Para pendidik sedang diuji kesabarannya.
Pasalnya, Undang-undang Perlindungan Anak (UU PA) bisa menjadi
ancaman kriminalisasi para guru. Seperti tragedi “saling gundul”
di Majalengka, Jabar, yang menjadi kisah panjang sejak 2013 lalu.
Ceritanya, 19 Maret 2013 lalu, seorang guru SD
Penjalin Kidul V, Aop Saopudin (31) menggunting rambut siswa yang
gondrong. Rupanya Iwan, orangtua sang bocah, tak terima. Aop dipukuli
dan digunduli. Didukung para guru di PGRI Kab. Majalengka, Aop lalu
lapor polisi.
Iwan lapor balik atas tindakan Aop menggunduli
anaknya. Di pengadilan, jakwa mendakwa Aop dengan 3 pasal yaitu: (1).
Pasal 77 huruf a UU PA tentang perbuatan diskriminasi terhadap anak;
(2). Pasal 80 ayat 1 UU PA tentang tindak kekerasan; (3). Pasal 335
ayat 1 kesatu KUHP tentang Perbuatan Tidak Menyenangkan.
Jaksa menuntut 3 bulan penjara. PN Majalengka
menjatuhkan hukuman percobaan 6 bulan. Namun Mahkamah Agung akhirnya
membebaskan Aop dari segala tuduhan. Aop dianggap hanya melakukan
pendisiplinan terhadap anak didiknya, jadi bukan tindak kriminal.
Di Banyuwangi, Jatim, terjadi kasus serupa.
Rahman pada Juli 2010, mendapati 4 siswinya menangis setelah dipukul
dan ditendang oleh teman siswanya. Rahman memanggil pelaku,
menghukumnya berdiri di depan kelas. Rahman lalu memukul kaki siswa
itu dengan penggaris. Pulangnya, si siswa kelas IV itu melapor ke
ibunya. Tak terima, pihak keluarga melaporkan Rahman ke polisi.
Jaksa mendakwa Rahman dengan Pasal 80 ayat 1 UU
PA dengan tuntutan 5 bulan penjara. Untung majelis hakim
membebaskannya dengan dalih Rahman hanya melakukan pendisiplinan yang
masih seduai dengan kaedah pendidikan. Demikian dikutip dari website
Mahkamah Agung (MA), Minggu (3/1/2016).
Cintai Guru
Pendidikan adalah hak anak. Kewajiban utama
mendidik anak adalah orangtua. Namun, sudah menjadi kebiasaan zaman,
tak ada orangtua yang benar-benar mampu mendidik anaknya sendiri
mulai kecil hingga dewasa. Dalam artian, mendidik secara keilmuan.
Berbeda dengan ilmu kehidupan soal etika, budi pekerti atau agama,
yang mungkin bisa dilakukan orangtua sepanjang usia anak.
Maka, cepat atau lambat, orangtua pasti
menyerahkan pendidikan anak pada sekolah formal. Ada yang menyerahkan
sejak PAUD, ada yang baru tingkat SMA ke sekolah formal, karena
awalnya homeschooling. Apalagi di tingkat perguruan tinggi, tak ada
orangtua yang mampu menguliahi anaknya sendiri.
Jadi, hampir bisa dipastikan, tidak ada
orangtua di dunia ini yang tidak membutuhkan jasa seorang guru.
Bahkan seorang profesor atau doktor pun, tetap menyekolahkan anaknya
di sekolah formal, tidak sanggup mendidik sendiri anak-anaknya.
Mengapa? Mendidik anak itu tidak mudah.
Sepintar apapun orangtua, semacam ada
ketidak-percayaan anak, jika diajar oleh orangtuanya sendiri. Sebab,
anak melihat figur keseharian orangtuanya yang tidak sempurna. Tidak
ideal. Beda dengan guru yang menjadi sosok ideal di mata anak. Maka,
anak pun terpesona dan tunduk pada perintahnya. Bukankah kita kerap
dibuat takjub oleh tingkah anak-anak yang begitu patuh pada gurunya?
Padahal jika di rumah susah diatur.
Itulah pentingnya peran guru. Guru adalah wakil
orangtua di lingkungan sekolah. Sebagai kepanjangan tangan dalam
mendidik anak. Orangtua dan guru adalah mitra. Maka, antara guru dan
orangtua harus kompak. Satu komando. Satu pemahaman tentang konsep
pendidikan anak. Anak mau dididik seperti apa, harus sama-sama
paham.Tidak berbeda, tidak berseberangan, tidak saling menjatuhkan,
tidak bermusuhan dan tidak saling membenci.
Orangtua wajib menyayangi guru dan mendukung
segala treatment yang dilakukan pada anaknya. Itu sebabnya, orangtua
wajib memilih dan memilah sekolah sejak dari awal. Juga, mengetahui
secara persis karakter para pendidik di sekolah tempat ia menitipkan
anaknya. Paham kurikulum dan tata tertib sekolah dengan jelas.
Jadi, ketika orangtua sudah menyerahkan anaknya
pada sekolah tertentu, yang terjadi adalah saling support
dan bersinergi demi keberhasilan
pendidikan anak. Segala problem menyangkut masalah anak dibicarakan
dengan musyawarah untuk pemecahan terbaik.
Termasuk jika adanya hukuman dalam
pendisiplinan (ta'dib), sebatas yang dibolehkan syariat Islam. Bukan
main lapor polisi yang malah memperkeruh situasi. Kecuali sudah
menyangkut tindak kriminal, itu lain persoalan.
Di sisi lain, sekolah yang baik tentu akan
menyeleksi dengan ketat penerimaan para pendidiknya. Tidak akan
memiliki guru yang kejam, berotak kriminal dan berniat menyiksa anak.
Sehingga, menutup peluang adanya tindak kriminal di lingkungan
sekolah.
Beri Kepercayaan
Saat ini, peran pendidikan oleh orangtua di
rumah mulai luntur. Sebab, kesibukan orangtua dan interaksi dengan
anak saat ini tidak seintens zaman dulu. Dulu, orangtua masih bisa
dipamiti anak berangkat sekolah. Sekarang, orangtua yang pamit
berangkat kerja duluan ke anak.
Dulu, interaksi di meja makan malam gayeng
dengan obrolan tentang aktivitas keseharian. Sekarang, makan malam
ditemani televisi dan menjelang tidur ditemani gadget kesayangan.
Hampir-hampir tidak ada proses pendidikan mental bagi anak.
Akibatnya, orangtua total menyerahkan
pendidikan pada pihak sekolah. Menuntut sekolah melahirkan anaknya
berkepribadian luhur dengan instan. Walau bayar mahal, mereka rela.
Ironisnya, mereka tidak mempercayai sistem yang diterapkan di sekolah
100 persen.
Suka protes sana sini jika ada yang dirasa
tidak memuaskan. Penuh rasa curiga dan su'udzon. Peran guru untuk
mendidik tidak dipercaya penuh oleh orang tua, termasuk ketika
memberikan sanksi yang tujuannya untuk mendidik. Bagaimana guru akan
merasa nyaman mendidik anaknya?
Bahaya UU PA
Di sisi lain, kasus ini juga membuktikan bahwa
UU Perlindungan Anak tidak menjadi solusi atas persoalan anak. Bahkan
menjadi alat mengkriminalkan para pendidik dan orangtua. Bukan
membela hak-hak anak, tapi menjerumuskan mereka pada alam liberal.
Misalnya Pasal 80 ayat 1 UU PA yang dipakai
menjerat Aop dan Rahman. Bunyinya: “Setiap orang yang melakukan
kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan
terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun 6
bulan dan/atau denda paling banyak Rp72 juta.”
Artinya, guru dan bahkan orangtua yang
memberikan hukuman fisik pada anak, bisa diancam penjara. Padahal
tujuannya mendidik dan mendisiplinkan anak. Apalagi jika anak memang
berbuat salah, apakah tidak boleh dihukum hanya dengan dalih
melindungi hak anak?
Demikianlah jika membuat UU berdasar asas
liberal. Kita tahu, UU PA mengadopsi konvensi hak-hak anak
internasional yang notabene dirancang oleh Barat kapitalis-sekuler.
Sehingga, wajar jika tidak menyelesaikan masalah, tidak melindungi,
dan bahkan sebaliknya, menjerumuskan anak pada kebebasan. Maka, tidak
ada alasan bagi kita sebagai muslim untuk percaya pada aturan-aturan
berbasis aqidah sekuler-kapitalis.(kholda)
* Rubrik Muslimah Media Umat Edisi 166
No comments:
Post a Comment