Oleh Kholda Naajiyah
Redaksi Media Umat
Peran ibu sangat penting. Semua
menyuarakan itu. Terlebih pada momen Hari Ibu tiap 22 Desember, semua
seolah berpaling pada ibu. Sayangnya, peran ibu kini diamputasi
sebatas peran biologis: mengandung dan melahirkan anak. Selanjutnya,
peran ibu tergantikan oleh materi.
Ya, setelah anak-anak lahir, tugas ibu
dianggap selesai. Air susu ibu (ASI) tergantikan oleh air susu sapi.
Pengasuhan dan pendidikan sang anak bukan lagi di tangan ibu
kandungnya. Di kalangan elit, peran pembantu, baby sitter,
selanjutnya sekolah, komputer atau guru les mendominasi. Di kalangan
marginal, anak-anak seolah mencari hidup dan besar sendirian.
Sebagian besar di jalanan dengan guru berupa lingkungan pergaulan dan
pengalaman kelam.
Di sisi lain, sosok ibu sendiri, kini
sangat jauh dari gambaran ideal. Di berbagai media massa banyak kita
baca ibu yang tega membunuh anaknya, menganiaya, menjual bayinya,
memangsakannya pada lelaki hidung belang, mempekerjakan anak dibatas
kemampuannya tanpa memberikan haknya secara layak, dll.
Ada pula ibu-ibu modern yang sibuk
dengan dunianya sendiri: karier, travelling, shopping dan bergaul
dengan komunitasnya. Ibu seperti ini lebih memilih menyibukkan diri
dengan hal-hal yang mampu menunjang ekonomi keluarga atau sekadar
eksistensi diri dan pengakuan lingkungan. Anak-anak toh sudah
dicukupi dengan kebutuhan materi yang berlimpah.
Lalu, di mana peran penting ibu untuk
mencetak generasi emas peradaban? Bagaimana pula akan tercipta
generasi yang bijak dalam menghadapi hidup, jika sosok ibu seperti
ini? Inikah makna peringatan hari ibu yang setiap tahun mengharu
biru?
SALAH ARAH
Adalah Presiden Soekarno yang
menetapkan Dekrit Presiden No 316 tahun 1959 bahwa 22 Desember adalah
Hari Ibu. Hal itu bermula dari Kongres Perempuan I pada 22 Desember
1928 di Yogyakarta. Keputusan kongres tersebut adalah memperjuangkan
hak-hak perempuan, memperbaiki nasib dan derajat kaum perempuan.
Di sinilah ironisnya. Meski disebut
hari ibu, namun arah perjuangan perempuan yang diinginkan ternyata
bukan pada penguatan dan pengoptimalan peran strategis seorang ibu,
melainkan justru mencerabut peran itu dari diri perempuan.
Ini karena adanya anggapan bahwa
perempuan harus setara dan sederajat dalam segala hal dengan pria.
Maka, berbondong-bondong perempuan dikeluarkan dari rumahnya untuk
berkiprah di berbagai lapangan publik. Mulai sektor ekonomi hingga
panggung politik.
Sampai detik ini kita menyaksikan,
kesempatan perempuan dan laki-laki di segala bidang sudah tidak ada
perbedaan. Sebaliknya, peran keibuan yang tanpa imbalan, semakin
terberangus karena minim peminat. Perempuan lebih tergiur gaji dan
gengsi yang diperoleh di ranah publik. Lalu di mana makna pentingnya
peran ibu? Ibu seperti apa yang dimaksud?
ULAH KAPITALISME
Kendati kiprah perempuan sudah tanpa
hambatan lagi saat ini, namun penggiat keadilan dan kesetaraan gender
masih getol memperjuangkan hak-hak perempuan. Peran ibu rumah tangga
yang mulia, sebagai pengatur rumah tangga dan pendidikan anak-anak
terus saja dikritik habis-habisan. Perempuan yang memilih di rumah
tak henti dicibir sebagai sosok tak berdaya.
Semua itu tak lain karena racun
pemahaman ideologi sekuler-kapitalisme yang memusuhi peran ibu rumah
tangga. Ideologi rusak inilah sutradara di balik berontaknya jutaan
kaum perempuan di dunia akan peran fitrahnya sebagai ibu.
Kapitalisme terus menerus mengobarkan
perang terhadap peran keibuan (motherhood) dan perwalian kaum
laki-laki. Dalam pandangan ini, perempuan harus mandiri, independen,
jangan mau berada di ketiak laki-laki. Menjadi ibu rumah tangga yang
harus ¨menjaga¨ rumah dan taat pada suami dianggap penindasan,
bahkan perbudakan.
Kapitalisme dengan karakternya yang
rakus akan pencapaian keuntungan materialistis setinggi-tingginya,
akhirnya menempatkan pekerjaan di atas fungsi keibuan. Tak cukup
dengan laki-laki, perempuan potensial di dunia ini didorong
berkontribusi bagi pencapaian keuntungan ekonomi. Ini jelas merusak
peran vital perempuan.
MELAWAN FITRAH
Kapitalisme telah menyerang fitrah
perempuan. Kapitalisme menghilangkan identitas sejati perempuan
sebagai yang melahirkan anak, ibu, manajer rumah tangga, dan pengasuh
anak-anak, bergeser dengan makna kesuksesan perempuan yang selalu
dihubungkan dengan pekerjaan. Karier mapan, jabatan mentereng dan
bergensi, dengan imbalan gaji berlimpah adalah parameter perempuan
sukses dan hebat.
Hal ini telah menyebabkan banyak
perempuan membenci sifat mereka sendiri sebagai yang melahirkan anak
dan ibu dari masyarakat. Dampak dari hal ini terhadap kehidupan
perempuan, anak, keluarga, dan masyarakat sungguh tak terperikan.
Di kalangan wanita pekerja misalnya,
menikah dianggap menghambat karier. Akhirnya usia menikah terlambat
atau bahkan tidak menikah sama sekali. Jika pun menikah, memiliki
anak juga dianggap menghambat karier, sehingga enggan melahirkan
dalam jumlah banyak. Kalaupun mau, paling 1-2 saja. Itupun, setelah
anak lahir, dialihkan pengasuhan dan pendidikannya pada pihak lain.
Selain itu, di bawah kapitalisme dan
liberalisme, telah terjadi pengikisan terhadap perwalian perempuan.
Dengan kata lain, terjadi perubahan struktur keluarga, dimana
perempuan didapuk menjadi kepala keluarga. Perempuan pun dibebani
tugas sebagai pencari nafkah utama, tanpa dipelihara dan dinafkahi
oleh kerabat pria atau negara.
Akibatnya, para pria pun menjadi enggan
mengatasi krisis finansial yang menimpa kaum perempuan. Perempuan
menghadapi kurangnya keamanan finansial dan diabaikan oleh negara.
Oleh karena itu, para perempuan akhirnya merasa bahwa satu-satunya
cara untuk keamanan keuangan adalah bekerja dan mandiri secara
ekonomi. Padahal, semua itu bukan murni atas kemauan kaum perempuan,
tapi karena paksaan sistem.
Tanyalah para perempuan pekerja, kalau
mau jujur, sebagian besar dari mereka pasti merasakan dilema batin,
antara karier dan keluarga. Dalam lubuk hatinya terdalam, pasti lebih
tenteram jika ada pihak yang menjamin beban finansialnya. Namun,
tentu saja mereka tak menemukannya dalam sistem kapitalisme saat ini,
yang justru memperbudak mereka dalam gilasan roda perekonomian atas
nama kemandirian ekonomi.
Padahal, ibu bukanlah sosok yang harus
diperas keringatnya guna menghasilkan pundi-pundi rupiah untuk
keluarganya. Apalagi untuk menopang roda perekonomian bangsa, atau
lebih jauh lagi, menyelamatkan krisis ekonomi dunia.
Peran terbaik ibu adalah sosok
domestik. Itu tak terbantahkan. Ia adalah tempat anak berbagi,
bercerita dan mengadu kala ditimpa masalah dan kegundahan. Tempat
suami bersandar ketika kelelahan mencari nafkah.
Bayangkan ketika semua itu tidak
berjalan semstinya. Keluarga dan anak menjadi korban. Betapa tak
terhitung keluarga-keluarga yang tertimpa musibah perceraian,
kekerasan dalam rumah tangga, perselingkuhan, anak-anak terlibat
narkoba dan tindakan kriminalitas. Semua kembali pada peran ibu.
KEMBALIKAN KEDUDUKAN IBU
Di tangan ibu terletak bangkit dan
tidaknya sebuah bangsa. Di pundaknya pula akan terproyeksi, seperti
apa pemimpin masa depan bangsa ini. Merupakan keniscayaan untuk
mengembalikan kedudukan ibu pada porsinya. Namun, tantangan terbesar
adalah tantangan sistemik yang memaksa banyak ibu lari dari perannya
di rumah. Padahal sejatinya, kaum perempuan akan lebih bahagia
menikmati hari-harinya di rumah, bersama suami dan anak tercinta,
jika ada yang menjamin kebutuhan hidupnya. Dan, mekanisme itu hanya
ada jika kapitalisme dilengserkan dan diganti dengan sistem
Islam.(kholda)
Ibu adalah profesi mulia nan membahagiakan. (Foto by Asri Supatmiati. Location: Curugmekar, Bogor. Model: Ninik, Kaisha & Abyan) |