Kongres di Sukabumi. Foto: radarsukabumi. |
Apa
yang terbayang ketika seorang perempuan menyandang status mahasiswi?
Intelektual muda yang cerdas. Punya masa depan cerah. Profesi karir
menanti. Tak beda dengan profil mahasiswa, bukan? Ya, intelektual
muda hari ini terbelenggu dalam berbagai kesibukan perkuliahan yang
dilandasi cara berpikir pragmatis: mendapatkan ijazah untuk bekal
mencari pekerjaan.
Mereka
pun akan memilih bidang studi sesuai minat dan bakat, yang kelak
menjamin masa depan terbaik dalam karier. Lulusan perguruan tinggi,
termasuk para mahasiswi, disiapkan tak lain dan tak bukan untuk
mengisi lowongan-lowongan kerja sesuai kebutuhan
perusahaan-perusahaan.
Selain
itu, sebagian para mahasiswi yang kuliah di jurusan tertentu, juga
disiapkan untuk menjadi entrepreneur. Ya, saat ini era kewirausahaan.
Bukan zaman lagi lulusan perguruan tinggi mencari pekerjaan, tapi
digenjot agar mampu menjadi pengusaha. Membuka lapangan kerja bagi
dirinya sendiri dan juga sesama.
Artinya,
mahasiswi –sama halnya dengan mahasiswa-- semata-mata dilahirkan
sebagai penopang pembangunan ekonomi. Mereka ditempa di kampus untuk
kelak menjadi SDM-SDM yang berorientasi sebagai penggerak sektor
ekonomi. Menghasilkan uang sendiri. Itu saja.
Bukan
salah sang mahasiswi memang, karena mereka dipaksa memilih dan
mengikuti kurikulum yang sudah ada. Tidak ada pilihan lain, karena
dunia pendidikan saat ini memang terpenjara dalam kepentingan
industri kapitalis. Sistem pendidikan pragmatis dan pro pasar ini
telah tertulis dalam kurikulum pendidikan tinggi berbasis kompetensi
kerja (KKNI Tahun 2012).
Kurikulum
ini didesain untuk menyambut pasar bebas MEA 2015. Dipastikan,
lulusan perguruan tinggi, termasuk mahasiswi, tak hanya berilmu tapi
terampil sesuai tuntutan dunia kerja. Bahkan, harus memenuhi
standar-standar yang telah disepakati secara regional maupun
internasional.
Sekulerisasi
Pendidikan
Setelah
berabad-abad peradaban sekuler menguasai dunia, mau tidak mau semua
lini kehidupan tunduk pada ideologi ini. Termasuk dunia pendidikan.
Telah mengakar kuat dalam sistem pendidikan, bahwa ilmu, sains dan
teknologi tidak dikembangkan sebagaimana seharusnya sebuah ilmu.
Melainkan dikembangkan agar memenuhi kebutuhan korporasi
(perusahaan/dunia kerja).
Jika
hasil riset, penemuan baru atau penelitian tidak dibutuhkan atau
bahkan dianggap merugikan korporasi, maka tidak akan diadopsi. Bahkan
jika perlu disembunyikan rapat-rapat. Tak ayal, saat ini, hasil-hasil
riset dan penemuan banyak intelektual muslim hanya terpampang sesaat
dalam jurnal-jurnal ilmiah, selanjutnya tersimpan rapat di
lemari-lemari perpustakaan yang berdebu.
Output
dunia pendidikan adalah manusia-manusia ambisius yang semata-mata
mengejar kemandirian ekonomi. Kerja atau jadi pengusaha. Tak heran
jika jurusan-jurusan tertentu yang bisa mengantarkan pada posisi
karier bergaji tinggi yang dikejar.
Bekerja
bagi lulusan sistem pendidikan sekuler, bukan dalam rangka mengabdi,
atau mengaplikasikan ilmunya demi kemaslahatan umat. Semata-mata
karena uang. Output sistem pendidikan ini bukan untuk mensupport
tugas seorang manusia sebagai hamba Allah di muka bumi, sesuai
fitrah, hak dan kewajibannya masing-masing.
Misalnya,
mahasiswa yang kelak punya tugas mencari nafkah, maka wajib menguasai
ilmu, sains dan teknologi yang dapat diaplikasikan dalam dunia kerja.
Namun tak berhenti di situ, juga dalam mengembangkan
penemuan-penemuan baru untuk mempermudah kehidupan manusia. Riset dan
penelitian dilakukan lalu diadopsi untuk kemaslahatan umat.
Sedangkan
mahasiswi, diarahkan sebagai cendekiawan yang kelak menjadi ibu dan
pendidik generasi. Hari ini kaum perempuan sama sekali tidak belajar
tentang keperempuanan. Bahkan mereka dipaksa belajar sama dengan yang
dipelajari kaum laki-laki. Sebenarnya tak masalah, asal mereka juga
belajar ilmu-ilmu keperempuanan. Sayangnya, ilmu-ilmu keibuan,
parenting atau hadhonah (pengasuhan) dan sejenisnya, hanya dipandang
sebelah mata. Nyatanya, hingga hari ini, ilmu-ilmu ini tidak ada
dalam daftar kurikulum pendidikan, kecuali terselip-selip seujung
jari.
Akibatnya,
ketika sampai pada fase menjadi istri atau ibu, para perempuan gagap
menjalankan tugasnya di dalam rumah tangga. Mereka lebih cakap
mengerjakan pekerjaan kantor dibanding pekerjaan rumah. Ah, bukankah
mengurus rumah hal yang fitrah saja? Ya, tapi tetap ada ilmunya. Dan
bukan hanya soal mengurusi urusan rumah yang perlu ilmu, tapi
mendidik dan mengasuh anak yang terpenting. Hingga hari ini tidak ada
ilmu-ilmu alat yang diwajibkan untuk dipelajari kaum ibu. Akibatnya
mereka gagap dalam mendidik anak-anaknya.
Tersesatkan
Feminisme
Intelektual
perempuan telah tersesat sejak masuknya nilai-nilai Barat pasca
hilangnya Khilafah islam. Mereka tercekoki ajaran Feminisme berupa
keadilan dan kesetaraan gender (KKG). Konsep KKG inilah yang
mengajarkan pada para mahasiswi untuk ramai-ramai mengejar posisi
sama seperti mahasiswa.
Nilai-nilai
KKG ini sudah masuk secara resmi dan terstruktur melalui
lembaga-lembaga resmi di kampus-kampus. Misalnya Pusat Studi Wanita
(PSW) atau Pusat Studi Gender (PSG) yang resmi diinisiasi berbagai
kampus di Indonesia.
Tak
kurang ada 132 PSW di kampus negeri maupun agama. Tujuannya,
melakukan kajian dan layanan yang secara khusus dan sistematis
difokuskan untuk meningkatkan pemberdayaan perempuan. Yakni, mengarah
pada pemberdayaan ekonomi perempuan. Bahwa perempuan harus memiliki
penghasilan sendiri, sama dan setara seperti halnya kaum laki-laki.
Realitasnya
feminisme justru menghantarkan mahasiswi dan generasi bangsa ini pada
kehancuran masa depan. Akibat kemandirian ekonomi perempuan dan
ketidakmampuan negara menyediakan lapangan kerja bagi semua laki-laki
usia produktif, angka gugat cerai di Indonesia terus meningkat.
Selain
itu racun genre dan kespro yang menunda usia pernikahan justru
menyuburkan free sex yang akibatnya bisa berujung kepada maut.
Meningkatnya angka aborsi dari tahun ke tahun, terlihat dari data
BKKBN sekitar 2,3 juta wanita dewasa muda yang melakukan aborsi
karena melakukan hubungan seks di luar nikah
(health.kompas.com/19/06/2012)
Saatnya
Bangkit
Kebangkitan
intelektual muda, khususnya mahasiswi, sangat penting bagi bangkitnya
umat Islam. Mengapa? Mahasiswi adalah calon pelahir generasi penerus.
Merekalah calon-calon ibu berkualitas, pendidik generasi terbaik.
Maka,
kebangkitan mahasiswi akan menggentarkan musuh-musuh Islam. Mereka
mengkhawatirkan runtuhnya Feminisme dengan teori KKG-nya.
Lebih-lebih, mereka takut jika kaum perempuan ramai-ramai menarik
diri dari panggung publik. Mereka takut kaum perempuan ramai-ramai
kembali ke rumah. Hal yang akan meruntuhkan pondasi perekonomian,
sekaligus memperkokoh keluarga-keluarga menuju pada kebangkitan.
Ini
akan sangat membahayakan hegemoni mereka terhadap dunia islam. Karena
itu barat menggunakan segala cara untuk mencegah kebangkitan,
termasuk menjadikan perempuan (muslimah) sebagai sasaran
penghancuran. Mereka menggunakan bahasa feminisme dan
gerakan-gerakannya dalam rangka melanjutkan kepentingan kolonialis di
seluruh negeri-negeri islam termasuk Indonesia.
Mereformasi
pemikiran dan identitas muslimah adalah target utama dalam rencana
kolonialis untuk menghancurkan dan mencegah pemerintahan islam.
perempuan adalah pusat keluarga, jantung masyarakat, dan pendidik
generasi masa depan. Oleh karena itu, menjerat pikiran dan hati
mereka menjadi penting dalam mensetting ulang mentalitas seluruh
masyarakat muslim.
Jika
mereka bisa menyebabkan muslimah termasuk intelektual muda tidak lagi
berharap bahkan menolak syariah islam sebagai standar hidupnya maka
mereka bisa menciptakan kader gigih melawan nilai-nilai islam. Dengan
demikian secara otomatis mencegah tegaknya Khilafah sekaligus
mengokohkan neokolonialisme di dunia islam.
Bersihkan
Diri
Sengaja
atau tidak, pemikiran Feminisme telah melekat dalam profil mahasiswi
secara umum. Mereka lebih bangga mengadopsi profil perempuan modern
yang sukses karier dibanding peran mulia sebagai al
umm wa rabbatul bait. Inilah yang
harus dibersihkan. Tugas para intelektual muslim yang telah lebih
dulu tertanamkan nilai-nilai Islam, untuk menyadarkan dan mencerabut
nilai-nilai Feminisme dari para mahasiswi lainnya.
Intelektual
muda Islam harus diajak mencampakkan dan membuang jauh-jauh ide
menyesatkan ini. Maka penting kiranya intelektual muda, yakni kaum
mahasiswi, duduk bersama untuk meneguhkan sikap sebagai intelektual
muslim. Yakni, menolak neokolonialisme dan menuntut tegaknya
Khilafah.
Itulah
yang dilakukan ribuan intelektual perempuan dalam Kongres Mahasiswi
Islam untuk Peradaban: di lebih dari 25 kota di seluruh Indonesia
sepanjang Oktober lalu. Semoga kepeloporan para mahasiswi muslim ini
mampu meluruskan kembali orientasi para perempuan intelektual agar
kembali pada tugas fitrahnya semata. Selamat dan sukses!(kholda)
No comments:
Post a Comment