Menyudahi Pengemis Abadi



Siapa yang tidak trenyuh melihat seorang ibu lusuh menggendong bayi polos itu menadahkan tangan. Meminta belas kasihan di perempatan lampu merah. Ibu-ibu pun segera iba dan mengulurkan recehan. Ikhlas lillaahi ta'ala.
Tak ada yang menyangka, rumors bahwa mereka adalah sindikat ternyata benar adanya. Penampilan memelas itu telah menipu para dermawan. Menggendong bayi penarik simpati, padahal hanyalah umpan. Bayi tak berdosa itu adalah korban eksploitasi.
Seperti diungkap Polres Metro Jakarta Selatan. Sepasang kekasih, ER (17) dan S (18) ditangkap karena mengekploitasi anak di bawah umur untuk menjadi pengemis. Satu bayi disewakan Rp200 ribu (Jawapos, 25/3/17).
Ironisnya, salah satu korban, bayi 6 bulan bernama Bon-bon itu, diberi obat penenang Clonazepam agar tidak rewel saat mengemis. Polisi juga menemukan 20 anak yang diduga menjadi korban tindak kejahatan. Bahkan salah satu korban mengaku punya empat saudara, dua diantaranya dijual ke luar kota, yaitu Klaten dan Malang (Jawapos, idem). 
 

Menjanjikan Kekayaan

Tak ada manusia di muka bumi ini yang bercita-cita menjadi pengemis. Bahkan seorang pengemis, hati kecilnya pasti tak rela jika anak-cucunya mewarisi “profesinya”. Sayang, sistem sekuler telah melanggengkan keberadaan para pengemis jalanan ini.
Pembangunan yang tidak menghasilkan pemerataan kesejahteraan, melahirkan orang-orang sangat kaya di satu sisi, dan sangat miskin di sisi lainnya. Kemiskinan yang membelit sebagian warga negara ini, mereduksi kesempatan mereka untuk mengenyam pendidikan, mengakses lapangan kerja dan akhirnya turun temurun terjebak dalam kemiskinan.
Tanpa pendidikan dan keterampilan, meminta-minta menjadi sumber mata pencaharian. Apalagi di kota-kota besar, rupanya aktivitas hina ini begitu menjanjikan rupiah. Penghasilan para pengemis terkadang jauh melebihi gaji pekerja kantoran. Jika bukan karena mempertahankan rasa hormat, niscaya para pengangguran akan tergiur menerjuninya.

Penyubur Mental Mengemis

Sementara itu, kebijakan-kebijakan pemerintah menambah subur mental mengemis ini. Mekanisme bantuan langsung kepada rakyat, misalnya, hanya diberikan kepada mereka yang secara sah dan meyakinkan “berlabel” miskin. Akhirnya banyak orang yang memiskinkan diri demi meminta bantuan.
Tak terkecuali kelas menengah. Mereka ini golongan yang berlebihan tidak, kekurangan juga tidak. Tetapi, jika dihadapkan pada kebutuhan insidental seperti biaya pendidikan anak atau kesehatan, cenderung kekurangan.
Tentu, bukan salah rakyat 100 persen jika “mengemis” bantuan pemerintah. Sebab, itu memang hak mereka. Tak peduli miskin, menengah atau bahkan kaya sekalipun, hak warga negara untuk mendapatkan pelayanan dan berbagai kemudahan dari pemerintah. Mereka berhak tercukupi kebutuhan sandang, pangan, papan, pendidikan dan kesehatan.

Jika pembangunan menghasilkan pemerataan, tidak perlu rakyat meminta belas kasihan pemerintah untuk mencukupi seluruh kebutuhannya. Sayangnya, hal itu tidak terwujud di negara yang menerapkan sistem ekonomi liberal saat ini. Buktinya, jurang kemiskinan terus menganga.
Kebijakan-kebijakan kapitalisme nyatanya hanya ramah bagi orang kaya. Orang setengah miskin dan miskin, terpaksa mengemis-ngemis demi mendapat pelayanan dan perhatian pemerintah. Inilah mental meminta-minta yang telah dibangun secara struktural oleh pemerintah itu sendiri.

Revolusi Mental
Hari ini, betapa mental meminta-minta kian menggurita. Tak hanya eksis di perempatan lampu merah, trotoar, pasar becek atau jalan raya. Juga eksis door to door, sekolah-sekolah dan gedung-gedung perkantoran. Lebih canggih lagi, juga marak di media sosial. Penggalangan dana sosial marak di mana-mana untuk membantu si ini dan si itu. Mengapa itu terjadi? Karena yang bersangkutan tidak terpenuhi hak-haknya oleh penguasa.
Pengemis pun bukan hanya milik anak jalanan bertampang dekil, juga para pria parlente berdasi kupu-kupu. Bukan hanya bermodal kaleng rombeng, juga proposal mengkilat. Bukan hanya untuk membeli sebungkus nasi, juga untuk biaya pendidikan, membangun tempat ibadah, memperbaiki jalan berlubang, sekolah rusak, jembatan ambrol, mengoperasi penyakit mematikan, melancarkan urusan perpolitikan, dll.
Inilah mental pengemis yang harus direvolusi. Oleh siapa? Tentu tidak cukup skala individu, tapi sistemik. Sebab, merebaknya sindikat pengemis ini juga sudah sangat sistemik. Caranya, pensiunkan sistem sekuler kapitalistik ini dan tampilkan sistem Islam. Karena, Islam punya mekanisme untuk mengentaskan pengemis ini agar tidak terus mengemis abadi.

Stop Kasihan!

Sejatinya tak ada yang salah dengan apa yang dilakukan oleh para dermawan ketika mengulurkan recehan pada pengemis. Apalagi pada anak-anak polos tak berdosa. Berniat tulus ingin sedikit meringankan beban kaum papa. Karena, ini adalah anjuran agama.
Syaratnya, pengemis itu memang melakukannya karena terpaksa. Setelah tak ada jalan lain kecuali meminta-minta untuk mempertahankan hidupnya. Jadi, mengemis karena terdesak untuk memenuhi hajat hidup saat itu juga, diperbolehkan, meski tidak terhormat.
Allah SWT berfirman: “Dan di dalam harta mereka itu terdapat hak bagi orang miskin yang meminta, dan orang miskin yang tidak mendapatkan bagian.” (TQS ad-Dzariyyat: 19). Bahkan, umat Islam wajib memperlakukan pengemis dengan baik. Firman Allah SWT: “Dan terhadap orang yang meminta-minta, maka hendaknya kamu tidak menghardiknya.” (TQS ad-Dhuha: 10).
Sayangnya, kebaikan para dermawan malah diselewengkan. Dijadikan inspirasi untuk menjadi pengemis abadi. Nah, mengemis yang dijadikan pekerjaan dan bukan karena terpaksa, tidak diperbolehkan. Bahkan mereka dianggap maksiat. Rasulullah SAW bersabda: “Siapa saja yang meminta harta orang untuk memperbanyak hartanya (bukan karena membutuhkan), maka sesungguhnya dia tak lain kecuali meminta bara api (neraka)” (HR Bukhari). Riwayat lain menyebut: “Tidaklah seseorang di antara kalian selalu meminta-minta, kecuali dia akan menghadap Allah, sementara wajahnya tidak terbungkus daging” (HR Muslim).
Nah, agar tidak muncul pengemis-pengemis, sistem pemerintahan Islam menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok. Menyediakan lapangan pekerja bagi usia produktif, misalnya. Jika secara pribadi tidak mampu, misal karena sakit atau cacat permanen sehingga tidak mampu bekerja, maka kewajiban jatuh ke keluarga dan kerabatnya. Jika tidak sanggup juga, beralih di pundak negara.
Jika pengemis itu tetap melakukannya karena malas; keenakan meminta-minta dan enggan beralih pekerjaan karena penghasilannya menggiurkan; mereka ini layak diberi sanksi oleh negara agar jera. Dengan demikian, tidak ada yang berani mengemis.
Apalagi sampai berani mengeksploitasi bayi dan anak-anak secara terorganisir. Seluruh pelaku yang terlibat dianggap maksiat, layak dikriminalkan. Mereka ini bukan orang yang perlu dikasihani, tapi dikenai sanksi.
Demikianlah sistem Islam dalam mencegah munculnya pengemis dan mengantisipasinya. Khilafah Islamlah yang mampu mengentaskan para pengemis jalanan itu secara tuntas. Termasuk mencegah bayi dan anak-anak menjadi korban. Sistem inilah yang akan menjadikan mereka hidup tenang dan sejahtera. Mencegah mereka jatuh ke pelukan pengemis dengan cekokan obat penenang.(*)

Kholda Naajiyah
Rubrik Muslimah Media Umat Edisi 171


Foto: http://103.253.112.93/epaper/data/Koran Sindo Nasional

No comments: