Oleh Asri Supatmiati
Penulis buku-buku Islam
Trenyuh, marah dan geram.
Di mana nalar seorang anak manusia, tega memenjarakan Ibu kandungnya?
Berita anak durhaka itu menendang sanubariku. Ah, aku tak mau seperti
itu. Lalu terbayanglah wajah Ibu yang terpisah 707 kilometer dariku.
Ya, aku ingin memeluk
Ibu. Bogor-Magetan bukanlah dinding pemisah kerinduanku. Rindu
dengan segala Hasanah yang pernah Ibu lisankan padaku. Hasanah
yang mengalir dalam darahku dan
akan terus menggiring langkah hidupku.
Aku
tahu, Ibu bukanlah makhluk sempurna. Tapi, anakmu ini lebih-lebih,
sangat jauh dari kesempurnaan. Namun, berkat Hasanah Ibu, aku
kini mengerti arti kehidupan. Bahwa kita hanyalah hamba, yang
berbekal Hasanah, kelak akan diminta pertanggungjawab di hadapan-Nya.
Lalu bakti apa yang akan kubawa untuk menuju surga di bawah telapak
kakimu, Ibu?
Aku tak mampu
memanjakanmu dengan harta. Toh, jika pun aku mampu, sebanyak apapun
pemberian itu, tak akan sanggup melunasi jasa mulia Ibu. Segunung,
sebumi, selaut dan selangit, tidak akan menambah berat neraca balas
jasa itu.
Pengorbanan materi,
fisik, jiwa, pikiran, kesabaran, ketelatenan dan kasih sayang Ibu,
tidak bisa ditimbang matematis. Tapi, jikapun dipaksakan dengan
hitung-hitungan, nilainya pasti sangat fantastis. Mungkin triliunan.
Tentu aku tak mampu.
Hasanah yang kau bekalkan
padaku, itu saja yang kuharap kelak menjadi penolong Ibu. Aku akan
berusaha menjaganya, menjadi muslimah shalehah yang makbul
doa-doanya. Semoga umur Ibu panjang, sehingga kita bisa bertukar
Hasanah. Ya, aku pun kini telah menjadi Ibu. Kelak, Hasanah itulah
yang akan kuwariskan kepada anak-anakku, cucu Ibu. Maka, izinkan aku
menukar Hasanah itu dengan surgamu, Ibu!(*)
No comments:
Post a Comment