Oleh Asri Supatmiati S.Si
Penulis
buku-buku Islam, salah satunya ¨Ternyata Menjadi Ibu Itu Indah¨
Ibu
tiri itu kejam. Ungkapan itu kembali mendapat pembenaran. Ini setelah
polisi menangkap pelaku penganiaya Adit, si bocah penuh luka yang
ternyata ibu tirinya, Ervina. Di hadapan polisi, Ervina berdalih
menyiksa Adit karena kesal akan kenakalannya. Adit kerap menganggu
anak kandungnya yang juga adik tiri Adit, sehingga puncaknya dibuang
di kebun sawit. Ia berharap ada yang menemukannya, daripada dibunuh.
Kelakuan
Ervina membuat geram masyarakat. Ia telah kehilangan nuraninya
sebagai ibu. Bukankah ia juga memiliki anak kandung? Tidakkah
terbersit sedikitpun di benaknya, bagaimana jika anaknya yang
mendapat perlakuan seperti Adit? Normalnya, perempuan yang pernah
mengandung dan melahirkan anak, pasti memiliki naluri keibuan. Sayang
dan berlaku baik kepada anak-anak, anak siapapun, apalagi anak tiri.
Tapi Ervina tidak.
Kini,
ia harus menanggung akibatnya. Berpisah dengan anak kandungnya dengan
ancaman penjara. Gara-gara kekejamannya, anak kandungnya yang tak
berdosa terpaksa menanggung akibat: berpisah dengan ibu kandungnya.
Satu lagi anak terlantar.
Di
lain cerita, masyarakat juga dibuat geram oleh kelakuan Atut
Chosiyah. Seorang ibu pejabat yang terserang shoppaholic
akut
hingga berakhir di penjara KPK. Keserakahannya tampak dari gaya
dandannya yang bernilai miliaran. Ia mungkin tak punya anak-cucu
senasib Adit, tapi kemiskinan di Banten –wilayah kekuasaannya--
adalah bukti ketidak-peduliannya. Banten adalah provinsi ketiga
termiskin di Indonesia.
Sebagai
¨ibu¨ bagi rakyat Banten, Atut telah kehilangan sensitivitasnya
atas nasib ¨anak-anaknya¨. Masih ingat bagaimana para pelajar di
Banten harus mempertaruhkan nyawanya dengan bergelantungan di
jembatan putus, hanya untuk sampai ke sekolah? Sujud syukurnya warga
Banten atas penahanan Atut adalah bukti, betapa rakyat sangat kecewa
terhadap kepemimpinannya.
Sebagai
perempuan, Atut sudah kehilangan kehalusan budi pekertinya. Hartanya
yang berlimpah, membuai Atut dengan surga dunia. Apalagi koleganya
siap membiayai keinginan –bukan kebutuhan-- mewahnya. Teori bahwa
perempuan pejabat –dengan kelembutan hatinya-- akan cenderung
antikorupsi, runtuh seketika.
Pun
sebagai ibu, Atut sudah mengabaikan nuraninya sebagai teladan. Sosok
ibu seharusnya menjadi panutan bagi anak-anaknya. Kalau ibunya saja
berlaku mewah, anak lebih-lebih. Jika ibunya menghalalkan segala
cara, anak-anaknya pun meniru. Tak heran bila dominasi kekuasaannya
begitu menggurita.
Dan
paling parah, sebagai muslimah, Atut sudah kehilangan pegangan hidup.
Islam, agamanya, telah diganti dengan ideologi
sekulerisme-liberalisme yang menjadikan materi sebagai ¨berhala¨.
Kamus hidup bersahaja ala Rasulullah SAW tercinta, sudah pupus dari
memorinya. Entah, mungkin sudah tertutup paradigma belanja, belanja
dan belanja.
***
Tragedi
Adit dan kasus Atut adalah kado pahit hari ibu, 22 Desember. Cermin
atas retaknya cermin. Meski berbeda konteks, keduanya adalah cermin
termutilasinya peran ¨ibu¨. Ibu tiri Adit yang melakukan penyiksaan
dan penelantaran telah mengabaikan fungsi keibuannya.
Ibu
yang seharusnya menjadi curahan kasih sayang, tempat anak memeluk
hangat, mengadu dari gangguan di luar sana, dan menjadi pelipur lara,
justru berlaku sebaliknya. Ibu itu demikian buas mencabik-cabik
keceriaan si anak.
Hal
ini sangat berbahaya karena anak menjadi kehilangan pegangan
hidupnya, bahkan di usianya yang masih belia. Trauma berkepanjangan
akan menghambat tumbuh kembang dan bahkan menghancurkan masa
depannya. Padahal semua paham, anak adalah generasi penerus. Anak
adalah amanah dan investasi dunia akhirat. Anak adalah permata sumber
masa depan bangsa dan peradaban.
Atut
pun demikian. Sebagai ¨ibu¨ bagi rakyat Banten, ia telah kehilangan
fungsinya. Bagaimana bisa seorang ibu tega membiarkan anaknya
bergelimang kemiskinan, sementara ia asyik berbelanja barang-barang
mewah di butik-butik supermahal. Ia mampu membeli sepasang alas kaki
–yang fungsinya ¨hanya¨ diinjak-injak-- bernilai puluhan juta
rupiah, sementara anak-anak bersekolah di bangunan tak layak. Di mana
nuraninya?
***
Saat
ini banyak anak terlantar. Jangan bayangkan terlantar itu hanya yang
terbuang seperti Adit. Anak-anak kaum berduit, yang hidup dengan baby
sitter saja --dikarenakan ayah-ibunya supersibuk bekerja-- adalah
cermin anak terlantar. Secara fisik mereka tidak tersiksa, tapi
secara psikis ruang jiwa mereka hampa. Kosong kasih sayang.
Lalu,
anak-anak para tenaga kerja wanita (TKW) yang ditinggalkan para
ibunya bekerja di negeri seberang, juga produk anak terlantar. Abai
dari kasih sayang ibu kandungnya, ibu biologis yang menggembolnya
dalam rahim sembilan bulan.
Demikian
pula anak terlantar yang ditinggalkan para ibu yang mendekam di
penjara karena terjerat kasus, mulai mengutil hingga korupsi.
Terpaksa hidup tak seatap dengan ibu kandungnya, bukanlah perkara
mudah. Terlebih bagi anak-anak usia belia, masih butuh pelayanan
ekstra. Ketersediaan ibunya, kalau perlu 24 jam, adalah mutlak.
Kondisi
tersebut sangat berbeda dibanding 20 atau 30 tahun lalu. Zaman itu,
kaum ibu sungguh menjalankan tugasnya sebagai ummu
wa robbatul bait saja.
Sebagai ibu, pengatur rumah tangga dan mendidik anak-anak, madrasah
pertama dan utama di rumah.
Namun,
kehidupan dunia yang semakin sekuleristik dan liberalistik, sukses
besar melunturkan peran keibuan. Bahkan peran ibu terus diupayakan
untuk dilenyapkan. Berlindung di balik pemberdayaan perempuan atau
kemandirian ekonomi, kini tak sedikit kaum ibu yang lebih getol
memerankan diri bak kaum bapak. Jago mencari nafkah, lalu
meninggalkan tugasnya sebagai manajer rumah.
Memang
bukan salah ibu 100 persen. Ada kontribusi sistemik, yakni
diterapkannya ideologi sekuler dengan sistem ekonomi kapitalistik
yang menjauhkan ibu –juga bapak-- dari kesejahteraan. Sistem yang
mendoktrin kaum perempuan untuk ikut terlibat mengentaskan
kemiskinan. Singkat kata: jika tak ingin miskin, ibu harus ikut
mencari nafkah. Nah, ketika menambah peran itulah, terjadi
tragedi-tragedi seperti Adit dan Atut.
Tentu
kita tak ingin hal itu berketerusan. Anak-anak terlantar harus
dientaskan. Sejahterakanlah kaum ibu. Jangan pula membiarkan
perempuan berkiprah jika hanya untuk berbuat salah. Jangan biarkan
kaum ibu akhirnya hanya memenuhi ruang penjara dan tercerabut dari
perannya di rumah hanya karena salah polah di luar sana.
Tak
ada salahnya jika kaum ibu bercermin pada nenek moyang, termasuk para
sahabiyah yang menjadikan profesi ibu sebagai yang utama. Itulah
titah Sang Pencipta, hingga dijadikanlah tugas yang berbeda di
pundaknya dibanding kaum bapak. Berbagi tugas itu indah dan selalu
membawa kemaslahatan.(*)
Foto by Tsabita. Location: Sarangan Lake, Magetan. |
No comments:
Post a Comment