Penghancuran Keluarga Melalui Isu Hak Seksual





Oleh Asri Supatmiati

Dewasa ini hak asasi manusia masih dianggap sebagai ajaran paling mulia di dunia. Salah satu isu hak yang sedang gencar digembar-gemborkan kalangan Feminis, yakni hak seksual. Sonia Correa dan Rosalind Petchesky dalam ”Reproductive and Sexual Rights, a Feminist Perspective” menyatakan tentang prinsip-prinsip hak seksual, diantaranya keutuhan tubuh: yaitu hak atas rasa aman dan kendali terhadap tubuh sendiri.
Sementara Tarshi dalam tulisannya ”Common Ground on Sexuality” menyatakan tentang elemen-elemen hak seksual, diantaranya hak atas keutuhan tubuh dan hak untuk memilih jika, kapan, bagaimana, dan dengan siapa kita aktif secara seksual dan terlibat dalam hubungan seksual yang sama-sama diinginkan (konsensual) .
Intinya hak seksual didefinisikan sebagai hak untuk mendapatkan kenikmatan seksual, hak untuk mempunyai dan mengekspresikan identitas seksual, serta hak untuk memegang kendali atas seksualitas pribadi (termasuk hak atas kesehatan seksual dan kesehatan reproduksi) tanpa diskriminasi dan kekerasan.
Berangkat dari paradigma di atas, kalangan Feminis di Indonesia segera bergeliat. Mereka menggugat pasal-pasal perzinaan KUHP. Secara kasar dapat disimpulkan pendapat mereka bahwa pelaku perzinaan atas dasar suka sama suka tidak layak dikenai sanksi karena hal itu merupakan bagian dari hak seksual masing-masing manusia.
Lebih jauh mereka menggugat peran negara yang mengatur pemenuhan kebutuhan seksual hanya melalui pernikahan yang sah. Menurut mereka, negara tak berhak mengatur hak seksual seseorang, apalagi membatasinya hanya melalui lembaga pernikahan. Itu sebabnya mereka menggugat Bab XVI tentang Tindak Pidana Kesusilaan, bagian keempat tentang zina dan perbuatan cabul. Misalnya pasal 486 KUHP yang bunyinya: ”Dipidana karena zina, dengan pidana penjara paling lama 5 tahun: (a). laki-laki berada dalam ikatan perkawinan, melakukan persetubuhan dengan perempuan yang bukan istrinya; Tindak pidana tersebut di atas tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami, istri, atau pihak ketiga yang tercemar. Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di sidang pengadilan belum dimulai. (b) perempuan berada dalam ikatan perkawinan, melakukan persetubuhan dengan laki-laki yang bukan suaminya; (c) laki-laki tidak dalam ikatan perkawinan, melakukan persetubuhan dengan perempuan, padahal diketahuinya perempuan tersebut berada dalam ikatan perkawinan; (d) perempuan tidak dalam ikatan perkawinan, melakukan persetubuhan dengan laki-laki, padahal diketahui bahwa laki-laki tersebut berada dalam ikatan perkawinan; atau (e) laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan sah, melakukan persetubuhan.
Sedangkan Pasal 488 dinyatakan bahwa: ”Orang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan sah, dipidana penjara paling lama 5 tahun, dan denda paling banyak Kategori III (lihat KUHP-red).” Semua pasal-pasal KUHP di atas mereka anggap sebagai pengekangan atas hak seksual individu, khususnya hak seksual perempuan.
Pertanyaannya, benarkah kendali atas tubuh kita berada di tangan kita sendiri? Benarkah institusi pernikahan mengekang hak seksual seseorang? Di mana peran negara dalam mengatur hak seksual individu? Bagaimana pula jadinya jika pemenuhan kebutuhan seksual dibebaskan tanpa ikatan pernikahan?

My Body is My Right?
My body, my right! Tubuh adalah hak milik kita pribadi, hak asasi kita mau kita apakan tubuh ini, tak boleh ada orang yang melarangnya.” Itulah filosofi yang dipahami oleh kaum sekularis yang menafikkan Tuhan Pencipta Alam sekaligus sebagai Sang Pengatur kehidupan. Akibatnya, mereka mengklaim sebagai pemegang kendali atas tubuhnya 100 persen.
Karena itu, adalah hak individu tersebut untuk mendapatkan kenikmatan sebesar-besarnya, walaupun dengan cara mengeksploitasi tubuh, membuka aurat, berhubungan seks dengan siapa saja yang dia suka bahkan hingga menjual diri sekalipun. Dalam paradigma ini, perempuan berhak untuk tidak hamil, berhak mengaborsinya jika tak menghendaki anak, berhak untuk tidak menyusui jika terpaksa punya anak, berhak menolak berhubungan seks dengan suami yang semestinya wajib ia taati dan seterusnya. Tuhan (baca: agama) tidak berhak mengatur urusan pribadi mereka sama sekali, apalagi terkait dengan pemenuhan kebutuhan seks.
Argumen tersebut jelas bertentangan dengan fakta. Pada realitasnya, manusia hanya memiliki sedikit saja kendali atas tubuhnya. Mereka lupa bahwa tubuh beserta onderdil-onderdil di dalamnya dikendalikan oleh Tuhan Pencipta manusia. Tubuh ini hanya ‘pinjaman’ dari Tuhan, bukan kita sendiri yang menciptakan, bukan pula ‘buatan’ orang tua yang melahirkan kita. Buktinya, kalo terjadi sesuatu atas tubuh kita, kita tak bisa berbuat apa-apa. Berapa banyak manusia yang dicabut kenikmatan fisiknya atau bahkan nyawanya tanpa bisa menolak. Bila tubuh terserang penyakit, tiba-tiba lumpuh, buta atau koma, terserang HIV/Aids, siapa bisa mengelak? Jadi, filosofi my body is my right adalah menyesatkan. Yang benar my body is God right. Betapa sombongnya manusia yang merasa memiliki hak penuh atas kendali tubuhnya.
Untuk itu Tuhan menciptakan seperangkat aturan guna menjaga eksistensi kebertubuhan manusia dan mewujudkan kebahagiaan hakiki. Salah satunya berupa aturan pernikahan untuk memenuhi kebutuhan seksual manusia (meski demikian pemenuhan kebutuhan seks bukan satu-satunya tujuan disyariatkannya pernikahan dan pernikahan bukanlah sekadar legalisasi hubungan seksual).

Peran Negara
Lembaga pernikahan tak bisa dilepaskan dari perjalanan sejarah umat manusia. Hatta zaman Adam dan Hawa, meski sederhana pernikahan adalah sesuatu yang dianggap paling sakral. Bahkan saking sakralnya, agama tertentu melarang terjadinya perceraian. Ya, hampir semua agama di dunia mensyariatkan lembaga pernikahan. Semua negara juga mengatur tata cara pernikahan. Lantas apa jadinya jika institusi pernikahan digugat, digoyang dan bahkan dicoba untuk dihilangkan dengan dalih kebebasan hak seksual?
Untuk mengaplikasikan syariat Sang Pencipta ini, dibutuhkan negara sebagai pihak yang mengesahkan lembaga pernikahan. Dengan demikian keberadaan negara sebagai penjamin keberlangsungan institusi pernikahan sangat penting dan wajib adanya.
Pernikahan mewujudkan ketentraman dan ketenangan. Masing-masing pihak, baik laki-laki maupun perempuan dapat memenuhi kebutuhan seksualnya kapan saja mereka menghendaki. Bandingkan dengan kehidupan seksual tanpa lembaga pernikahan, justru menyulitkan laki-laki maupun perempuan untuk mengekspresikan hak seksualnya. Sebab, ia tidak memiliki pasangan tetap dan tidak memiliki tempat (rumah tangga) yang aman dan nyaman untuk melakukan hubungan seksual. Apalagi, ia belum tentu mendapatkan ketentraman dan ketenangan karena bisa jadi hubungan yang dihasilkan bukan dilandasi nilai-nilai kasih sayang, melainkan nafsu.
Dari sini terbantahlah argumen yang mengatakan bahwa pernikahan mengekang hak seksual seseorang. Justru sebaliknya, pernikahan menjadi wadah yang sangat bebas bagi laki-laki dan wanita dalam mengekspresikan kebutuhan seksualnya. Bahkan, tak hanya kebutuhan biologis, tapi kebutuhan ekonomi, kebutuhan kesehatan (termasuk kesehatan reproduksi), kebutuhan akan pendidikan (suami mendidik istri dan anak-anak) sampai kebutuhan akan keamanan dan ketentraman semua terpenuhi.

Penghancuran Keluarga
Hak Seksual hanyalah alat propaganda terselubung bagi legalisasi seks bebas. Apa yang diusung kaum Feminis yang nota bene derivat dari ajaran liberalis itu sejatinya merupakan upaya terselubung untuk menghancurkan keluarga, institusi terkecil yang merupakan benteng terakhir umat Islam dalam membendung ide-ide liberalisme. Mereka mencoba mengebiri peran negara dalam mengatur hak seksual melalui pernikahan dan mencoba mereduksi kesakralan nilai-nilai pernikahan. Na’udzubillahi min dzalik.(*)


Asri Supatmiati, S.Si, jurnalis, penulis buku-buku Islam.

Keluarga seharusnya bisa harmonis seperti ini. Location: Curug Luhur, Kab. Bogor. Foto by Ghofar.


Nasib Anak-anak dalam Konflik Bersenjata



Oleh Kholda Naajiyah

Sejak Israel diklaim berdiri tahun 1948, pasukan Zionis telah meluluhlantakkan sejumlah desa di Palestina dan negara Arab tetangganya dengan berbagai tragedi pembunuhan. Yang terbaru dilakukan Israel adalah pembantaian anak-anak di Libanon dan Ghaza.
Jumlah yang gugur di kota Ghaza, sejak Israel melancarkan operasi “Hujan di Musim Panas” pasca penculikan seorang prajurit Israel bernama Ghilad Shalit (15 Juni), mencapai angka 201 orang dan 825 orang terluka. Menurut kementerian kesehatan Palestina, dari 201 korban tewas, sebanyak 56 orang adalah anak-anak di bawah umur dan 25 wanita.
Menurut data resmi kementerian kesehatan, sebanyak 33 orang gugur tertembak peluru, 77 orang gugur karena ledakan bom rudal Israel dan 88 orang lainnya meninggal karena efek ledakan bom yang mengenai gedung-gedung. “Sebanyak 70 orang datang ke rumah sakit dalam kondisi terputus sebagian tubuhnya. Sementara 5 orang warga sipil akhirnya meninggal di perbatasan Rafah karena wilayah tersebut ditutup oleh Israel selama beberapa hari,” demikian isi pernyataan kantor kementerian kesehatan Palestina.
Sementara itu, jumlah korban terluka di Ghaza kini masih terus bertambah. Dari total 825 orang terluka, sebanyak 288 di antaranya adalah anak-anak di bawah umur. Sementara jumlah kaum wanita yang terluka sebanyak 90 orang. Selain itu, sebanyak 61 orang sipil terluka akibat tembakan peluru tajam, dan sebanyak 637 orang dilarikan ke rumah sakit akibat terkena rudal Israel (www.eramuslim.com).
Jatuhnya korban dari kalangan anak-anak dan wanita jelas-jelas melanggar kesepakatan Jenewa nomor 53 dan 147 soal larangan keras membunuh warga sipil dan anak-anak dalam perang. Ironisnya, masyarakat dunia seolah gagap terhadap apa yang terjadi. PBB mandul, lumpuh dan tak berdaya menghadapi negeri kecil yang kedaulatannya pun masih dipertanyakan itu.
Dunia tidak pernah menggiring Israel ke mahkamah internasional sebagai penjahat perang. Terlebih karena adanya restu AS atas seluruh tindak biadab yang dilakukan Israel. Lalu dimana para pejuang hak asasi manusia yang paling lantang menyerukan perdamaian dan penghormatan atas kemanusiaan?

Dampak Perang
Dalam situasi konflik bersenjata, masyarakat sipil terutama anak-anak dan perempuan, merupakan kelompok yang paling rentan menjadi korban karena tidak memiliki senjata untuk membela diri dari serangan lawan. Akibatnya, mereka cenderung berada dalam situasi ketakutan, kebingungan dan ketidakmenentuan untuk mengakses informasi keamanan.
Anak-anak dan perempuan juga sering mengalami berbagai bentuk eksploitasi dan kekerasan, baik fisik, mental maupun seksual. Pada beberapa kasus, anak-anak dilibatkan sebagai utusan (messengers), juru masak (cooks), pengangkut barang (porters), mata-mata (spies), atau bahkan dilibatkan sebagai tentara anak (children soldiers). Hal ini tentu sangat membahayakan keselamatan mereka.
Padahal anak-anak adalah zona netral, bukan bagian dari permusuhan dan bukan ‘peserta’ perang dari pihak yang bertikai. Idealnya, keamanan dan perlindungan dari berbagai pihak menjadi prioritas utama bagi anak-anak.
Dari beberapa laporan, konflik bersenjata berdampak buruk dan permanen terhadap anak-anak di seluruh dunia. Badan PBB untuk anak-anak UNICEF dalam State of the World's Children 1996 melaporkan, dalam periode 1985-1995 konflik bersenjata telah mengakibatkan dampak buruk dan permanen pada anak-anak. Melanie Gow dalam The Right to Peace-Children and Armed Conflict memaparkan 2 juta anak-anak terbunuh, 6 juta mengalami luka serius atau cacat permanen, 12 juta kehilangan rumah. Selain itu 1 juta anak menjadi yatim piatu atau terpisah dari orang tuanya, 10 juta menderita trauma psikologis yang serius sebagai dampak perang, 300 ribu anak menjadi serdadu.
Sekitar 90 persen korban perang adalah masyarakat sipil, utamanya anak dan perempuan. Separuh dari 21 juta pengungsi di seluruh dunia adalah anak-anak, dan setiap tahun antara 8.000 hingga 10.000 anak menjadi korban ranjau darat. Apalagi, dewasa ini perang menggunakan teknologi modern, sehingga risiko yang membayangi anak-anak semakin kuat.
Selain itu, perang dan konflik bersenjata membawa dampak buruk terhadap proses tumbuh kembang anak. Anak mengalami tekanan psikologis yang sangat berat. Dalam ketidakmengertian terhadap peristiwa yang sedang berlangsung di sekitarnya, mereka dipaksa menyaksikan pembantaian dan kematian orangtua, saudara, tetangga dan orang terdekat lainnya. Bahkan, setiap saat mereka juga dapat merasakan jiwanya terancam. Dengan kerentanan fisik dan mental yang masih memerlukan perlindungan, mereka malah dibiarkan tumbuh dan ‘bersahabat’ dengan perasaan takut, cemas, curiga, dan kebencian yang dalam.
Dari rentetan kekerasan, pembantaian dan pengalaman buruk lainnya yang dialami anak akhirnya dapat menaburkan benih perilaku anarkis, curiga, kasar, tertutup (introvert), penuh dendam, atau agresif dan selalu ingin mencari musuh. Bahkan, dampak yang lebih buruk lagi, mereka memiliki perasaan ‘wajar’ meniru berbagai kekerasan dan sifat anarkis yang dilakukan militer. Dampak psikologis seperti itu jelas berbahaya bagi suatu bangsa, dibanding sekadar kerusakan fisik. Kerusakan infrstruktur bisa dibangun kembali 1-2 tahun kemudian, namun ‘kerusakan’ mental anak tidak bisa dipulihkan, bahkan sepanjang hayatnya. Padahal, di tangan merekalah masa depan dan identitas suatu bangsa ditentukan. Bagaimana jika pelajaran kekerasan yang terpaksa ia terima di waktu kecil menjadi bekalnya untuk memimpin bangsa tersebut kelak?

Recovery Mental
Pasca konflik bersenjata anak-anak perlu mendapatkan penanganan khusus. Upaya recovery mental harus menjadi agenda utama pemerintah setempat. Anak-anak harus sesegera mungkin dientaskan dari lingkungan konflik. Tempatkan mereka pada kehidupan normal tanpa ancaman kecemasan dan ketakutan. Dampingi anak-anak untuk menghilangkan trauma dengan memberikan kehidupan yang layak. Baik lingkungan tempat tinggal, bermain maupun sekolah harus steril dari pertikaian.
Dan untuk mencegah agar tidak ada lagi korban anak-anak, dunia harus patuh pada aturan main dalam perang. Dunia bisa belajar dari sejarah peradaban Islam, dimana peperangan dibatasi dengan tata tertib yang sangat detail. Antara lain dilarang membunuh bukan pada waktu perang; orang yang tidak ikut perang tidak halal dibunuh atau dianiaya (missal wanita, anak-anak kecil, orang-orang jompo, pendeta, hamba sahaya dan pegawai).
Bahkan diharamkan berbuat kekejaman, membunuh binatang, merusak tanaman, mencemari sumur dan menghancurkan tempat tinggal serta menghabisi orang yang luka, mengejar orang yang lari atau menghabisi orang yang telah menyerah. Dengan cara demikian, korban yang berjatuhan baik laki-laki, perempuan maupun anak-anak dapat diminimalisir. Bahkan kerugian material akibat kerusakan fisik dapat ditekan. Bagi negara yang melanggar, harus dikenai sanksi oleh mahkamah internasional. Jika perlu, kucilkan dari pergaulan masyarakat dunia.(*)



Kholda Naajiyah, S.Si, peminat masalah sosial, khususnya wanita dan anak-anak.


Anak-anak di Gaza. Foto from Google.

Paradoks Gender Equality dalam Misi Perdamaian




Oleh Kholda Naajiyah

Di era modern dimana manusia mengaku lebih beradab, konflik bersenjata nyatanya tak pernah absen menyatroni berbagai wilayah di dunia. Hampir dipastikan, anak-anak dan wanita selalu menjadi bagian dari korban. Konflik Israel-Palestina misalnya. Menurut Kementerian Kesehatan Palestina, terdapat 201 korban tewas dan 825 orang luka-luka. Dari 201 yang tewas, 56 adalah anak-anak di bawah umur dan 25 orang perempuan. Tak heran bila pejuang persamaan gender menghendaki ditingkatkannya partisipasi perempuan dalam misi-misi perdamaian dan dalam rekonstruksi pasca-konflik. Bagaimana efektivitasnya?

Paradoks
Rekomendasi yang berasal dari The Report of the UN Secretary-General on Women, Peace and Security menyebutkan, untuk mendukung misi-misi perdamaian, diharapkan perempuan lebih banyak yang terlibat dalam dalam angkatan bersenjata (militer), departemen pertahanan dan polisi.
Sayangnya, keterlibatan perempuan dalam militer pada akhirnya menimbulkan persoalan baru. Misalnya, apakah pelatihan (terutama latihan fisik) dan disiplin yang diterapkan bagi perempuan harus sama persis dengan yang diterapkan terhadap laki-laki? Jika tidak dibedakan, berarti itu memang selaras dengan misi gender equality. Namun, kaum perempuan sendiri berteriak bahwa latihan fisik ala militer jelas tak cocok bagi kaum perempuan. Dengan dalih itu, dibuatlah istilah bahwa militer pun harus berbasis gender. Artinya, dalam hal tertentu seperti latihan fisik harus membedakan antara laki-laki dan perempuan. Ini jelas paradoks dengan semangat gender equality. Dan itu sama artinya sebagai pengakuan secara tidak langsung atas perbedaan kodrati kaum laki-laki dan perempuan.
Bagaimana pula dengan masalah pakaian dan daya tarik estetis dan bahkan seksual: haruskah pakaian seragam sama bagi laki-laki dan perempuan? Haruskah seragam itu mempunyai gaya jantan dalam segala situasi? Ini juga membutuhkan jawaban secara jujur.
Selanjutnya, sejauh mana efektivitas kaum perempuan dalam misi perdamaian dengan bergabung dalam militer? Banyaknya kaum perempuan dalam militer justru memperbesar peluang mereka menjadi korban perang. Sebab, mereka menjadi pelaku aktif dalam konflik bersenjata. Bayangkan, jika Amerika Serikat dalam invasi militernya ke Iraq mengirimkan tentara-tentara perempuan, bukankah berarti dia berpeluang besar menjadi korban perang dibandingnya menjalani profesi lain di luar kemiliteran? Dengan demikian, memperbanyak keterlibatan perempuan dalam militer bukanlah solusi efektif untuk menciptakan misi perdamaian, apalagi mencegah jatuhnya korban perempuan dari sebuah konflik bersenjata.
Rekomendasi itu juga menyebutkan, perempuan harus lebih aktif dalam meja-meja perundingan demi tercapainya perdamaian. Argumen inipun masih dipertanyakan efektivitasnya. Perdamaian adalah situasi yang diinginkan oleh seluruh lapisan masyarakat, tak peduli ras, agama, suku bangsa, usia dan jenis kelamin. Semua menghendaki kedamaian dan ketentraman.
Dengan demikian, tak harus perempuan sendiri yang duduk di meja perundingan untuk meminimalkan korban perang dari kalangan mereka, karena siapapun yang duduk di meja perundingan semestinya membawa satu visi: menciptakan perdamaian untuk seluruh umat manusia. Bukan menciptakan perdamaian untuk kaum perempuan saja, anak-anak saja atau laki-laki saja.
Lagipula, di berbagai negara maju, persentase perempuan yang tergabung di dalam militer, termasuk sebagai pengambil kebijakan, relatif kecil. Apakah hal itu disebabkan sistem perundangan yang melarang perempuan masuk militer? Jelas bukan. Melainkan karena kaum perempuan sendiri kurang berminat pada bidang yang cenderung maskulin tersebut. Dengan demikian, ‘memaksa’ kaum perempuan untuk terjun ke militer bisa jadi malah mengekang kebebasan kaum perempuan itu sendiri.
Data NATO dalam Review-nya pada musim panas 2001 menyebutkan, jumlah personalia perempuan yang terlibat dalam operasi perdamaian sejak akhir Perang Dunia II tetap sedikit. Hanya beberapa negara –Kanada, Hongaria, Perancis, Belanda dan Portugal– yang telah melibatkan perempuan lebih dari 5% di antara personalia peacekeeping.
Suatu survey dunia oleh IPU menunjukkan bahwa dalam bulan Maret 2000, perempuan mewakili hanya 1,3% dari semua menteri yang bertanggung jawab atas masalah-masalah pertahanan-keamanan dan 3,9% dari semua wakil menteri dan pejabat-pejabat kementerian yang lain, termasuk sekretaris parlemen, di daerah itu (lihat peta dunia yang dikeluarkan bersama oleh IPU dan PBB, yang berjudul Women in Politics: 2000).

Tegakkan Sanksi
Tanpa menafikkan peran kaum perempuan dalam menciptakan perdamaian, yang terpenting dalam mewujudkan tatanan dunia yang aman dan adil adalah bagaimana rambu-rambu dalam peperangan dapat dipatuhi semua pihak. Konvensi Jenewa tahun 1949 Nomor 53 dan 147 yang melarang keras membunuh warga sipil dan anak-anak dalam perang semestinya ditegakkan sebagai instrumen hukum humaniter yang telah disepakati dunia internasional. Additional Protocols of 1997 juga memberikan perlindungan khusus kepada anak-anak.
Bahkan jauh sebelum serangan Israel pada anak-anak di Gaza maupun Qana, pada tahun 1974, Majelis Umum PBB mengesahkan The Declaration on the Protection of Women and Children in Emergency and Armed Conflict. Deklarasi ini memberikan perlindungan kepada anak dan perempuan, yakni dari serangan dan pengeboman menggunakan senjata kimia dan bakteri, memenuhi semua konvensi dan semua instrumen internasional, semua usaha untuk menghindari penderitaan anak dan perempuan dalam perang, dan seterusnya.
Di sisi lain, pihak-pihak yang melanggar hukum internasional tersebut harus mendapatkan sanksi keras. Jangan seperti Israel yang atas restu Amerika Serikat, dibiarkan melakukan kejahatan perang tanpa ada yang berani menyeret ke mahkamah internasional. PBB pun bertekuk lutut dan berbagai instrumen internasional di atas mandul di hadapan negeri Zionis itu. Padahal, dalam Statuta Roma tentang International Criminal Court (ICC) pasal 8 ayat 2b (v) ditegaskan bahwa kejahatan perang termasuk kejahatan serius penyerangan atau bombardier terhadap desa, kota, atau bangunan yang bukan sasaran militer.

Penutup
Jika sebagian aktivis perempuan selalu berprasangka bahwa kebijakan yang dikeluarkan oleh laki-laki pasti bias kelaki-lakian, bukankah dengan logika yang sama bisa dipertanyakan, apakah kebijakan yang dikeluarkan kaum perempuan pada akhirnya tidak bias keperempuanan? Walhasil hakikat perdamaian bisa diwujudkan siapa saja yang beritikad baik untuk menyelamatkan dunia dari kehancuran akibat konflik bersenjata, baik dia laki-laki maupun perempuan.(*)

Kholda Naajiyah, S.Si, peminat masalah sosial, khususnya wanita dan anak-anak, aktivis Hizbut Tahrir Indonesia.

Pasukan wanita. Foto from Google.