Desember
tahun 2015 ini adalah peringatan Hari Ibu ke 87. Kali ini mengusung tema
"Kesetaraan Perempuan dan Laki-laki dalam Mewujudkan Lingkungan
yang Kondusif untuk Perlindungan Perempuan dan Anak".
Ya, saat ini keselamatan ibu
dan anak tidak terjamin. Ada ancaman besar yang mengintai. Paling
mengerikan adalah ancaman kekerasan seksual. Saat ini angka
pemerkosaan ibu dan anak sangat tinggi. Komnas Perempuan mencatat,
dalam kurun 1998–2010, kasus kekerasan mencapai 400.939.
Seperempatnya atau 93.960 kasus merupakan kekerasan seksual. Artinya,
setiap hari rata-rata ada 20 (19,80) perempuan diperkosa
(kompasiana.com)
Sedangkan
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebut, jumlah kekerasan
seksual anak pada 2010 sebanyak 171 kasus, 2011 meningkat drastis
jadi 2.178 kasus, 2012 ada 3.512 kasus, 2013 sebesar 4.311 kasus, dan
2014 sebanyak 5.066 kasus. Tahun ini, hingga Agustus 2015, terdapat
6.006 kasus. Melihat
data miris ini, apa solusi negara?
DANGKAL
Kendati semua pihak sudah
menyalakan lampu “darurat kejahatan seksual”, negara tampaknya
tidak panik. Solusi yang ditawarkan pun belum menyentuh akar masalah.
Misalnya, dengan membangun Rumah Aman yang dicanangkan oleh
Kementerian Sosial bekerjasama dengan Kementerian Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak (kabar24.com).
Menteri Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Yohana Susana Yembise
mengatakan, pemerintah telah membentuk 200 Rumah Aman di beberapa
wilayah Indonesia yang rawan kekerasan seksual. Karena, kejahatan
seksual tidak hanya terjadi di kota besar namun juga terjadi hingga
di pelosok desa, tanpa mengenal status ekonomi, kelas, suku dan
agama.
Selain itu, solusi lain yang
sempat diwacanakan adalah hukuman pengebirian bagi pelaku kejahatan
seksual. Ini karena hukuman selama ini terlalu ringan. Tak hanya itu,
kalangan
feminis juga menggagas satu aturan lagi, yakni RUU Penghapusan
Kekerasan Seksual. Salah satu pasal yang diinginkan adalah menghukum
“kekerasan seksual’ yang terjadi dalam relasi suami-istri di
rumah tangga.
Tentu saja solusi itu sangat
dangkal. Sama sekali belum menyelesaikan persoalan. Bahkan belum
menyentuh akar masalah sebenarnya. Ibarat menyembuhkan penyakit, yang
seharusnya diberantas adalah virus atau bakteri penyebabnya, bukan
sekadar memberi obat pereda panas.
SALAH ARAH
Sayangnya,
faktor penyebab yang dituduhkan dalam kasus “darurat kekerasan
seksual” ini versi kapitalisme adalah ketimpangan gender. Artinya,
kapitalisme menuduh: kekerasan seksual terhadap perempuan dan
anak-anak disebabkan ketidakberdayaan mereka terhadap lawan jenisnya
–yang biasanya menjadi pelaku-- yakni laki-laki.
Ketidakberdayaan
itu diukur dengan tidak samanya peran perempuan terhadap laki-laki.
Ini menyebabkan laki-laki berlaku semena-mena terhadap perempuan.
Laki-laki yang selalu didudukkan sebagai penguasa inilah yang
seharusnya disejajari oleh perempuan agar bisa melawan kekerasan
terhadap dirinya. Maka,
versi liberal, perempuan harus dibebaskan dari bayang-bayang
kekuasaan laki-laki.
Tentu
saja, telunjuk feminis ini salah arah. Fakta yang terjadi justru
sebaliknya. Mencuatnya kejahatan seksual beberapa dekade belakangan
ini, justru terjadi setelah kaum feminis “berhasil” menyejajarkan
kedudukan perempuan di hadapan laki-laki. Saat di mana seorang
perempuan keluar rumah tak perlu izin, tak perlu ditemani mahram, dan
bebas melakoni profesi apapun. Sebagai foto model, sales girl, stand
girl, umbrella girl, hingga artis. Itulah kesetaraan yang dihasilkan
kapitalisme.
Tanpa
menuduh perempuan sebagai penyebab, namun bukti menunjukkan,
kebebasan perempuan seperti itulah yang membuka peluang perempuan dan
anak-anak menjadi korban kekerasan seksual. Contoh
kasus, ketika seorang karyawan di Jakarta pulang malam pukul 10.00
dan tidak dijemput suami, akhirnya menjadi korban perkosaan. Ini
salah siapa? Salah satunya karena hasutan opini tentang kesetaraan.
Suami pergi-pulang kerja sendiri, akhirnya istri juga pulang-pergi
sendiri. Loh, kan setara? Dalam situasi seperti itu, sungguh aneh
jika perlindungan terhadap perempuan dan anak akan terwujud.
SELAMATKAN MORAL
Penyebab utama “darurat
kejahatan seksual” saat ini adalah diterapkannya sistem sekuler
kapitalisme. Sistem yang berangkat dari ideologi yang tidak berbasis
agama. Ideologi ini menjauhkan manusia dari nilai-nilai agama. Tidak
ada ketakwaan individu. Kering dari ruh, tidak ada rasa takut
terhadap Sang Pencipta. Tidak takut dosa.
Ideologi ini juga
berpandangan liberal atau bebas. Termasuk dalam pemenuhan nafsu seks.
Maka, produk-produk perangsang dan pemuas nafsu diproduksi di
mana-mana. Baik bersembunyi di balik berita, foto, novel, film,
sinetron maupun artikel-artikel mesum lainnya. Lalu diekspose di
ranah publik melalui berbagai media. Merangsang siapapun, tanpa
peduli usia. Ketika rangsangan ini mencuat, perempuan dan anak-anak
menjadi sasaran empuk.
Apalagi kesempatan terbuka
lebar. Anak-anak kini banyak yang di rumah sendirian, karena kedua
orangtua sibuk bekerja. Termasuk ibunya. Sementara itu, karena harus
bekerja di luar rumah, perempuan berinteraksi dengan laki-laki. Tak
sedikit laki-laki yang memandangnya dengan pandangan birahi. Apalagi
jika perempuan itu berpakaian minim, menonjolkan sex
appeal-nya, berkeliaran di
tempat-tempat sepi dan di malam hari.
Nah, seharusnya yang
dilakukan negara adalah memadamkan
birahi di ruang publik ini. Menghentikan opini tentang berbagai paham
liberalisasi. Nembersihkan ruang publik, terutama media, dari
rangsangan-rangsangan seksual perusak moral. Juga, mencegah munculnya
kesempatan-kesempatan terjadinya kejahatan seksual.
Selanjutnya,
juga mendudukkan kembali peran laki-laki dan perempuan pada
“kursi”-nya masing-masing. Bukan mendorong laki-laki dan
perempuan untuk duduk di “kursi” yang sama. Pasti yang terjadi
tumpang-tumpangan. Masing-masing merasa paling berhak menduduki
“kursi” tersebut.
Dengan
duduk di kursi yang benar, laki-laki punya kewajiban melindungi
perempuan dan anak-anak yang ada dalam tanggungannya. Jadi, keluarga
memberikan perlindungan. Negara apalagi, menjamin perlindungan dari
aspek sistemik.
Perisai Itu Khilafah
Terlindunginya
perempuan dan anak-anak dari kejahatan seksual akan mampu melahirkan
keluarga yang benar. Keluarga yang nyaman, tenteram, hangat dan
harmonis. Perempuan dan anak-anak dapat menjalankan tugasnya dengan
baik. Perempuan lebih dominan di rumah mengurus rumah tangga dan
mendidik anak-anak.
Demikian
pula, suami pergi mencari nafkah dengan tenang, tanpa tergoda
perempuan. Juga, tidak khawatir dengan keadaan istri dan
anak-anaknya. Keluarga yang baik, akan melahirkan generasi penerus
yang baik.
Maka,
saatnya mengganti ideologi sekuler kapitalisme ini menjadi ideologi
Islam. Sistem inilah yang bisa menjalankan fungsi sebagai perisai
bagi seluruh warganya, termasuk perempuan dan anak-anak. Jadi, bukan
kesetaraan perempuan dan laki-laki yang bisa mewujudkan lingkungan
yang kondusif untuk perlindungan perempuan dan anak. Sistem Khilafah
Islamiyah inilah, perisai hakiki yang menjamin keamanan perempuan dan
anak, melalui kemampuan keluarga dan ri'ayah negara dalam memberi
perlindungan.(kholda)
* Rubrik Muslimah Media Umat Edisi 164
No comments:
Post a Comment