Kurangi Jam Kerja atau Stop!


* Wacana pengurangan jam kerja adalah perhatian setengah hati pada peran ibu

Oleh Kholda Naajiyah

Akhir November lalu, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengeluarkan wacana tentang pengurangan waktu kerja bagi perempuan. Kalla khawatir dengan perkembangan emansipasi wanita di era modern. Aktifnya perempuan dalam pekerjaan dan teknologi, dapat menyita waktu penting dalam pertumbuhan anak-anaknya. Menurut Kalla, seorang perempuan wajib berada di sisi anaknya dalam setiap tahap perkembangan (www.tempo.co, 02/12/14).
Hampir dua bulan sejak digulirkannya wacana tersebut, hingga hari ini belum ada tindak lanjutnya. Belum ada implementasinya. Namun baru usulan saja, resistensi bergulir dari berbagai pihak. Komnas Perempuan menolak wacana tersebut. Alasannya, hal itu akan semakin menguatkan diskriminasi pada perempuan. Padahal undang-undanga mengamanatkan untuk menghapus diskriminasi pada perempuan. Perempuan akan dinomorduakan di dunia kerja, sehingga akan sulit diterima bekerja. Sekalipun diterima di dunia kerja, akan digaji lebih kecil dibanding tenaga pria. Hal ini akan semakin “memiskinkan” kaum perempuan. Apalagi jika perempuan itu adalah kepala keluarga (viva.co.ic, 4/12/14).
Ironisnya, dari internal pemerintah sendiri ada penolakan. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yembise menolak wacana pengurangan jam kerja untuk wanita karena akan menimbulkan diskriminasi gender (beritasatu, 8/12/14).
Bagaimana respons para pekerja wanita sendiri? Ada yang pro dan ada yang kontra. Yang pro merasa lega, karena kebijakan pemerintah mengakomodasi kebutuhan mereka terhadap tugasnya di rumah. Paling tidak sedikit mengurangi dilema yang selama ini melanda: antara rumah dan kantor. Yang kontra, rata-rata karena khawatir gajinya berkurang, peningkatan karier terambat dan mendapat perlakuan diskriminatif.

SETENGAH HATI
Wacana pengurangan jam kerja wanita sebenarnya merupakan niat baik yang cukup menjadi angin segar di tengah kebingungan yang melanda wanita karier. Niat sejenis pernah diutarakan mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan yang ingin agar perempuan yang melahirkan dan memiliki balita, diberikan cuti lebih panjang. Setidaknya perlu dua tahun untuk mendampingi sang buah hati yang baru lahir hingga tuntas menyusui.
Niat baik itu antara lain bertujuan untuk memperbaiki hubungan ibu dan anak yang selama ini terkoyak karena kesibukan ibu. Sebab, ketika ibu bekerja, apalagi di kota besar yang butuh waktu tempuh 1-2 jam dari rumah menuju kantor, otomatis mengurangi kuantitas pertemuan dengan si anak. Anak masih lelap ibu sudah berangkat dan pulang kembali di rumah saat anak sudah tidur. Total 2-4 jam waktu habis di jalan. Ditambah 6-8 jam di kantor, kapan waktu untuk anak?
Dengan pengurangan jam kerja, ibu bisa mengurusi anak terlebih dahulu. Sebab ikatan batin ibu-anak itu harus dibangun sedini mungkin sejak si anak lahir, bahkan sejak dalam kandungan. Sebab jika ikatan batin ini sirna, tumbuhlah anak-anak bermasalah seperti yang terjadi belakangan ini.
Remaja saat ini tumbuh sendiri tanpa bimbingan berarti dari kedua orangtuanya, khususnya ibu. Akhirnya banyak yang terjerumus dalam hal-hal negatif seperti pergaulan bebas, tawuran, narkoba, miras dan kriminalitas. Hal ini akan berdampak buruk di masa mendatang karena merekalah calon-calon pemimpin bangsa ini. Jika di usia remaja saja sudah bobrok, bagaimana kelak akan mampu menjadi pemimpin?
Sayangnya, pengurangan jam kerja ibu –jika kelak diterapkan— dipastikan tidak akan mampu mengatasi persoalan buruknya generasi. Mengapa? Pengurangan jam kerja tidak akan berpengaruh signifikan pada pembentukan kepribadian anak karena ibu tetap saja disibukkan dengan urusan kerja.
Lagipula, ketersediaan ibu di rumah bukan saja dibutuhkan anak-anak yang masih bayi atau balita. Saat menjelang menjelang baligh dan masa peralihan menuju dewasa, itu juga fase-fase kritis dimana anak membutuhkan sandaran orangtuanya. Sudah sering diungkap dalam survei ke kesekian kalinya, perilaku menyimpang remaja seperti seks sebelum nikah, justru dilakukan di dalam rumah mereka sendiri. Ini karena tidak ada ibu yang seharusnya hadir di dalam rumah, menjaga dan mengayomi penghuninya.
Dengan demikian, pengurangan jam kerja itu hanyalah kebijakan setengah hati pemerintah yang seolah-olah peduli ibu dan generasi. Kebijakan seperti itu juga tidak akan mengurangi peran pekerja perempuan. Sebaliknya, kebijakan ini akan semakin menguatkan peran perempuan di ranah publik. Kaum ibu akan semakin berani beramai-ramai bekerja. Mereka semakin nyaman meninggalkan rumah setelah merasa “sudah” memberi perhatian lebih dahulu pada anak-anaknya dengan berangkat lebih siang atau pulang lebih cepat.
Apalagi, pemerintah juga memberikan solusi berupa didirikannya daycare atau tempat penitipan anak di berbagai lokasi yang didominasi pekerja perempuan. Padahal hakikatnya daycare seperti ini tidak akan mampu menggantikan peran ibu dalam hal pendidikan anak. Yang terjadi hanya pengalihan peran pengasuhan saja. Secara psikologis, keintiman dengan anak dan curahan kasih sayang tidak akan tergantikan.

BUDAK REZIM NEOLIB
Sejatinya, rezim neoliberal tidak akan pernah melepaskan kaum perempuan untuk kembali ke dalam rumah-rumah mereka. Rezim ini akan terus mempertahankan para perempuan pekerja. Mereka adalah aset penting dalam roda-roda perekonomian liberal. Maka itu, kebijakan yang dikeluarkan tidak akan keluar dari kerangka berpikir bahwa perempuan memang harus mencari nafkah. Perempuan harus ikut bertanggungjawab atas beban ekonomi keluarganya. Perempuan harus menghidupi diri sendiri. Perempuan harus mengatasi kemiskinan dirinya. Bahkan, dengan keikutsertaan perempuan dalam ranah pekerjaan, itu berarti mendorong pertumbuhan ekonomi bangsa dan ikut mengatasi kemiskinan massal yang menjadi bahaya laten beradaban ini.
Tidak ada itikad baik dan sungguh-sungguh oleh sistem neolib ini untuk menjadikan peran ibu sebagai posisi strategis dalam pembangunan sumber daya manusia. Mereka menggerutu ketika sumber daya manusia, khususnya generasi muda lemah dan bermasalah, namun tidak pernah meyakini bahwa itu semua disebabkan antara lain tercerabutnya peran ibu dari rumah-rumah mereka. Sebaliknya, mereka justru menggiring kaum ibu keluar rumah untuk lebih memperhatikan masalah ekonomi bangsa yang karut-marut disebabkan penerapan sistem neoliberal.
Sedangkan perhatian terhadap peran keibuan dicukupkan pada kebijakan pengurangan jam kerja dan menyediakan daycare saja. Intinya, ibu-ibu tetap saja “diperbudak”, diperas tenaganya demi mengatasi problem kemiskinan dunia. Ibu-ibu tidak dijamin penghidupan ekonominya agar bisa mengurus dan melahirkan generasi terbaik. Omong kosong jika negara ini akan eksis dan maju jika sistem neolib ini tetap dipertahankan.

ISLAM SEPENUH HATI
Menjalankan peran ganda, bekerja dan mengurus anak, hampir mustahil bisa dilakukan optimal di dalam sistem neoliberal. Sebab, sistem ini tidak menempatkan ibu rumah tangga sebagai peran penting. Sebaliknya, Islam sepenuh hati menjamin peran ibu di rumahnya.
Islam menjamin kebutuhan pokok perempuan dengan proses penafkahan yang sangat detail. Perempuan wajib dinafkahi oleh suami atau ayahnya jika belum menikah. Rasulullah saw. bersabda, “Kewajiban para suami terhadap para istri adalah memberi mereka belanja (makanan) dan pakaian.” (HR Ibnu Majah dan Muslim dari Jabir bin Abdillah ra).
Jika ayah atau suami tidak mampu, kerabat laki-lakinya harus menjadi penopang nafkah [Al-Baqarah: 233).
Sementara negara, yakni Khilafah, memberi nafkah langsung pada perempuan yang tidak mampu dan tidak memiliki siapapun yang akan menafkahinya seperti janda miskin. Abu Hurairah berkata, Rasulullah saw bersabda, “Siapa saja yang mati meninggalkan kalla (orang yang sebatang kara), maka dia menjadi tanggunganku.” (HR Muslim).
Jadi, jika memang peduli pada ibu dan generasi, bukan hanya mengurangi jam kerja perempuan, tapi berikan jaminan agar tanpa bekerja pun mereka mendapatkan hak-hak ekonominya. Setelah itu, kaum ibu mampu secara optimal menjalankan peran keibuannya dalam meletakkan pondasi pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas.
Mereka tak hanya akan mengurangi jam kerjanya demi memperhatikan anak-anak, bila perlu stop kerja! Semua karena dorongan keyakinan akan pentingnya peran ibu, ditambah sudah ada jaminan nafkah, sehingga tidak perlu mengejar kemandirian ekonomi sendiri.(*)

* Tayang di Media Umat Edisi 143






No comments: