Oleh Kholda Naajiyah
Semangat
perlawanan terhadap dominasi laki-laki dalam kancah pertarungan
kesetaraan dan keadilan gender (KKG) yang diperjuangkan feminis
kembali menggema seiring Hari Perempuan Internasional 8 Maret. Kali
ini tak muncul dari kaum perempuan, tapi justru dari kalangan
laki-laki.
Aliansi
Laki-laki Baru, demikian penggiat dan pendukung gerakan KKG yang
memiliki visi menciptakan sosok laki-laki dengan karakter baru yang
mendukung penghapusan diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan
ini.
Nur
Iman Subono, pendiri Aliansi Laki-Laki Baru sekaligus redaktur Jurnal
Perempuan dan dosen di Program Kajian Gender UI mengatakan, gerakan
ini bertujuan mengajak laki-laki untuk respek pada kaum perempuan.
Hal ini karena tanpa adanya respek, kesetaraan gender pun tidak akan
berjalan secara maksimal (dewimagazine.com). Dalam praktiknya, ia
mencontohkan, laki-laki tidak harus menuntut istri menyeduhkan kopi.
Atau, laki-laki tidak boleh gengsi membantu pekerjaan domestik.
CIRI-CIRI
FEMINIS
Gerakan
Aliansi Laki-laki Baru ini sebenarnya memang tidak benar-benar baru.
Itu sudah menjadi resolusi Feminis setiap tahun sejak lama. Selama
ini, menurut feminis, kebanyakan laki-laki berbicara dan bersikap
dengan bahasa dan aturan laki-laki.
Seperti
dikatakan filsuf Perancis, Jacques Lacan, dunia kita memang penuh
dengan aturan laki-laki, yang didominasi lewat cara berpikir dan
bahasa laki-laki. Maka, feminis mendamba sosok laki-laki baru yang
memiliki ciri feminis, bukan lagi maskulin. Laki-laki yang punya
nyali menyeimbangkan dunia (dari dominasi aturan dan dunia pria)
dengan bahasa dan sosok baru.
Seperti
apa? Antara lain seperti yang ditulis aktivis Feminis Gadis Arivia
dalam bukunya “Feminisme: Sebuah Kata Hati”. Ia menyebut dengan
lengkap 10 ciri laki-laki feminis. Berikut beberapa yang layak
dikritisi:
Pertama, laki-laki yang
membebaskan. Dalam relasi interpersonal, laki-laki feminis mengumbar
aura kebebasan, bersifat demokratis dan parsipatoris. Artinya, ia
berusaha untuk berpartisipasi dalam setiap pikiran dan tindakan
partner-nya. Ini berpengaruh positif pada diri partner-nya untuk
berkembang, bukan meninggalkan rasa bersalah, ketakutan, dan
penolakan.
Kedua, memahami
pembagian kerja domestik. Laki-laki feminis akan selalu peduli pada
beban domestik. Pengaturan kerja domestik dilakukan dengan
kesetaraan. Artinya, laki-laki feminis tidak malu mencuci baju,
memasak, dan membersihkan rumah. Membuatkan teh atau kopi untuk
pasangannya tidak membuatnya merasa kurang macho.
Ketiga, peduli hak
reproduksi. Salah satu kontribusi angka kematian ibu yang tinggi
adalah tidak pahamnya pria akan pentingnya hak-hak reproduksi
perempuan. Keterlibatan pria pada kehamilan perempuan dan
konstrasepsi sangat penting. Pria feminis mau belajar tentang
seluk-beluk reproduksi perempuan karena ia peduli pada kehidupan
pasangannya.
Keempat, antipoligami.
Laki-laki feminis menjunjung tinggi nilai keadilan dan kesetaraan. Ia
tidak dapat hidup dengan pasangan yang bergantian dalam satu
perjanjian. Kebebasan pria feminis dipertanggungjawabkan dengan
loyalitas dan hormat pada pasangannya. Dengan berpegang pada prinsip
ini, laki-laki feminis menolak dan antipoligami.
Diharapkan, sosok
laki-laki seperti itu akan lebih hormat pada perempuan sehingga
menjauhkan dari kekerasan dan diskriminasi perempuan. Benarkah?
MEMUSUHI AGAMA
Apa yang diharapkan
dari lahirnya laki-laki baru pada intinya adalah menghilangkan
karakter maskulinitas pada laki-laki yang umumnya: menjadi pemimpin,
ditaati dan dilayani. Laki-laki yang tidak memposisikan diri sebagai
pemimpin bagi perempuan, khususnya istri dalam konteks rumah tangga.
Sebaliknya, laki-laki feminis berarti toleran dan membebaskan
perempuan.
Tentu saja, sebagai
anak kandung gerakan feminis yang lahir dari ideologi sekuler,
nilai-nilai agama tidak dijadikan pedoman dalam merumuskan ciri sosok
laki-laki baru ini. Bahkan sudah menjadi prinsip feminis, agama
ditempatkan sebagai musuh bagi keberlangsungan kesetaraan dan
keadilan gender. Dengan demikian, laki-laki baru ini sama sekali
bukan sosok laki-laki yang berpedoman pada ajaran agama Islam dalam
menempatkan perannya. Ketakwaan dan kesholehan tidak jadi ukuran.
Jika menilik dari empat
poin saja yang disebutkan di atas, maka laki-laki feminis adalah
laki-laki yang membebaskan perempuan. Dalam konteks rumah tangga
misalnya, dia tidak boleh mengekang istri dengan alasan apapun.
Semisal melarang istri bekerja, padahal saat bekerja itu ada rasa
bersalah karena tidak bisa melayani suami atau anak-anaknya.
Laki-laki juga harus
membantu pekerjaan domestik. Laki-laki tidak boleh “memaksa”
istrinya melayani kebutuhan biologis atau hamil karena istri memiliki
hak reproduksi. Pokoknya, tidak ada lagi semacam “hak prerogatif”
laki-laki untuk ditaati istri, karena istri bebas. Bahkan laki-laki
juga tidak boleh semena-mena menikah lagi alias berpoligami.
Bila dibaca sekilas,
sosok laki-laki baru ini tampaknya sangat menguntungkan kaum
perempuan. Namun dalam praktiknya, mustahil. Laki-laki yang mengejar
ciri-ciri feminis ibarat memburu fatamorgana. Yang ada akan menemukan
kekecewaan.
Sebab, secara
fitrohnya, laki-laki jelas berbeda baik fisik maupun karakter dengan
perempuan. Laki-laki diciptakan dengan maskulinitasnya dan perempuan
dengan sifat feminim. Itu tidak akan berubah. Jika saling ditukarkan
atau sekadar disamakan, akan merusak tatanan sosial. Jika disamakan,
yang terjadi adalah persaingan berebut peran.
Sudah banyak contohnya
di negeri Barat yang mempraktikkan relasi gender seperti ini.
Hasilnya, perempuan bebas kebablasan dan rumah tangga hancur
berantakan. Sebab pada hakikatnya, laki-laki dan perempuan memang
berbeda.
CIRI LAKI-LAKI
SEJATI
Kekerasan dan
diskriminasi pada perempuan adalah problem yang dihasilkan oleh
penerapan sistem sekuler. Sistem ini tidak mengajarkan laki-laki
maupun perempuan untuk menjalankan hidup dengan aturan dari Sang
Pencipta. Padahal, Dia-lah yang paling tahu hakikat karakter
laki-laki dan perempuan.
Oleh karena itu,
kegagalan KKG bukan semata-mata karena tidak adanya peran laki-laki
yang memiliki ciri feminis. KKG itu sendiri merupakan konsep yang
mustahil diimplementasikan. Menyamakan peran laki-laki dan perempuan
sama persis adalah ilusi. Sampai kapanpun tidak akan terpenuhi.
Sebaliknya dengan
Islam, aturan tentang relasi laki-laki dan perempuan sudah jelas dan
mudah diimplementasikan. Tanpa harus menggunakan istilah kesetaraan
dan keadilan gender, antara laki-laki dan perempuan sudah gamblang
perannya masing-masing. Tidak kaku tapi juga tidak membebaskan.
Termasuk, mengajarkan
pada laki-laki untuk menjunjung tinggi kehormatan dan kemuliaan
perempuan. Laki-laki sejati memperlakukan istri sesuai dengan ajaran
Islam. Lemah-lembut, mendidik dengan kasih sayang, memberikan
hak-haknya, mencukupi nafkahnya, menempatkannya di rumah yang layak,
membantu pekerjaan rumah tangga, dst. Semua sudah ada tuntunannya.
Bahkan, ada teladannya.
Ya, Rasulullah SAW adalah teladan laki-laki sejati. Nabi Muhammad SAW
telah menjadi contoh sosok terbaik dalam memperlakukan perempuan
dalam segala bidang kehidupan: kerumah-tanggaan, kehidupan
bertetangga, perdagangan, pendidikan, kesehatan, hukum, politik,
jihad, dll.
Tidak ada dalam sejarah
kehidupan beliau ada kasus kekerasan yang menimpa perempuan baik
dalam rumah tangga, sektor pendidikan, kesehatan, hukum maupun
politik. Pada masa itu kaum perempuan mendapatkan kedudukan mulia,
bahkan menunjukkan kiprah terbaiknya tanpa ada hambatan. Semua karena
berpedoman pada Islam. Lalu, untuk apa mengharap sosok laki-laki baru
yang lain di luar Islam?(*)
Tulisan ini tayang di Media Umat edisi 146
Memiliki sifat "family man" tidak harus menanggalkan maskulinitas dan berubah jadi feminin. Foto: Asri. Lokasi: Taman Safari Indonesia. |
No comments:
Post a Comment