Pekan
lalu berita tak sedap lagi-lagi mencuat. Bocah 6 tahun berinisial IA
datang sendiri ke Polsek Semampir untuk malaporkan penganiayaan
dirinya. Pelakunya tak lain ayah kandung dan ibu tirinya.
Penyebabnya, IA tak kunjung pulang saat bertandang ke rumah ibu
kandungnya. Akhirnya dijemput ayah dan disiksa (radarsurbaya,
12/12/15).
Hebatnya,
bocah warga Wonokusumo VI Surabaya itu tak menangis saat menceritakan
kronologinya. Tindakan IA pun sontak banjir pujian dan dukungan.
Ketua Komnas Perlindungan Anak (PA) Arist Merdeka Sirait
mengapresiasi keberanian IA.
Kejadian
ini menambah fakta, betapa rusaknya mental manusia saat ini. Apalagi
keluarga broken home.
Anak yang lemah, lagi-lagi menjadi korban. Di sisi lain, menjadi
inspirasi, bagaimana mengajarkan keberanian pada diri anak-anak.
Berani menghadapi orang lain. Berani membela haknya. Berani
menegakkan kebenaran.
Keberanian
anak berarti wujud rasa percaya dirinya yang tinggi. Ini akan
memudahkan anak dalam proses pertumbuhannya di masa mendatang. Anak
yang terbiasa dilatih berani dan percaya diri lebih menunjukkan
pertumbuhan yang baik.
Keberanian
dan percaya diri akan menjadikan anak penuh daya kreasi. Kreatif dan
banyak akal. Kritis dalam memecahkan masalah yang dihadapi pada
usianya. Keberanian juga dapat membentuk karakter anak untuk
bertanggung jawab. Anak akan memahami risiko dari sikap yang mereka
lakukan.
Nah,
beberapa hal berikut dapat dilakukan untuk merangsang keberanian pada
anak:
1.
Mengajarkan Anak Mengenali Dirinya
Sejak
anak bisa bicara, ajarkan dia informasi mendasar tentang dirinya.
Siapa namanya, berapa umurnya, alamat rumahnya, nama orangtuanya,
jika perlu nomor telepon atau hape orangtuanya. Jika ia bertandang ke
rumah kerabat atau teman, biasakan anak bisa dan berani menjawab
pertanyaan-pertanyaan seputar dirinya.
2.
Ajarkan Anak Berkomunikasi
Kemampuan
komunikasi sangat penting. Untuk itu, rangsang anak bicara. Biasakan
mendengarkan pendapat anak. Mintalah selalu pendapat anak untuk
merangsangnya memiliki sikap terhadap suatu masalah. Apalagi terkait
masalah yang dihadapi si anak itu sendiri. Orang tua harus memberikan
waktu kepada anak untuk menyampaikan pendapat, sebelum mengambil
tindakan. Selain itu, berikan waktu pada anak untuk bermain hal-hal
yang disukainya. Mintalah anak menceritakan kegiatan atau
pengalamannya saat bermain atau belajar di sekolah.
3.
Mengenalkan “Orang Asing”
Anak
harus diajarkan untuk berani berinteraksi dengan “orang asing”.
Jika pertama kali mengajak anak bertemu orang yang belum pernah
dikenalnya, kenalkanlah. Bukan sekadar menyuruh anak mengucapkan
salam, bersalaman atau cium tangan, tapi orang tua juga mengenalkan
siapa teman atau orang yang dikenalkan pada anak itu. “Ayo beri
salam pada Uminya Aisyah, beliau ini juga guru membaca Alquran, loh,”
misalnya. Berikan pengertian bahwa yang dikenalkan adalah teman.
Orang baik. Suatu saat anak butuh bantuannya, anak berani menyapa
orang yang dia identifikasi sebagai teman orangtuanya tersebut.
4.
Kenalkan Berbagai Profesi
Anak
perlu juga dikenalkan dengan aparatur pemerintahan dan profesi
strategis. Kenalkan tentang siapa ketua RT, ketua RW, dokter, pemadam
kebakaran, satpam perumahan, polisi, ustad, dll. Jelaskan tugas dan
fungsi mereka. Jika perlu kenalkan secara langsung, mereka yang
tinggal berdekatan dengan rumah. Jadi, anak-anak tidak merasa takut
berhubungan dengan orang-orang dewasa tersebut. Yang penting tetap
ditanamkan, bahwa dari sekian orang tersebut, bisa saja orang itu
baik, bisa juga buruk. Jadi, anak tidak dibebaskan berinteraksi
intens dengan pihak-pihak tersebut.
Selama
ini, anak kerap ditakut-takuti dengan sosok seperti polisi, misalnya.
“Udah jangan nangis, nanti dipanggilin polisi, loh, biar
dipenjara!” Begitu ibu-ibu yang sudah kehilangan akal mengancam
anaknya yang rewel. Jelas ini tidak benar. Mungkin, banyaknya orang
dewasa saat ini yang malas berurusan dengan polisi karena di masa
kecil ditanamkan untuk takut padanya. Ditambah image
negatif polisi. Padahal, jika ada kejadian apapun, polisi menjadi
pihak yang bisa diharapkan bantuan.
5.
Ajak Simulasi
Jika
anak sudah tidak balita, bisa diajak melakukan simulasi bencana di
rumah. Hal ini untuk mengantisipasi kejadian-kejadian di luar dugaan
yang bisa saja melanda saat orangtua tidak di rumah. Misal gempa
bumi, apa yang harus dilakukan. Atau jika rumah atau tetangga
kebakaran. Biar anak berani mengambil tindakan.
Orangtua
harus memberi tahu, bagaimana cara menyelamatkan diri. Nomor telepon
mana yang harus dihubungi. Juga, benda-benda apa yang wajib
diprioritaskan untuk diselamatkan. Maka itu, orang tua ada baiknya
meletakkan benda-benda berharga dalam satu tempat yang diketahui dan
mudah dibawa oleh anak. Terutama dokumen seperti ijazah, rapor, akta
kelahiran, dll.(kholda)
* Rubrik Keluarga Media Umat Edisi 164
No comments:
Post a Comment