Hubungan guru dan murid seharusnya sangat
dekat, dalam artian saling mencintai karena Allah SWT. Murid hormat
dan sayang pada guru. Guru mencintai murid sebagai amanah. Murid yang
berakhlak buruk pada gurunya tidak akan berkah ilmunya. Bisa jadi ia
tidak dapat mengamalkan ilmunya, atau tidak dapat menyebarkannya.
Orangtua wajib menanamkan kecintaan pada guru
terhadap anak. Agar anak senantiasa taat dan patuh pada guru di
sekolah. Di sisi lain, orangtua juga harus menghormati dan mencintai
guru-guru anaknya karena Allah SWT.
Bagaimanapun, para guru besar kontribusinya
bagi perkembangan kecerdasan dan kepribadian anak-anaknya. Bukankah
sebagian besar waktu anak justru lebih banyak dihabiskan di sekolah
dalam rangka menimba ilmu dibanding di rumah? Lantas bagaimana
menumbuhkan kecintaan terhadap guru?
1. Mengedepankan adab-adab sopan-santun.
Antara lain menyimak dengan serius, tidak
berisik atau berbicara sendiri saat guru bicara, merendahkan suara,
duduk tidak lebih tinggi dari guru, tidak memotong pembicaraan,
meminta izin jika akan bertanya, tidak membelakangi guru, duduk tidak
menyandar, dll.
Sahabat Abu Sa’id Al-Khudri r.a berkata:
“Saat kami sedang duduk-duduk di masjid, maka keluarlah Rasulullah
SAW kemudian duduk di hadapan kami. Maka seakan-akan di atas kepala
kami terdapat burung. Tak satu pun dari kami yang berbicara” (HR.
Bukhari).
2. Bersabar atas sikap guru.
Kadang ada guru yang dicap galak, dosen killer
dan sejenisnya. Murid harus diajarkan tetap bersabar agar benar-benar
sukses menyerap ilmunya. Imam Syafi berkata: “Bersabarlah terhadap
kerasnya sikap seorang guru. Sesungguhnya gagalnya mempelajari ilmu
karena memusuhinya”
3. Tidak membicarakan kejelekan guru di
belakang mereka.
Kebiasaan ibu-ibu misalnya, membicarakan guru
anaknya begini-begitu. Tapi kalau di rapat diam seribu bahasa. Nah,
ini bukti tidak cintanya orangtua pada guru. Sebaliknya, bicarakan
kebaikan-kebaikan guru di hadapan anak-anak, agar mereka makin sayang
pada gurunya.
4. Mendukung program guru dan sekolah.
Termasuk tidak baik mengkritik program sekolah
di belakang, tidak menyampaikan dengan terbuka pada pihak sekolah.
Malah curiga dan selalu su'uzhon.
Apalagi kalau menyangkut masalah keuangan. Seharusnya dibicarakan
dengan baik dengan musyawarah dan kepala dingin. Tetap berada pada
pihak yang merasa butuh terhadap guru dan sekolah, jangan
mentang-mentang telah bayar sehingga menuntut banyak hal.
5. Tidak pelit memberikan apresiasi.
Guru tentu
tidak minta dipuji, apalagi balasan materi. Tapi apresiasi dalam
bentul lisan, tulisan atau bahkan materi akan menjadi tanda terima
kasih kita terhadap jasa para guru. Tentu, niatnya harus tulus, bukan
dimaksudkan untuk “menyuap” guru agar berbaik-baik pada anak
kita. Apresiasi itu bisa bentuk sederhana seperti ucapan terima
kasih, sumbangan tenaga saat ada event di sekolah, atau kontribusi
materi saat sekolah membutuhkan.
6. Mendoakan para guru.
Tidak kalah pentingnya adalah mendoakan para
guru yang telah mengalirkan ilmu pada kita dan anak-anak. Ini adalah
bentuk apresiasi terbaik, agar keberkahan ilmu terus mengalir.
Sungguh, tidak ada kerugian sedikitpun mendoakan orang saleh yang
telah berjasa dalam kehidupan kita.
Dicontohkan Imam Ahmad. Dia adalah muridnya
Imam Syafi’i dan sangat mencintai gurunya. Bahkan perkataan beliau
yang sangat terkenal adalah: “Setelah saya mengenal guru saya (Imam
Syafi’i), saya tidak pernah salat dua rokaat kecuali saya mendoakan
beliau”.
Begitulah ketika seorang murid yang ‘alim
mencintai gurunya yang juga ‘alim. Walaupun terjadi perbedaan
pendapat diantara keduanya, tapi tak memutuskan keinginan mereka
untuk tetap berjumpa dan mendoakan atas dasar cinta kepada Allah.
Sungguh adab-adab terhadap guru itu telah
dicontohkan Islam dan tidak dimiliki umat manapun kecuali umat Islam.
Maka itulah yang harus kita tanamkan pada diri dan anak-anak kita.
Dengan saling cinta dan membutuhkan, tidak akan ada benih-benih
konflik antara guru dan murid, antara orangtua dan guru.(kholda)
No comments:
Post a Comment