“Ya Allah, kami berjanji kepadamu, bahwa kami akan menjadi penjaga Islam yang terpercaya, kami akan bersungguh-sungguh dan berjuang sekuat tenaga, untuk menegakkan Khilafah rasyidah, yang sesuai manhaj kenabian. Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!”
Gema
takbir menggetarkan jiwa. Merinding. Menyeruakkan keharuan. Lelehan
air mata para muslimah pun tak tertahankan. Membuncahkan kerinduan
yang mendalam atas kehadiran Khilafah. Kerinduan kaum muslimah yang
teraniaya oleh sistem sekuler kapitalis. Muslimah yang terlantar
tanpa perisai sebagai tameng penjaga kehormatan mereka.
Demikianlah
puncak Kongres Ibu Nusantara (KIN) ke 3, menutup agenda akbar
Muslimah Hizbut Tahrir (MHTI) tahun ini. Gedung Balai Sudirman,
Jakarta, Sabtu (26/12/2015), menjadi saksi sejarah atas tekad 3.000
muslimah untuk mendukung tegaknya Khilafah. Di antaranya hadir tokoh
PP Aisiyah Noorni Akma dan tokoh Alisha Khadijah ICMI, Nani Zakariya.
Dukungan
itu belum termasuk ribuan muslimah lainnya di 59 kota di Indonesia
yang sebelumnya telah sukses menyelenggarakan acara serupa. Seperti
Aceh, Jogjakarta, Lampung, Medan, Surabaya, Papua, dll. Juga, masih
ditambah lagi jutaan perempuan di 40 negara di dunia, yang juga
nyaring menyerukan Khilafah. Berjuang tanpa kenal lelah mengharap
segera turunnya pertolongan Allah SWT, berupa tegaknya Khilafah dan
terkuburnya sekulerisme dan kapitalisme.
Mengapa
Khilafah? Karena hari ini, ibu dan anak, berada dalam ancaman. Tidak
ada tempat untuk berlindung dari eksploitasi, kekerasan,
diskriminasi, pemerkosaan, dan kekejian lainnya. Negara sekuler
mandul dalam menjamin keamanan mereka. Bahkan sebaliknya, dunia di
bawah sekulerisme saat ini menjadi tempat yang subur bagi bersemainya
kebiadaban yang menimpa ibu dan anak.
Seperti
diungkapkan mas'ulah ammah MHTI, Ratu Erma Rahmayanti dalam
sambutannya di KIN ke 3. Menurutnya, ibu dan anak di belahan timur
hingga barat, telah dicengkeram monster kapitalisme. Keluarga, tak
lagi aman dari kejahatan seksual dan kekerasan. Apalagi di
masyarakat, justru tempat yang subur bagi kejahatan terhadap ibu dan
anak. Tiap detik berjatuhan korban pelecehan seksual dan pemerkosaan.
Demikian
pula negara. Menurut Erma, pemerintah telah gagal total dalam
melindungi ibu dan anak, karena mengadopsi ideologi sekuler kapitalis
ala Barat. Ideologi ini malah mengeksploitasi ibu dan anak dalam
kepentingan bisnis. "Sementara pemerintah hanya ibarat wasit,
tidak mampu memberi jaminan keamanan dan perlindungan,"
tukasnya.
Anggota
DPP MHTI Asma Amnina dalam orasi selanjutnya juga mengingatkan
tentang bahaya sistem sekuler kapitalisme sebagai alat menjajah
perempuan. "Di manapun sistem ini diterapkan, hanya memunculkan
kekerasan, penindasan, eksploitasi dan kesengsaraan bagi ibu dan
anak. Karena sistem ini buatan manusia yang lebih mengedepankan
liberalisme, kebebasan dalam segala hal, tanpa memandang halal dan
haram," bebernya.
Sistem
sekuler ini meletakkan kebahagiaan hanya berstandar pada materi.
Menjadikan perempuan bernilai jika menghasilkan materi. “Akibatnya,
kapitalisme telah mencabut kehormatan perempuan melalui berbagai
eksploitasi,” katanya.
Sistem
sekuler demokrasi dengan paham kebebasannya ini, kata Asma, sengaja
didesain negara-negara penjajah Barat untuk menghancurkan perempuan
dan generasi. “Sistem ini dipaksakan penerapannya melalui
ratifikasi konvensi-konvensi internasional,” tegasnya.
Sementara
itu, juru bicara MHTI Iffah Ainur Rochmah menyorot tentang bahaya
media yang berkontribusi besar dalam merusak perempuan dan generasi.
Media jadi alat perang efektif bagi penjajahan Barat untuk merusak
perempuan dan anak-anak. Secara sengaja dan sistematis media
difungsikan untuk melemahkan umat Islam, menghancurkan identitasnya,
dan mengokohkan penjajahan politik, ekonomi dan budaya mereka.
“Efektif
karena tidak kenal waktu dan tempat. Juga tidak pilih-pilih kelas
sasarannya. Mulai dari kalangan elit hingga ekonomi sulit, semua bisa
mengakses media. Padahal kontennya hanya hiburan yang melenakan,
memuja seks bebas dan merusak aqidah,” ujarnya.
Akibatnya,
generasi Islam kehilangan identitasnya. “Saat ini pemikiran,
penampilan dan perilaku anak-anak kita sama persis dengan anak-anak
di Barat,” ujarnya. Sementara, kata Iffah, negara sama sekali tidak
mampu membendung pengaruh buruk media ini. “Memblokir situs porno
saja tidak bisa tuntas, ini karena negara tidak ada niat, karena
media ini juga berbicara soal keuntungan,” katanya.
Menurut
Iffah, semua ini harus diakhiri dengan mengambil Islam dan
mengembalikan hadirnya Khilafah. “Khilafah Islamiyah melindungi
perempuan dan anak-anak agar tidak menjadi korban media, baik sebagai
pelaku maupun objek eksploitasi,” tuturnya.
Media
dalam sistem Khilafah justru akan melindungi perempuan dan generasi.
Dalam sistem kapitalis, media berorientasi hiburan dan bisnis,
sehingga mengekploitasi perempuan. Berbeda dengan media di dalam
Islam, yakni sebagai sarana informasi yang sehat dan mendidik. Media
menjelaskan berbagai tuntunan syariat, juga memandu pemanfaatan ilmu
dan teknologi agar rakyat cerdas bersikap dalam segala aspek karena
dorongan takwa. “Media dalam Islam sebagai sarana edukasi
mencerdaskan umat, bukan mengeksploitasi perempuan,” tandasnya.
Orator
terakhir, anggota DPP MHTI Dedeh Wahidah pun lantas menjabarkan,
bagaimana peran Khilafah yang mampu mengentaskan perempuan dan
anak-anak dari kesengsaraan yang dihasilkan sistem sekuler
kapitalisme saat ini.
Selain
menyimak orasi, para peserta juga diajak menyimak tayangan-tayangan
yang terkait dengan kondisi perempuan dan anak-anak saat ini. Acara
yang dipandu oleh aktivis MHTI Firda Muthmainah ini, berlangsung
pukul 08.00-12.00 WIB. Diharapkan, kongres ini mampu membuka mata
kaum ibu bahwa sistem kapitalis tidak memberikan kebaikan sedikit pun
bagi mereka. Mereka harus sadar dan menuntut hak, peran dan fungsi
mereka sesuai dengan fitrah yang ditetapkan Allah SWT.
Dengan
demikian, kaum ibu sadar dan tergerak untuk turut serta
memperjuangkan Khilafah, perisai hakiki pelindung sejati bagi ibu dan
generasi. Saatnya ibu berjuang mewujudkan peradaban mulia dalam
naungan Khilafah Islamiyah.(kholda)
* Rubrik Muslimah Media Umat Edisi 165
No comments:
Post a Comment