Paradoks Gender Equality dalam Misi Perdamaian




Oleh Kholda Naajiyah

Di era modern dimana manusia mengaku lebih beradab, konflik bersenjata nyatanya tak pernah absen menyatroni berbagai wilayah di dunia. Hampir dipastikan, anak-anak dan wanita selalu menjadi bagian dari korban. Konflik Israel-Palestina misalnya. Menurut Kementerian Kesehatan Palestina, terdapat 201 korban tewas dan 825 orang luka-luka. Dari 201 yang tewas, 56 adalah anak-anak di bawah umur dan 25 orang perempuan. Tak heran bila pejuang persamaan gender menghendaki ditingkatkannya partisipasi perempuan dalam misi-misi perdamaian dan dalam rekonstruksi pasca-konflik. Bagaimana efektivitasnya?

Paradoks
Rekomendasi yang berasal dari The Report of the UN Secretary-General on Women, Peace and Security menyebutkan, untuk mendukung misi-misi perdamaian, diharapkan perempuan lebih banyak yang terlibat dalam dalam angkatan bersenjata (militer), departemen pertahanan dan polisi.
Sayangnya, keterlibatan perempuan dalam militer pada akhirnya menimbulkan persoalan baru. Misalnya, apakah pelatihan (terutama latihan fisik) dan disiplin yang diterapkan bagi perempuan harus sama persis dengan yang diterapkan terhadap laki-laki? Jika tidak dibedakan, berarti itu memang selaras dengan misi gender equality. Namun, kaum perempuan sendiri berteriak bahwa latihan fisik ala militer jelas tak cocok bagi kaum perempuan. Dengan dalih itu, dibuatlah istilah bahwa militer pun harus berbasis gender. Artinya, dalam hal tertentu seperti latihan fisik harus membedakan antara laki-laki dan perempuan. Ini jelas paradoks dengan semangat gender equality. Dan itu sama artinya sebagai pengakuan secara tidak langsung atas perbedaan kodrati kaum laki-laki dan perempuan.
Bagaimana pula dengan masalah pakaian dan daya tarik estetis dan bahkan seksual: haruskah pakaian seragam sama bagi laki-laki dan perempuan? Haruskah seragam itu mempunyai gaya jantan dalam segala situasi? Ini juga membutuhkan jawaban secara jujur.
Selanjutnya, sejauh mana efektivitas kaum perempuan dalam misi perdamaian dengan bergabung dalam militer? Banyaknya kaum perempuan dalam militer justru memperbesar peluang mereka menjadi korban perang. Sebab, mereka menjadi pelaku aktif dalam konflik bersenjata. Bayangkan, jika Amerika Serikat dalam invasi militernya ke Iraq mengirimkan tentara-tentara perempuan, bukankah berarti dia berpeluang besar menjadi korban perang dibandingnya menjalani profesi lain di luar kemiliteran? Dengan demikian, memperbanyak keterlibatan perempuan dalam militer bukanlah solusi efektif untuk menciptakan misi perdamaian, apalagi mencegah jatuhnya korban perempuan dari sebuah konflik bersenjata.
Rekomendasi itu juga menyebutkan, perempuan harus lebih aktif dalam meja-meja perundingan demi tercapainya perdamaian. Argumen inipun masih dipertanyakan efektivitasnya. Perdamaian adalah situasi yang diinginkan oleh seluruh lapisan masyarakat, tak peduli ras, agama, suku bangsa, usia dan jenis kelamin. Semua menghendaki kedamaian dan ketentraman.
Dengan demikian, tak harus perempuan sendiri yang duduk di meja perundingan untuk meminimalkan korban perang dari kalangan mereka, karena siapapun yang duduk di meja perundingan semestinya membawa satu visi: menciptakan perdamaian untuk seluruh umat manusia. Bukan menciptakan perdamaian untuk kaum perempuan saja, anak-anak saja atau laki-laki saja.
Lagipula, di berbagai negara maju, persentase perempuan yang tergabung di dalam militer, termasuk sebagai pengambil kebijakan, relatif kecil. Apakah hal itu disebabkan sistem perundangan yang melarang perempuan masuk militer? Jelas bukan. Melainkan karena kaum perempuan sendiri kurang berminat pada bidang yang cenderung maskulin tersebut. Dengan demikian, ‘memaksa’ kaum perempuan untuk terjun ke militer bisa jadi malah mengekang kebebasan kaum perempuan itu sendiri.
Data NATO dalam Review-nya pada musim panas 2001 menyebutkan, jumlah personalia perempuan yang terlibat dalam operasi perdamaian sejak akhir Perang Dunia II tetap sedikit. Hanya beberapa negara –Kanada, Hongaria, Perancis, Belanda dan Portugal– yang telah melibatkan perempuan lebih dari 5% di antara personalia peacekeeping.
Suatu survey dunia oleh IPU menunjukkan bahwa dalam bulan Maret 2000, perempuan mewakili hanya 1,3% dari semua menteri yang bertanggung jawab atas masalah-masalah pertahanan-keamanan dan 3,9% dari semua wakil menteri dan pejabat-pejabat kementerian yang lain, termasuk sekretaris parlemen, di daerah itu (lihat peta dunia yang dikeluarkan bersama oleh IPU dan PBB, yang berjudul Women in Politics: 2000).

Tegakkan Sanksi
Tanpa menafikkan peran kaum perempuan dalam menciptakan perdamaian, yang terpenting dalam mewujudkan tatanan dunia yang aman dan adil adalah bagaimana rambu-rambu dalam peperangan dapat dipatuhi semua pihak. Konvensi Jenewa tahun 1949 Nomor 53 dan 147 yang melarang keras membunuh warga sipil dan anak-anak dalam perang semestinya ditegakkan sebagai instrumen hukum humaniter yang telah disepakati dunia internasional. Additional Protocols of 1997 juga memberikan perlindungan khusus kepada anak-anak.
Bahkan jauh sebelum serangan Israel pada anak-anak di Gaza maupun Qana, pada tahun 1974, Majelis Umum PBB mengesahkan The Declaration on the Protection of Women and Children in Emergency and Armed Conflict. Deklarasi ini memberikan perlindungan kepada anak dan perempuan, yakni dari serangan dan pengeboman menggunakan senjata kimia dan bakteri, memenuhi semua konvensi dan semua instrumen internasional, semua usaha untuk menghindari penderitaan anak dan perempuan dalam perang, dan seterusnya.
Di sisi lain, pihak-pihak yang melanggar hukum internasional tersebut harus mendapatkan sanksi keras. Jangan seperti Israel yang atas restu Amerika Serikat, dibiarkan melakukan kejahatan perang tanpa ada yang berani menyeret ke mahkamah internasional. PBB pun bertekuk lutut dan berbagai instrumen internasional di atas mandul di hadapan negeri Zionis itu. Padahal, dalam Statuta Roma tentang International Criminal Court (ICC) pasal 8 ayat 2b (v) ditegaskan bahwa kejahatan perang termasuk kejahatan serius penyerangan atau bombardier terhadap desa, kota, atau bangunan yang bukan sasaran militer.

Penutup
Jika sebagian aktivis perempuan selalu berprasangka bahwa kebijakan yang dikeluarkan oleh laki-laki pasti bias kelaki-lakian, bukankah dengan logika yang sama bisa dipertanyakan, apakah kebijakan yang dikeluarkan kaum perempuan pada akhirnya tidak bias keperempuanan? Walhasil hakikat perdamaian bisa diwujudkan siapa saja yang beritikad baik untuk menyelamatkan dunia dari kehancuran akibat konflik bersenjata, baik dia laki-laki maupun perempuan.(*)

Kholda Naajiyah, S.Si, peminat masalah sosial, khususnya wanita dan anak-anak, aktivis Hizbut Tahrir Indonesia.

Pasukan wanita. Foto from Google.



No comments: