Oleh
Asri Supatmiati, S.Si
Penulis
buku-buku Islam, salah satunya antologi ¨The True Hijab; Kisah
Inspiratif Jilbaber Syarí¨
Tarik
ulur soal penggunaan jilbab bagi polisi wanita (polwan) membuat
energi bangsa kembali terbuang. Bagaimana tidak, ¨hanya¨ soal
pakaian saja seantero negeri dipaksa perang urat syaraf. Ini setelah
kabar menyejukkan soal kebolehan polwan berjilbab, tiba-tiba
dimentahkan oleh telegram rahasia mengatasnamakan Kapolri Jenderal
Polisi Sutarman berisi ditundanya kebolehan jilbab polwan sampai ada
SK resmi (hidayatullah.com, 29/11/13).
Dalam
telegram rahasia itu tertulis, 'keputusan untuk menggunakan jilbab
ditunda sambil menunggu SK¨. Padahal masyarakat sudah terlanjur
mengapresiasi positif pernyataan Kapolri soal kebolehan jilbab itu.
Para polwan pun sudah rame-rame mengenakan penutup kepala. Gara-gara
Polri menelan ludahnya sendiri ini, umat Islam pun dibuat geregetan.
Muncul
kekhawatiran, ada pihak-pihak tertentu yang berusaha menggagalkan
kebolehan jilbab ini. Indikasi ini mencuat menyusul dualisme sikap
dalam pimpinan puncak tubuh Polri. Ini setelah diketahui bahwa
telegram rahasia itu ditandatangani oleh Wakapolri Komjen Oegroseno,
bukan oleh Kapolri dengan alasan Kapolri saat itu sedang di Papua.
Memang,
Kapolri mengaku ia yang menginstruksikan Wakapolri untuk
menandatangani edaran itu. Anehnya, Oegroseno tidak pernah menyatakan
bahwa Kapolri yang memerintahkan hal itu. Ada apa ini? Tampaknya ada
gelagat tidak sejalannya komando dari pucuk pimpinan Polri ke
bawahan. Ini tentu tidak baik.
Ketika
Kapolri Jenderal Sutarman memberikan lampu hijau kebolehan jilbab,
seharusnya bawahan segera mengeluarkan edaran yang justru menguatkan
kebijakan fenomenal ini. Misalnya mengumumkan bahwa seluruh polwan
muslimah agar mengenakan jilbab. Bukan malah mementahkannya.
Masalah
pakaian polwan tidak usah dibuat ribet dan birokratis. Ini negeri
muslim terbesar di dunia. Muslimah di negeri ini paling banyak
sedunia. Adalah wajar jika jilbab menjadi identitasnya. Maka,
jadikanlah Polri ramah jilbab. Bukankah selama ini juga begitu ramah
terhadap rok mini atau celana ketat?
Sembari
menunggu aturan detail berupa SK atau apalah bentuk peraturannya,
biarkanlah para muslimah di Polri melaksanakan tugasnya dengan tenang
bersama jilbabnya. Ya, jilbab apa adanya sebagaimana yang mereka
pahami selama ini. Jilbab yang mereka punya dulu, sambil menunggu
seragam terbaru dibagikan. Lebih indah bukan?
Jangan
sampai Polri melakukan diskriminasi terhadap kaum mayoritas. Padahal
diskriminasi terhadap minoritas saja dilarang. Tepislah kekhawatiran
bahwa jilbab akan mengganggu aktivitas polwan dalam menjalankan
tugasnya. Sejauh ini, polwan yang sudah menutup aurat seperti yang
diperlihatkan di Aceh, melaksanakan tugasnya baik-baik saja.
Sebaliknya, di balik jilbab itu terkandung amanah untuk melayani
masyarakat dengan lebih ramah.
Jilbab
di tubuh polwan akan mengangkat citra yang baik bagi Polri. Citra
Polri selama ini sudah babak-belur karena kerap dinobatkan sebagai
institusi paling korup. Biarkanlah jilbab menunjukkan karya nyatanya
bagi bumi pertiwi. Bahwa dengan jilbab tugas mengayomi dan melindungi
masyarakat terlaksana dengan baik. Yakinlah, memandang polwan
berjilbab secara psikologis akan membuat hati lebih tenteram.
Institusi Polri pun akan lebih berkah.
Ingatlah,
gelombang dukungan umat Islam terhadap jilbab polwan sudah tidak
terbendung. Tidak akan terkalahkan oleh para penghadang yang mencoba
menggagalkan SK jilbab. Jika perlu tidak hanya SK, sampai tingkat
undang-undang tertinggipun pun umat akan memperjuangkan. Inilah
saatnya jilbab berkibar di nusantara.
BUKAN
SEKADAR HAK
Sudah
menjadi pemahaman umum bahwa menutup aurat bagi muslimah itu wajib.
Polri, institusi manapun dan siapapun pasti juga sudah memahami hal
ini. Berjilbab sama status wajibnya dengan perintah salat fardu,
puasa Ramadan atau zakat. Kadar pahala dan dosanya setara dengan itu.
Artinya,
jika ada muslimah yang tidak salat wajib, ia berdosa, sama berdosanya
setiap ia menampakkan auratnya di tempat umum atau di depan lawan
jenis bukan mahromnya. Jadi, kewajiban menutup aurat ini bukan
masalah sepele. Ini harga mati.
Lebih
dari itu, berhijab bukan semata hak asasi beragama yang dijamin
undang-undang negara, malah ini merupakan kewajiban yang dijamin
Allah SWT. Idealnya, Polri bukan saja membolehkan polwan berjilbab,
malah harusnya mewajibkan.
Bahkan
tidak hanya Polri, seluruh institusi di negeri ini termasuk TNI, DPR,
kepresidenan, kementerian dll seharusnya rame-rame merancang regulasi
tentang wajibnya berjilbab. Nah, kita berharap Polri menjadi
institusi pelopor kewajiban jilbab ini. Dan jika ini terjadi, nama
Polri akan semakin harum mewangi.
Tunggu
apalagi. Mumpung busana muslimah kini sedang digemari. Mumpung
berhijab sedang trendy. Mumpung para muslimah berhijab merasa naik
gengsi. Mumpung hijab diakui menaikkan harga diri. Tengoklah,
kalangan selebriti pun rame-rame berhijab syari.
Masyarakat
umum yang mayoritas muslim ini, tentunya akan menyambut baik aturan
berjilbab ini, terlebih jika langsung diperintahkan negara. Apalagi
jika dalam undang-undang dicantumkan sekalian, sanksi-sanksi bagi
mereka yang tidak berhijab. Alangkah indahnya negeri muslim tercinta
ini.
Mungkin
akan ada segelintir oknum yang protes, apakah aturan wajib jilbab ini
tidak terlalu berlebihan? Apakah itu bukan pemaksaan? Jawabnya, tentu
saja aturan jilbab ini tidak berlebihan diterapkan di negeri
berpenduduk mayoritas muslim. Asalkan, perintah ini diimbangi dengan
edukasi tentang wajibnya berjilbab kepada masyarakat. Bisa efektif
melalui sistem pendidikan. Bukankah para pelajarpun saat ini sudah
diwajibkan berjilbab meski baru pada hari-hari tertentu saja?
Aturan
ini juga tidak bermaksud memasung hak asasi para wanita, khususnya
muslimah. Namun seiring keberhasilan proses edukasi tadi, muslimah
yang bertakwa dan berakal, pasti akan mengutamakan kewajiban
dibanding haknya bukan?
Mengenai
pemaksaan, bukankah setiap peraturan itu sifatnya memang memaksa? Ya,
memaksa siapa saja yang menjadi objek dari regulasi tersebut. Aturan
memang dibuat agar siapa saja terpaksa tunduk dan patuh padanya.
Penolakan atau pelanggaran dari segelintir warga negara, itu normal
belaka.
Sama
saja halnya ketika Polri menetapkan pemilik SIM harus berusia lebih
dari 17 tahun atau sudah memiliki KTP, apakah itu bukan pemaksaan
sifatnya? Jika anak usia 16 tahun sudah mahir mengendari motor atau
mobil ngotot ingin mendapatkan SIM, tentu tetap ditolak karena itu
melanggar ketentuan. Tidak bisa dikatakan SIM itu haknya anak 16
tahun tadi. Jadi, apa yang salah dengan aturan jilbab?(*)
Foto: Republika.online. Kepsen: Polwan lebih cantik dan adem pakai kerudung kan... |
No comments:
Post a Comment