Foto: uniqpost.com |
Sementara itu, Menteri Pemberdayaan Perempuan
dan Perlindungan Anak Yohana Yembise menegaskan, pemerintah selalu
mengupayakan yang terbaik bagi semua korban asap, terutama perempuan
dan anak-anak. "Perempuan dan anak-anak diutamakan, karena
anak-anak sangat rentan terpapar kabut asap," kata Yohana
Yembise di Jakarta, Sabtu (antara, 10/10/15). Namun, hingga Presiden
Jokowi bolak-balik ke wilayah terdampak asap pun, hingga kini asap
belum juga minggat.
Nah,
di tengah duka bangsa, dunia maya pun dikejutkan oleh pernyataan
seorang netizen yang sungguh menyakitkan. Akun Facebook Siagian
Nehemia atau Mia Queen Siagian pada Jumat, 19 September 2015, menulis
status: "Semoga kabut asap yang ada di Riau semakin pekat,
sehingga orang Islam di Riau mati semua karena kehabisan oksigen dan
mengurangi populasi Islam di dunia."
Kontan
pernyataan kontroversial ini menyebar dengan cepat dan mengundang
reaksi yang semakin riuh di dunia maya. Kendati sang pemilik akun
minta maaf dan mengaku akunnya dibajak, segala kemarahan, cercaan dan
makian terlanjur berhamburan, menguras habis energi anak bangsa.
Alih-alih masalah asap selesai, justru memperkeruh suasana. Tapi,
benarkah asap disengaja untuk genosida alias pembunuhan masal kaum
muslimin?
Terenggutnya
Hak Anak
Memang
tak hanya anak, tapi seluruh warga terdampak asap berbahaya. Namun,
anak-anak adalah pihak paling rentan terdampak asap. Masa depan
mereka masih panjang, namun sejak dini harus menghirup udara beracun.
Bayi-bayi tak bisa berjemur menyerap vitamin D gratis. Balita-balita
tak bisa bebas bereksplorasi di luar rumah, terpaksa dikarantina.
Anak-anak
usia sekolah pun diliburkan. Hak memperoleh pendidikan dari para
pakarnya pun tersendat. Sementara di rumah, belum tentu mereka bisa
belajar. Orangtuanya juga belum tentu bisa mengajar. Hak untuk
bermain di lingkungan juga terenggut. Tak bisa bersosialisasi dan
bermain dengan teman-teman sebagaimana mestinya. Hidup benar-benar
abnormal.
Akibatnya,
tumbuh kembang anakpun tidak akan normal. Pemerhati anak Seto Mulyadi
pun mengingatkan, imbas asap kebakaran hutan akan menyebabkan
terciptanya generasi rapuh di masa mendatang. "Anak-anak yang
sudah terpapar asap, begitu banyak racun-racun kimia di paru-parunya
ini akan menimbulkan generasi yang rapuh dari segi kesehatan maupun
kecerdasan," ungkapnya (Jawapos,
9/10/15).
Karenanya,
Seto menegaskan, pemerintah harus membuat rumah-rumah aman yang bisa
menyelamatkan anak, khususnya 12 tahun ke bawah. Ia mengaku melihat
kondisi bayi yang memprihatinkan saat ke Palembang. "Kemarin
saya ke Palembang lihat sendiri, ada gubuk di tempat gusuran, di situ
ada 3-4 bayi terpapar asap dan rapuh. Udah satu bulan dia terpapar,
saya khawatir nasibnya akan semakin memprihatinkan sampai meninggal,"
ujar Seto (idem).
Astaghfirullah,
sudah terlalu banyak faktor-faktor yang akan melemahkan calon-calon
generasi kita. Mulai pengaruh budaya Barat, merasuknya narkoba di
kalangan anak-anak, merajalelanya pornografi, kekerasan seksual, dan
sebagainya. Kini ditambah lagi dari sisi kesehatan. Bagaimana
generasi muda yang akan datang menjadi pribadi yang kuat fisik dan
mentalnya jika untuk hidup normal saja tidak bisa?
Silent
Killer
Lingkungan
hidup yang baik kini menjadi barang mahal, di kota maupun di desa.
Warga perkotaan sudah lama tidak merasakan lingkungan terbaik itu.
Udara makin kotor oleh polutan, ruang hijau minim, tempat tinggal
tidak layak, problem sampah menggunung, dan seterusnya. Hak
anak-anak, juga perempuan dan seluruh warga untuk hidup layak, juga
sulit terpenuhi.
Sementara
di daerah-daerah yang masih hijau, ternyata kondisinya juga tak
berbeda. Lingkungan sawah, perkebunan dan hutan malah dirusak.
Oksigen hasil hutan yang semestinya sangat original, kini justru
menjadi barang mahal.
Di
Riau dan sekitarnya, marak penjualan tabung oksigen. Sekali isi ulang
harganya Rp35 ribu. Tak pernah terbayangkan sebelumnya oleh umat
manusia, kini untuk bernafas pun harus bayar. Padahal Allah SWT
memberikannya cuma-cuma. Gratis-tis. Bukan hanya untuk muslim, juga
nonmuslim.
Semua
akibat ulah para pengusaha kapitalis yang tamak dan rakus. Pengelola
perkebunan/hutan yang hanya memikirkan segunung keuntungan, tanpa
peduli pada lingkungan. Cara-cara pengelolaannyapun serampangan.
Misalnya dengan sengaja membakar bekas panen sebelumnya, untuk
menyiapkan musim tanam selanjutnya. Sebab, biayanya lebih murah
dibanding menebang dan menyianginya dengan tenaga manusia. Padahal,
selain asapnya yang merusak lingkungan, siapa bisa menjamin kebakaran
tak merajalela menerabas hutan-hutan yang lainnya?
Mereka
lupa pada Sang Pemilik bumi yang telah memberikan kehidupan, tapi
membalasnya dengan menebarkan asap kematian. Ya, membakar hutan untuk
mematikan potensi kehidupan di sana. Tak heran bila jumlah kawasan
hijau terus berkurang.
Pakar
Budidaya Hutan dari Universitas Palangkaraya Wahyudi menyebut,
kerusakan hutan dimulai sejak era Soeharto. Jika era Soekarno,
pembukaan hutan hanya berlangsung di luar area kekuasaan Belanda,
namun di tangan Presiden Soeharto, hampir seluruh hutan Indonesia
menjadi korban. Bahkan kerusakan bertambah parah di era reformasi.
“Jika
sebelumnya kawasan hutan lindung terlarang untuk bisnis, namun di
pemerintahan Megawati mulai diperbolehkan kepada 13 perusahaan
tambang, dengan program pinjam pakai kawasan hutan. Dan di tangan
Susilo Bambang Yudhoyono, 13 perusahaan tersebut telah berstatus
legal, sambil diharuskan membayar pajak ke negara,” bebernya.
Ia
pun mencatat ada sekitar 44 juta hektar hutan tropis Indonesia, yang
menghilang sejak tahun 70-an, hingga 2000-an. Bahkan dari 120,37 juta
hektar lahan yang tersisa, 50 persen diantaranya sudah tidak berisi
hutan lagi. Sedangkan sisanya juga mengalami degradasi.
Walhasil,
saat ini sebagian wilayah di Kalimantan Selatan dan Tengah, telah
menjadi area yang tandus. Padahal sebelumnya menyandang status
sebagai penyumbang oksigen dunia. “Untuk mengembalikannya pun akan
memakan waktu sangat lama, yang bisa mencapai 400 tahun,”
ujarnya.(hizbuttahrir,or.id, 13/4/14).
Nah,
Indonesia dengan potensi hutannya yang terbesar di dunia, menjadi
pusat paru-paru dunia. Jika paru-parunya saja sudah rusak,
bagaimana masa depan seluruh dunia, khususnya kaum muslimin?
Kerusakan lingkungan akan menjadi silent killer bagi umat manusia.
Sistem kapitalis telah melakukan genosida, perlahan tapi pasti. Bukan
hanya terhadap kaum muslimin, juga nonmuslim alias seluruh umat
manusia.
Kembali
ke Islam
Problem
asap yang telah berlangsung 18 tahun di wilayah Sumatera-Kalimantan
saat ini, harus dihentikan. Jika tidak, tak hanya merusak kesehatan
warga di sana, khususnya anak-anak, namun juga masa depan dunia.
Problem asap bukan satu-satunya masalah dalam pengelolaan lingkungan.
Pengelolaan sumber daya alam bangsa ini secara keseluruhan harus
diganti dari cara-cara kapitalis. Satu-satunya cara adalah dengan
syariah Islam. Islam mengatur bagaimana mengelola sumber daya alam
dengan benar. Termasuk, menghukum para pelaku perusak hutan. Sebab
hutan adalah komoditi milik umum untuk kepentingan seluruh rakyat.
Problem pengelolaan lingkungan hanya akan selesai jika ditata dengan
aturan dari Sang Pencipta Lingkungan, yakni dengan syariat
Islam.(kholda)
No comments:
Post a Comment