Siapa Butuh Khilafah?



Oleh Shabrina NA

Sejak Mei hingga puncaknya 2 Juni 2013 kemarin, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) menggelar Muktamar Khilafah di 31 kota besar di nusantara. Puncaknya di Gelora Bung Karno Jakarta, 2 Juni kemarin yang dihadiri lebih dari 130 ribu massa.

Dengan tema “Perubahan Besar Dunia Menuju Khilafah” acara tersebut diselenggarakan sebagai medium untuk mengokohkan misi perjuangan umat untuk tegaknya persatuan dan kembali kehidupan Islam.

Mulai Aceh, Medan, Surabaya, Yogyakarta, Makassar, Palangkaraya hingga Jakarta, jika ditotal umat Islam yang menghadiri acara itu bisa mencapai 400 ribuan. Ini menunjukkan, umat Islam menyambut seruan HTI yang selalu didengung-dengungkan mengenai wajibnya menegakkan syariah dalam naungan negara Khilafah. Mengapa harus Khilafah?

MOTIF
Menurut Hizbut Tahrir yang tak hanya bergerak di Indonesia tapi tataran global, ada beberapa alasan mengapa Khilafah dibutuhkan. Pertama, karena janji Allah SWT. Seperti tertuang pada surat An Nur (24): 55. Para ahli tafsir dari kalangan ahlu sunnah wal jamaah dalam kitab-kitabnya meyakini bahwa umat Islam akan mendapat kekuasaan kembali. Wujudnya berupa imamah atau khilafah.

Selain itu juga sabda Nabi SAW: Sesungguhnya Allah SWT telah mengumpulkan (dan menyerahkan) bumi kepadaku sehingga aku bisa menyaksikan timur dan baratnya. Sesungguhnya kekuasaan umatku akan mencapai apa yang telah dikumpulkan dan diserahkan kepadaku (HR Muslim, at-Tirmidzi dan Abu Dawud). Juga ada hadits dari Imam Ahmad yang menyatakan bahwa akan muncul kembali khilafah yang mengikuti jejak kenabian setelah masa kediktatoran.

Kedua, mengingat fakta dunia saat ini yang semakin terburuk dengan gagalnya ideologi sekuler-kapitalisme dalam menyejahterakan manusia. Ketimpangan dan kerusakan akibat penerapan sistem demokrasi di berbagai negara, telah melahirkan revolusi-revolusi, seperti yang terus bergolak di Timur Tengah dan berbagai negara.

Ketiga, Khilafah Islamiyah pernah menjadi negara adidaya dengan diterapkan selama 13 abad di hampir 3/4 belahan dunia. Khilafah waktu itu menyatukan seluruh umat Islam dalam satu komando, sehingga menjadi negara didaya nomor satu yang mampu menyejahterakan warga negaranya, baik muslim maupun nonmuslim. Belum ada ideologi lain yang mampu menandingi ideologi Islam dalam penerapannya.

Kapitalisme yang menjadi ideologi global nomor satu saat inipun, belum genap seabad memerintah dunia. Namun kebobrokan yang dihasilkannya begitu nyata. Itulah mengapa Khilafah wajib tegak. Dalam pandangan Hizbut Tahrir, khilafah adalah negara kesatuan global yang akan memimpin dunia, mengangkat muslim maupun nonmuslim pada derajat kemanusiaan, kesejahteraan dan keadilan.

KONTEKS INDONESIA
Gagasan ini tentu sangat relevan di tengah merosotnya kepercayaan publik akan sistem demokrasi yang gagal menjamin kebutuhan rakyat. Di mata publik, wajah demokrasi yang notabene turunan ideologi sekuler-kapitalisme ini semakin bopeng-bopeng.

Dalam konteks ke-Indonesiaan misalnya, tak pernah ada kabar positif dari wakil rakyat yang duduk di DPR. Katanya menyuarakan aspirasi rakyat, malah mengeluarkan kebijakan yang kontradiktif. Banyak undang-undang yang lahir, justru mencekik leher umat.

Belum lagi perilaku individu DPR yang tidak layak dijadikan teladan. Seperti tukang bolos, bergaya hidup mewah, menghambur-hamburkan anggaran hingga terlibat skandal korupsi dan seks. Tak ayal jika kepercayaan umat terhadap DPR rontok. Termasuk, kepercayaan terhadap parpol yang melahirkan politisi-politisi pragmatis.

Buktinya, berbagai pemilihan kepala daerah selalu dimenangkan golput alias rakyat yang tidak memilih. Ini menunjukkan masyarakat semakin apatis dan putus asa dengan sistem demokrasi yang mereka anut. Hanya saja, mereka bingung harus mencari solusi alternatif ke mana, kepada sistem apa. Sebab, selama ini sudah terlanjur diopinikan bahwa demokrasi harga mati.

KEBUTUHAN UMAT
Sebuah kewajaran jika masyarakat mencoba mencari solusi atas karut-marut yang dilahirkan ideologi sekuler-kapitalisme beserta turunannya ini. Rakyat capek hidup dalam sistem bobrok ini, karena tidak mendapatkan apa-apa. Yang ada nestapa tak berkesudahan.

Kemiskinan, pengangguran, kriminalitas, pelecehan seksual hingga ketidak-adilan dalam hukum adalah buah penerapan sistem buatan manusia ini. Berbeda dengan sistem syariah dan khilafah yang bersumber dari wahyu Ilahi. Itulah mengapa rakyat perlu melirik sistem ini.

Jangan dulu berburuk sangka atau antipati dengan gagasan syariah dan khilafah. Semestinya, berbagai elemen bangsa justru duduk sama rendah guna membahas sistem alternatif yang dijanjikan mampu mengangkat harkat dan martabat bangsa dan umat pada umumnya ini.

Toh, sejak zaman kemerdekaan hingga saat ini, kondisi zaman tidak menuju lebih baik melainkan sebaliknya. Indonesia yang kaya raya dan memiliki potensi luar biasa, tidak berjaya menjadi negara nomor satu di dunia. Ini karena sistem dan gaya kepemimpinan yang diterapkan tak lebih warisan penjajah.

Sejak kemerdakaan itu pula, sistem Islam belum pernah diberi kesempatan memimpin. Seruan penegakan syariah Islam dalam bingkai negara selalu kandas, dihadang propaganda hitam. Seperti mendirikan negara Islam di Indonesia itu makar, membahayakan, mengancam eksistensi NKRI, mengebiri nonmuslim, mengancam persatuan dan kesatuan, dll. Padahal, siapa yang menghasilkan seluruh nestapa rakyat saat ini? Bukankah sistem demokrasi sekuler-liberal itu sendiri? Mengapa Islam yang belum pernah memerintah negara ini yang dituduh?

KEBUTUHAN GLOBAL
Secara objektif dan empiris, umat manusia sangat membutuhkan kehadiran kembali Khilafah Islam sebagai jawaban atas kehancuran dunia akibat penerapan sistem kapitalis-sekuler. Tak hanya di Indonesia, manusia, muslim maupun nonmuslim, memang membutuhkan sistem global yang mampu menciptakan kesejahteraan, keadilan dan persaudaraan global.

Pasalnya, sistem global saat ini, yakni sistem dunia yang disangga oleh ideologi Kapitalisme-sekular, telah terbukti berdampak buruk dan destruktif bagi umat manusia dalam seluruh dimensi kehidupan. Sistem pemerintahan demokrasi yang dianggap mampu menciptakan kesejahteraan ternyata juga justru menimbulkan problem sosial yang kompleks. Kebebasan yang dipuja-puja pun ternyata hanya menghasilkan seks bebas, dekadensi moral, penggerusan akidah, alienasi serta kehancuran keluarga.

Di bidang hukum, hukum positif buatan manusia ternyata menjadi wasilah korporasi raksasa untuk menjajah dan mengeruk kekayaan rakyat. Nasionalisme dengan nation state-nya telah gagal menciptakan pola hubungan yang manusiawi. Dengan demikian jelaslah, dunia butuh Khilafah. Saatnya berubah menuju ke sana.(*)


*) Penggiat Aliansi Penulis pro Syariah (AlPen Prosa).

Abyan M Aqilla (3) saat ikut aksi masyiroh di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta. Foto by Asri Supatmiati

No comments: