* Seri Catatan Buah Hati Bunda (1)
Obat Kulit Mahal
Oleh Asri Supatmiati
Suatu pagi yang cerah. Hari itu kami
berencana membawa Ariiq (2 th) ke rumah sakit. Badannya sih tidak
panas, tidak batuk atau pilek. Perutnya juga tidak kembung,
muntah-muntah atau mencret. Kali ini penyakitnya gatal-gatal pada
kaki dan tangan. Muncul bentol-bentol putih, seperti berisi air, tapi
tidak lembek.
Sebenarnya ini bukan penyakit baru,
sudah beberapa minggu. Bukan sengaja didiamkan, karena sebenarnya
sudah diberi obat dari dokter umum dan dokter anak. Tapi ya itu tadi,
penyakitnya bandel. Obat-obat yang tidak murah itu cuma menghilangkan
rasa gatal sementara. Bentol-bentolnya muncul lagi, muncul lagi.
Padahal Dik Ariiq sudah kupaksa diet dari makanan yang konon katanya
pemicu gatal. Seperti ayam broiler, telur, ikan laut dan mecin.
Kata dokter yang sebelumnya memeriksa
Ariiq, gatal-gatal itu terjadi karena kulitnya sensitif. Jadi, kena
gigitan serangga, kuman atau makanan mengandung mecin/pengawet,
alergi itu muncul. Makanya, gatal-gatalnya tak juga sembuh total.
Akhirnya aku putuskan membawanya ke dokter spesialis kulit.
Terbayang, pasti bakal merogoh kocek lebih dalam.
***
“Mas Abyan, Dik Ariiq, mau makan
dulu apa mandi dulu?” seperti biasa, pagi-pagi setelah kakak
Tsabita berangkat sekolah aku berkoar-koar.
“Makan dulu ah...tapi sambil main ke
lapangan ya, Mi,” jawab Abyan (3,5 th).
“Nggak ah, makannya di rumah aja ya.
Nanti Mas mau ikut nggak, umi mau nganterin Dik Ariiq ke rumah
sakit,” kataku.
“Ke rumah sakit Mi? Mau-mau...Mas
ikut ya Mi,” Abyan paling semangat kalau akan diajak ke rumah
sakit.
“Iya, mau ke dokter kulit. Tapi Mas
makan dulu, baru mandi. Yuk, sambil nonton berita aja ya...” Ariiq
yang sudah bisa nyetel tivi langsung memencet tombol. Seperti biasa,
mencari gambar mobil, bus atau kereta api di sela-sela berita.
Usai makan dan mandi, berangkatlah
kami dengan motor ke rumah sakit.
***
Selama ini, Abyan dan Ariiq cukup
sering berobat ke rumah sakit. Setiap sakit, tak mempan bila hanya
mengandalkan obat-obat herbal. Seringnya, kalau belum ketemu dokter,
belum sembuh. Tapi, bukan karena terkesan dengan dokternya kalau
Abyan suka ke rumah sakit, tapi karena di ruang tunggu pasien anak
ada tempat permainannya.
Ada ayunan, prosotan, jungkat-jungkit
dan kuda-kudaan. Jumlahnya sedikt, tapi cukup menghibur pasien
anak-anak. Namanya sebut saja Rumah Sakit Berbakti. Bukan rumah sakit
paling elit di kota ini, karena masih ada yang lebih bagus (dan mahal
pasti). Bahkan, di sini antreannya cukup panjang.
Itu pula yang membuat aku paling malas
ke rumah sakit. Nunggu dokternya lama (nggak banyak kan dokter yang
ontime), antrean pasien panjang, belum lagi nunggu obat di apoteknya.
Bisa berjam-jam. Pokoknya kalau ke rumah sakit, sudah harus siap
mental, bakal capek setengah hari di sana, dari pagi pukul 09:00
sampai duhur atau bahkan pukul 14:00.
Beda sekali dengan layanan di rumah
sakit nomor satu yang terkenal elit. Tak perlu antre lama, karena
kita akan diberitahu kira-kira jam berapa sebaiknya datang untuk
mendapat pelayanan sesuai nomor antrean. Tak hanya itu, mulai bagian
pendaftaran, perawat hingga dokternya, ramah dan komunikatif.
Menunggu obat diracik pun singkat. Kita juga tidak perlu menunggu di
depan apotek, karena pengeras suara akan memanggil bila obat sudah
tersedia.
Itu pernah aku alami sendiri, juga
saat memeriksakan Ariiq di salah satu rumah sakit terbaik untuk ibu
dan anak. Tentu saja, semua itu harus dibayar mahal, melebihi biaya
di rumah sakit umum standar. Duh, sedih ya, pelayanan saja harus
dibeli. Kalau mau pelayanan yang nyaman, bayarnya harus mahal. Kalau
bayarnya murah, pelayanannya ya standar. Kalau mau gratis, ya
pelayanannya buruk.
Mirip paradigma pejabat kita yang
mengurusi layanan publik. Kerap, ketika berniat menaikkan tarif-tarif
yang mencekik leher rakyat, mereka selalu berdalih “untuk
meningkatkan layanan”.
Seperti ketika tarif air, listrik,
jalan tol atau karcis kereta api dinaikkan. Artinya, kalau air mau
ngalir terus, listrik tidak byar pet dan kereta api tak telat terus,
ya harus mau bayar lebih mahal dong. Jadi kalau tarif murah, lantas
pelayanan pada rakyat boleh buruk? Padahal, faktanya, pelayanan tak
juga membaik setelah tarif-tarif itu naik.
***
Di RS, Abyan dan Ariiq tak
menyia-nyiakan kesempatan. Di ruang tunggu, segera mereka asyik
mencoba semua permainan yang ada. Selain itu, juga mengeksplore semua
sudut ruang tunggu pasien dokter kulit yang sejatinya tak begitu
luas.
Sampailah giliran dipanggil dokter.
Dokter perempuan itu tak sampai 15 menit memeriksa dan mencatatkan
resep. Menebus obat di apotek, harus nunggu sampai sekitar dua jam.
Duh, Abyan dan Ariiq pun sudah tampak bosan. Akhirnya setelah melepas
empat pecahan Rp100 ribuan, tiga jenis obat pun dalam genggaman.
Sirup, puyer dan salep oles. Paling-paling kalau ditimbang cuma
sekitar seons. Duh!
***
“Mi, Dik Ariiq dikasih salep ya...”
suatu duha, saat Aku sedang berkutat di dapur, Abyan sudah memegang
salep obat kulit Ariiq di tangan.
“Nggak usah Mas, tadi habis mandi
udah, nanti sore aja lagi diolesin ya...” kataku sambil mengambil
salep dari tangannya. Kuletakkan kembali salep di atas meja belajar.
Aku kembali berkutat di dapur. Abyan
dan Ariiq tampak asyik bermain di ruang tengah. Sesekali kudengar
candaan mereka berdua. Sampai kemudian Abyan ke dapur lagi.
“Mi...Mi...Lihat Dik Ariiq...sudah
dikasih salepnya...”
Kulihat tangan dan kaki Ariiq
belepotan salep. Juga mukanya. Bahkan, ya ampun.....
rambutnya....model mowhak dengan olesan salep gatal sebagai
perekatnya.
Di tangan kiri Abyan, botol salep
tinggal tersisa di bagian dasar dan pinggiran. Di tangan kanannya,
sendol teh kecil bekas mencongkel salep.
“Maaaaaassss......Aduuuuuuuh....kan
umi bilang jangan disalepin....ini obat mahalllllll.........bukan
mainannnnnnnn.....”
Kulihat mimik Abyan serius menahan
rasa bersalah. Biasanya kalau dimarahi dia langsung melawan, kali ini
cuma diam, tapi air matanya meleleh.(*)
** Seri Catatan Buah
Hati Bunda (2)
Mahal Kok Dibeli...
Oleh Asri Supatmiati, Jurnalis, Ibu
tiga anak
Abyan (3,5 th) dan Ariiq (2 th) paling
suka main mobil-mobilan. Bus adalah jenis kendaraan favorit Abyan.
Ariiq, sebagai adik, biasanya menjadi follower. Semua kelakuan
masnya diikuti. Masnya suka bus, Ariiq suka bus. Masnya suka mobil
boks, Ariiq pengin juga. Makanya, kalau mainan mobil-mobilannya hanya
satu untuk model yang sama, sudah pasti selalu berebut.
Ujung-ujungnya, Ariiq yang menangis.
“Ini yang ngambil Mas, berarti punya
Mas,” begitu selalu pembelaan Abyan.
“Ini yang mbeliin Umi, berarti punya
Umi,” timpalku sekenanya.
Koleksi mainan mobil-mobilan AA (Abyan
dan Ariiq) tak bisa dibilang banyak. Sayang membelikannya mainan saat
mereka belum “open” (bahasa Jawa, artinya suka merawat.
Bukan bahasa Inggris yang artinya buka). Soalnya sering hilang (ada
saja yang keselip entah dimana karena ukurannya kecil, ketinggalan
saat dibawa ke luar rumah, dll).
Bukan hanya itu, umur mainan sangat
pendek. Apalagi kalau terbuat dari plastik, sepuluh kali banting
sudah harus jadi penghuni tong sampah. Paling rentan rodanya. Pasti
copot duluan. Padahal, AA, dua-duanya, sama-sama suka membanting
mainan kalau marah. Entahlah belajar darimana. Mungkin tanpa sadar,
ibunya ini membanting barang juga kalau marah, makanya ditiru.
Sebab, anak-anak balita adalah peniru
ulung. Bisa meniru dari teman-temannya. Mungkin melihat anak lain
yang mengekspresikan rasa marahnya seperti itu, atau lihat dari
televisi. Nah, mengenai pengaruh teman, kurasa tidak. AA jarang
bergaul, karena di sekitar rumah anak-anak sebayanya hampir tidak
ada. Kalaupun ada, mereka jarang main ke luar. AA sih, setiap hari
main ke luar rumah. Ke depan rumah atau ke lapangan.
Lalu pengaruh televisi, sepanjang
pantauanku, AA tidak memiliki ketergantungan pada televisi. Beda
dengan kakaknya Tsabita (10 th), yang waktu kecil hobinya nonton Dora
The Explorer, Spongbob, The Legend of Change, Barney, dll. Kalau
sudah di depan tivi di rumah, ia dijuluki “bengong nomor satu di
dunia.” Soalnya “khusyuk” banget. Padahal itu film sudah
berulang kali dia saksikan. Astaghfirullah!
Kalau begitu pengaruh orang rumah?
Yah....aku cuma bisa introspeksi, mungkin ini memang salahku. Mungkin
juga kakaknya begitu, abinya juga, atau pengasuhnya. Makanya, benar
kata pepatah, anak-anak adalah cermin orangtuanya. Atau, buah tak
akan jatuh jauh dari pohonnya. Walaupun tak selamanya benar, tapi
memang faktanya anak-anak kerap hanya meng-copy-paste apa yang kita
lakukan. Makanya, hati-hati berhadapan dengan anak. Salah-benar
ditiru oleh mereka.
***
Kembali soal mainan, karena sering
rusak, aku jarang mengabulkan keinginan Abyan yang kerap minta mainan
(Ariiq belum punya inisiatif minta mainan). Memang, kalau beli yang
harganya mahal, mungkin akan awet karena bahannya asli metal. Tapi,
kurasa mainannya masih mencukupi. Sudah ada truk, bus, sedan, balap,
mobil pos, mobil polisi, kijang, ambulan, tangki, dll. Ukurannya
mulai yang bisa dinaiki AA, sampai yang dipegang segenggaman mereka.
Harganya mulai Rp5.000 sampai Rp100 ribu. Kalau ditaksir-taksir,
sudah lewat Rp500 ribulah untuk membeli mainan-mainan itu. Toh,
seberapa banyak pun dibelikan mainan, anak-anak tak akan pernah
merasa cukup. Biarpun seisi toko dipindah ke rumah, tidak akan merasa
puas.
Beruntung Abyan anaknya cukup
pengertian. Dalam arti, tidak pernah merengek-rengek minta mainan
bila berada di depan sang penjual. Merengeknya di rumah, membayangkan
punya mainan ini-itu.
“Mi...Mas belum punya mainan mobil
yang ada jalurnya ih Mi...”
“Mi...Mas pengin mobilan yang pakai
remot ih Mi...”
“Mi...beliin kereta Thomas dong
Mi...”
“Mi...kalo udah gajian beliin mobil
pink yang di warung depan Indomaret itu ya Mi...”
Paling-paling rengekan seperti itu
yang berdengung di telinga ini. Tapi, kalau berhadapan langsung
dengan mainan di toko, warung, supermarket atau pedagang kaki lima,
dia tidak pernah merengek, apalagi sampai menangis. Kok bisa?
Biasanya aku punya senjata pamungkas:
“Harganya mahal”. Alasan itu ternyata cukup mempan untuk
membuatnya diam.
“Nanti ya, Mas nabung makanya,
jangan jajan melulu, nanti uangnya buat beli mobilan,” bujukku
sebagai lanjutan.
“Kalau yang ini murah nggak Mi?”
“Mahal,”
“Kalau sudah murah boleh dibeli ya
Mi?”
“????”
***
Suatu hari, saat di kompleks ada yang
sedang hajatan, berjejeranlah mobil-mobil di lapangan yang sudah
disulap menjadi lokasi parkir. AA girangnya bukan main. Mereka begitu
menikmati bermain di lapangan, melihat-lihat beraneka merek kendaraan
di sana. Matanya begitu berbinar, terkagum-kagum memperhatikan
mobil-mobil itu.
Satu persatu kendaraanpun diabsennya.
“Ini mobil apa Mi?” kata Abyan.
“Avanza” kataku.
“Ni obil apanja ya Mi...” Ariiq
nimbrung.
“Harganya berapa? Mahal apa murah,”
tanya Abyan lagi.
“Seratus jutaan, murah sih...”
“Ni mulah ya Mi...” Ariiq copy
paste.
“Kalau ini mobil apa Mi?” Abyan
menunjuk mobil warna silver.
“Ini Fortuner, termasuk mewah ini
Mas...”
“Ni mewah ya Mi...” tumben Ariiq
jelas ngomongnya.
“Harganya berapa? Mahal nggak Mi?”
tanya Abyan lagi.
“Mahal Mas, 300 juta lebih...”
kataku.
“Yang ini mobil apa Mi?” kali ini
Abyan menunjuk mobil warna hitam.
“Wah, ini Alphard Mas. Mahal banget
ini Mas, harganya bisa sampai satu miliar, harus buanyak duitnya,”
kataku menjelaskan, sebelum dia bertanya.
“Kok orang-orang aneh ya Mi, mobil
mahal-mahal kok dibeli...” timpal Abyan.
“????”(*)
-->
** Seri Catatan Buah
Hati Bunda (3)
Mobil Korengan
Oleh Asri Supatmiati, Jurnalis, Ibu
tiga anak
Abyan dan Ariiq paling
suka main air. Pastinya Abyan yang memulai, nanti adiknya ikutan. Air
apa saja. Main air di kamar mandi, wow hobi. Berendam di bak cucian,
sangat menyenangkan. Berhujan-hujanan pakai shower, segeeeerrrr!
Kalau sudah di kamar mandi, wajan,
penggorengan, gelas, sabun, mobilan, bola, baju basah dan apa saja
bisa jadi bahan eksplorasinya. Makanya sehari bisa mandi tiga sampai
empat kali. Tinggal uminya kucing-kucingan matiin air dari kran
meteran, khawatir tagihan jebol hehe...
Tak hanya itu, kebiasaan main air
sambil mencuci motor atau sepeda, enjoy aja. Sambil
semprot-semprotan, tertawa senang, dan sekalian bersihkan badan.
Bagaimana dengan main hujan-hujanan?
Kalau ini jarang. Bukannya nggak boleh, tapi di Bogor ini hujannya
kerap sangat mengerikan. Disertai angin kencang dan petir
menyambar-nyambar. Malah petirnya mencapai frekuensi 13.056 kali per
bulan, sehingga tercatat di Guinness Book of Record. Jelas sangat
berbahaya bila mengizinkannya main hujan-hujanan.
Tapi, bukan berarti tidak pernah.
Sebagai pengalaman bagi anak, sekali seumur hidup harus pernah
merasakan mandi hujan-hujanan. Ada tipsnya supaya anak tidak sakit
sehabis hujan-hujanan.
Pertama, lihat kondisi fisik
anak-anak, sedang sehat atau tidak. Kedua, usianya jangan di bawah 2
tahun, masih rentan. Ketiga, jangan hujan-hujanan saat baru turun
hujan, karena airnya masih terlalu deras dan kandungan asamnya
tinggi, tak baik untuk kesehatan.
Keempat, jangan main hujan-hujanan di
lapangan terbuka, di bawah pohon, dekat tiang tinggi, karena
berbahaya jika ada petir. Cukup di depan teras rumah atau taman
rumah. Kelima, jangan lama-lama, cukup sampai anak merasakan basah.
Makanya, biar tidak lama, izinkan berhujan-hujanan saat kita yakin
hujan sebentar lagi reda.
***
Kembali soal main air, yang juga tak
kalah suka adalah main air becek di lokasi bekas hujan. Terutama main
becek di lapangan, wow ketagihan. Mau dilarang, percuma saja. Tetap
nekat. Anak-anak memiliki rasa ingin tahu sangat tinggi. Ia akan
mencoba apa saja, ingin merasakan becek-becekan juga. Jadi, kalau
dilarang hanya menyumbat rasa ingin tahunya.
Paling-paling aku kasih batasan waktu.
“Mas, main becekannya jangan lama-lama ya. Airnya kan becek, kotor,
nanti korengan, gatal-gatal kalau nggak segera dibilas,” kataku.
Bukannya berhenti, Abyan malah sengaja
menceburkan pantatnya ke lokasi becekan. Jadilah celananya basah
semua. Begitupun mobil-mobilan jeep yang bisa dinaikinya itu,
akhirnya basah dan kotor. Kalau dia sudah merasa tak nyaman dengan
basahannya, biasanya langsung digiring pulang untuk dibilas.
***
Suatu hari, Abyan ikut mengisi
training di Parung (nggak kuat mendengar rengekannya minta ikut: “Mas
kangen sama Umi”). Nah, jalur ke Parung sebetulnya mulus. Jalannya
lebar dan bagus. Hanya, karena suatu sebab, terjadi kemacetan
panjang. Angkot yang kunaiki terjebak lama di tengah kemacetan
panjang.
Di sisi jalan, kondisinya sangat becek
dan berlubang membentuk kubangan. Mungkin karena habis hujan. Namun,
demi menghindari macet, banyak kendaraan melintasi bahu jalan itu.
Walhasil kendaraan itu harus bergoyang-goyang menyelamatkan diri dari
kubangan.
Seperti biasa, Abyan tak
henti-hentinya mengabsen kendaraan yang lewat.
“Bis gedeee....” telunjuknya
mengarah ke bus yang lewat di bahu jalan.
“Mobil tangkiiii...” begitu
seterusnya.
Sampai yang bikin tersenyum saat dia
berkomentar:
“Kok mobilnya lewat becek-becekan
sih Mi...nanti mobilnya korengan dong...”(*)
** Seri Catatan Buah
Hati Bunda (4)
Ikannya Bobo Ya Mi...
Oleh Asri Supatmiati, Jurnalis, Ibu
tiga anak
Anak kecil paling suka
melihat binatang. Binatang apa saja, terutama binatang peliharaan
seperti kucing, ikan, burung, kelinci, bebek atau hamster. Mereka
suka mengamati gerak-gerik dan ekspresi para binatang itu. Lucu dan
menggemaskan.
Nah, Abyan (4) dan Ariiq (2) pun
sangat senang para binatang itu. Tak perlu memelihara sendiri, karena
urusannya bisa ribet. Memang, menurut para ahli pendidikan anak,
memelihara hewan bagus untuk perkembangan sosial anak. Anak jadi
punya empati, melatih kesabaran dan ketelatenan. Tapi, ya itu tadi,
repot. Mengurus anak saja sudah menghabiskan energi, apalagi ditambah
mengurus binatang peliharaannya. Toh di sekitar rumah, di lingkungan,
mereka tetap bisa belajar tentang dunia binatang itu.
Ada banyak kucing liar yang tiap hari
berseliweran di sekitar rumah. Kalau sedang main, atau sambil disuapi
di luar rumah, duo AA (Abyan dan Ariiq) suka sekali menggoda para
kucing itu. Terutama Ariiq, langsung minta jatah makanan untuk
diberikan pada kucing-kucing itu. Entah duri ikan atau tulang ayam.
Ariiq begitu ekspresif dan tertawa lepas melihat ulah para kucing
itu. Dari sana mereka belajar bahwa kucing maunya cuma yang
amis-amis. Diberi nasi, tahu atau tempe nggak bakal mau.
Terkadang, kami jalan keliling
kompleks dan berhenti sejenak di depan rumah tetangga yang memelihara
kelinci atau ayam. Setelah Abyan dan Ariiq puas melihat ulah
binatang-binatang itu, baru beranjak. Kadang juga melihat bebek,
walaupun lokasinya becek dan jorok. Tapi yang penting mereka senang.
Kerap juga mencuri-curi pandang ke
akuarium tetangga yang diletakkan di pojok teras, menyaksikan
ikan-ikan hias warna-warni berseliweran. Tak pernah bosan. Nah, kalau
ikan, sering AA memeliharanya walau hanya di ember. Maklum, tidak
punya akuarium, fish ball, apalagi kolam ikan.
Seperti hari itu, ada penjual ikan
keliling lewat. Abyan pun minta dibelikan sekantong plastik isi tiga
ikan hias warna orange. Harganya Rp2.000. Ikan-ikan itu dibiarkan
saja berhari-hari di ember sebagai hiburan. Artinya, tak diberi makan
karena memang sengaja tak dibelikan makanan khusus ikan.
Habis, kadang abang penjual ikannya
tak sekalian menjual makanan ikan. Malas banget kalau harus ke pasar
atau toko sekadar beli makanan ikan, padahal cuma untuk tiga ekor
ikan kecil. Sayang juga sih, beli makanan ikan, karena cuma akan
terpakai sedikit (hehe...pelit?). Sementara diberi makan nasi, roti
atau sejenisnya, hanya membuat keruh air dan ternyata tidak dimakan.
Malah, ikannya cepat mati.
Terutama, saat belum tahu bagaimana
memelihara ikan agar bertahan hidup. Selama ini, aku selalu sibuk
mengganti air ember setiap malam agar airnya terjaga tetap bersih.
Tapi, rupanya itu justru mempercepat kematian ikan-ikan mungil itu.
Aku pikir karena tak dikasih makan ikan itu mati, ternyata ada sebab
lainnya.
Suatu kali, aku melihat sendiri,
ikan-ikan itu bertahan hidup justru dengan memakan kembali
kotorannya. Makanya, airnya jangan sering-sering dibersihkan, karena
justru membuang makanan ikan. Dan terbukti, ikan bisa bertahan lebih
dari sepekan, tanpa kuberi makan apapun.
Cuma, tangan-tangan usil AA saja yang
“mempercepat” ajal para ikan yang malang itu. Bagaimana tidak,
airnya terus saja diobok-obok. Ikannya ditangkapi pakai saringan
santan, lalu diceburin lagi. Atau “dikejar-kejar” dengan gelas
plastik, ditangkap dan dimasukkan air lagi. Sekali waktu air di ember
diputar-putar hingga membentuk pusaran. Pokoknya ikan itu pasti
pusing dan stres.
“Aduuhh....nanti ikannya pusing
diputar-putar gitu,” kataku.
“Itannya ucing ya Mi...” Ariiq
seperti biasa, langsung copy paste. Abyan cuma cekikikan girang.
Merekapun begitu asyik, tenggelam bercengkerama dengan ikan-ikan itu.
Sampai kutemukan air ember sudah keruh
tak karuan. Terang saja, Abyan memasukkan sabun ke dalam ember itu.
Lalu susu ultra cokelat sisa diminun, dituangkan pula oleh Ariiq.
Hasilnya, dua dari tiga ikan itupun tak kuat. Keduanya ngambang dalam
kondisi megap-megap meregang nyawa.
“Aduhuhh...ini kok jadi keruh
banget....mati deh ikannya...” seruku.
“Itannya bobo ya Mi...” tumben
Ariiq nggak copy paste, tapi punya pendapat sendiri. Melihat
ikan dalam posisi ngambang, dibilangnya sedang tidur. Aku dan Abyan
ketawa geli.
“Ikannya mati Riiq, tuh lihat nggak
napas lagi, bukannya bobo. Udah ya main ikannya, sini Umi ganti
airnya,” tukasku mengakhiri eksplorasi mereka hari itu.(*)
** Seri Catatan Buah
Hati Bunda (5)
Alamat Palsu vs
Alfatihah
Oleh Asri Supatmiati
Sekarang sedang demam Ayu Sin Ting
(ups!!!...Ting Ting). Alamat Palsu terngiang-ngiang dimana-mana.
Membuai siapa saja yang mendengarnya. Terus terang, lagunya memang
easy learning, mendayu-dayu merdu dan mudah ditiru. Makanya,
tanpa sadar kita (saya maksudnya! Anda?) pun ikut melantunkannya.
Lupa naruh kunci, langsung nyanyi
“dimana...dimana...dimana...” Mencari kaos kaki, jam tangan,
handphone, dll, lirik itu begitu mewakili. Jadilah Alamat Palsu
seolah jadi lagu wajib saat ini. Apalagi sang biduan tak henti-henti
nongol di televisi, mendayu-dayu di ringtone HP relasi, wajahnya
menghiasi koran dan majalah tiap hari. Jadilah Ayu Ting Ting plus
Alamat Palsunya benar-benar bikin “sinting” semua orang. Membius
siapa saja, tak terkecuali anak-anak.
Terlebih, anak-anak paling suka dengan
nyanyian. Sangat cepat menghafal lirik-lirik lagu. Itu sebabnya di TK
atau PAUD pelajarannya nyanyiiiii...melulu. Abyan (4) saja, sudah
hafal hampir semua lagu anak legendaris seperti Balonku Ada Lima,
Bintang Kecil, Naik Kereta Api, Kasih Ibu, Satu-satu, dll. Lagu
favoritnya Naik Kereta Api. Kalau sudah nyetel VCD lagu anak, bagian
lagu Kereta Api diulang-ulang sampai berkali-kali. Kalau nggak ada
remote, dia pencet prev berulang kali.
Ariiq (2) juga mulai menghafal
beberapa lagu, meski ejaannya belum jelas. Kini tiada hari tanpa
menyanyi dan menyimak lagu anak-anak itu. Ariiq paling suka dengan
lagu Kasih Ibu. Bisa berulang-ulang dia pencet tombol prev
sendiri untuk mengulang lagu itu.
Karena beda lagu favoritnya, jadinya
sering berebut deh saat nyetel VCD. Abyan kadang nggak mau ngalah,
penginnya Kereta Api. Sementara Ariiq juga tak kalah sengit, maunya
Kasih Ibu. Kalau sudah begitu, biasanya Abyan kualihkan ke laptop
untuk mendengarkan lagu lain.
Masalahnya, di laptop belum ada lagu
anak-anak. Belum download atau copy dari MP3. Belum sempat
mencarikan lagu anak-anak legendaris itu atau lagu lain yang lebih
baik. Lagu religi misalnya. Adanya lagu-lagu lama, seperti
Ramadhannya Seventen. Yang ada malah lagu Alamat Palsu yang
didownload kakaknya, Tsabita (10).
Memang, seisi rumah suka mendengarkan
musik. Yaa, walaupun tidak sampai music mania. Artinya, nggak
sampai membeli kaset/VCD-nya, menjadikannya ringbacktone yang suka
nyolong pulsa itu atau sengaja nyetel acara musik yang menyita waktu
seperti Dahsyat. Nggak banget!
Nah, kembali soal lagu Alamat Palsu,
Abyan juga suka menyetel itu berulang kali. Kadang aku risih juga,
karena lagu itu tidak pas untuk anak kecil. Untungnya cuma lagunya,
tidak ada rekaman videonya (yang serba buka aurat, campur baur
laki-perempuan). Tapi percuma dilarang keras, karena ujungnya pasti
marah. Paling-paling kualihkan, kalau sudah mendengarkan satu kali,
ya harus ganti dengan lagu lain.
Tapi, aku tidak terlampau
mengkhawatirkannya. Maksudku, anak-anak itu (dan juga orang dewasa)
memang sangat cepat menghafal lagu-lagu populer, tapi juga cepat lupa
seiring tenggelamnya lagu itu. Sebab, lagu-lagu populer para artis
itu umumnya tidak melegenda. Tidak akan diingat anak selamanya.
Berbeda dengan lagu anak-anak yang melegenda seperti Kasih Ibu dkk.
Dulu, Tsabita waktu usia 3 tahunan
juga hafal dengan lagu-lagu Peterpan yang sedang top, karena
teman-teman bermainnya suka mengajak menyanyikannya. Tapi beberapa
bulan kemudian juga melupakannya, seiring dengan munculnya lagu-lagu
baru yang lebih populer.
Nah, Alamat Palsu juga hanya akan
menjadi fenomena sesaat. Sama seperti ketika Keong Racun booming.
Tak lama lagi, orang-orang akan bosan. Apalagi kalau terus-terusan
diperdengarkan. Biasanya, kalau orang sudah hafal liriknya, mulai
muncul kebosanan. Semoga saja Abyan segera melupakan Alamat Palsu
itu.
Sebab, kini Alamat Palsu itu menjadi
saingan dalam pelajaran menghafal Abyan dan Ariiq. Ya, aku sedang
memprogram mereka berdua untuk menghafal doa-doa dan surat-surat
pendek Juz 'Amma. Tapi, ya itu tadi, harus bersaing dengan hafalan
mereka terhadap lagu-lagu, termasuk Alamat Palsu. Nggak salah sih
mendengarkan lagu, karena itu cara cepat memperkaya kosakata dan
melatih kemampuan bahasa mereka. Cuma, kalau lagunya bukan lagu
anak-anak, memang bikin risih.
Masalahnya, Abyan susah sekali diminta
hafalan, semisal doa atau juz 'amma. Bukan susah mengingatnya, karena
indera anak yang paling cepat merespons saat balita adalah indera
pendengaran. Aku yakin, dia sebenarnya bisa menghafal dengan mudah.
Tapi, susah diminta komitmennya untuk menirukan hafalan. Adaaa...saja
alasannya. Mulutnya bungkam, padahal biasanya ngoceh tiada henti.
Paling-paling dia nyeletuk menanyakan
kalimat hafalan yang didengarnya “asyik” di telinga. Seperti
ketika aku bacakan Al-Ikhlas “lam yalid walam yulad, walam
yaqullahu qufuwan ahad”, nanti dia nyeletuk “yakul itu
apaan sih Mi, yang diminum itu kan...”
Makanya, kalaupun dia tidak serta
merta mengikuti bacaan itu, aku tetap memperdengarkan dia
bacaan-bacaan surat pendek biar dia hafal. Mulai Alfatihah,
Al-Ikhlas, An-Nas dan seterusnya. Kalau tidak melalui mulutku,
kusetel saja murotal di VCD atau laptop. Dengan sering mendengar,
insya Allah akan bisa disimpan di otaknya dan kemudian dilafazkan
kapan dia mau.
Aku tak pernah menghitung berapa kali
bacaan hafalan itu kuperdengarkan. Karena, biasalah, ibu-ibu selalu
banyak urusan. Tapi, menurut praktisi pendidikan anak usia dini dalam
suatu pelatihan, untuk membuat anak hapal, minimal harus
memperdengarkan hal yang sama sebanyak 15 kali per hari. Jadi kalau
ingin cepat hafal Alfatihah, bacakan surat itu 15 kali sehari (banyak
kali ya?).
Tak harus anak dalam kondisi duduk
rapi menghadap kita lalu menghafal, tapi dalam kondisi apa saja. Saat
anak sambil mandi, main, makan, menjelang tidur, dll, perdengarkan
ayat alquran itu. Kalau cara itu dilakukan dengan konsisten, dalam
waktu satu tahun anak bisa hafal satu juz. Subhanallah! Sepertinya
memang harus dicoba. Bismillah! Ya Allah, berilah kemudahan Abyan dan
Ariiq dalam belajar menghafal. Amin.(*)
**
Seri Catatan Buah Hati Bunda (6)
Pinky Boy
Oleh Asri Supatmiati, Jurnalis, Ibu
tiga anak
Abyan (4), sejak bisa mengidentifikasi
warna, paling suka pink. Entah, darimana seleranya itu mencuat.
Walaupun kakaknya, Tsabita --sebagai anak perempuan-- menyukai warna
pink, toh bukan pink maniac (dalam artian semua benda harus
pink). Jadi, kurasa memang Abyan juga punya ketertarikan tersendiri
dengan warna itu. Buktinya, kalau memiliki barang penginnya warna
pink.
Waktu aku membeli tiga botol minum
dengan warna pink, ungu dan hijau, Abyan memilih pink. Kalau melihat
kakaknya membawa botol pink itu ke sekolah, sudah pasti Abyan
meradang. “Itu punya Mas, jangan dibawa kakak...” Terpaksa
kakaknya ganti botol minum lainnya.
Waktu membeli kotak makan berbentuk
mobil-mobilan, dia memilih pink. Ariiq sebagai adik, belum punya
inisiatif meminta warna tertentu, jadi ngalah saja diberi yang biru.
Waktu membeli bangku kecil buat duduk, dia mintanya pink.
Kalau membeli jajanan, seperti susu
murni nasional atau susu ultra: pilih pink. Wafer tango: pink. Donat:
toppingnya pink. Es krim: pink. Bukan karena suka rasanya
strawberry-nya, semata-mata karena pink-nya. Setiap masuk kelas PAUD,
menyimpan tas harus di loker yang pink. Duduk juga memilih bangku dan
meja pink. Menyimpan sepatu di rak warna-warni di luar kelas, pilih
yang dicat pink.
Tapi baju, celana, tas atau sendal,
belum punya yang pink. Pernah dia minta dibelikan sendal “baim”
warna pink, tapi tidak kukabulkan. Bukan apa-apa, jarang sendal
model laki-laki yang warna pink. Kebanyakan warna gelap: biru tua,
cokelat tua. Yang warna cerah ada sih, tapi cuma biru muda, orange
atau putih. Akhirnya kubelikan biru muda.
Warna pink sebenarnya bagus dan
lucu-lucu, tapi kebanyakan model perempuan. Well, kalau
sendal perempuan memang semua warna ada, mulai warna cerah sampai
gelap. Komplit! Kalau belanja fashion anak, paling mudah untuk anak
perempuan bukan? Anak laki-laki ya terbatas, model maupun warnanya.
Demikian pula saat akan dibelikan tas,
pesan warna pink bergambar mobil. Tapi, pink selalu bergambar barbie,
princess, Hello Kitty, Strawberry short cake, Dora, dll, khas anak
cewek. Untuk cowok cuma hitam, biru tua, hijau dan merah. Gambarnya
kalau nggak Spider Man, Ben 10, Ultra Man, The Cars, Thomas and
Friends, dll. Akhirnya pilihan jatuh ke warna merah bergambar mobil.
Lalu sewaktu membeli botol minum kecil pengganti dot susu, dia
sendiri meminta yang pink.
“Cowok kok sukanya warna pink.”
Komentar itu muncul dari penjual, guru PAUD, temanku, ibu-ibu lain
yang tahu selera Abyan. Makanya, dia dijuluki pinky boy. Seru dan
lucu aja, melihat kesukaannya dengan warna itu. Lantas, adakah yang
salah dengan selera pinknya? Sama sekali tidak. Memangnya siapa yang
membuat aturan bahwa warna pink hak ekslkusif anak perempuan, lalu
anak laki-laki dilarang menyukai warna itu?
Siapa yang mengkotak-kotakkan warna:
pink untuk perempuan, biru untuk laki-laki? Persis seperti para ibu
yang selalu menyambut kelahiran buah hatinya berdasar warna. Kalau
di-USG perempuan, langsung memborong perlengkapan bayi warna pink.
Sebaliknya jika laki-laki, yang dibeli warna biru. Rumah sakit atau
klinik bersalin mencontohkan itu. Bayi laki-laki disambut di ruangan
serba biru, dengan baju, topi, kaos kaki, kaos tangan dan bedong
biru. Bayi perempuan didandani serba pink.
Begitulah, sejak bayi, kanak-kanak
hingga dewasa, otak kita didoktrin bahwa pink itu untuk perempuan.
Dianggap aneh, ditertawakan dan diledek jika ada laki-laki memiliki
benda-benda warna pink. Sampai sekarang, banyak laki-laki dewasa yang
tak percaya diri kalau memakai warna pink. Atau sekadar memiliki
pernak-pernik warna pink. Maklum, memang sangat sedikit pernak-pernik
laki-laki yang berwarna pink. Hanya pria metroseksual dan
fashion minded yang pede memakai warna melow itu
(presenter Indra Bekti salah satunya).
Para lelaki itu sudah kadung didoktrin
agar membenci warna pink, walau di hatinya mungkin juga suka melihat
benda pink. Cuma, kalau harus mengenakannya, takut diomongin orang.
Takut dicap banci atau cengeng, karena memilih warna perempuan.
Duh, betapa beruntungnya (atau egois?)
perempuan. Dia boleh menyukai warna apa saja tanpa ada larangan “itu
warna laki-laki”. Sementara anak laki-laki tidak boleh memilih
warna pink karena “itu warna perempuan.” Kurasa, paradigma ini
akan abadi sepanjang masa.
Padahal, pink hanyalah warna. Dia
universal. Dia tidak diharamkan untuk siapa saja. Memang, Rasulullah
SAW melaknat kaum laki-laki yang berpenampilan seperti wanita dan
wanita yang berpenampilan laki-laki (HR Al-Bukhari). Tapi, bukan
masalah warna kan? Kalau ada laki-laki mengenakan baju koko warna
pink misalnya, haramkah?
Jadi, sebelum Abyan dewasa, biarlah
dia dengan pilihannya. Biarlah dia mencintai seleranya. Biarlah dia
puas-puaskan dengan pink-nya. Biarlah dia menjadi pinky boy. Biarlah
dia menikmati hidup yang penuh warna. Mumpung masih anak-anak. Toh,
kalaupun seleranya saat ini lain dari anak-anak umumnya, justru
dianggap lucu dan menggemaskan. Untuk apa dilarang, hanya akan
mematikan imajinasi dan kreativitasnya.
Lagipula, kalau dia dewasa kelak,
mungkin dia tak bebas lagi menikmati warna pink kegemarannya. Dia
terpaksa masuk dalam kotak belenggu lelaki umumnya, bahwa pink itu
perempuan. Kalau dia bertahan dengan selera pink-nya saat dewasa,
siap-siap saja ditertawakan sinis. Dunia memang tak adil!(*)
Bogor, 4 November 2011.
Seri
Catatan Buah Hati Bunda (7)
Arti
Sebuah Nama
Tsabita
Rifdhatul 'Aisy, artinya kira-kira “teguh sebagai pemberi dan
pertolongan hidup”. Nama yang indah bukan? Tiga kata itulah yang
kusematkan untuk anak pertamaku yang berjenis kelamin perempuan.
Walau
lahir pasca Lebaran, namanya sama sekali tak berbau Fitri atau
Ramadhani. Sengaja. Emoh nama pasaran he..he... Maunya memberi nama
anak dengan sebutan yang islami, bermakna bagus, tapi juga tidak
terdengar pasaran.
Tapi,
harapan untuk memberikan nama yang eksklusif, ternyata tak kesampaian
100 persen. Memang, kalau nama Tsabita sudah pasti banyak yang
menyandangnya. Tapi kalau padanan tiga kata itu, aku yakin tidak akan
ada yang menyamai (gak percaya, cek aja di Mbah Google, he..he).
Tapi
perkiraan itu meleset. Percaya atau tidak, ternyata nama itu ada yang
menjiplak habis. Bukan hanya satu kata, tapi dari T sampai Y (dari
Tsabita sampai Aisy maksudnya). Bagaimana ceritanya?
Mulanya,
aku tak tahu dan tak kenal sama sekali dengan “mama Tsabita yang
lain itu”. Belakangan, tanpa sengaja, kami saling kenal. Perempuan
muda itu membuat sebuah pengakuan, telah menjiplak nama anakku untuk
anak perempuan pertamanya.
Dari
mana dia tahu nama anakku? Rupanya dia pernah membaca profilku di
salah satu majalah (Ye, jelek-jelek begini aku pernah nongol di media
loh!) “Maaf ya Mbak. Habis namanya bagus,” katanya waktu itu.
“Iya, nggak apa-apa lagi,” jawabku sembari tersenyum simpul
(kecut?). Kaget plus geli aja rasanya. Nama anakku ada yang
menyamai, persis lagi (Itu berarti nama yang bagus, kan?). Cuma nama
panggilannya saja yang beda. Anakku Tata, anak dia Bita.
Tak
apalah. Ikhlas saja! Buat apa dongkol. Toh banyak sekali nama-nama di
dunia ini yang cenderung sama, bukan? Coba cek di Google, ketikkan
namamu, pasti “pasaran” juga he...he...
Untungnya,
anakku lebih dulu lahir dua tahun dibanding anaknya. Jadi ketahuan
kan, siapa yang meniru. Lagipula, ada hikmahnya kok. Kini aku punya
“saudara” baru, ya “mama Tsabita” itu. Kami saling sharing,
kirim SMS tausiyah dan saling mendoakan. Kebetulan kami sama-sama
suka menulis. Hubungan silaturahmi yang indah, insya Allah tanpa
pamrih. Semoga langgeng. Amin.(*)
** Seri Catatan Buah
Hati Bunda (8)
Mandiri vs Manja
Oleh Asri Supatmiati, Jurnalis, Ibu
tiga anak
Anak-anak memang beda sekali
karakternya, walaupun diasuh dengan pola yang sama. Seperti Abyan (4)
dan Ariiq (2). Abyan manjanya (?) minta ampun, nempel terus sama
uminya. Beda sekali dengan adiknya, Ariiq yang justru jauh lebih
mandiri dan tidak kolokan. Tidak selalu apa-apa harus umi. Malah,
aku terheran-heran dengan kemandirian Ariiq. Kok bisa sebagai adik
dia begitu legawa, mengalah dan tidak kolokan sama uminya.
Kalau Abyan sedang tidak di rumah,
sementara uminya ada tamu, Ariiq akan memilih “menyingkir” dengan
sendirinya. Tidak berani nimbrung dan merecoki. Ia main mobil-mobilan
sendiri. Ia berani ikut nimbrung kalau ada Abyan. Beda dengan Abyan.
Malah sengaja mencari-cari perhatian. Minta digambarin bus
gandenglah, minta diantar pipis, minum harus uminya yang
mengambilkan, minta dibikinin susu, dll.
Ariiq kalau ngantuk, tak harus sambil
ngedot atau diceritakan, bisa langsung tertidur. Dia akan mencari
sendiri posisi yang nyaman, apakah di lantai, karpet, sofa atau
kasur, yang jelas kalau ngantuk langsung merem saja. Subhanallah,
bener-bener “bageur”.
Beda banget dengan Abyan, sebelum
tidur harus minum susu, minta dikelonin, diceritain atau dikipasin.
Ariiq kalau mau minum air putih suka mengambil gelas sendiri dan
mencairkan dari dispenser. Abyan, kadang harus diambilkan uminya.
Pokoknya serba “sama umi aja.”
Sebenarnya kalau nggak ada uminya,
Abyan bisa mandiri, tapi kalau ada uminya, kolokannya minta ampun.
Setiap mau kutinggal pergi, dia kerap bilang “Mas kangen sama Umi.”
Padahal sudah seharian ditungguin.
Nah, kembali soal kemandirian Ariiq,
misalnya waktu Ariiq baru niat mau disapih. Mengherankan sekali,
ternyata dia menyapih dirinya sendiri. Dikasih ASI sama sekali nggak
mau. Jadinya tanpa dikasih pahit-pahitan, dia sudah lepas ASI, pas di
hari ulang tahunnya ke 2. Subhanallah, mudah sekali. Padahal
aku sudah membayangkan bakal repot saat disapih, malam-malam biasanya
rewel terus. Itu juga yang menyebabkan para ibu menyerah, nggak kuat
mendengar rengekan anaknya. Akhirnya susah disapih.
Lalu saat Ariiq berganti minum susu
botol, iapun tidak susah beradaptasi. Bisa ngenyot dan tidak
pilih-pilih susu. Rasa plan khas susu batita ayo, rasa cokelat
juga doyan. Beda dengan Tsabita dulu, waktu kecil disapih susahnya
minta ampun. Diganti dot susu, sama sekali nggak bisa ngenyot dan
nggak doyan susu formula.
Tentang ke-”bageuran”-an Ariiq
ini, memang sudah banyak buktinya. Suatu hari, karena sesak nafas,
Ariiq kubawa ke dokter spesialis THT. Setelah diperiksa, dokter
merekomendasikan agar Ariiq di-rontgent. Usianya belum genap 2 tahun
waktu itu. Tiba di ruang rontgent, seorang perawat perempuan,
menyambut kami. Setelah membaca sekilas surat rekomendasi dokter itu,
raut mukanya mengkerut.
“Wah, adik ini ya yang mau
di-rontgent,” nadanya pesimis memandang Ariiq. Segera ia ceramah
panjang-pendek, bahwa anak usia belum 2 tahun, sulit difoto. Kalau
nggak nangis, pasti bergerak-gerak. Hasilnya tak akan maksimal.
Apalagi bagian hidung, posisinya sangat sulit. Nanti kalau
diulang-ulang, kasihan, bisa kena radiasi. Bahaya. “Pokoknya nggak
bisa, pasti sulit,” tegasnya.
Asli aku bengong mendengarnya.
Bagaimana bisa seorang radiologist yang bertugas di rumah sakit elit
di kota ini, yang kurasa sudah pengalaman, menolak mentah-mentah
calon pasiennya? Bahkan, dengan ungkapan-ungkapan negatif yang
menjatuhkan mental pasien, bukan ungkapan positif yang memotivasi
pasien?
“Mbak, kok ngomongnya gitu sih?
Dicoba juga belum,” sergahku. “Kalau dokter sudah
merekomendasikan, bukankah itu berarti pasien sekecil ini memang
memungkinkan untuk dirontgent? Apakah selama ini belum pernah ada
pasien sekecil ini? Atau kalau ada langsung ditolak? Lalu apa gunanya
rekomendasi dokter?”
“Yah, kita coba saja ya Bu, tapi
saya nggak berani jamin hasilnya maksimal, takut nggak kebaca, nanti
harus mengulang lagi...” ia sedikit melunak. Batinku, nah, gitu
dong, harusnya dari awal begitu ngomongnya. Sudah menjadi tugas Anda
untuk me-rontgent setiap pasien yang dirujuk ke ruang ini, jadi
laksanakan saja, apapun hasilnya.
Setelah itu, Ariiq disuruh telungkup
di sebuah meja panjang dengan posisi hidung tepat menyentuh meja.
Tenang, diam, nurut. Lalu disuruh berdiri menghadap tembok, sedikit
miring untuk mendapat posisi terbaik. Anteng, tak meronta. Fotopun
berjalan lancar. Perawat itu tanpa komentar. Aku pun sudah malas
meladeninya. Kudiamkan saja. Aku tahu, dia pasti malu dengan
kata-katanya sendiri.
“Tunggu saja ya Bu, kalau hasilnya
tak terbaca, nanti kita telepon,” katanya sambil menyerahkan tanda
terima. Beberapa hari berlalu, tak ada telepon dari RS itu. Tak ada
pengulangan foto. Lalu sesuai jadwal, aku kembali ke rumah sakit
untuk mengambil hasil rontgent dan menyerahkan kembali ke dokter
untuk mengetahui hasilnya. Ternyata hasil fotonya bisa dibaca.
Setelah itu, Ariiq harus menjalani
terapi, MWD namanya. Dia harus tidur terlentang, dengan mata terturup
rapat dengan alat semacam kacamata yang dilapisi tisu, lalu alat
semacam lampu yang memancarkan sinar diletakkan sekitar 10 cm di atas
hidungnya. Selama 15 menit, Ariiq tidak boleh bergerak alias diam
saja. Bayangkan, anak lagi melek, disuruh jadi “patung” 15 menit
lamanya dengan mata tertutup. Tapi Ariiq melalui itu dengan mulus.
Sampai 10 kali terapi malah. Para terapistnya juga salut, dapat
pasien kecil yang nurut. “Dik Ariiq hebat ya, semoga cepat sembuh,”
begitu komentar beberapa terapisnya (aku lupa namanya). Para terapis
di sini malah lebih komunikatif dan ramah, bahkan dibanding
dokternya.
Cerita soal “anteng-nya” Ariiq tak
hanya itu. Sewaktu aku mencoba pengobatan alternatif untuknya,
terapisnya juga memuji. “Anak ini bakal baik sosialisasinya, nggak
takut sama orang baru. Biasanya anak-anak belum saya pegang sudah
nangis duluan,” kata Pak Kusnadi, terapist refleksi anak. Sampai
sekitar 30 menit diterapi, anteng saja. Menikmati. Juga ketika
diterapi kay oleh terapist lain, sangat nurut. Tanpa suara atau
keluhan sedikitpun. Bahkan mungkin keenakan, malah sampai tertidur.
Begitu pula saat dibawa ke dokter gigi
untuk ditambal beberapa karies giginya, diam saja menurut, tak ada
rasa takut. “Wah hebat ya Ariiq, nurut. Tadi pasien sebelumnya lama
mbujuknya, malah sampai nangis,” kata dokter diamini perawatnya.
Sebelum Ariiq, memang ada anak SD sekitar kelas 3 yang periksa gigi
juga. Terdengar suara tangisannya sampai ke luar. Ariiq sampai
menunggu lama karena anak itu tak juga selesai ditangani dokter.
Mungkin karena kecapekan, baru semenit diperiksa gigi, Ariiq malah
ketiduran. Enak kali, masuk ruang ber-AC, ditidurkan sambil ditambal
giginya. Bener-bener nih anak.(*)
** Seri
Catatan Buah Hati Bunda (11)
Bye Bye Dot!
Alhamdulillah, Abyan (4) dan Ariiq (2
th, 5 bln) saat ini sudah berpisah dengan dot susunya. Abyan
terutama, memang cukup terlambat untuk disapih dari dot susunya.
Bukan apa-apa, semata-mata menunggu kesiapan Ariiq.
Soalnya selama ini, kalau hanya Abyan
yang disapih, tidak mempan. Setiap kali Ariiq minta minum susu dot,
Abyan juga mau. Makanya, sebelum disapih dot, Abyan minum susunya
masih seperti bayi, ngikuti frekeuensi Ariiq. Sudah kusiasati pakai
dot yang lubangnya tiga, atau gelas menyerupai dot, tak mempan. Masih
juga minta ngedot susu.
Sehingga, disapihnya harus bareng.
Kalau Abyan saja, sementara Ariiq masih ngedot, sudah pasti Abyan
minta dot lagi, minta dot lagi. Nah, saat Ariiq sudah 2 tahun lewat
dan merasakan beberapa bulan ngedot (sebagai ganti ASI), saatnya
Abyan juga disapih.
Masalahnya, menurut cerita kebanyakan
ibu-ibu, menyapih dari dot lebih susah dari ASI. Dulu, tetangga di
kampung, sampai anaknya kelas 1 SD masih ngedot. Anak teman kuliahku,
juga sampai 7 tahun masih ngedot. Aku pernah lihat di kereta, gadis
usianya sekitar 5 tahun masih memegang dot. Bahkan ada yang masih
ngenyot empeng. Duh! Gimana ya cara menyapih yang mudah?
Akhirnya aku browsing di internet, ada
salah satu tips menyapih dari dot yang disarankan, yakni anak diminta
membuang dotnya sendiri ke tempat sampah. Tips yang patut dicoba.
Nah, akhir Desember lalu, Abyan dan
Ariiq kuminta melakukan “ritual” perpisahan dengan dot susunya.
Caranya, dot-dot susunya mereka buang sendiri ke tempat sampah.
Dengan begitu mereka tahu bahwa mereka tak bisa lagi minta susu di
dot karena di rumah tidak ada dot. Tentu saja, dot mereka yang
jumlahnya 8 biji itu tak dibuang beneran. Sehabis mereka buang di
tempat sampah, tanpa sepengetahuan mereka kuambil lagi (tempat sampah
bersih di rumah, sudah kulapisi tas kresek bersih juga).
Hehe...sayang kan, masih bisa dimanfaatkan.
Selanjutnya, sebagai kompensasi atas
kerelaan mereka membuang dotnya sendiri, tentu saja ada “imbalannya”.
Aku berikan saja mereka kado, yang isinya gelas-gelas minum pengganti
dot susu mereka. Juga, hadiah mainan sesuai keinginan mereka.
Sebelumnya, tentu sudah kuberikan pemahaman dulu, khususnya kepada
Abyan, mengapa dia harus berpisah dengan dotnya.
“Mas kan sudah 4 tahun, sudah sekolah
PAUD, jadi minum susunya pakai gelas aja ya,” kataku suatu ketika.
“Lihat Mas, nanti bibirnya monyong,”
alasanku di lain waktu.
Memang, awal-awal disapih, kondisi
mereka sempat drop. Mungkin karena perut biasa terisi dengan susu
hangat, ketika tidak, menjadi kosong dan masuk angin. Bergantian
Abyan dan Ariiq sakit. Panas, kembung, flu dan muntah-muntah.
Dan seperti biasa, Abyan kalau sakit
kolokannya luar biasa. Apa-apa serba uminya. Sementara Ariiq, malah
lebih anteng. Rewel sedikit memang, tidak seperti saat sehat, tapi
tidak serewel Abyan.
Tapi alhamdulillah, sejak membuang
dotnya, belum pernah sekalipun mereka merengek minta minum susu di
dot. Memang, frekuensi minum susunya jadi sangat drastis berkurang.
Abyan yang bisa 5-6 kali ngedot, kadang sehari tak sekalipun minum
susu.
Ariiq masih mendingan, mau minum susu
di gelas, walau awal-awalnya juga susah. Lalu kusiasati dengan susu
kemasan, akhirnya mereka mau. Sampai sekarang, mereka minum susu
paling-paling sehari 1-2 kali.
Tapi, menurut para ahli gizi seperti
juga banyak ditulis di internet, anak di atas 2 tahun memang sudah
harus dikurangi frekuensi susunya. Sebab, mereka butuh asupan gizi
yang lebih bervariasi dari kandungan susu sapi. Lagipula, kalsium
yang identik dengan kandungan dominan susu, bisa diperoleh dari
sumber makanan lain.
Alhamdulillah, sekarang Abyan dan Ariiq
sudah lebih bagus pola makannya. Kalau sedang tidak sakit, ngemil
terus. Cuma, masih ada PR lagi nih, bagaimana mengalihkan kegemaran
mereka dari ngemil jajanan pabrik ke jajanan tradisional.(bersambung)
Catatan Buah Hati Bunda (12)
Celoteh Balita
Beli Adik Baru...
Abyan (4) dan Ariiq (2) memang sedang
lucu-lucunya. Kalau lagi akur, bisa main bareng tanpa bertengkar.
Tapi kalau sudah rebutan mainan, salah komunikasi atau salah paham,
ujung-ujungnya marah-marahan. Kerap, Abyan pura-pura memukul atau
marah dengan maksud bercanda, Ariiq menanggapinya serius. Jadinya
emosi.
Nah, Abyan kalau marah suka memukul
Ariiq, atau membentaknya. Sedangkan Ariiq terkadang kalau marah
memilih diam, mojok dan nggak mau ditegur sapa. Tapi sebelum genap 2
tahun, Ariiq kalau marah atau kesal suka mengguling-gulingkan badan
ke lantai. Kadang nggak kira-kira, kepala langsung dijatuhkan saja ke
lantai, jadinya menimbulkan suara benturan.
“Mas Abyan, jangan bikin marah Dik
Ariiq, kasihan tuh nanti kepalanya pecah. Kalau nggak ada Dik Ariiq
lagi gimana...”
“Gampang Mi, beli adik lagi...”
kata Abyan.
***
Kamar Ikhwan
Setiap akan tidur, Abyan dan Ariiq suka
diceritain buku. Masalahnya, kalau harus ngeloni mereka berdua, agak
repot di kamar mereka. Soalnya posisi tempat tidur kan nggak sejajar,
karena model sorong, dimana satu kasur di atas dan satu di bawah.
Akhirnya malah berebut uminya.
“Umi di atas aja sama Mas...”
rengek Abyan.
“Uminya cini...” rengek Ariiq dari
kasur bawah.
“Ya udah, bobo di kamar umi aja deh,
di sini berebut umi wae...” kataku.
Akhirnya pindahlah ke kamarku. Aku di
tengah, Abyan di kanan dan Ariiq di kiri. Selalu begitu posisinya.
Setelah diceritakan sambil terkantuk-kantuk, tidurlah.
Itu biasanya terjadi saat bobo siang.
Kalau malam, Abyan dan Ariiq suka tidur desak-desakan di kamar
kakaknya, Tsabita. Makanya setiap kali sering kubilangin agar mau
tidur di kamarnya sendiri.
“Mas Abyan dan Dik Ariiq kan ikhwan,
jadi bobonya sama ikhwan. Kakak akhwat, boboknya sama akhwat. Mas
bobo di kamar sendiri bareng Dik Ariiq ya...” kataku.
“Di kamar Umi ada ikhwan (maksudnya
abinya, red), jadi Mas boleh bobo di kamar umi...” tukas Abyan
sambil ngeloyor ke kamarku.
***
Lagu Bahasa Inggris
Abyan suatu hari menyanyikan lagu yang
baru diajarkan di PAUD:
“Blue blue blue, itu warna biru...
red red red, itu warna merah...
green green green itu warna hijau...
gelo gelo gelo itu warna kuning...”
Yellow kalee....
***
Ke Sukabumi Nih...
Liburan lalu, Abyan (4) begitu akrab
dengan Kaisha (4) dan Faiza (2), sepupu dari Sukabumi. Padahal dulu
Abyan dan Kaisha waktu masih 1-2 tahunan suka berantem, berebut
mainan. Pokoknya kalau ketemu nggak konek.
Sekarang kalau ketemu ada saja
permainan mereka yang seru dan bikin ketawa tergelak-gelak. Bahkan
saat berpisah usai liburan, saking terkesannya, Abyan masih suka
membayangkan kehadiran mereka. “Kalau ada Kaisha enak ya Mi, bisa
main bareng...” celetuknya suatu ketika.
Apalagi kalau sedang tidak konek dengan
adiknya, Ariiq. Akhirnya Ariiq yang diomelin.
Kalau nggak sreg saat main dengan Ariq,
misal Ariq nggak mau diajak main mainan tertentu, jadinya suka
mengancam begini: “Ya udah, Mas pulang ke Sukabumi nih...”(*)
Insya Allah
Abyan (4): “Mi nanti beliin mainan
mobil itu ya...”
Umi : “Insya Allah...”
Abyan: “Iihh...umi jangan ngomong
gitu, nanti malah nyanyi lagi...jawab saja iya...gitu...”
(Abyan tahunya Insya Allah itu lagunya
Maher Zain).
Emangnya Masalah?
Abi : “Dik Ariiq bobo sama abi
yuk...”
Ariiq (2,5 th): “Nggak ah...ama umi
aja...”
Abi : “Kenapa nggak mau sama abi?”
Ariiq : “Emangnya napa? Macalah?”
Ikan Galau
Suatu pagi, seperti biasa kalau sedang
belanja Abyan dan Ariiq ikut nimbrung. Biasanya mereka ikut-ikutan
ngasih saran beli apa. Tapi yang paling diincarnya ikan. Ya, Abyan
terutama, selalu ingin melihat ikan apa yang dibawa abang sayur.
Akhirnya belilah sebungkus ikan kembung.
Saat aku menyiapkan bumbu untuk
menggarami ikan, Abyan dan Ariiq asyik memainkan ikan itu. Sambil
membolak-balik ikan itu, Abyan ngobrol sama Ariiq:
“Lihat nih Riq, ini ikannya lagi
galau...”
“Hah, ikannya galau? Kayak apa sih
ikan galau?”
“Ini Mi, mulutnya rapet, cemberut,
itu kan namanya galau...”
“Ah, Mas kata siapa?”
“Ya kata Mas sendiri...” jawab
Abyan mantab.
Adik di Perut
Abyan (5) sudah tahu di perut uminya
ada adik bayi. Beda dengan Ariiq yang nggak ngeh kalau mau punya adik
baru. Abyan sering mengelus-elus sambil nanya-nanya tentang calon
adiknya.
¨Mi, kenapa sih adiknya di perut?
Nanti bau pipis dong...¨ tanyanya suatu ketika, membuatku
menjelaskan bahwa adik di dalam perut tidak akan tercampur dengan
tempat penampung pipis hehe...
Lalu kadang nanya: ¨Adiknya kapan
keluarnya, Mi? Nanti ngeluarinnya gimana?¨
Kujelaskan kalau proses pembentukan
adik di perut lamanya sembilan bulan. Nanti sudah waktunya akan
dikeluarkan dokter atau bidan.(*)
** Seri Catatan Buah Hati Bunda (13)
Belajar Entrepreneur
Sekarang katanya zaman entrepreneur.
Anak-anak kecil pun sudah diajarkan untuk memiliki jiwa entrepreneur.
Buktinya, ada sekolah TK yang menawarkan konsep entrepreneurship
kepada anak didiknya. Entahlah, seperti apa kurikulumnya. Tak
terbayang pula, apakah anak-anak itu diorbitkan untuk bisa mandiri
secara ekonomi sejak dini?
Nah, jiwa entrepreneur itu mungkin
memang mudah dimiliki anak-anak ya. Seperti Tsabita (10), yang di
sekolah rutin mengadakan Market Day. Pada hari itu, anak-anak kelas
3-6 SD disuruh jualan, kelas 1-2 cukup jadi pembeli. Biasanya,
Tsabita menyambut hari itu dengan heboh, gembira dan penuh persiapan.
Nah, dagangan favoritnya adalah alat tulis. Seperti pensil lucu,
penghapus berkarakter kartun yang lagi ngetop seperti Angry Bird,
blok note imut dan sejenisnya.
Pernah suatu kali jualan makanan, yakni
pizza mini dan pan cake, ternyata tidak laku. Padahal kue-kue itu
buatan uminya yang dia banggakan ini (hehe...karena pernah dibuatkan
merasa enak, dia PD banget mau jual itu di sekolah. Jadilah susah
payah membuatnya. Hasilnya, sejatinya tak mengecewakan. Tapi ternyata
sisanya masih banyak. Padahal sudah kupesan waktu itu, jika sisa,
bagi-bagi saja ke temannya atau guru-guru. Eh, tetap saja dibawa
pulang. Aku sih nggak berkecil hati. Kuhibur diri, dagangan ini nggak
laku bukan karena nggak enak, tapi lidah anak sekarang kan lebih suka
makanan pabrik seperti biskuit dan ciki-cikian gitu, hehe....).
Nah, kalau jualan alat tulis, laris
manis. Paling sisa beberapa biji saja. Mula-mula, waktu dia masih
kelas 3 atau 4, agak-agak nggak jelas perolehan uangnya. Hasil
penjualan dengan yang dia belanjakan rancu. Kadang dihitung-hitung,
bukannya untung tapi malah buntung. Tapi pas kelas 5 sudah mulai
jelas, ada untungnya. Tsabita tentu senang sekali.
Kehebohan Tsabita dalam jualan ini
menular ke Abyan (4,5 th). Adiknya ikut heboh, ingin jualan juga.
“Mas mau jualan juga Mi,” rengeknya sambil merebut dagangan
kakaknya. Setelah diberi beberapa produk dan dibujuk dengan berbagai
cara, baru dia menghentikan rengekannya.
Sepertinya, berjualan dan mendapat uang
memang menyenangkan anak-anak. Beberapa waktu lalu, Tsabita ingin
sekali memiliki baju-baju untuk boneka Barbienya. Maklum,
teman-temannya pada memesan ke tetangga dengan desain macam-macam.
Harganya Rp4.000 per helai. Tsabita pun sempat membeli satu stel
tanpa sepengetahuanku.
Setelah cerita, baru aku arahkan dia
supaya membuat sendiri baju-baju Barbie. Ada banyak kain perca di
rumah, yang bisa dimanfaatkan untuk baju Barbie. Akhirnya bersama
Caca, Tsabita kuajari cara menjahit tangan hingga jadilah sepasang
baju Barbie.
“Ya udah kita jualan aja Mi, nanti
kalau ada yang pesan kita bikinin, tapi harganya lebih murah aja...”
usulnya.
“Iya, tergantung modelnya saja,”
kataku.
Akhirnya, bukan hanya memiliki baju
untuk bonekanya, Tsabita malah promosi ke teman-temannya untuk
memesan baju Barbie ke rumah (yah, walaupun aku juga yang lebih
banyak menjahitnya).
Kemudian berlanjut ke kerajinan dari
kain flanel sebagai pelengkapnya, yakni dengan membuat tas-tas imut
untuk Barbie. Dia pun dengan bangganya berpromosi ke teman-teman
dekatnya. Yah, walaupun yang pesan 1-2 anak, matanya berbinar-binar
menerimanya. Jadilah beberapa produk terjual untuk teman-temannya.
Nah, Abyan pun tampaknya juga senang
berjual beli. Tadi pagi, aku buatkan dia kue sarang laba-laba (kue
cubit) sendiri di rumah. Gara-garanya, abang langganannya keburu
pergi waktu Ariiq (2,5) dan Abyan ingin membelinya. Dan kalau sampai
nggak dapat kue, bisa-bisa ngambek.
Jadinya iseng-iseng membuat sendiri.
“Tuh, bisa kan, sama kan dengan yang
dijual di abang,” kataku.
Langsung deh Abyan nyeletuk: “Kalau
gitu umi jualan kua laba-laba aja...”
“Oh ya, ya, ide yang bagus!”
sahutku sambil menyelesaikan kue laba-laba itu.
“Kalau gitu besok teman-teman aku
suruh ke sini aja ya Mi...”
“Loh, ngapain? Mau main bareng?”
“Ya buat beli kue
laba-labalah...Daripada di abang, lama antrenya...” celoteh Abyan.
“Boleh, boleh....teman-teman Mas yang
mana ya?”
“Ya Haikal, Riza...”
“Boleh, boleh..”
Begitulah, anak-anak ide-idenya terus
mengalir tiada henti. Aku justru belajar dari mereka. Yah, sudah lama
niat pengin jual-jualan apa kek, tapi kok selalu tersendat rasa tak
mampu. Nggak punya modal, bingung jualan apa, nggak bisa jualan,
malu, segan dan mungkin malas. Ada saja alasannya. Tapi,
alhamdulillah, hari ini hari pertama aku mengirimkan sebuah produk
jualan online yang kumulai dari iseng-iseng. Semoga berkah dan
berketerusan! Aamiin.(*)
** Seri Catatan Buah Hati Bunda
(14)
Pejuang Islamku
Hari itu (16/7/12) hari pertama Abyan
masuk sekolah TK. Baru kelas A, karena usianya belum genap 5 tahun.
Alhamdulillah, sejak hari pertama dia tidak ditunggui. Memang, di
sekolahnya guru-guru berkomitmen agar anak-anak ditinggal
orangtuanya, walaupun si anak menangis. Alhamdulillah para orangtua
memahami hal ini. Sejak itu, Abyan tak pernah ditunggui.
Memang, awal-awal kadang dia mogok
enggan berangkat sekolah. Apalagi kalau diantar jemput pakai ojek,
kadang berangkat dengan muka cemberut dan harus sedikit dipaksa. Itu
biasanya terjadi kalau dia bangunnya kesiangan, sehingga tidak banyak
kesempatan untuk menyiapkan sekolah sembari bermain.
Tapi belakangan ini, alhamdulillah
cukup bersemangat. Bangunnya juga cukup pagi sehingga dia punya waktu
cukup untuk menyiapkan diri sebelum berangkat sekolah. Mandi, makan
dan main sebentar dengan adiknya sebelum berangkat sekolah.
Kebetulan di sekolah sudah ada yang dia
kenal. Namanya juga sama: Abyan. Yang ini kelas B, panggilannya Bang
Byan. Sedangkan Abyan dipanggil Mas Byan sebagaimana di rumah selama
ini.
Nah, setiap hari, ada saja celoteh Mas
Byan sepulang sekolah. Misalnya menyebutkan nama-nama temannya yang
tidak masuk karena sakit. Atau menyebut nama teman perempuannya yang
menurut dia cantik. Kadang menceritakan aktivitasnya selama di
sekolah atau saat berbagai bekal dengan Bang Byan atau teman lainnya.
Di lain waktu, dia bersenandung
lagu-lagu yang baru pertama kudengar di telingaku. Hm...ini pasti
lagu yang diajarkan di sekolah. Kadang juga ada PR berupa menyambung
garis putus-putus yang dibuat gurunya. Alhamdulillah, kelihatannya
dia makin bersemangat sekolah. Semoga semakin saleh.
Tapi, sudah dua pekan ini setiap Senin
Abyan sakit. Pekan lalu, tiba-tiba saat Minggu (23/9/12) malam
badannya panas tinggi. Masalahnya yang membuat bingung, kali ini
tidak disertai dengan gejala sakit umumnya seperti batuk, pilek,
radang, kembung, muntah atau buang-buang air. Biasanya Abyan paling
sering masuk angin, seperti perut kembung dan muntah kalau makan.
Tapi kali ini, hanya panas saja.
Makannya masih tergolong lahap, ngocehnya nggak berkurang dan
sesekali mau main sama Ariiq seperti tidak sakit. Tapi ya itu tadi,
karena takut besok tambah parah, jadi kuistirahatkan sampai Selasa
karena masih anget dikit. Memang belum kubawa ke dokter, hanya minum
madu dan vitamin. Rencana kalau Rabu belum turun panasnya, baru ke
dokter.
Sebab, kalau baru panas dua hari ke
dokter, biasanya dokter juga bingung mendiagnosa. Apalagi ini tanpa
gejala apa-apa seperti disebutkan di atas. Kupikir, mungkin dia
kecapekan saja. Seperti juga pekan ini, Minggu (30/9/12) malam
tiba-tiba suhu badannya naik. Jadilah malam-malam begadang mijitin
dan ngompres dia. Lagi-lagi tanpa gejala sakit umumnya, sehingga
kusimpulkan mungkin dia kecapekan.
Sebab, Abyan dan Ariiq setiap Ahad
–kadang juga Sabtu-- terpaksa mengikuti agenda acara umi atau
abinya. Maklum, Ahad asisten libur, jadi ya selalu diajak. Dan memang
tipe Abyan suka jalan. Kalau tahu umi atau abinya mau pergi, sudah
pasti harus ikut. Walau di rumah ada kakaknya tetap saja maunya ikut.
Ke warung, ke pasar, ke pengajian, dll. Ikut melulu.
¨Mas di rumah saja ya, nanti Mas
capek. Kalau ikut umi harus jalan kaki jauuhhh...,¨ kataku.
¨Mas kuat kok Mi, kan pejuang
Islam..,¨ jawabnya. Kalau sudah begitu, mau bilang apalagi. Tak ada
alasan. Ini gara-gara dia pernah diajak abinya ke air terjun yang
rutenya cukup jauh ditempuh dengan berjalan kaki. Atau sewaktu diajak
long march dalam aksi masyiroh. Nah, untuk membuat Abyan kuat, abinya
selalu ngomong, ¨Mas kan pejuang Islam, pasti Mas kuat.¨
Nah, lucunya lagi, waktu sakit itu
Abyan kuajak sholat, ternyata dia punya maklumat tersendiri tentang
sholatnya orang sakit. Dia memilih sholat sambil tiduran, padahal
sebelumnya kuat bermain sama Ariiq. ¨Mas sholatnya gini kan Mi,¨
katanya sambil rebahan.
Sabar ya, Abyan dan juga Ariiq. Umi
yakin, kalian adalah anak-anak yang kuat. Semoga kelak menjadi
pejuang Islam yang tangguh, melebihi umi dan abi.(*)
** Seri Catatan Buah Hati Bunda (15)
Semoga Tidak Jadi Follower
Pada 16 September 2012 lalu Ariiq genap
tiga tahun. Hmm, apa ya perkembangan Ariiq yang paling menonjol di
usianya saat ini? Motorik halusnya, antara lain sudah mau pegang
crayon corat-coret sana-sini. Paling suka bikin jalan mobil.
Menggambar mobilnya sendiri belum bisa. Favoritnya gambar bus. Sudah
berapa ratus bus yang aku gambarkan ya. Sudah mulai bisa menggunting
gambar mobil di koran. Menempel dengan selotip atau lem di mana-mana.
Kadang suka bantuin ngupas bawang putih dan motong kentang/buncis di
dapur. Kadang makan sendiri dengan jari atau sendok. Mengambil gelas
dan mencairkan minum dari dispenser sudah sejak dulu.
Motorik kasarnya, dari dulu sukanya
loncat-loncat di kasur. Juga manjat-manjat. Aku duduk aja pasti
dipanjat. Lagi salat juga dipanjat. Ada meja, bangku, motor, semua
dipanjat. Main prosotan sendiri sudah berani. Lari-larian tanpa
jatuh, menendang, melempar, dll, sepertinya tidak masalah.
Bicaranya, alhamdulillah semakin
lancar. Sudah bisa menyebut K bukan dengan T. Seperti ¨aku¨,
biasanya dia bilangnya ¨atu¨. Malah sudah cerewet seperti kakaknya,
Abyan. Kalau bicara saling berebut nggak mau antre. Sudah mulai bisa
dan berani mengeluarkan pendapat sendiri. Misal kalau lihat gambar,
dia tanya: ¨Umi sukanya yang mana, Ariiq yang ini..¨
Emosionalnya, Ariiq tipe anak yang tak
suka meledakkan emosi. Dipendam malah. Kalau kesal atau marah, yang
dia lakukan misalnya menuang air minum, membuang apa yang dia pegang
atau membantingnya, tapi tidak dengan meledak-ledak. Malah, sebelum
melakukan dia kadang tanya dulu:
¨Mi, mobilannya boleh dibanting
nggak?¨
Atau, sesudah marah dia akan melapor
begini: ¨Mi, minumannya udah ditumpahin...¨
Tapi kalau kesal banget, nangis juga.
Cuma, belakangan ini uniknya kalau habis nangis langsung ketawa.
Abyan suka meledek kalau Ariiq sedang nangis: ¨Biarin aja Mi, ntar
lagi dia ketawa...¨
Benar saja, Ariiq mengakhiri tangisnya
dengan tawa. Aneh!
Sosialisasinya, nah ini yang saatnya
mendapat perhatian. Makin besar kok malah semakin pemalu. Ketemu
¨orang asing¨ masih malu. Maklum, temannya di rumah sama
kakak-kakaknya aja. Tetangga jarang. Tapi, ada positifnya juga sifat
pemalunya ini. Kalau ada tamu, Ariiq pasti menyingkir. Sama sekali
tak mau nimbrung atau cari-cari perhatian. Kalau di rumah ada
pengajian, dia seperti paham untuk tidak mengganggu dan memilih
bermain sendiri. Malah akhirnya tertidur. Ibu-ibu sampai takjub, kok
bisa anaknya nggak mengganggu.
Intelektualnya, aku yakin Ariiq tipe
mudah menangkap respons. Semoga, aamiin. Beberapa hari ini dia sering
mengumandangkan azan. Padahal nggak pernah secara khusus aku
mengajari untuk menghafalkan azan. Dia tahu sendiri file azan di
laptop. Menunjukkan angka 1-10 juga sudah bisa. Termasuk menunjuk
dengan jarinya. ¨Kalau dua gini ya, Mi?¨ Lalu sambil kutanya, mana
jari telunjuk, kelingking, dst. Menghafal huruf ABCD walau belum
sampai Z, juga sudah lumayan. Mengidentifikasi warna, sudah hampir
luluslah.
Spiritualnya, ini yang masih perlu
diperkuat. Diajak hapalan doa-doa atau juz amma memang masih belum
keluar hasilnya. Sering sih diperdengarkan bacaan-bacaan seperti itu,
semoga sudah tersimpan di memorinya tinggal dikeluarkan suatu saat.
Jadinya belum terbiasa berdoa sebelum melakukan aktivitas dari
mulutnya sendiri. Salat juga gitu, belum bisa. Masih susah diajak
rutin.
Kemandirian, termasuk sebenarnya
lumayan. Dia tidak ¨apa-apa serba uminya.¨ Kalau ngantuk, bisa
tidur sendiri. Malah percuma ngeloni dia kalau belum ngantuk. Kadang
minta mandi sendiri, kamar mandinya ditutup. Minum susu sendiri dari
gelas dan kadang minta makan sendiri. Aku mau pergi pun, dia nggak
serewel Abyan. Malah pernah, aku sengaja keloni dia agar tidur siang
dulu baru kutinggal, eh...dia nggak tidur-tidur. Lalu dia malah
menyuruh uminya berangkat.
¨Umi katanya mau berangkat?¨
¨Iya, makanya Dik Ariiq bobo dulu...¨
¨Umi berangkat aja...¨
¨Bener nih, umi berangkat ya...¨
¨Iya, tapi beliin jajan ya...¨ (Yah,
ujung-ujungnya. Memang Ariiq mah di otaknya jajan melulu. Jago
ngemil). Begitulah, waktu aku siap-siap, eh...dia merem sendiri.
Nah, soal kemandirian ini, ada satu
ganjalan: ngompol malam. Ya, tiap malam dibangunin untuk pipis masih
susah. Kadang ngambek, nggak mau. Kasurnya dialasi plastik biar nggak
tembus kalau ngompol, malah dibuang. Ditidurkan di kasur jelek (kasur
busa), ngambek. Jadinya kadang masih ngompol.
Terakhir, inisiatifnya, ini yang aku
khawatirkan. Takut hanya menjadi follower Abyan. Soalnya,
selama ini apa-apa serba ¨disetir¨ Abyan. Dilarang ini-itu kalau
lagi main. ¨Ariiq jangan gitu, mobilnya bukan yang ini, itu punya
Mas, Ariiq sini deh, mainnya gini aja ya...Ariiq yang ini aja, jangan
yang itu...¨ dan sejenisnya. Sudah kunasihati Abyan agar membiarkan
Ariiq saat bermain apapun, agar dia kreatif dan punya imajinasi
sendiri. Mudah-mudahan kelak semakin berkembang kreativitas dan
imajinasinya. Aamiin! Makin saleh ya, Ariiq!(*)
No comments:
Post a Comment