Oleh
Asri Supatmiati *
KORUPSI
dan perempuan adalah isu seksi. Keberadaan perempuan –apalagi yang
benar-benar seksi-- dalam pusaran korupsi sukses mengguncang negeri
ini. Menyedot perhatian dan energi, mengalahkan isu-isu besar yang
tak kalah genting. Ancaman terhadap NKRI seperti eksisnya gerakan OPM
di Inggris pun lewat begitu saja gara-gara Ahmad Fathanah.
Ya,
siapa yang tak geleng-geleng kepala dengan sepak terjang tersangka
kasus dugaan suap impor sapi ini. Pasalnya, kelakuannya sungguh tidak
selaras dengan namanya yang berarti ¨terpuji dan cerdas¨.
Bagaimana bisa anak kiai besar dan bahkan dia sendiri terbilang ustad
karena kerap khutbah di masjid-masjid, terlibat kasus yang begitu
memalukan. Bukan sekadar dugaan suapnya, melainkan terseretnya
perempuan-perempuan seksi itu.
Begitulah,
syahwat korupsi agaknya tak jauh-jauh dari pemenuhan syahwat farji.
Bayangkan, dengan limpahan miliaran rupiah yang begitu mudah didapat,
Fathanah tentu tanpa kendala menjerat perempuan jelita. Fathanah –dan
koruptor lainnya-- pasti sudah mafhum bahwa saat ini, banyak
perempuan yang memberhalakan materi. Kebanyakan perempuan masa kini
telah tercuci otaknya oleh gaya hidup sekuler yang serba
materialistis, hedonis, konsumtif dan permisif.
Ini
semakin menguatkan opini bahwa seks memang menjadi salah satu motif
korupsi. Gratifikasi seks dianggap kelaziman, padahal sebuah
kezaliman. Sungguh mengerikan jika kondisi ini terus dibiarkan.
OBJEK
KORUPTOR
Pejabat
korupsi rupanya semakin menjadi tradisi. Dan, ada peran perempuan di
sana, itu tak bisa dipungkiri. Bahkan, perempuan kerap ditempatkan
sebagai biang kerok atau motivator perilaku korupsi itu sendiri.
Misalnya,
tak sedikit pejabat korupsi karena rongrongan pihak istri yang tak
pernah merasa cukup dengan pemberian nafkah bendawi. Istilahnya istri
matre. Merasa serba kurang karena melihat ¨rumput tetangga lebih
hijau.¨
Apalagi
di alam sekuler saat ini, biaya hidup perempuan memang tinggi. Di
samping belanja kebutuhan rumah tangga, penunjang life
style-nya
juga harus tercukupi. Seperti ongkos perawatan kecantikan, koleksi
barang-barang branded, shopping dan clubbing.
Di
sisi lain, kesempatan selingkuh juga menjadi motif koruptor itu
sendiri yang meniatkan ¨mencuri¨ untuk main perempuan. Mereka
paham, perempuan itu makhluk yang mudah ¨dibeli¨. Buktinya, tak
sedikit perempuan yang dari profesinya seolah mulia, nyatanya nyambi
menerima imbalan dengan menjual diri.
Pandangan
ini jelas merendahkan perempuan, khas pandangan sekuler-kapitalis
yang menganggap perempuan bak komoditi. Perempuan hanya menjadi objek
pemuas syahwat laki-laki. Mereka terjebak pada kekuasaan dan perilaku
menyimpang pada dunia patriarkis. Pendek kata, perempuan tersebut
menjadi objek kepentingan laki-laki dalam praktik korupsi.
Tapi,
tentu tidak semua perempuan seperti itu. Masih banyak kaum
perempuan/istri yang qonaah dan memiliki harga diri. Perempuan yang
tidak materialistis karena memandang kehidupan dunia fana belaka.
Perempuan yang tak tergoda gaya hidup hedonis ala Barat. Model istri
seperti ini hanya ada dalam diri perempuan yang benar-benar bertakwa.
Istri sholehah yang senantiasa bersyukur dengan keringat suami, yang
penting halal. Istri yang mengingatkan suami agar tetap berbuat
lurus.
PERAN
ANTIKORUPSI
Pada
dasarnya fitrah perempuan adalah makhluk feminin dengan segala
kelembutannya. Kalau selama ini dituduh sebagai biang kerok korupsi,
itu bukanlah karakter dasar perempuan. Jauh di lubuh hatinya, mereka
tak mau terseret tindak pidana.
Karena
itu, semestinya kaum perempuan turut mengambil peran dalam menghapus
tindak pidana korupsi yang semakin menjadi. Mereka harus menunjukkan
sisi positif yang diyakini selaras dengan semangat antikorupsi. Para
perempuan di balik laki-laki, wajib menjalankan peran kontrol sosial
agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang. Ingat, korupsi ada karena
kesempatan. Nah, kesempatan itu bisa ditutup oleh perempuan.
Perempuan
wajib mawas diri, tidak mudah tergiur dengan iming-iming harta
berlimpah tanpa memahami asal muasalnya dengan pasti. Jangan sampai
menyesal di kemudian hari. Gara-gara materi yang tak ada bandingannya
dengan rasa malu yang harus ditanggung seumur hidup.
Kita
tidak ingin ada perempuan-perempuan lagi yang terjebak pada pusaran
korupsi. Rasanya jengah menyaksikan mereka menjadi bulan-bulanan
media massa atas tindak korupsi yang dilakukan laki-laki. Sebab,
sudah bisa dipastikan, media massa akan terus menguliknya tanpa
henti, termasuk mendetaili wilayah privacy. Apalagi masyarakat memang
senang dengan isu-isu seksi seperti ini.
KORBAN
SISTEM
Terkuaknya
kasus Ahmad Fathanah membuat masyarakat makin pesimis, akankah
korupsi bisa dibasmi? Dalam sistem demokrasi berbiaya tinggi saat
ini, sangat lazim terjadi kolusi dan korupsi. Biaya politik untuk
menjadi pejabat publik tentu tak didapat dari kantong pribadi. Ada
sponsor yang membiayai. Terjadilah kongsi antara pengusaha dan
politisi. Jika politisi kelak menduduki kursi, pengusaha berhak
mendapatkan ¨komisi¨. Baik berupa kemudahan dalam bisnis,
penanganan proyek, dll.
Lingkaran
setan ini tak akan putus selama sistem demokrasi ini eksis. Karena
itu, jika ingin membasmi korupsi, sistem demokrasi harus diganti.
Mengapa tidak menengok pada sistem Islam? Jangan memandang Islam
sebelah mata hanya karena sistem ini diturunkan pada masa jahiliyah.
Justru, wahyu Ilahi ini memiliki perangkat komplit untuk mengakhiri
budaya korupsi.
Bukan
hanya itu, sistem ini juga akan menjuahkan perempuan dari
keterlibatannya dalam tindak pidana korupsi. Sebab, Islam menutup
peluang terjadinya kongsi pejabat dan penguasa. Juga, menutup rapat
pintu perselingkuhan atau perzinaan dengan hukumannya yang keras.
Mungkin
ada yang mengatakan, bukankah Ahmad Fahtanah adalah representasi
Islam? Walau mengaku bukan kader PKS, ia begitu dekat dengan pucuk
tertinggi partai dakwah berbasis aqidah Islam itu. Tapi nyatanya,
tindak-tanduknya justru sangat jauh dari islami. Bahkan, sangat
memalukan seperti bukan perilaku seorang Islam.
Justru
di sinilah logikanya. Orang yang secara personal dikenal saleh pun,
terjebak sistem sekuler yang rusak. Akibatnya, ikut terjerumus dalam
perbuatan rusak. Ibarat mangkok, sistem demokrasi ini begitu kotor.
Makanan selezat dan sebersih apapun jika dimasukkan dalam mangkok
ini, akhirnya ikut kotor juga. Dengan demikian, jika ingin
menyelamatkan negeri ini dari korupsi, mari sudahi penerapan sistem
demokrasi.(*)
*
Jurnalis, penulis buku ¨Indonesia Dalam Dekapan Syahwat¨
No comments:
Post a Comment