Pelajaran dari Tragedi Angeline



Tragedi Angeline atau Engelina (8) membetot perhatian energi bangsa ini. Bocah yang dinyatakan hilang sejak 16 Mei itu ditemukan tewas di pekarangan rumahnya sendiri, Rabu (10/6). Sampai tulisan ini dibuat, penyelidikan masih intens. Nah, tragedi Angeline bisa menjadi cermin tentang banyak hal.

Adopsi dalam Islam




Sejatinya, praktik mengadopsi atau mengangkat anak cukup populer di masyarakat. Biasanya terjadi karena pasangan yang sudah menikah tak kunjung dikaruniai anak, menolong orang lain atau membantu anak yatim piatu.
Islam pun membolehkan mengangkat anak. Bahkan Rasulullah SAW mengadopsi Zaid bin Haritsah sebelum beliau diutus sebagai Nabi. Namun, anak ini tidak boleh diputuskan hubungannya sama sekali dengan nasab orangtua kandungnya. Tidak boleh menisbatkan anak angkat kepada selain ayah kandungnya.
Tidak seperti adopsi dalam sistem sekuler saat ini, dimana anak adopsi diposisikan seolah-olah seperti anak kandung. Seperti diputuskan hubungannya dengan orangtua kandung, mendapat waris dari orangtua angkat, tidak berhijab karena menganggap orangtua angkat adalah mahrom, dll.

Realitas Kemiskinan
Kendati mengangkat anak dibolehkan, tentu sangat disesalkan jika adopsi berlatar belakang ekonomi. Seperti ketakutan tidak bisa menghidupi anak, sehingga diserahkan pihak lain yang lebih mapan secara ekonomi. Akhirnya, pengadopsian anak sangat tipis batasannya dengan trafficking atau jual beli manusia. Apalagi, tanpa melihat latar belakang aqidah si orang tua angkat.
Jika ini terjadi, menunjukkan lemahnya aqidah orangtua tersebut. Mereka seolah tidak yakin akan rezeki dari Allah SWT yang telah menjamin setiap anak. Ini juga cermin buruknya kondisi kesejahteraan masyarakat.
Kemiskinan telah membuat orang tua terpaksa melepas buah hatinya dengan harapan bisa hidup lebih layak. Ini menjadi peringatan keras bagi pemerintah, akar kemiskinan jangan jadi alasan untuk “menjual” anak. Semua tahu, anak adalah perhiasan terindah yang tak ternilai harganya. Namun di zaman kapitalisme seperti ini, anak demikian dinilai rendah.
Di sini juga tampak, gagalnya sistem sekuler kapitalis dalam membangun ketahanan keluarga. Bagaimana keluarga besar tidak mampu sama sekali mengatasi persoalan ekonomi salah satu kerabatnya. Jika ini pun terjadi, seharusnya negara mengambil-alih tanggung jawab. 

Langgengnya Kekerasan Anak
Angelina (atau Engelina) bukan korban kekerasan anak pertama. Entah sudah ke berapa ratus atau ribu. Fakta ini seharusnya menjadi trigger untuk mengungkap kekerasan terhadap anak secara tuntas. Sebab, kekerasan terhadap anak adalah fenomena gunung es.
Ketua Komnas Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Arist Merdeka Sirait menyebut, kekerasan seksual mencapai angka yang mengkhawatirkan, yakni 58 persen dari total kekerasan yang terjadi pada anak. “Persentase ini meningkat terus dari tahun 2010 sampai tahun 2014,” katanya (okezone.dom).
Nah, kasus Angeline jangan cuma jadi perhatian sesaat. Hangat-hangat tahi ayam. Tertangkapnya pelaku, seiring waktu akan berlalu pula perhatian terhadap upaya pencegahan kekerasan terhadap anak ini.
Toh sebelumnya sudah banyak diungkap kasus-kasus penelantaran dan kekerasan terhadap anak, tapi mengapa masih jatuh korban? Misalnya kasus Adit (6), yang dibuang ibu tirinya dalam kondisi penuh luka di kebun kelapa sawit PTPN V di Kampar beberapa waktu lalu. Tapi, mana solusi komprehensifnya?
Itu karena sistem sekuler kapitalis saat ini secara global telah memicu kekerasan fisik, psikis maupun mental. Sistem ini menyebabkan stres sosial sehingga berujung tindakan emosional, merebaknya kekerasan dan kekejaman. Manusia-manusia yang terkungkung dalam sistem sekuler lahir menjadi pribadi yang individualis, keras hati, kering dari nilai-nilai ruhiyah sehingga kejam dan bengis.

Gagalnya Fungsi Pengasuhan
Entah ibu kandung, ibu tiri atau ibu angkat, jika sudah bertindak sebagai ibu bagi anak-anak di bawah tanggungjawabnya, seharusnya memahami konsep pengasuhan dan pendidikan anak. Demikian pula para ayah.
Tidak boleh menelantarkan, mengabaikan dan terlebih memperlakukannya dengan semena-mena. Semua anak adalah amanah, investasi orangtua untuk tujuan akhirat. Anak adalah sumber kebahagiaan, bukan pembawa malapetaka. Seburuk-buruknya anak, atau senakal-nakalnya dia, tetaplah lebih banyak mendatangkan kesenangan dibanding kesedihan.
Betapa banyak pasangan pengantin yang mendamba anak, karena itulah sumber kabahagiaan keluarga yang sangat diidam-idamkan. Di sini sistem juga wajib berperan, mewujudkan calon-calon ibu yang tahu persis fungsi pengasuhan dan pendidikan anak. Sehingga, jika dikaruniai anak, akan mendidik dan mengasuhnya sendiri penuh cinta. Tidak mudah menyerahkan anak pada pihak lain.

Lebay-nya Media Massa
Pemberitaan masif tentang Angeline memang sukses menjadi perhatian nasional. Namun --tanpa bermaksud mengecilkan nyawa Angeline-- ekspos yang berlebihan telah menciptakan opini liar yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Apalagi berbagai nara sumber –sebagian tidak kompeten-- membuat pernyataan-pernyataan tendensius yang kian memperkeruh tragedi ini. Terjadilah tuduh-menuduh, saling caci dan hujatan masyarakat, berusaha menghukumi sendiri-sendiri kasus ini.
Memang, dewasa ini terjadi pergeseran dalam dunia media massa, dimana kualitas berita tidak lagi dinilai dari penting atau tidaknya sebuah informasi. Menarik dan dramatis, serta dekat dengan pembaca, itu lebih ditonjolkan. Kasus Angelina memenuhi unsur itu.
Hidupnya penuh ironi: gadis cilik berwajah cantik, lahir dari orangtua miskin yang tak mampu membayar uang persalinannya, lalu diasuh orangtua angkat sejak usia 3 hari, tidak terurus sejak ayah angkatnya meninggal, ke sekolah jalan kaki, selalu terlambat dan bau tahi ayam, dinyatakan hilang, dan ditemukan tewas di pekarangan rumahnya sendiri dalam kondisi memeluk boneka.
Inilah sebabnya Angeline terus menerus menjadi headline di media. Karakter media mainstream, selalu bicara market. Bagaimana menyajikan berita menarik yang menjual, bukan lagi menyajikan berita penting tapi tidak laku.
Jadi, jangan kaget jika tragedi Angeline dianggap lebih menjual dibanding menderitanya anak-anak Rohingya, Syam, Palestina dan negeri muslim lainnya. Mereka dianiaya, bahkan juga dibunuh dengan cara kejam. Jumlahnya bukan hanya seorang, tapi jutaan. Fakta penting bagi dunia Islam, namun tidak menarik di mata media sekuler mainstream

Pentingnya Sistem Islam
Semua pelajaran dari kasus Angeline menunjukkan gagalnya sistem sekuler dalam menjamin kesejahteraan, kebahagiaan, keamanan dan kenyamanan setiap masyarakat. Dengan demikian, urgensi diterapkannya syariat Islam sangatlah relevan.
Islam akan menciptakan masyarakat yang soleh, sehingga tercegah melakukan perbuatan aniaya. Islam memberi perhatian besar bagi terbangunnya keluarga-keluarga yang tangguh dan memiliki ketahanan hebat. Itu sebabnya mekanisme kesejahteraan melalui terpenuhinya kebutuhan pokok sangat dipentingkan. Islam juga mengatur tata cara mengasuh dan mendidik anak dengan rinci dan detail, dengan kasih sayang dan kelembutan. Hanya dengan Islamlah tragedi-tragedi semacam Angeline tidak akan terjadi lagi.(*)

No comments: