Perempuan Cinta Syariah


Indahnya konsep Islam yang kaffah dan komprehensif

Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia (MHTI) baru saja melaksanakan hajatan besar, yakni Konferensi Perempuan dan Syariah di Academic Activity Center (AAC) Dayan Dawood, Komplek Unsyiah, Banda Aceh, 7 Maret lalu. Seribuan muslimah hadir, menyatukan visi dalam acara bertema “Mengakhiri Serangan terhadap Syariah” itu. Tak hanya tokoh-tokoh asal Indonesia, juga dari Malaysia dan Brunei Darussalam.

Lokasi di Aceh terasa istimewa, karena saat ini Aceh merupakan salah satu daerah yang diberi keleluasaan untuk menerapkan syariah Islam, meski hanya parsial. Nah, penerapan yang parsial inilah yang justru menjadi bumerang. Karena, perempuan kerap diposisikan sebagai korban. Syariah Islam pun dituduh mendiskriminasi perempuan.

Tuduhan itu kerap terlontar dari mulut para penyambung lidah ideologi sekuler yang gerah dengan pemberlakuan syariah Islam. Selain di Aceh, juga perda-perda bernuansa Islam di daerah lainnya. Tujuannya, untuk menakut-nakuti kaum perempuan akan syariah Islam. Dipropagandakanlah bahwa syariah Islam itu hanya akan menjadi teror bagi mereka.

Misalnya, kewajiban menutup aurat adalah pengekangan dan menghambat aktivitas. Larangan khalwat adalah mengekang wanita karena tidak memiliki kebebasan dalam bergaul. Ancaman hukuman cambuk atau rajam jika melanggar syariah, melanggar hak asasi manusia, menyakitkan dan memalukan. Perempuan juga tidak boleh sembarangan berkendara, karena ada larangan ngangkang. Jangan coba-coba pula pulang larut malam, bisa-bisa ditangkap Satpol PP karena disangka PSK.

Nah, tuduhan semacam itu biasanya membesar dan meluas dari satu-dua kasus yang disorot media. Padahal, realita sebenarnya dari konsep syariah Islam terkait perempuan tidaklah demikian. Namun, tuduhan semacam itu tidaklah mengejutkan. Itu hanyalah lagu lama yang terus diputar ulang untuk menakut-nakuti perempuan akan tidak adilnya syariah.

Konsep Terindah

Konsep syariah Islam bagi perempuan sungguhlah indah. Jika memahami secara kaffah dan komprehensif, perempuan akan jatuh cinta pada syariah. Butuh dekapan syariah. Rindu segera diterapkan.

Sejatinya, syariah Islam diciptakan untuk mewujudkan tuma'ninah (ketenangan), sa'adah (kebahagiaan) dan 'adalah (keadilan), baik bagi laki-laki maupun perempuan. Tidak ada yang dilebih-utamakan satu dari dua jenis kelamin itu.

Adanya pembagian peran, hak dan tanggungjawab masing-masing jenis kelamin, adalah untuk menciptakan keselarasan, harmoni dan keseimbangan. Tidak dimaksudkan untuk membeda-bedakan. Semua itu pasti mengandung maslahat.

Adanya perintah menutup aurat, khususnya perempuan yang mencakup seluruh tubuh kecuali muka dan telapan tangan, akan menjaga kemuliaannya. Tubuh perempuan bukanlah komoditi yang boleh diekspos, gratis atau berbayar. Ditutupnya aurat ini tidak akan menghalangi aktivitas perempuan. Sudah banyak buktinya, kiprah muslimah dari zaman rasul, sahabiyah maupun kekhilafahan yang berkontribusi besar bagi umat. Saat inipun, kita menyaksikan para muslimah berhijab mendominasi prestasi di berbagai bidang. Sungguh pemikiran primitif jika masih menggunakan dalil “jilbab mengekang aktivitas perempuan.”

Lalu, adanya nizam ijtima'i (aturan pergaulan) yang melarang khalwat (berdua-duaan), ikhtilat (campur baur), ghadhul bashar (menundukkan pandangan), tak lain untuk menjaga kehormatan dua jenis manusia, laki-laki dan perempuan. Dengan aturan sosial yang tegas ini, masyarakat akan sehat, tidak didominasi syahwat.

Ini jelas berbeda dengan ideologi sekuler ala Barat yang diklaim mampu mengangkat harkat dan martabat perempuan. Ideologi liberal yang mengagungkan kebebasan, yakni bebas beragama, berpendapat dan bertingkah laku terbukti gagal memuliakan perempuan.

Lihat saja saat ini, perempuan yang mengumbar aurat, bebas berinteraksi dengan lawan jenis, khalwat dan ikhtilat di mana-mana, hanya melahirkan perempuan sebagai korban perilaku amoral. Perempuan hanya jadi objek seksual, pemuas nafsu dan komoditi dagangan. Dilecehkan, dicabuli, diperkosa, dizinahi dan dijual. Persis tragedi moral yang melanda dunia Barat.

Tak mengherankan jika hari ini, perempuan-perempuan Barat pun berbondong-bondong masuk Islam. Mereka menemukan hakikat dirinya sebagai perempuan yang terjaga dan berharga, setelah memeluk syariah. Mereka jatuh cinta pada hijab yang menutup auratnya. Mereka jatuh cinta pada nizam ijtima' yang memuliakan dirinya. Mereka menemukan ketenangan dan kebahagiaan dalam dekapan syariah. Mereka mulai menanggalkan ide liberal yang bertentangan dengan syariah. Termasuk konsep kesetaraan dan keadilan gender yang batil dan gagal itu.

Edukasi Syariah

Para pengkritik syariah Islam itu, jika ia muslimah, dipastikan ia tidak paham dengan agamanya sendiri. Mereka pastinya tidak memahami Islam secara kaffah dan komprehensif. Mereka hanyalah perempuan yang terlanjur didoktrin cara pandang Barat dan belum sempat belajar ideologi Islam.

Atau, ada juga yang memahami Islam dengan penafsiran yang sesat atau sengaja disesatkan Barat. Mereka juga tidak pernah mendapatkan informasi komprehensif tentang sejarah hidup kaum perempuan dalam naungan syariah. Ini karena ada upaya sistematis dari Barat untuk menghapuskan sejarah penerapan Islam.

Maka, inilah saatnya mengakhiri semua tuduhan miring terhadap perempuan dan syariah. MHTI melakukan edukasi untuk mengenalkan bahwa syariat Islam bukanlah horor bagi perempuan. Syariah bukan sebatas rajam atau potong tangan. Konferensi tersebut adalah bagian dari proses edukasi itu.

Selain melalui konferensi tersebut, 8 Maret lalu juga menggema kampanye simpatik “woman and syariah” di hampir seluruh penjuru nusantara. Para muslimah ramai-ramai turun ke jalan untuk mengingatkan masyarakat akan bahaya ide feminisme, yang notabene anak kandung ideologi sekuler-kapitalis.

Para muslimah pejuang syariah dan khilafah mengajak masyarakat tidak termakan propaganda yang menyudutkan syariah. Mengingatkan para muslimah agar kembali pada syariah. Mengajak mereka ikut memperjuangkan tegaknya khilafah.

Inilah upaya global untuk menyadarkan masyarakat agar kembali pada syariah. Diharapkan, aksi memanfaatkan moment hari perempuan sedunia 8 Maret ini mampu menyadarkan kaum muslimah agar mencampakkan ideologi sekuler dan memburu ideologi Islam saja. Tak ada kesempurnaan yang dibutuhkan perempuan kecuali syariah Islam. Allahu akbar!(kholda)

* Tayang di Media Umat edisi 147 

Para muslimah saat mengikuti Konferensi Perempuan dan Syariah di Aceh. Foto: Muslimah Media Center MHTI.


Buku Vulgar Belajar Pacaran



Berkedok edukasi seksual remaja, buku “Saatnya Aku Belajar Pacaran” ramai dikecam. Gimana nggak, banyak ajaran vulgar yang mengarahkan pada seks di luar nikah. Hadeuh, kok bisa kecolongan ya?

D'Riser, sebaiknya hati-hati kalau baca buku. Jangan asal pilih, jangan asal telan mentah-mentah dan menjadikannya sebagai referensi. Nggak sedikit isi buku yang menyesatkan pembacanya kalo nggak punya filter.

Contohnya buku “Saatnya Aku Belajar Pacaran” karya Toge Aprilianto. Buku berkedok psikologi remaja itu memuat bab tentang pedekate, pesaing, temen, hobi, orang tua, seks, patah hati dan mantan pacar. Dari judulnya aja udah kebayang gimana isinya: ngajak maksiat.

Buktinya, banyak banget kalimat vulgar dan cabul. Itu bisa terlihat di halaman 21, 60, 63, dan 66. Ada kalimat yang ditulis Toge seperti ini, "Aku pernah ngeseks sama dia." Lalu, halaman 60 memuat subjudul pacar ngajak ML (making love). Toge menuliskan, "Sebetulnya wajar, kok, kalau pacar ngajak kamu ML. Wajar juga kalau kamu ngajak pacarmu ML. Itu hal naluriah alamiah." (tempo.co, 7/2/15).
Astaghfirullah, benar-benar menyesatkan.

Pantas saja kalo kian hari kian menggunung korban-korban pacaran, yakni hamil di luar nikah. Jangan-jangan sebagian remaja itu belajar dari buku semacam ini. Pasalnya, buku kontroversial itu sudah terbit 2010 lalu alias lima tahun lalu. Bayangkan, rentang waktu itu, berapa banyak pembaca buku yang teracuni pemahaman tentang seks bebas. Akhirnya banyak yang beranggapan bahwa “remaja itu harus pacaran. Pacaran itu wajar seks bebas.” Na'uzubillahi minzalik.

ADA IDEOLOGI DI BALIK BUKU

Buku sama aja dengan produk lain yang juga nggak bebas nilai, seperti komik, musik dan film. Ada filosofi atau pemahaman tertentu yang ditanamkan di sana. Pemahaman seperti apa, ya tergantung ideologi penulisnya.

Semestinya, jika dia penulis muslim, maka bukunya berisi nilai-nilai Islam. Sebab jelas, nilai-nilai yang tidak islami haram untuk ditulis. Bertolak belakang dengan penulis nonmuslim, atau muslim tapi muslim KTP yang nggak mau ngaji. Jadinya ya nggak ngerti tsaqofah Islam.

Terlebih lagi kalo yang nulis itu pengemban ideologi kapitalisme-sekuler. Udah pasti, isi bukunya bakalan mengarahkan pembacanya untuk menyetujui gaya hidup sekuler. Contohnya buku yang menggeber tips-tips pacaran tadi. Padahal jelas-jelas pacaran tidak ada dalam kazanah dunia Islam.

Makanya, kamu-kamu musti punya filter untuk menyaring dan memilah buku mana yang baik, berkualitas dan tidak menyesatkan. Jangan sampai tersesat dan terbawa arus karena meyakini bulat-bulat isi buku tersebut..Ingatlah, ada pepatah yang cukup masyur yang konon dikeluarkan oleh ulama, bahwa “barangsiapa membaca buku tanpa guru maka gurunya adalah setan.”

Yup, bener banget! Membaca buku sendirian itu bisa menyesatkan. Masih ingat kasus seorang remaja di Jakarta, Rangga (14) yang bunuh diri? Konon ia terinspirasi dari komik-komik Jepang yang di antaranya mengandung pemahaman bahwa “mati itu akan membawa pada kedamaian.” Phiuhh, bahaya banget, kan! 

Lantas, apakah kita musti berhenti membaca buku karena takut disesatkan setan? Well, nggak gitu juga. Di antara jutaan buku yang beredar, karya-karya buku yang bagus dan bermutu, sarat ilmu dan manfaat juga banyak kok. Banyak jauh lebih banyak yang mengajak pada kebaikan dibanding pada kemaksiatan. Kuncinya: selektif pilih bacaan.

FILTER DIRI

Buku adalah jendela ilmu. Demikian pepatah bijak menyebutkan, betapa bergunanya keberadaan sebuah buku. Banyak ilmu dan inspirasi yang bisa kita dapatkan dari membaca buku. Sayangnya, kegiatan positif ini mulai ditinggalkan kebanyakan remaja. Saat ini, mereka lebih suka browsing di internet dan chatting di media sosial.

Padahal, internet tak kalah bahayanya jika tidak memiliki filter diri. Ya, membaca apapun baik buku atau internet, bahkan mendengarkan musik atau nonton film, ada risikonya. Risiko teracuni pemahaman menyesatkan dan bertentangan dengan Islam.

Makanya, seorang muslim musti punya filter yang kokoh untuk menangkal paham-paham sesat yang meresap dan menjalar lewat berbagai media tersebut: buku, komik, majalah, musik dan film. Jadi, harus punya pemahaman Islam yang mantap supaya ketika membaca media tersebut akal mampu menimbang benar dan salahnya.

Contohnya, ketika mencermati buku “Saatnya Aku Belajar Pacaran” tadi. Bagi yang nggak paham Islam, buku ini bisa menjadi referensi penting untuk melanggengkan aktivitas pacaran. Sebaliknya bagi remaja muslim yang paham Islam, udah pasti nggak bakal tertarik sama sekali buat membeli atau membaca buku itu. Judulnya aja udah nggak sesuai dengan ajaran Islam.

Pasalnya, Islam mengharamkan pacaran. Sudah tahu kan, pacaran itu definisinya khas, yakni sepasang muda-mudi yang komitmen menjalin hubungan intim dengan didominasi aktivitas berdua-duaan (kholwat). Nah, ini kan mengajarkan maksiat. Makanya, buku itu memang pantas untuk dikecam.

NASIHAT UNTUK PENULIS

Penulis buku “Saatnya Aku Belajar Pacaran,” Toge Aprilianto akhirnya minta maaf telah membuat keresahan dengan buku karyanya. Ia mengaku khilaf dengan buku tersebut. Aneh ya, masa khilaf kok dalam bentuk sebuah buku?

Menulis buku itu butuh keseriusan dan kesungguhan. Semua dilakukan dengan penuh kesadaran.Rangkaian kalimat demi kalimat dibuat dengan penuh perhatian. Mustahil jika menulis buku itu adalah sebuah kelalaian. Ada pertanggungjawaban dunia akhirat dalam setiap kata-katanya. Makanya, jangan asal menulis buku. 

Termasuk kamu-kamu, D'Riser yang hobi atau bercita-cita jadi penulis. Menulislah yang positif, membangun dan inspiratif. Masih banyak ide bagus untuk dituangkan dalam tulisan, dibanding mengajari anak-anak untuk pacaran. Apalagi jika menulis buku berisi ajakan kebaikan, menjelaskan tentang pemahaman Islam, inshaa Allah akan menjadi ladang pahala yang tak ada putusnya.

Nah, untuk menulis buku inipun dibutuhkan ilmu yang mumpuni, pemahaman yang mendetail dan jika perlu dalil-dalil yang kuat. Karya seperti ini akan bernilai manfaat bagi umat. So, jangan asal nulis buku. Apalagi jika motifnya semata-mata untuk mencari materi: biar laris, best seller dan royaltipun mengalir deras ke rekening.

Sungguh rendah jika menulis buku hanya bermotif uang. Apalagi jika menghalalkan segala cara dengan sengaja membuat buku yang kontroversial supaya laris. Ingatlah, apapun yang kita tulis akan dimintai pertanggungjawaban.(*)

* Ditayangkan di Majalah Remaja D'Rise edisi Maret 2015



Laki-laki Feminis


Oleh Kholda Naajiyah

Semangat perlawanan terhadap dominasi laki-laki dalam kancah pertarungan kesetaraan dan keadilan gender (KKG) yang diperjuangkan feminis kembali menggema seiring Hari Perempuan Internasional 8 Maret. Kali ini tak muncul dari kaum perempuan, tapi justru dari kalangan laki-laki.

Aliansi Laki-laki Baru, demikian penggiat dan pendukung gerakan KKG yang memiliki visi menciptakan sosok laki-laki dengan karakter baru yang mendukung penghapusan diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan ini.

Nur Iman Subono, pendiri Aliansi Laki-Laki Baru sekaligus redaktur Jurnal Perempuan dan dosen di Program Kajian Gender UI mengatakan, gerakan ini bertujuan mengajak laki-laki untuk respek pada kaum perempuan. Hal ini karena tanpa adanya respek, kesetaraan gender pun tidak akan berjalan secara maksimal (dewimagazine.com). Dalam praktiknya, ia mencontohkan, laki-laki tidak harus menuntut istri menyeduhkan kopi. Atau, laki-laki tidak boleh gengsi membantu pekerjaan domestik.

CIRI-CIRI FEMINIS
Gerakan Aliansi Laki-laki Baru ini sebenarnya memang tidak benar-benar baru. Itu sudah menjadi resolusi Feminis setiap tahun sejak lama. Selama ini, menurut feminis, kebanyakan laki-laki berbicara dan bersikap dengan bahasa dan aturan laki-laki.

Seperti dikatakan filsuf Perancis, Jacques Lacan, dunia kita memang penuh dengan aturan laki-laki, yang didominasi lewat cara berpikir dan bahasa laki-laki. Maka, feminis mendamba sosok laki-laki baru yang memiliki ciri feminis, bukan lagi maskulin. Laki-laki yang punya nyali menyeimbangkan dunia (dari dominasi aturan dan dunia pria) dengan bahasa dan sosok baru.

Seperti apa? Antara lain seperti yang ditulis aktivis Feminis Gadis Arivia dalam bukunya “Feminisme: Sebuah Kata Hati”. Ia menyebut dengan lengkap 10 ciri laki-laki feminis. Berikut beberapa yang layak dikritisi:

Pertama, laki-laki yang membebaskan. Dalam relasi interpersonal, laki-laki feminis mengumbar aura kebebasan, bersifat demokratis dan parsipatoris. Artinya, ia berusaha untuk berpartisipasi dalam setiap pikiran dan tindakan partner-nya. Ini berpengaruh positif pada diri partner-nya untuk berkembang, bukan meninggalkan rasa bersalah, ketakutan, dan penolakan.

Kedua, memahami pembagian kerja domestik. Laki-laki feminis akan selalu peduli pada beban domestik. Pengaturan kerja domestik dilakukan dengan kesetaraan. Artinya, laki-laki feminis tidak malu mencuci baju, memasak, dan membersihkan rumah. Membuatkan teh atau kopi untuk pasangannya tidak membuatnya merasa kurang macho.

Ketiga, peduli hak reproduksi. Salah satu kontribusi angka kematian ibu yang tinggi adalah tidak pahamnya pria akan pentingnya hak-hak reproduksi perempuan. Keterlibatan pria pada kehamilan perempuan dan konstrasepsi sangat penting. Pria feminis mau belajar tentang seluk-beluk reproduksi perempuan karena ia peduli pada kehidupan pasangannya.

Keempat, antipoligami. Laki-laki feminis menjunjung tinggi nilai keadilan dan kesetaraan. Ia tidak dapat hidup dengan pasangan yang bergantian dalam satu perjanjian. Kebebasan pria feminis dipertanggungjawabkan dengan loyalitas dan hormat pada pasangannya. Dengan berpegang pada prinsip ini, laki-laki feminis menolak dan antipoligami.

Diharapkan, sosok laki-laki seperti itu akan lebih hormat pada perempuan sehingga menjauhkan dari kekerasan dan diskriminasi perempuan. Benarkah?

MEMUSUHI AGAMA
Apa yang diharapkan dari lahirnya laki-laki baru pada intinya adalah menghilangkan karakter maskulinitas pada laki-laki yang umumnya: menjadi pemimpin, ditaati dan dilayani. Laki-laki yang tidak memposisikan diri sebagai pemimpin bagi perempuan, khususnya istri dalam konteks rumah tangga. Sebaliknya, laki-laki feminis berarti toleran dan membebaskan perempuan.

Tentu saja, sebagai anak kandung gerakan feminis yang lahir dari ideologi sekuler, nilai-nilai agama tidak dijadikan pedoman dalam merumuskan ciri sosok laki-laki baru ini. Bahkan sudah menjadi prinsip feminis, agama ditempatkan sebagai musuh bagi keberlangsungan kesetaraan dan keadilan gender. Dengan demikian, laki-laki baru ini sama sekali bukan sosok laki-laki yang berpedoman pada ajaran agama Islam dalam menempatkan perannya. Ketakwaan dan kesholehan tidak jadi ukuran.

Jika menilik dari empat poin saja yang disebutkan di atas, maka laki-laki feminis adalah laki-laki yang membebaskan perempuan. Dalam konteks rumah tangga misalnya, dia tidak boleh mengekang istri dengan alasan apapun. Semisal melarang istri bekerja, padahal saat bekerja itu ada rasa bersalah karena tidak bisa melayani suami atau anak-anaknya.

Laki-laki juga harus membantu pekerjaan domestik. Laki-laki tidak boleh “memaksa” istrinya melayani kebutuhan biologis atau hamil karena istri memiliki hak reproduksi. Pokoknya, tidak ada lagi semacam “hak prerogatif” laki-laki untuk ditaati istri, karena istri bebas. Bahkan laki-laki juga tidak boleh semena-mena menikah lagi alias berpoligami.

Bila dibaca sekilas, sosok laki-laki baru ini tampaknya sangat menguntungkan kaum perempuan. Namun dalam praktiknya, mustahil. Laki-laki yang mengejar ciri-ciri feminis ibarat memburu fatamorgana. Yang ada akan menemukan kekecewaan.

Sebab, secara fitrohnya, laki-laki jelas berbeda baik fisik maupun karakter dengan perempuan. Laki-laki diciptakan dengan maskulinitasnya dan perempuan dengan sifat feminim. Itu tidak akan berubah. Jika saling ditukarkan atau sekadar disamakan, akan merusak tatanan sosial. Jika disamakan, yang terjadi adalah persaingan berebut peran.

Sudah banyak contohnya di negeri Barat yang mempraktikkan relasi gender seperti ini. Hasilnya, perempuan bebas kebablasan dan rumah tangga hancur berantakan. Sebab pada hakikatnya, laki-laki dan perempuan memang berbeda.

CIRI LAKI-LAKI SEJATI
Kekerasan dan diskriminasi pada perempuan adalah problem yang dihasilkan oleh penerapan sistem sekuler. Sistem ini tidak mengajarkan laki-laki maupun perempuan untuk menjalankan hidup dengan aturan dari Sang Pencipta. Padahal, Dia-lah yang paling tahu hakikat karakter laki-laki dan perempuan.

Oleh karena itu, kegagalan KKG bukan semata-mata karena tidak adanya peran laki-laki yang memiliki ciri feminis. KKG itu sendiri merupakan konsep yang mustahil diimplementasikan. Menyamakan peran laki-laki dan perempuan sama persis adalah ilusi. Sampai kapanpun tidak akan terpenuhi.

Sebaliknya dengan Islam, aturan tentang relasi laki-laki dan perempuan sudah jelas dan mudah diimplementasikan. Tanpa harus menggunakan istilah kesetaraan dan keadilan gender, antara laki-laki dan perempuan sudah gamblang perannya masing-masing. Tidak kaku tapi juga tidak membebaskan.

Termasuk, mengajarkan pada laki-laki untuk menjunjung tinggi kehormatan dan kemuliaan perempuan. Laki-laki sejati memperlakukan istri sesuai dengan ajaran Islam. Lemah-lembut, mendidik dengan kasih sayang, memberikan hak-haknya, mencukupi nafkahnya, menempatkannya di rumah yang layak, membantu pekerjaan rumah tangga, dst. Semua sudah ada tuntunannya.

Bahkan, ada teladannya. Ya, Rasulullah SAW adalah teladan laki-laki sejati. Nabi Muhammad SAW telah menjadi contoh sosok terbaik dalam memperlakukan perempuan dalam segala bidang kehidupan: kerumah-tanggaan, kehidupan bertetangga, perdagangan, pendidikan, kesehatan, hukum, politik, jihad, dll.

Tidak ada dalam sejarah kehidupan beliau ada kasus kekerasan yang menimpa perempuan baik dalam rumah tangga, sektor pendidikan, kesehatan, hukum maupun politik. Pada masa itu kaum perempuan mendapatkan kedudukan mulia, bahkan menunjukkan kiprah terbaiknya tanpa ada hambatan. Semua karena berpedoman pada Islam. Lalu, untuk apa mengharap sosok laki-laki baru yang lain di luar Islam?(*)

Tulisan ini tayang di Media Umat edisi 146

Memiliki sifat "family man" tidak harus menanggalkan maskulinitas dan berubah jadi feminin. Foto: Asri. Lokasi: Taman Safari Indonesia.
 

Menyayangi Anak Perempuan


Oleh Kholda Naajiyah

Kasih Ramadani (7) berjalan sempoyongan mengambil air untuk membersihkan darah yang mengalir di wajahnya, di rumah Eko Hendro (40) di Dusun Buwek, Desa Sitirejo, Kecamatan Wagir, Kabupaten Malang, Sabtu (21/2). Lalu ia menghampiri pembunuhnya, Deni (30). 
“Anak saya sempat cuci muka, lalu meminta maaf ke saya. Setelah itu dia roboh. Saya sangat menyesal,” kata Deni yang tak lain ayah kandung Kasih. Ia menghajar Kasih dengan bambu, hanya karena berebut baju baru dengan kakaknya, Dina Marcelia (8). Baju itu pemberian Eko Hendro, adik ipar Deni (republika.co.id, 22/2/15). Alih-alih menikmati baju baru, nyawa Kasih melayang.
Nauzubillahi minzalik. Hari ini kita menyaksikan begitu banyak orang yang menyia-nyiakan amanah berupa anak. Tak terkecuali anak perempuan seperti Kasih. Persis di masa jahilyah ketika penguburan hidup-hidup bayi perempuan menjadi tradisi bangsa Arab. Atau saat peradaban Barat masih menanyakan apakah wanita tergolong manusia apa hewan?
Berbeda dengan Islam yang sangat menjunjung tinggi anak perempuan. Bukan bermaksud melebihkan mereka dibanding anak laki-laki, namun beberapa nash Alquran dan hadits menyebut keutamaan menyayangi anak perempuan. Bahkan, pihak yang memelihara kehormatan perempuan dijanjikan surga oleh-Nya. Misalnya beberapa hadits yang menjelaskan tentang imbalan bagi orang-orang yang mempelakukan anak, saudara dan orang-orang perempuan dengan baik adalah sebagai berikut:
1. Rumah yang di dalamnya terdapat anak-anak perempuan maka setiap hari Allah SWT menurunkan 12 rahmat, para malaikat tidak terputus-putus mengunjungi rumah itu, dan para malaikat setiap hari akan mencatat untuk kedua orang tuanya pahala yang sama dengan pahala ibadah 70 tahun (HR Abu Ya’la).
2. Barang siapa diamanati Allah seorang putri, bila mati tidak ditangisi dan bila hidup dididik secara baik, maka dia dapat jaminan surga (HR Abu Dawud, Hakim dari ibnu Abbas).
3. Barang siapa menyenangkan anak perempuan, maka ibarat menangis karena takut kepada Allah. Dan barang siapa menangis karena Allah, maka Allah mengharamkan jasadnya masuk ke dalam neraka. (HR Abu Ya’la, Ahmad)
Dewasa ini, tantangan mendidik dan menjaga anak perempuan sangat berat. Fitnah berkenaan dengan anak perempuan sangat dahsyat. Di alam sekuler ini, anak perempuan menjadi objek eksploitasi, seksualitas, bahkan komoditi murahan.
Tantangan mendidik anak perempuan agar teguh pada ajaran Islam berhadap-hadapan dengan godaan gaya hidup, trend, fashion, food dan fun yang menjanjikan kenikmatan dan materi duniawi. Butuh upaya sangat ekstra untuk menanamkan nilai-nilai Islam agar anak tidak tergoda. Mendidik anak perempuan harus dengan lemah lembut, kesabaran, telaten dan keuletan. Mereka memiliki karakter tersendiri yang harus dipahami dan dimengerti.
Maka sungguh beruntung jika orangtua mampu menjaga, mendidik dan mengarahkan anak perempuannya agar menjadi pribadi shalehah sebagaimana harapan Allah SWT. Semoga anak-anak perempuan kita menjadi pintu surga di akhirat kelak.(*) 

* Tulisan ini tayang di Media Umat Edisi 146

Tsabita waktu masih umur 4 tahunan. Foto: Asri