Foto: Asri. Lokasi: Cifor. |
Tanggal
12 November lalu diperingati sebagai Hari Ayah. Memang tidak seheboh
Hari Ibu, karena peringatan itu baru diproklamirkan 2006 lalu. Bukan
oleh para ayah, tapi kaum ibu. Perkumpulan Putra Ibu Pertiwi (PPIP)
mendeklarasikannya 12 November 2006 di Solo, Jateng, diikuti Kota
Maumere, Flores, Nusa Tenggara Timur.
Tampaknya,
kaum ibu cukup peka untuk menggaungkan kepedulian pada ayah.
Terutama anak-anak, jangan sampai melupakan jasa-jasa seorang ayah.
Sosok yang cenderung mencinta dalam diam. Ya, jasa ayah sebagai
penopang ekonomi keluarga bukan perkara mudah. Tapi, bukan sekadar
materi yang dibutuhkan dari sosok seorang ayah. Kharisma,
kebijaksanaan, keteladanan, kepemimpinan, ketegasan dan kepedulian
pada keluarga dalam aspek pendidikan, sosial dan spiritual juga tak
kalah penting.
Nah,
saat ini, banyak kalangan pemerhati parenting menyebutkan, Indonesia
itu negara fatherless. ”Tentu fatherless atau kekurangan ayah di
sini bukan ayah dalam wujud biologis atau fisik,” kata pakar
parenting Irwan Rinaldi di Jakarta, Kamis (12/11) lalu (Jawapos,
13/11/2015).
Fatherless
itu adalah fakta bahwa ayah secara biologis memang ada. Tapi
eksistensinya seolah-olah tiada, disebabkan peran ke-ayah-annya yang
tidak dominan bagi si anak. Akibatnya anak seolah hanya dibesarkan
oleh ibu saja. Karakter anak hanya terbentuk dari keteladanan ibu.
Padahal nasihat, pelajaran budi pekerti, atau leadersip, itu lebih
mempan dari ayah.
Bersuami
Tapi “Janda”
Penyebab
kurangnya sosok ayah di mata anak-anak sangat seragam. Misalnya,
pandangan bahwa membesarkan anak itu adalah urusan ibu. Ayah sibuk
cari uang. Pergi pagi pulang malam. Tak sempat memperhatikan anak,
kecuali 'colek-colek' sekenanya. Kalau libur, manfaatkan untuk tidur.
Istirahat.
Dan
faktanya, tak sedikit para istri yang merasa “janda”, padahal
punya suami. Disebabkan dia sendiri yang mengasuh dan mendidik anak.
Juga, mengurusi tetek bengek rumah tangga. Bahkan engsel lemari
copot, kran rusak, dan genteng bocor pun, istri yang mengurusinya.
Suami hanya berperan setor uang belanja bulanan (dan tak lupa urusan
ranjang).
Apalagi
bagi istri yang suaminya bekerja di luar kota. Suami tahunya hanya
wajib transfer rupiah. Sesekali pulang untuk setor (baca: meminta)
nafkah batin. Urusan anak dipercayakan pada istri (maksudnya suami
nggak mau ambil pusing). Bahkan segala urusan rumah, istri yang
memikirkan. Duhai, keluarga macam apa ini?
Anak
Tanpa Ayah
Dalam
sistem sekuler saat ini, fenomena fatherless itu bahkan bukan hanya
dalam makna seperti dijelaskan di atas. Saat ini, fatherless itu
benar-benar dalam makna “banyaknya anak yang tidak memiliki ayah.”
Benar, mereka lahir dari proses pembuahan sperma laki-laki terhadap
indung telur perempuan, tapi tidak legal.
Bayi
lahir bukan dari hasil pernikahan sah. Hamil karena hubungan gelap,
perselingkuhan dan pemerkosaan. Juga, lahir dari proses perceraian.
Bayangkan saja, dalam kondisi hamil pun, perempuan masa kini dengan
gagahnya menggugat cerai sang suami. Seperti yang dicontohkan para
artis itu. Bayinya pun lahir tanpa sosok ayah. Kehilangan ayah sejak
dalam kandungan. Miris.
Tentu
saja, di masa mendatang saat mereka dewasa, mereka benar-benar tidak
memiliki ayah. Tidak dibesarkan oleh ayah biologisnya. Tidak mendapat
kasih sayang dari sosok ayah. Jika sang ibu menikah lagipun, ayah
tiri tak akan memperlakukannya bak anak kandung.
Bahkan,
ayah tiri tak kalah kejam dibanding ibu tiri. Apalagi terhadap anak
tiri perempuan. Kerap dijadikan pelampiasan syahwat, bahkan dijadikan
budak seks. Jadi, sistem bobrok ini memang telah melahirkan
fatherless dalam makna hakiki. Bukan saja fatherless dari sisi
ketiadaan sosok keteladanan ayah.
Adakah
Motherless?
Lantas,
bagaimana dengan fenomena motherless? Tentu bukan dalam makna hakiki,
karena setiap anak pasti lahir dari seorang ibu. Tapi dalam makna
hilangnya sosok dan peran keibuan. Apakah ini terjadi juga? Bukankah
saat ini semakin banyak kaum ibu yang tidak menjalankan perannya
disebabkan sibuk berkarier?
Nah,
inilah “hebatnya” kaum wanita. Tanpa bermaksud membela para
wanita pekerja, namun fakta mengatakan, sesibuk-sibuknya ibu pekerja,
tetap masih menyempatkan waktu untuk melayani dan mengurusi
anak-anaknya. Bahkan melayani suaminya.
Pagi
sebelum berangkat kerja masih membuatkan sarapan, mengantar anak
sekolah, pulang sore masih bisa memandikan anak, malam menemani
mereka belajar, mengantarkan anak-anak menggosok gigi, mengolesi
antinyamuk, mendongengi sebelum tidur, sembari menanamkan
nasihat-nasihat dan mengajarkan doa-doa, dst.
Walaupun, itu semua memang sudah menjadi kewajiban seorang ibu. Bahkan, apa yang dilakukan itu mungkin masih sangat sedikit dibandingkan ia menjadi full mother. Beda dengan kaum bapak
yang memang seolah begitu tegas menyerahkan urusan anak-anak seperti itu pada
istrinya.
Namun
tak dipungkiri, kondisi motherless juga terjadi dalam banyak
keluarga. Jangankan di kalangan ibu pekerja, di keluarga dengan ibu
tidak bekerja sekalipun, motherless itu nyata. Ibu rumah tangga tapi
hanya sibuk dengan dirinya. Seperti nonton tivi, main gadget,
shopping, dll. Ada di dekat anak, tapi asyik dengan dunianya sendiri.
Hanya melayani anak jika rewel.
Fenomena
motherless juga terjadi di keluarga TKW misalnya, dimana para istri merantau
ke luar negeri bertahun-tahun. Anak kadang dibesarkan ayahnya saja, atau
diasuh kakek-neneknya. Juga, fenomena single parent, dimana anak-anak
hanya diasuh oleh ayahnya setelah proses perceraian terjadi. Tentu,
fenomena motherless ini tak kalah bahayanya.
Krisis
Keluarga
Walhasil,
masyarakat sejatinya telah mengalami krisis keluarga parah:
fatherless sekaligus motherless. Bukan anak yatim piatu. Ini ibu ada,
ayah ada, tapi seolah-olah tiada. Lantas ke manakah si anak akan
berpegangan? Inilah fenomena miris yang harus segera diubah.
Kembalikan fungsi dan peran keluarga sebagai elemen paling dasar bagi
pembentukan masyarakat yang baik. Jika elemen kecil ini diremehkan,
efeknya menghancurkan bangunan yang lebih besar.
Namun,
jangan lupa, keluarga-keluarga ini hidup dalam naungan sistem
kehidupan atau ideologi yang menaunginya. Ideologi inilah yang
berkontribusi besar dalam membentuk pola keluarga, apakah akan
menjadi keluarga ideal atau tidak.
Sebab,
kelanggengan keluarga dipengaruhi oleh sistem ekonomi (yang mengatur
akses nafkah suami), sistem sosial (mengatur relasi
suami-istri-anak), dll. Sistem inilah yang bertanggungjawab
menciptakan suasana kondusif demi terwujudnya keluarga-keluarga
ideal. Keluarga tanpa fatherless atau motherless.
Maka,
jika sistem sekuler-kapitalis saat ini hanya menciptakan masyarakat
yang fatherless dan bahkan motherless, berarti saatnya mengganti
sistem ini dengan sistem yang ideal. Tentu saja jawabnya hanya
Islam.(kholda)
No comments:
Post a Comment