Hijab Halal di Sistem Haram



Sebuah papan reklame di pinggir jalan meremukkan hati para muslimah. Bukan, bukan karena reklame itu roboh. Tapi kalimat menggusarkan ini: “Yakin Hijab yang Kita Gunakan Halal?” Kewas-wasan pun menampar pikiran. Benarkah hijab yang telah kita kenakan dengan segenap perasaan takwa ini masih haram? Atau minimal subhat? Tidak cukupkah label hijab syar'i dengan parameter panjang dan menutup tonjolan badan kita kenakan? Berabad-abad lamanya hijab diperintahkan Kanjeng Nabi, dikenakan turun temurun hingga menjadi fashion item wajib para muslimah masa kini. Kenapa baru sekarang tiba-tiba (perlu) ada labelisasi halal? 

 

Strategi Marketing?

Terpaksa su'uzhon pun menyeruak. Jangan-jangan ini upaya merek tersebut untuk bertahan, di tengah persaingan para produsen hijab yang kian mengetat. Strategi merebut kembali pasar. Bukankah isu halal-haram sangat sensitif di tengah masyarakat muslim yang kian kritis?

Klaim sebagai hijab berlabel halal resmi dari MUI, pertama dan satu-satunya di Indonesia --bahkan mungkin dunia--, serta baru kali ini terjadi dalam sejarah umat manusia; akan menjadi magnet untuk merebut hati para muslimah. Digiring untuk beli yang halal saja.

Padahal tak semua muslimah mampu menjangkaunya. Lazimnya merek terkenal, harganya tidak murahan. Selama ini, masyarakat sudah merasa cukup syar'i dengan selembar kerudung paris seharga sepuluh ribuan. Lah, kalau harus beli yang halal, berapa lembar puluhan ribu harus ia keluarkan?

Strategi tidak populer ini, ditengarai pula untuk menghalau serbuan hijab asing. Seperti diketahui, rumah mode kafir D&G pun tengah merilis produk hijab (tentu belum berlabel halal, kan!). Sebentar lagi pasti membuat kebat-kebit para istri pejabat, artis papan atas hingga sosialita berdompet tebal. Terlebih ini era perdagangan bebas MEA, brand asing itu sah-sah saja mencoba peruntungan. Ikut mencuri uang para muslimah kelas atas. Harga melangit, justru disukai para pemburu gengsi ini.

Parahnya, telunjuk su'udzon juga mengarah pada hidung MUI. Banyak yang menuduh ini hanya proyek baru lembaga halalisasi ini untuk mengail rezeki. Lumayan, jadi ada pemasukan baru, setelah hiruk-pikuk sertifikasi kuliner halal yang tiada habisnya.

Semua tahu, butuh dana besar untuk mendapatkan selembar pengakuan bernama halal. Itupun harus terus diperbaharui tiap dua tahunan. Jika hijab pun menjadi proyek halalisasi, jelas ini akan menjadi mesin uang.

MUI tentu tak mengakuinya. Direktur LPPOM MUI Lukmanul Hakim mengatakan, MUI memang memberikan sertifikasi untuk kain. UU Jaminan Produk Halal menyebut, sertifikasi tak hanya diberikan untuk produk pangan atau obat-obatan, tetapi juga barang gunaan.

Maka ada beberapa perusahaan yang berinisiatif mengajukan sertifikasi kepada MUI. Namun, ketentuan ini belum dapat dikatakan wajib karena belum diatur melalui peraturan pemerintah. Karena itu, pengajuan sertifikasi masih bersifat sukarela (kompas.com, 13/2/16). Jadi, kalau ada produsen hijab mengajukan labelisasi halal, terkait proses pembuatan kainnya yang dijamin tidak menggunakan bahan haram.

Itupun dijelaskan pihak terkait. Produsen baju dan perlengkapan muslim ini mendapatkan sertifikasi halal dari MUI, karena seluruh kain yang digunakan menggunakan emulsifier tumbuhan baru-baru ini. Di mana, untuk kain yang haram menggunakan emulsifier dari gelatin babi.

Wajib Halal

Isu hijab halal memang menggegerkan. Menyentil muslim untuk lebih waspada terhadap produk yang dikenakan. Selama ini, mendeteksi halal-haram makanan dan minuman saja, kita sudah kewalahan. Bingung dan galau setiap akan mengonsumsi kudapan. Label halal MUI menjadi semacam jaminan yang menenangkan jiwa, bahwa itu makanable.

Kini, ditambah lagi dengan hijab. Haruskah mengganti seluruh isi lemari hanya karena tak ada jaminan halal? Karena, jika ditarik lebih umum lagi, semestinya seluruh benda-benda yang kita kenakan harus terjamin halal.

Pakaian dalam, pakaian rumah, baju tidur, baju anak, harus halal juga, kan? Busana bapak-bapak seperti kemeja, kaos, baju koko, nggak boleh haram, kan? Bagaimana dengan mukena, sajadah, sarung, sorban, peci, baju ihram? Belum lagi sprei beserta kawan-kawannya, handuk, keset, gorden, taplak meja dan sebagaianya.

Itu baru menyangkut busana. Sebab, kalau Anda ke mal, di sana juga kita temukan teflon alias wajan pemasak yang bersertifikasi halal. Mungkin itu juga pertama dan satu-satunya di dunia. Entahlah. Yang jelas, kita juga butuh jaminan bahwa wajan, kuali, piring, gelas, sendok dan mungkin juga ulekan harus halal.

Waduh, runyamnya. Betapa merepotkan dan membingungkan. Menakutkan dan mengkhawatirkan. Apakah se-lebay ini kewaspadaan kita? Menunggu sertifikasi halal seluruh benda, sampai kapan? Bagaimana dengan yang sudah-sudah kita kenakan? Apakah selama ini kita menanggung dosa keharamannya? Apakah sesulit ini syariat Islam?

Sistem Haram

Begitulah sulitnya hidup di dalam sistem berlabel haram ini (baca: sistem sekuler kapitalis). Segala hal tidak ada jaminan halalnya. Memang, sebagai muslim, kita harus hati-hati mengonsumsi benda-benda. Harus yang halal saja. Tanpa melonggarkan kewaspadaan kita terhadap kehalalannya, tentu kita tidak harus se-lebay itu menyikapi keadaan. Artinya, tidak semua yang belum berlogo halal MUI itu pasti haram.

Terkait makanan misalnya, para ulama membuat kaedah: “Al ashlu fil asy-yaa’ al hillu wa laa yahrumu illa maa harromahullahu wa rosuluhu.” Artinya, hukum asal segala sesuatu adalah halal dan sesuatu tidak diharamkan kecuali jika Allah dan Rasul-Nya mengharamkannya. Nah, di antara yang diharamkan itu adalah bangkai, daging babi, darah, dan hewan yang disembelih tidak atas nama Allah.

Jadi, sejatinya Allah SWT telah memberi jaminan bahwa sumber kekayaan alam ini halal dinikmati manusia. Yang penting jangan makan yang diharamkan saja. Dan itu jumlahnya sedikit. Nah, label halal MUI itu hanya sebagai jaminan saja. Membuat lebih tenang.


Sayangnya, karena kita hidup dalam kungkungan sistem sekuler kapitalis yang membuka pintu lebar-lebar terhadap berkembangnya produk-produk haram, muslim jadi paranoid. Takut subhat. Takut haram.

Di sinilah pentingnya kita untuk hidup dalam naungan sistem Islam. Sistem yang menjamin hanya benda halal yang diproduksi, didistribusi dan dikonsumsi. Tentu sangat melelahkan jika memilah satu persatu, ini benda halal atau tidak. Kain halal atau tidak. Pabrik ini alat dan bahannya halal atau tidak. Jika kita punya kekuatan meneliti satu persatu, silakan saja demi menjamin kehalalalannya. Tapi siapa sanggup? Karena ini adalah tugas negara.
Solidaritas Hijab

Isu hijab halal ini menjadi perbincangan di tengah peringatan Hari Hijab Sedunia tiap 1 Februari. Hari solidaritas hijab yang seharusnya lebih penting membicarakan soal yang lebih genting. Misalnya, lebih penting bagaimana mengajak muslimah yang belum berhijab untuk menutup aurat. Yang sudah berhijab, menyempurnakan hijabnya dengan hijab syar'i. Yang sudah hijab syar'i, lengkapi dengan kepribadian diri.

Okelah, kalau sekarang sudah ada hijab berlabel halal, kita syukuri. Satu lagi jaminan kita pegang.
Syukur-syukur yang belum berhijab langsung bisa mengganti isi lemarinya dengan hijab yang sudah berlabel halal. Sembari berharap, MUI memudahkan para produsen mendapatkan sertifikat halal. Juga, pemerintah menjamin bahwa produk-produk untuk kaum muslim hanya yang halal saja yang boleh diproduksi.

Jadi, yang hijabnya belum berlabel halal belum tentu juga haram. Jangan berkecil hati. Janganlah isu halalisasi hijab ini menyurutkan semangat untuk berhijab yang sedang mekar-mekarnya. Ini jadi kontraproduktif.

Apalagi, di belahan dunia lain isu keharaman hijab masih ada. Seperti dilarangnya hijab di Tajikistan, juga simbul-simbul Islam lainnya. Ini lebih butuh perhatian. Sembari berikhtiar mengenakan yang halal, biarkanlah alam berjalan.

Sembari kita menunggu dan memperjuangkan, agar dunia berganti. Dari sistem sekuler ke sistem Islam. Saat sistem halal (baca: Khilafah Islamiyah) yang berkuasa dan menggusur sistem haram, saat itu kita tidak perlu labelisasi halal. Yang ada adalah labelisasi haram.

Sistem yang menjamin itu. Bukan hanya selevel MUI. Percayalah, syariat Islam itu hadir bukan untuk menyulitkan umat manusia. Terlebih kaum muslimah. Hijab itu memudahkan. Bukan menyusahkan. Maka, tetaplah kibarkan hijabmu, sekalipun tak ada label berwarna hijau di sana.(*)


#KholdaNaajiyah
#RubrikMuslimahMediaUmat
#MediaUmat168
Foto: wolipop.detik.com



No comments: