*
Musuh utama umat manusia adalah sekulerisme liberal, bukan agama.
"Perlu
ada tindakan & hukuman yg tegas buat pengelola akun @gaykids***
biar tdk menjadi pelopor akun2 yg merusak generasi penerus bangsa,"
kata akun @wahyu_wibi. "@gaykids*** anak2 weehh dpat pelajaran
darimana, astagfirullah. Benar2 kiamat sudh dekat," kata akun
@MisDoraemon (TribunnewsBogor,
27/1/16).
Demikianlah
kegeraman sebagian netizen (pengguna internet, red) melihat postingan
foto anak lelaki, serta timeline
menggunakan kalimat berbau seks dari
pemilik akun. Bagaimana tak marah, kebanyakan follower-nya
anak-anak usia SMP dan SMA. Sementara postingannya sungguh tak
senonoh. Termasuk ajakan penyimpangan seksual.
Ya,
satu lagi musuh orangtua yang mengancam putra-putrinya: LGBT.
Komunitas lesbian, gay, biseksual dan transgender itu kini menyasar
anak-anak bau kencur. Setelah masuk kampus, kelainan seksual itu kini
menyasar anak usia labil, SMP dan SMA. Bahkan tidak ada jaminan kalau
anak SD belum terinveksi penyakit liberal itu. Mengingat ada pula
akun sejenis bernama gaysmp dan gaysma.
Tampaknya
kerusakan mental dan moral anak-anak di negeri ini sudah (hampir)
mencapai titik klimaks. Pacaran sudah merajalela, seks bebas bukan
barang langka, perzinahan menggila, dan kini penyimpangan seksual
menggejala. Kurang rusak apalagi?
Merusak
Otak
Setelah
dihebohkan di dunia maya, akun @gaykids*** memang disuspen. Namun,
apakah ada jaminan akun atau situs sejenis tidak akan muncul lagi?
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengkhawatirkan bahaya akun
atau situs-situs semacam itu.
Untuk
itu, Kepolisian Republik Indonesia diminta mengusut tuntas siapa
pembuat dan pemilik akun gay dimaksud. "Kalau ini sampai
ditonton anak-anak kita, tentu efeknya sangat membahayakan. Bisa
saja, banyak anak-anak yang terjerumus dalam kegiatan menyimpang
ini," tutur Erlinda (tribun-medan.com,
27/1/16)
Kita
tentu setuju dengan tindakan itu. Namun, itu saja tidak cukup. Karena
tidak menjamin langkah-langkah bak “pemadam kebakaran” itu cukup
memadamkan bejolak penyimpangan syahwat. Karena, letak kerusakannya
ada di otak. Pola pikir. Kerusakan ini harus disembuhkan dengan pola
pikir baru. Yang benar, lurus, sahih dan revolusioner.
Mengapa?
Karena bahaya pornografi langsung merusak pusat kecerdasan manusia,
yakni otak. Sudah banyak yang mengungkap, kerusakan akibat pornografi
bahkan lebih hebat dibanding narkoba. Pola pikir. Mental.
Lebih
bahaya lagi jika dirusak sejak usia dini. Anak-anak yang tumbuh besar
menjadi generasi LGBT, mau jadi apa mereka di masa depan? Jika saat
ini hanya menuruti syahwat penyimpangannya, kelak sudah besar jadi
orang yang tidak berguna. Hanya menjadi beban dan bahkan sampah
masyarakat.
Revolusi
Kurikulum
Mudahnya
anak-anak terjerumus dalam perilaku menyimpang, seperti LGBT,
menunjukkan lemahnya pondasi agama mereka. Ini akibat sistem
pendidikan sekuler yang makin abai dengan peran agama. Tampilan agama
hanya sebatas motivator moral. Anjuran-anjuran. Agama tidak
dihunjamkan sebagai pemikiran menyeluruh dan mendasar tentang
kehidupan (ideologi).
Wajar
jika agama di sekolah tidak sanggup menangkal perilaku menyimpang.
Karena, agama yang dibolehkan eksis di dunia ini hanya sebelah sisi,
yakni ritual. Sebelah sisi lagi, dijejali sekulerisme. Bahkan sisi
sekuler inipun terus dicekokkan untuk menggusur agama.
Terlebih
saat ini, agama (Islam) malah dituding sebagai sumber bahaya. Dituduh
mengajarkan radikalisme. Istilah “radikal” sengaja dibuat bias,
hanya diarahkan ke Islam, yakni perilaku kekerasan, bom dan jihad.
Tentu,
kita memang tidak sepakat dengan tindakan pengacau keamanan berupa
aksi bom bunuh diri, mengebom fasilitas umum dan mengorbankan sipil
tak berdosa. Kita mengutuk keras perilaku merusak fasilitas umum dan
membunuh orang yang tidak berdosa. Ketidak-setujuan itu justru karena
tindakan itu bukan dari Islam. Bertentangan dengan Islam.
Di
kurikulum mulai TK, SD, SMP hingga SMA dan bahkan perguruan tinggi,
bab mana dari pelajaran agama Islam yang mengajarkan tindakan seperti
itu? Tak ada. Bukankah buku-buku paket agama juga atas izin
Departemen Agama? Lantas mengapa saat ini sibuk melakukan
de-radikalisasi untuk mengcounter ide “radikal dalam agama”?
Padahal,
radikalisme dalam sekuler, alias liberalisme, itu lebih berbahaya.
Menjadikan manusia kian tidak beradab. Hanya mengajak pada kerusakan,
baik rusak moral, rusak badan maupun rusak pikirannya. Contohnya
ajakan LGBT itu.
Tapi
ironisnya, pemerintah sibuk membentengi anak-anak dari isu
radikalisasi agama yang belum tentu dipahami oleh mereka. Contohnya,
yang disinyalir masuk melalui buku paket “Anak Islam Suka Membaca”,
di mana di dalamnya memuat kosa kata bantai, bom, dll. Anak kecil
mana ngerti.
Memang,
pengenalan kosa kata yang cenderung sarkas, kasar dan kejam itu,
mungkin belum tepat untuk anak-anak. Tapi jangan lupa, sebagai kosa
kata yang berdiri sendiri, kata-kata itu memang ada di dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Resmi bagian dari kazanah Bahasa
Indonesia. Tidak usah dikhawatirkan terlalu
lebay. Apakah KBBI pantas dituduh
sebagai sumber ajaran radikalisme?
Sementara,
radikalisme dalam liberalisasi tidak ditangkal sama sekali. Jadi,
yang dibutuhkan bukan de-radikalisasi, tapi de-liberalisasi. Musuh
utama umat manusia adalah liberalisme, bukan agama. Walhasil, yang
dibutuhkan adalah revolusi kurikulum, dari yang setengah sekuler ke
total kurikulum berbasis Islam.
Bukan
sebaliknya, agama yang sudah sedikit ini, terus dikebiri supaya total
sekulernya. Jika pemahaman anak-anak sudah total agama, dan membuang
total sekulernya, niscaya tidak akan mudah terjerumus dalam
radikalisme agama, jika yang dimaksud radikalisme adalah tindakan
pengeboman seperti kasus Thamrin misalnya.
Kembalikan
Islam
Saat
ini, kemaksiatan kian merajalela. Eksisnya LGBT bahkan disinyalir
sebagai pertanda kiamat sudah dekat. Itu juga pertanda Khilafah
Islamiyah kian dekat. Ya, ketika sebagian manusia berada pada kondisi
sehancur-hancurnya dan seburuk-buruknya, sebagian lagi justru sadar
bahwa sistem saat ini begitu rusaknya. Yakin hanya ideologi Islamlah
yang benar. Hanya sistem Islamlah yang bisa menyelesaikan masalah.
Tegaknya
sistem Islam bukan saja menunggu masyarakat telah paham dan siap
diatur dengan Islam. Bisa saja, justru tegak di tengah keputus-asaan
sistem sekuler liberal yang telah gagal mengurus manusia. Ketika
dunia telah hopeless pada
sekulerisme liberal, di situlah sistem Islam akan tampil sebagai
penyelamat dunia.
Saat
itu waktunya Islam kembali. Bukan saja menyelesaikan persoalan sosial
seperti LGBT, bahkan memimpin dunia. Kita tunggu endingnya, sembari
tiada bosan mengingatkan umat tentang bahaya liberalisme dan
menawarkan sistem Islam.(kholda)
* Rubrik Muslimah Media Umat Edisi 167
No comments:
Post a Comment