Anak SD Minta Nikah?



* Generasi emas produk sistem Islam jelas berbeda dengan generasi bobrok produk sistem sekuler

Oleh Kholda Naajiyah

Apa yang bisa dilakukan anak sekolah dasar di Indonesia, terutama usia 11-12 tahunan? Umumnya mereka kelas 5-6 sekolah dasar (SD). Secara pemikiran, umumnya sangat labil. Belum memiliki pondasi pemikiran yang benar dan kuat terkait prinsip-prinsip hidup. Masih lugu, polos dan plin-plan. Mudah dibujuk rayu, dihasut dan ikut-ikutan arus. Wajar jika mudah diperdaya oleh orang yang lebih dewasa atau pihak-pihak yang ingin berbuat jahat padanya.
Sementara perilaku, juga masih sangat kekanak-kanakan. Belum memahami makna tanggungjawab. Paling-paling kerjaannya main-main. Yang laki hobi main bola atau main game, musik dan sok larak-lirik cewek-cewek cakep. Yang cewek hobi nonton sinetron, tergila-gila artis idola dan mulai GR bila dilirik cowok.
Tidak kaget kalau anak-anak yang katanya baru gede itu mulai sayang-sayangan dan pacar-pacaran. Di media sosial, sedang heboh foto siswa SMP berinisial AM, yang diduga ‘menembak’ siswi SD berinisial MP dengan menyerahkan kue tart dan boneka dari karakter film Disney sebagai hadiah bagi si gadis (fimadani.com).
Di lain tempat, anak 12 di Tuban mengajukan dispensasi nikah di Pengadilan Agama (PA) Tuban karena keburu hamil duluan. Pasangan lakinya usia 23 tahun. (Fimadani/visimuslim.com).
Sementara itu, belum lama juga heboh remaja kelas II SMP Rangga Arman Kusuma (14) yang bunuh diri. Dari analisa dan catatan hariannya, anak ini merasa dirinya tidak berharga. Hidup tanpa kedua orangtua kandung yang telah bercerai, tampaknya membuat jiwanya kosong.
Demikianlah potret hitam anak-anak dewasa ini. Itu hanya sebagian yang terungkap. Di luar sana, masih banyak lagi fakta miris yang menimpa anak-anak. Mereka adalah anak-anak produk sistem sekuler-liberal. Gaul bebas, seks sebelum nikah, depresi dan bunuh diri adalah penyimpangan yang makin dini usia pelakunya. Beginikah calon generasi masa depan?

GENERASI EMAS ISLAM
Fakta anak-anak tersebut tentu sangat berbeda dengan anak-anak yang dididik dengan Islam secara ketat. Anak-anak yang hidup dalam suasana lingkungan kehidupan yang penuh keimanan, keislaman dan bahkan perjuangan di medan jihad.
Baik di negeri muslim yang aman atau bergolak, jika anak-anak dididik dengan cara Islam yang benar, niscaya tak akan ada anak yang sia-sia pada masa kecilnya. Ya, bandingkan kondisi anak-anak di atas dengan anak-anak di Palestina, Afghanistan, Syuriah dan negeri-negeri muslim lainnya yang sedang bergolak. Di sana anak-anak ikut berjuang menegakkan panji Islam.
Di Palestina, anak-anak banyak yang menjadi martir perjuangan. Mereka berani melawan agresi Israel. Usia belasan bahkan rela menjadi pelaku bom jihad. Contoh lain di Yaman, belum lama ini dikabarkan, drone Amerika telah membunuh anak umur 12 tahun. Anak ini diduga anggota Al-Qaeda di Semenanjung Arab (AQAP). Ia menjadi sasaran “operasi penumpasan teroris”, setelah tahun 2011 lalu, ayah Tayiman, Saleh Qayed Taeiman (65), meninggal bersama salah seorang putranya Jalal (16), dalam serangan drone AS pada 2011 (visimuslim.com)
Atau, jika kita jauh menengok ke zaman Nabi, sahabat dan salafusholeh di masa lalu, akan kita temukan generas-generasi emas. Generasi muda belia yang pada usia dini memiliki kemampuan dan kapabilitas tinggi dengan pengerahan segenap potensinya.
Contohnya sahabat Nabi, Abdullah bin Abbas yang lahir tiga tahun sebelum Rasulullah hijrah. Saat Rasulullah wafat, ia masih 13 tahun. Saat itulah ia bersemangat tinggi mencari ilmu dengan mendatangi sahabat-sahabat senior. Masa kecilnya tiada dimanfaatkan kecuali menuntut ilmu. Tak heran bila kemudian ia menjadi ulama besar. Lalu Ali bin Abi Thalib, lelaki pertama yang masuk Islam pada saat usianya 10 tahun. Sejak itu aktivitasnya banyak halaqah bersama Nabi. Masih banyak lagi generai emas di masa Islam baru datang yang menunjukkan tidak ada anak-anak dan remaja yang menyia-nyiakan usinya pada saat itu.
Demikian pula generasi selanjutnya, di bawah penerapan sistem Islam mampu mencetak generasi terbaik. Seperti Imam Syafi'ie yang masyur sebagai ulama hingga abad ini, mengisi masa kecilnya dengan ilmu. Sejak kecil Syafi’i cepat menghafal syair, pandai bahasa Arab dan sastra.
Generasi terbaik juga ada di masa Imam Bukhari, periwayat hadits termasyur. Pada usia 18 tahun Bukhari sudah mampu menerbitkan kitab pertama Kazaya Shahabah wa Tabi'in. Padahal sejak lahir ia telah kehilangan penglihatannya. Masya Allah, bisakah generasi-generasi emas seperti itu lahir kembali?

DUKUNGAN SISTEM
Sistem sekuler saat ini terbukti hanya melahirkan anak-anak minim kualitas, berbeda dengan generasi yang hidup di masa Islam diterapkan dalam bentuk sistem. Karena itu wajar jika hari ini tuntutan untuk menegakkan sistem Islam terus bergemuruh.
Memang, tanpa Khilafah, keluarga-keluarga muslim yang masih berpegang teguh pada ideologi Islam telah mengambil langkah untuk mendidik anak-anaknya agar menjadi generasi emas. Menanamkan sejak dini pada anak-anak agar memiliki kualitas kepribadian tangguh seperti halnya sahabat Nabi.
Mendorong anak-anaknya yang masih belia untuk menjadi orang yang berguna, menjadi ilmuwan yang berprestasi, pribadi sholeh-sholehah yang alim dan mengisi waktunya hanya dengan hal-hal yang bermanfaat. Anak-anak yang sangat berbeda dengan anak-anak sekuler.
Anak yang tumbuh diliputi kasih sayang, curahan perhatian dan suasana keimanan. Bukan anak yang ditelantarkan orangtuanya yang sibuk mengejar materi. Seharusnya, dari keluarga seperti ini tidak ada anak-anak bermasalah, galau atau depresi. Apalagi sampai nekat bunuh diri.
Namun apa daya, tekanan sistem sekuler yang demikian masif diterapkan saat ini kerap membuyarkan cita-cita mulia itu. Tantangan dan godaan mendera orangtua dan anak-anak, hingga sangat sulit mencetak generasi berkualitas. Terkadang, tantangan dari orangtua. Kesibukan dikarenakan bekerja dalam sistem ekonomi yang eksploitatif, membuat orangtua kehilangan waktu bersama anaknya.
Tantangan lainnya dari perkembangan teknologi informasi yang menyuplai anak dengan berita-berita sampah yang meracuni otak anak. Demikian pula media, mengepung anak-anak dengan konten menyesatkan dan sama sekali tidak mendidik.
Jika tidak kuat dalam menghadang itu semua, niscaya anak-anak keluarga muslim pun akan terseret sama persis seperti potret anak-anak sekuler di atas. Itulah mengapa kebutuhan akan tegaknya sistem Khilafah sudah tak bisa ditunda lagi. Sebab, lahirnya generasi emas bukan hanya bertumpu pada keluarga yang berkualitas, juga didukung oleh sistem hidup yang benar. Maka, hanya dengan Khilafah anak-anak akan terayomi dan tercegah dari segala potret buruk sebagaimana halnya potret anak sekuler.(*)

* Tayang dengan judul berbeda di Media Umat edisi 144

Anak-anak SD usia 11-12 tahun sedang menangkap ikan di Happy Land Resort. Foto: Asri


No comments: