekolah TK yang menawarkan konsep entrepreneurship kepada anak didiknya. Entahlah, seperti apa kurikulumnya. Tak terbayang pula, apakah anak-anak itu diorbitkan untuk bisa mandiri secara ekonomi sejak dini?
Nah, jiwa entrepreneur itu mungkin memang mudah dimiliki anak-anak ya. Seperti Tsabita (10), yang di sekolah rutin mengadakan Market Day. Pada hari itu, anak-anak kelas 3-6 SD disuruh jualan, kelas 1-2 cukup jadi pembeli. Biasanya, Tsabita menyambut hari itu dengan heboh, gembira dan penuh persiapan. Nah, dagangan favoritnya adalah alat tulis. Seperti pensil lucu, penghapus berkarakter kartun yang lagi ngetop seperti Angry Bird, blok note imut dan sejenisnya.
Pernah suatu kali jualan makanan, yakni pizza mini dan pan cake, ternyata tidak laku. Padahal kue-kue itu buatan uminya yang dia banggakan ini (hehe...karena pernah dibuatkan merasa enak, dia PD banget mau jual itu di sekolah. Jadilah susah payah membuatnya. Hasilnya, sejatinya tak mengecewakan. Tapi ternyata sisanya masih banyak. Padahal sudah kupesan waktu itu, jika sisa, bagi-bagi saja ke temannya atau guru-guru. Eh, tetap saja dibawa pulang. Aku sih nggak berkecil hati. Kuhibur diri, dagangan ini nggak laku bukan karena nggak enak, tapi lidah anak sekarang kan lebih suka makanan pabrik seperti biskuit dan ciki-cikian gitu, hehe....).
Nah, kalau jualan alat tulis, laris manis. Paling sisa beberapa biji saja. Mula-mula, waktu dia masih kelas 3 atau 4, agak-agak nggak jelas perolehan uangnya. Hasil penjualan dengan yang dia belanjakan rancu. Kadang dihitung-hitung, bukannya untung tapi malah buntung. Tapi pas kelas 5 sudah mulai jelas, ada untungnya. Tsabita tentu senang sekali.
Kehebohan Tsabita dalam jualan ini menular ke Abyan (4,5 th). Adiknya ikut heboh, ingin jualan juga. “Mas mau jualan juga Mi,” rengeknya sambil merebut dagangan kakaknya. Setelah diberi beberapa produk dan dibujuk dengan berbagai cara, baru dia menghentikan rengekannya.
Sepertinya, berjualan dan mendapat uang memang menyenangkan anak-anak. Beberapa waktu lalu, Tsabita ingin sekali memiliki baju-baju untuk boneka Barbienya. Maklum, teman-temannya pada memesan ke tetangga dengan desain macam-macam. Harganya Rp4.000 per helai. Tsabita pun sempat membeli satu stel tanpa sepengetahuanku.
Setelah cerita, baru aku arahkan dia supaya membuat sendiri baju-baju Barbie. Ada banyak kain perca di rumah, yang bisa dimanfaatkan untuk baju Barbie. Akhirnya bersama Caca, Tsabita kuajari cara menjahit tangan hingga jadilah sepasang baju Barbie.
“Ya udah kita jualan aja Mi, nanti kalau ada yang pesan kita bikinin, tapi harganya lebih murah aja...” usulnya.
“Iya, tergantung modelnya saja,” kataku.
Akhirnya, bukan hanya memiliki baju untuk bonekanya, Tsabita malah promosi ke teman-temannya untuk memesan baju Barbie ke rumah (yah, walaupun aku juga yang lebih banyak menjahitnya).
Kemudian berlanjut ke kerajinan dari kain flanel sebagai pelengkapnya, yakni dengan membuat tas-tas imut untuk Barbie. Dia pun dengan bangganya berpromosi ke teman-teman dekatnya. Yah, walaupun yang pesan 1-2 anak, matanya berbinar-binar menerimanya. Jadilah beberapa produk terjual untuk teman-temannya.
Nah, Abyan pun tampaknya juga senang berjual beli. Tadi pagi, aku buatkan dia kue sarang laba-laba (kue cubit) sendiri di rumah. Gara-garanya, abang langganannya keburu pergi waktu Ariiq (2,5) dan Abyan ingin membelinya. Dan kalau sampai nggak dapat kue, bisa-bisa ngambek.
Jadinya iseng-iseng membuat sendiri.
“Tuh, bisa kan, sama kan dengan yang dijual di abang,” kataku.
Langsung deh Abyan nyeletuk: “Kalau gitu umi jualan kua laba-laba aja...”
“Oh ya, ya, ide yang bagus!” sahutku sambil menyelesaikan kue laba-laba itu.
“Kalau gitu besok teman-teman aku suruh ke sini aja ya Mi...”
“Loh, ngapain? Mau main bareng?”
“Ya buat beli kue laba-labalah...Daripada di abang, lama antrenya...” celoteh Abyan.
“Boleh, boleh....teman-teman Mas yang mana ya?”
“Ya Haikal, Riza...”
“Boleh, boleh..”
Begitulah, anak-anak ide-idenya terus mengalir tiada henti. Aku justru belajar dari mereka. Yah, sudah lama niat pengin jual-jualan apa kek, tapi kok selalu tersendat rasa tak mampu. Nggak punya modal, bingung jualan apa, nggak bisa jualan, malu, segan dan mungkin malas. Ada saja alasannya. Tapi, alhamdulillah, hari ini hari pertama aku mengirimkan sebuah produk jualan online yang kumulai dari iseng-iseng. Semoga berkah dan berketerusan! Aamiin.(*)
** Seri Catatan Buah Hati Bunda (14)

Pejuang Islamku

Hari itu (16/7/12) hari pertama Abyan masuk sekolah TK. Baru kelas A, karena usianya belum genap 5 tahun. Alhamdulillah, sejak hari pertama dia tidak ditunggui. Memang, di sekolahnya guru-guru berkomitmen agar anak-anak ditinggal orangtuanya, walaupun si anak menangis. Alhamdulillah para orangtua memahami hal ini. Sejak itu, Abyan tak pernah ditunggui.

Memang, awal-awal kadang dia mogok enggan berangkat sekolah. Apalagi kalau diantar jemput pakai ojek, kadang berangkat dengan muka cemberut dan harus sedikit dipaksa. Itu biasanya terjadi kalau dia bangunnya kesiangan, sehingga tidak banyak kesempatan untuk menyiapkan sekolah sembari bermain.

Tapi belakangan ini, alhamdulillah cukup bersemangat. Bangunnya juga cukup pagi sehingga dia punya waktu cukup untuk menyiapkan diri sebelum berangkat sekolah. Mandi, makan dan main sebentar dengan adiknya sebelum berangkat sekolah.

Kebetulan di sekolah sudah ada yang dia kenal. Namanya juga sama: Abyan. Yang ini kelas B, panggilannya Bang Byan. Sedangkan Abyan dipanggil Mas Byan sebagaimana di rumah selama ini.
Nah, setiap hari, ada saja celoteh Mas Byan sepulang sekolah. Misalnya menyebutkan nama-nama temannya yang tidak masuk karena sakit. Atau menyebut nama teman perempuannya yang menurut dia cantik. Kadang menceritakan aktivitasnya selama di sekolah atau saat berbagai bekal dengan Bang Byan atau teman lainnya.

Di lain waktu, dia bersenandung lagu-lagu yang baru pertama kudengar di telingaku. Hm...ini pasti lagu yang diajarkan di sekolah. Kadang juga ada PR berupa menyambung garis putus-putus yang dibuat gurunya. Alhamdulillah, kelihatannya dia makin bersemangat sekolah. Semoga semakin saleh.

Tapi, sudah dua pekan ini setiap Senin Abyan sakit. Pekan lalu, tiba-tiba saat Minggu (23/9/12) malam badannya panas tinggi. Masalahnya yang membuat bingung, kali ini tidak disertai dengan gejala sakit umumnya seperti batuk, pilek, radang, kembung, muntah atau buang-buang air. Biasanya Abyan paling sering masuk angin, seperti perut kembung dan muntah kalau makan.

Tapi kali ini, hanya panas saja. Makannya masih tergolong lahap, ngocehnya nggak berkurang dan sesekali mau main sama Ariiq seperti tidak sakit. Tapi ya itu tadi, karena takut besok tambah parah, jadi kuistirahatkan sampai Selasa karena masih anget dikit. Memang belum kubawa ke dokter, hanya minum madu dan vitamin. Rencana kalau Rabu belum turun panasnya, baru ke dokter.

Sebab, kalau baru panas dua hari ke dokter, biasanya dokter juga bingung mendiagnosa. Apalagi ini tanpa gejala apa-apa seperti disebutkan di atas. Kupikir, mungkin dia kecapekan saja. Seperti juga pekan ini, Minggu (30/9/12) malam tiba-tiba suhu badannya naik. Jadilah malam-malam begadang mijitin dan ngompres dia. Lagi-lagi tanpa gejala sakit umumnya, sehingga kusimpulkan mungkin dia kecapekan.

Sebab, Abyan dan Ariiq setiap Ahad –kadang juga Sabtu-- terpaksa mengikuti agenda acara umi atau abinya. Maklum, Ahad asisten libur, jadi ya selalu diajak. Dan memang tipe Abyan suka jalan. Kalau tahu umi atau abinya mau pergi, sudah pasti harus ikut. Walau di rumah ada kakaknya tetap saja maunya ikut. Ke warung, ke pasar, ke pengajian, dll. Ikut melulu.

¨Mas di rumah saja ya, nanti Mas capek. Kalau ikut umi harus jalan kaki jauuhhh...,¨ kataku.
¨Mas kuat kok Mi, kan pejuang Islam..,¨ jawabnya. Kalau sudah begitu, mau bilang apalagi. Tak ada alasan. Ini gara-gara dia pernah diajak abinya ke air terjun yang rutenya cukup jauh ditempuh dengan berjalan kaki. Atau sewaktu diajak long march dalam aksi masyiroh. Nah, untuk membuat Abyan kuat, abinya selalu ngomong, ¨Mas kan pejuang Islam, pasti Mas kuat.¨

Nah, lucunya lagi, waktu sakit itu Abyan kuajak sholat, ternyata dia punya maklumat tersendiri tentang sholatnya orang sakit. Dia memilih sholat sambil tiduran, padahal sebelumnya kuat bermain sama Ariiq. ¨Mas sholatnya gini kan Mi,¨ katanya sambil rebahan.

Sabar ya, Abyan dan juga Ariiq. Umi yakin, kalian adalah anak-anak yang kuat. Semoga kelak menjadi pejuang Islam yang tangguh, melebihi umi dan abi.(*)


** Seri Catatan Buah Hati Bunda (15)

Semoga Tidak Jadi Follower

Pada 16 September 2012 lalu Ariiq genap tiga tahun. Hmm, apa ya perkembangan Ariiq yang paling menonjol di usianya saat ini? Motorik halusnya, antara lain sudah mau pegang crayon corat-coret sana-sini. Paling suka bikin jalan mobil. Menggambar mobilnya sendiri belum bisa. Favoritnya gambar bus. Sudah berapa ratus bus yang aku gambarkan ya. Sudah mulai bisa menggunting gambar mobil di koran. Menempel dengan selotip atau lem di mana-mana. Kadang suka bantuin ngupas bawang putih dan motong kentang/buncis di dapur. Kadang makan sendiri dengan jari atau sendok. Mengambil gelas dan mencairkan minum dari dispenser sudah sejak dulu.

Motorik kasarnya, dari dulu sukanya loncat-loncat di kasur. Juga manjat-manjat. Aku duduk aja pasti dipanjat. Lagi salat juga dipanjat. Ada meja, bangku, motor, semua dipanjat. Main prosotan sendiri sudah berani. Lari-larian tanpa jatuh, menendang, melempar, dll, sepertinya tidak masalah.

Bicaranya, alhamdulillah semakin lancar. Sudah bisa menyebut K bukan dengan T. Seperti ¨aku¨, biasanya dia bilangnya ¨atu¨. Malah sudah cerewet seperti kakaknya, Abyan. Kalau bicara saling berebut nggak mau antre. Sudah mulai bisa dan berani mengeluarkan pendapat sendiri. Misal kalau lihat gambar, dia tanya: ¨Umi sukanya yang mana, Ariiq yang ini..¨

Emosionalnya, Ariiq tipe anak yang tak suka meledakkan emosi. Dipendam malah. Kalau kesal atau marah, yang dia lakukan misalnya menuang air minum, membuang apa yang dia pegang atau membantingnya, tapi tidak dengan meledak-ledak. Malah, sebelum melakukan dia kadang tanya dulu:
¨Mi, mobilannya boleh dibanting nggak?¨
Atau, sesudah marah dia akan melapor begini: ¨Mi, minumannya udah ditumpahin...¨
Tapi kalau kesal banget, nangis juga. Cuma, belakangan ini uniknya kalau habis nangis langsung ketawa. Abyan suka meledek kalau Ariiq sedang nangis: ¨Biarin aja Mi, ntar lagi dia ketawa...¨
Benar saja, Ariiq mengakhiri tangisnya dengan tawa. Aneh!

Sosialisasinya, nah ini yang saatnya mendapat perhatian. Makin besar kok malah semakin pemalu. Ketemu ¨orang asing¨ masih malu. Maklum, temannya di rumah sama kakak-kakaknya aja. Tetangga jarang. Tapi, ada positifnya juga sifat pemalunya ini. Kalau ada tamu, Ariiq pasti menyingkir. Sama sekali tak mau nimbrung atau cari-cari perhatian. Kalau di rumah ada pengajian, dia seperti paham untuk tidak mengganggu dan memilih bermain sendiri. Malah akhirnya tertidur. Ibu-ibu sampai takjub, kok bisa anaknya nggak mengganggu.

Intelektualnya, aku yakin Ariiq tipe mudah menangkap respons. Semoga, aamiin. Beberapa hari ini dia sering mengumandangkan azan. Padahal nggak pernah secara khusus aku mengajari untuk menghafalkan azan. Dia tahu sendiri file azan di laptop. Menunjukkan angka 1-10 juga sudah bisa. Termasuk menunjuk dengan jarinya. ¨Kalau dua gini ya, Mi?¨ Lalu sambil kutanya, mana jari telunjuk, kelingking, dst. Menghafal huruf ABCD walau belum sampai Z, juga sudah lumayan. Mengidentifikasi warna, sudah hampir luluslah.

Spiritualnya, ini yang masih perlu diperkuat. Diajak hapalan doa-doa atau juz amma memang masih belum keluar hasilnya. Sering sih diperdengarkan bacaan-bacaan seperti itu, semoga sudah tersimpan di memorinya tinggal dikeluarkan suatu saat. Jadinya belum terbiasa berdoa sebelum melakukan aktivitas dari mulutnya sendiri. Salat juga gitu, belum bisa. Masih susah diajak rutin.

Kemandirian, termasuk sebenarnya lumayan. Dia tidak ¨apa-apa serba uminya.¨ Kalau ngantuk, bisa tidur sendiri. Malah percuma ngeloni dia kalau belum ngantuk. Kadang minta mandi sendiri, kamar mandinya ditutup. Minum susu sendiri dari gelas dan kadang minta makan sendiri. Aku mau pergi pun, dia nggak serewel Abyan. Malah pernah, aku sengaja keloni dia agar tidur siang dulu baru kutinggal, eh...dia nggak tidur-tidur. Lalu dia malah menyuruh uminya berangkat.
¨Umi katanya mau berangkat?¨
¨Iya, makanya Dik Ariiq bobo dulu...¨
¨Umi berangkat aja...¨
¨Bener nih, umi berangkat ya...¨
¨Iya, tapi beliin jajan ya...¨ (Yah, ujung-ujungnya. Memang Ariiq mah di otaknya jajan melulu. Jago ngemil). Begitulah, waktu aku siap-siap, eh...dia merem sendiri.
Nah, soal kemandirian ini, ada satu ganjalan: ngompol malam. Ya, tiap malam dibangunin untuk pipis masih susah. Kadang ngambek, nggak mau. Kasurnya dialasi plastik biar nggak tembus kalau ngompol, malah dibuang. Ditidurkan di kasur jelek (kasur busa), ngambek. Jadinya kadang masih ngompol.

Terakhir, inisiatifnya, ini yang aku khawatirkan. Takut hanya menjadi follower Abyan. Soalnya, selama ini apa-apa serba ¨disetir¨ Abyan. Dilarang ini-itu kalau lagi main. ¨Ariiq jangan gitu, mobilnya bukan yang ini, itu punya Mas, Ariiq sini deh, mainnya gini aja ya...Ariiq yang ini aja, jangan yang itu...¨ dan sejenisnya. Sudah kunasihati Abyan agar membiarkan Ariiq saat bermain apapun, agar dia kreatif dan punya imajinasi sendiri. Mudah-mudahan kelak semakin berkembang kreativitas dan imajinasinya. Aamiin! Makin saleh ya, Ariiq!(*)
 


No comments: