Islam Memajukan Kaum Perempuan


Oleh Asri Supatmiati, S.Si
Jurnalis, penulis buku-buku Islam.


Hari Kartini tanggal 21 April selalu menjadi moment bagi perempuan Indonesia untuk merefleksikan diri. Isu persamaan hak antara laki-laki dan perempuan, kembali nyaring didendangkan. Terlebih melihat realitas masih buramnya protret kaum perempuan di tanah air.
Betapa tidak, banyak perempuan yang disinyalir menjadi korban kekerasan. Eksploitasi dan perdagangan perempuan juga semakin marak. Bahkan berdasar survey, 80 persen perempuan Indonesia dinyatakan sebagai perempuan ”jablay” yang teraniaya secara mental maupun moral. Banyak janda-janda kurang dibelai yang terperangkap kejenuhan rutinitas hidup segan mati tak mau, akibat impitan ekonomi yang semakin tak tertahankan (Sinar Harapan, 27/02/2007).
Kemunduran kaum perempuan juga tampak dari lemahnya mental dan iman para ibu. Hal ini bisa dilihat dari fenomena banyaknya ibu-ibu yang tega membunuh anak kandungnya dan kemudian bunuh diri. Mengapa semua nestapa itu menimpa kaum perempuan?

Akar Masalah
Alasan ekonomi, seringkali melatarbelakangi berbagai kondisi di atas. Kemiskinan telah mengabikatkan hubungan suami-istri yang tidak harmonis sehingga berujung pada kekerasan, ibu membunuh anak, ibu bunuh diri, sampai menjual diri.
Namun, kemiskinan tidak berdiri sendiri. Ia berkait kelindan dengan berbagai faktor seperti sistem pendidikan, politik, hukum, sosial budaya dan agama. Rumah tangga miskin, tentu karena tidak adanya jaminan pemenuhan kebutuhan pokok oleh negara yang menerapkan sistem ekonomi kapitalis.
Sistem ini tidak menjamin distribusi kekayaan sumber daya alam kepada seluruh rakyat, karena pembangunan berpijak pada pertumbuhan, bukan pemerataan. Sumber daya alam yang diekploitasi hanya menguntungkan segelintir orang, sementara mayoritas masyarakat tidak menikmatinya.
Lemahnya pondasi ekonomi keluarga juga terkait dengan sistem pendidikan kapitalistik. Masih banyak rakyat yang tidak mampu menikmati pendidikan dikarenakan mahalnya bangku sekolah. Akibatnya, kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan tertutup. Di lain sisi, rendahnya pendidikan menyebabkan pola pikir mereka tidak berkembang, cenderung labil dan mudah putus asa dalam menghadapi berbagai persoalan hidup.
Ironisnya, perempuan yang mendapat kesempatan untuk menikmati pendidikan (tinggi), justru terjebak dalam lingkaran sistem ekonomi yang eksploitatif. Tenaga dan pikiran mereka diperas habis-habisan untuk menggerakkan roda-roda perekonomian.
Akibatnya, mereka lebih banyak menghabiskan waktunya di gedung-gedung perkantoran nan tinggi menjulang, dibanding mendidik anak-anaknya di rumah. Bisa ditebak, bagaimana mental anak-anak yang dibesarkan pembantu atau guru, tanpa sentuhan kasih sayang ibu kandungnya.
Kondisi di atas diperparah dengan derasnya gelombang gaya hidup hedonis yang diusung sekularisme. Ide pembebasan kaum perempuan dari nilai-nilai agama yang dianggap membelenggu mereka, justru semakin menjerumuskan perempuan pada jurang nestapa. Tuntutan untuk menggapai hak-hak perempuan dengan meninggalkan agama, justru menjadi bumerang. Alih-alih mendapatkan haknya, perempuan justru semakin tergilas dalam perputaran sistem kapitalistik.
Perempuan yang mengejar kebebasan berekspresi misalnya, justru jatuh ke lembah eksploitasi. Tubuh perempuan dijadikan komoditi, dinilai tak lebih dari segepok rupiah. Dari sanalah mencuat berbagai bentuk pelecehan seksual, pemerkosaan dan bahkan kekerasan.
Dengan demikian, fenomena buruknya nasib kaum perempuan, bukanlah bersifat personal atau individualis, namun sudah menggejala akibat faktor sistemik. Dan akar masalah dari berbagai persoalan di atas adalah diterapkannya sistem kapitalisme-sekuler yang menafikkan nilai-nilai agama dari kancah kehidupan.

Islam Memajukan Perempuan
Fenomena di atas sangat kontras dengan kondisi kaum perempuan yang berpegang teguh pada nilai-nilai Islam. Perempuan Islam senantiasa terjaga dan tercegah dari berbagai nasib buruk yang menimpanya. Ini karena Islam mendorong kemajuan kaum perempuan.
Mereka misalnya, wajib menuntut ilmu sama halnya dengan kaum laki-laki. Dibolehkan pula mengaplikasikan ilmunya di berbagai lapangan kehidupan, selama tidak membahayakan harkat dan martabatnya sebagai perempuan. Ya, mereka bebas berkiprah di bidang apa saja yang mereka suka selama menjaga diri dan kehormatannya. Islam tidak melarang sama sekali.
Kemajuan kaum perempuan Islam bisa kita baca dalam sejarah panjang masa kejayaan Islam. Pada saat Islam menyebar ke seluruh penjuru dunia, peran para perempuan sebagai penarik gerbong kemajuan tak diragukan lagi.
Di Eropa, perempuan Islam menjadi perintis kebangkitan kaum wanita. Wanita Barat berhutang banyak kepada wanita-wanita Andalusia yang mengajarkan mereka berbagai ilmu kehidupan. Kaum laki-laki di Barat juga belajar banyak tentang cara menghormati kaum wanita dari orang-orang Islam bangsa Arab.
Gustav Le Bonn dalam bukunya La civilasation des Arabes halaman 428 menulis ”Dari orang-orang Arablah penduduk Eropa mengadopsi sifat menghormati wanita, sebagaimana dari orang-orang Arab pula mereka mempelajari kecakapan memacu kuda.”
Orang-orang Arab mengajarkan bagaimana memperlakukan wanita secara mulia. Berbeda dengan perlakukan tentara Eropa waktu itu yang kasar sekali.
Le Bonn menambahkan, kepentingan wanita dalam kemajuan (civilisation) bangsa Arab nyata dilihat dengan mengetahui jumlah kaum wanitanya yang terkenal dengan keluasan ilmu dan pengetahuannya.
Ilmuwan Barat lainnya, Van Kreimer menulis dalam bukunya bahwa orang-orang Arab Cordobalah yang mencontohkan kepada Eropa betapa kaum pria menghormati kaum wanita. Dari orang Arablah orang Eropa belajar dan mengetahui cara menghormati kaum wanita.
Contoh lain di India. Adalah Mahrunnisa’, istri Emir Saliem yang dikenang melalui bangunan megah Taj Mahal. Suaminya menggelari Mahrunnisa’ dengan sebutan Nur Mahal. Sedang rakyat menggelarinya Nur Jehan atau Nurud Dunya (cahaya alam).
Nur Mahal sangat ahli dalam soal hukum, pandai Bahasa Arab dan Persia. Ia sering keluar istana untuk menginspeksi kelengkapan tentara, menerima kedatangan panglima-panglima perang, para penguasa dan bahkan gemar berkud untuk berburu.
Ketika suaminya ditawan musuh dalam suatu peperangan, Nur Mahal berhasil membebaskannya. Lantaran itu namanya disanjung dan dipuji di seluruh India, bahkan dunia.

Penutup
Sejarah telah mengajarkan bagaimana ketika kaum perempuan berpegang teguh pada nilai-nilai Islam, bukan hanya kemajuan dirinya yang terjadi, tapi juga mampu membangkitkan suatu generasi, bangsa dan negara.
Namun, keagungan ajaran Islam yang mampu memajukan kaum perempuan tidak akan bisa dinikmati selama sistem yang tegak saat ini adalah sistem kapitalisme. Sistem ini terbukti gagal mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan. Bahkan semakin menjerumuskan kaum perempuan pada kemunduran. (*)

Ibu-ibu yang berusaha istiqomah berpegang teguh pada syariah Islam. Location: SICC, Sentul, Bogor. Foto by Asri Supatmiati.

Kekerasan di IPDN, Akibat Keringnya Kecerdasan Spiritual

Oleh Asri Supatmiati, S.Si
(Jurnalis, Trainer Remaja)
Sudah 37 praja yang tewas akibat kerasnya pendidikan di IPDN (dulu STPDN) (Radar Bogor, 9/4/07). Angka itupun, diyakini sebagai puncak gunung es karena diduga masih banyak korban kekerasan yang tidak sempat mencuat seheboh kasus Wahyu Hidayat tahun 2003, atau Cliff Muntu kali ini.
Dosen IPDN Inu Kencana Syafi'i mengungkapkan, ada 34 praja meninggal sejak 1993 dan 17 diantaranya meninggal tidak wajar (detikcom, 9/4/07). Ada yang dilaporkan meninggal akibat jatuh dari barak, kecelakaan karena latihan motor di lingkungan kampus, tenggelam di Danau Toba, bunuh diri, overdosis bahkan ada praja wanita yang disebut-sebut meninggal akibat aborsi.
Rata-rata pada kematian tak wajar itu, pihak IPDN menolak dilakukannya visum pada para korban. Keluarga korban pun tak bisa berbuat banyak karena kampus itu cenderung sangat tertutup. Sungguh mengerikan.
Horor kematian di IPDN sebanyak itu, jelas menimbulkan tanda tanya besar. Bukankah seleksi untuk masuk kampus ini sangat ketat? Syarat kesehatan fisik sudah pasti nomor satu, selain kecerdasan. Sehingga, jika tiba-tiba ada praja yang meninggal, padahal ketika diterima di IPDN dalam keadaan segar bugar, pasti ada yang terjadi di dalam kampus itu. Apalagi jika jumlah kematian itu cukup bertubi-tubi.
Demikian pula bila meninggal karena narkoba atau aborsi, maka patut dipertanyakan, begitu longgarnyakah kampus pencetak aparat pemerintahan itu sehingga narkoba dan seks bebas bisa leluasa menyeruak? Lalu mengapa tidak diusut tuntas? Itulah sekelumit gambaran bobroknya sistem pendidikan di IPDN.
Faktor Penyebab
Bila ditelaah, kiranya ada banyak faktor atas membudayanya kekerasan di kampus IPDN. Misalnya penerapan sistem militerisasi dalam kurikulum pendidikan. Sistem ini diharapkan mampu mendidik mahasiswanya menjadi calon pemimpin yang disiplin.
Namun, pola militerisasi yang diterapkan pada lembaga pendidikan sipil ini justru melahirkan budaya kekerasan yang melebihi lembaga pendidikan militer. Sementara di sisi lain, kekerasan sama sekali tidak efektif untuk mendidik kedisiplinan. Satu kekerasan hanya akan memunculkan kekerasan baru dan terus berulang.
Praja yunior yang menerima perlakukan keras dari seniornya, akan membawa dendam kesumat itu ketika ia naik tingkat. Iapun mempraktikkan kekerasan yang sama terhadap adik kelasnya. Walhasil, dendam senior terhadap yunior terus berulang. Hal ini diperparah dengan lemahnya pengawasan interaksi antara senior dengan yunior dalam lingkungan kampus.
Selain itu, masih kuatnya ikatan kesukuan di antara praja turut memberi kontribusi atas langgengnya budaya tersebut. Seperti diketahui, mahasiswa IPDN berasal dari berbagai daerah. Biasanya, mereka memiliki wadah organisasi tersendiri yang menimbulkan sentimen kesukuan. Jika ada persoalan menimpa praja satu daerah, sentimen kesukuan inipun mencuat. Cara yang ditempuh untuk menyelesaikannya adalah dengan otot dibanding otak.
Akibat Sekularisasi Pendidikan
Selain faktor di atas, faktor terpenting munculnya budaya kekerasan adalah lemahnya pondasi keimanan pada individu mahasiswa. Hal ini tidak terlepas dari kultur sistem pendidikan di Indonesia, dimana saat ini telah terjadi sekularisasi pendidikan yang luar biasa. Terutama pendidikan di tingkat perguruan tinggi.
Selama ini, agama tersingkir dari kehidupan kampus. Mata kuliah agama tak lagi diajarkan di tingkat perguruan tinggi. Entah bagaimana sejarahnya, yang pasti hanya kampus-kampus tertentu yang masih melekatkan agama pada kurikulumnya. Itupun hanya kampus yang memang berplatform agama, seperti Universitas Islam Negeri (UIN).
Sekularisme kampus sangat kentara. Berbagai bidang keilmuan digeluti mahasiswa tanpa pedoman agama. Kurikulum sains kering dari nilai-nilai spiritual. Terlebih di lembaga pendidikan semacam IPDN. Kalaupun diajarkan agama, hanya sebatas retorika yang tidak menyentuh implementasi. Membudayanya kekerasan di lembaga pendidikan tersebut adalah bukti nyata keringnya nilai-nilai rpiritual dalam membentuk karakter anak didik.
Padahal, si sisi lain, saat ini banyak bermunculan sekolah-sekolah berbasis agama (baca: Islam), mulai SD sampai SMU. Sekolah Islam terpadu, begitu istilahnya, menjadi primadona di tengah-tengah terjadinya demoralisasi dan dehumanisasi masyarakat, khususnya kawula muda.
Harapannya, dengan dibekali agama Islam sejak dini, diharapkan anak didik memiliki pondasi kuat untuk menapaki jenjang pendidikan lebih tinggi. Sayang, penanaman nilai-nilai agama itu tidak berlanjut karena di tingkat perguruan tinggi agama tersingkirkan. Agama hanya ada di organisasi kerohanian kampus semata.
Maka, kiranya inilah moment yang tepat untuk kembali menguatkan nilai-nilai spiritual sebagai landasan dalam berbagai jenjang pendidikan. Tak terkecuali perguruan tinggi. Sudah saatnya dihentikan sekularisasi pendidikan, dimana kurikulum pendidikan kering dari nilai-nilai spiritual. Kurikulum pendidikan harus dilandasi agama (baca: Islam).
Karena itu, mustinya penerimaan mahasiswa dibarengi dengan syarat kecerdasan spiritual. Bukankah dalam konteks peningkatan sumber daya manusia modern saat ini, kecerdasan spiritual sudah menjadi trend kebutuhan yang tak bisa dielakkan? Lantas mengapa justru poin penting ini diabaikan?
Jadi, basis agama harus dijadikan salah satu syarat bagi mahasiswa yang diterima. Tentu bukan sekadar agama KTP, tapi bagaimana komitmen dia dalam menjalankan nilai-nilai agama yang dianutnya. Minimal ia adalah orang yang bermoral, mamahami kitab sucinya, menjalankan syariat, berlaku baik, sopan santun dan lemah lembut.
Toh agama, jika dipahami seutuhnya, tidak pernah mengajarkan kekerasan. Agama juga mengajarkan kedisiplinan, perbuatan baik, rasa kasih sayang, lemah lembut dan semua karakter positif pada manusia. Karena itu, tidak pada tempatnya pesantren yang mengajarkan pendidikan agama malah dicurigai karena dituduh mengajarkan kekerasan/terorisme. Sebaliknya, IPDN yang terbukti pencetak generasi preman malah dibiarkan.
Dan yang lebih penting, keterikatan kepada Sang Pencipta merupakan pengontrol perilaku utama manusia. Keterikatan kepada syariat agama ini akan menjadi pengendali utama manusia dalam berbuat. Sebaliknya, ketika agama lepas dari nurani, sifat kehewananlah yang muncul. Insya Allah, dengan nilai-nilai spiritual ini budaya kekerasan di kampus –bahkan dimanapun-- akan bisa dihentikan.(*)

Kuliah itu sampai berhasil diwisuda dengan mengandalkan kecerdasan, bukan malah disiksa. Location: IPB. Foto by Someone.

Kontes Kecantikan, Mengangkat Harkat Perempuan?





Oleh Asri Supatmiati

Miss Indonesia 2007 Agni Pratista Arkadewi gagal memboyong salah satu gelar dari ajang Miss Universe 2007 di Mexico. Padahal, delegasi Indonesia itu berangkat dengan persiapan matang dan penuh rasa percaya diri dengan target menang. Namun jangankan menang menjadi ratu sejagat, tembus 15 besar pun tidak. Kagagalan Agni ini mengikuti jejak pendahulunya, Putri Indonesia 2005 Artika Sari Devi dan Putri Indonesia 2006 Nadine Candrawinata.
Apakah masyarakat Indonesia berkabung atas kegagalan Agni? Bagi mereka yang pro dengan pengiriman wakil Indonesia ke ajang kontes kecantikan dunia tersebut, kegagalan Agni memang menyedihkan. Sebab mereka sudah sangat berharap Agni bisa menang, atau minimal merebut salah satu gelar dari berbagai gelar yang dipertandingkan.
Dalam paradigma para pendukung dan penggiat kontes kecantikan, keberhasilan membawa gelar akan sangat berarti bagi langkah perjuangan mereka selanjutnya. Minimal untuk “membungkam” suara-suara kontra yang selama ini keras menentang pengiriman delegasi Indonesia ke ajang kontes kecantikan dunia tersebut.
Logikanya, jika Agni berhasil menang, rakyat bangsa ini akan bangga, berhenti mencaci maki dan bahkan bisa jadi mendukung ajang tersebut. Jika demikian, ke depan pengiriman delegasi Indonesia ke ajang kontes kecantikan dunia akan semakin mulus, bahkan peluang untuk menjadi tuan rumah akan semakin terbuka. Itulah yang diharapkan.
Sebaliknya, bagi masyarakat yang menentang ajang Miss Universe, sesungguhnya kegagalan Agni adalah “kemenangan” bagi mereka. Kegagalan Agni setidaknya mampu membendung opini mengenai pentingnya pengiriman wanita Indonesia ke ajang ratu sejagat itu. Bahkan pengiriman duta Indonesia, toh tak berdampak apa-apa seperti digembar-gemborkan. Mengangkat harkat dan martabat bangsa? Dari sisi manakaH?
Perempuan dalam Industri Kapitalis
Ajang Miss Universe kali pertama berlangsung pada 1952 dengan tujuan mencari gadis cantik untuk model swimsuit dan make up produk sponsor ajang tersebut. Jadi, kontes kecantikan itu murni mencari wanita cantik --wajah dan fisik- untuk dijadikan ikon produk-produk kecantikan.
Kontes kecantikan adalah bagian dari industri kapitalisme, dimana perempuan menjadi ujung tombaknya. Perempuan cantik diorbitkan untuk mendongkrak image sebuah produk. Siapa yang diuntungkan? Tentu saja para sponsor yang terlibat dalam ajang tersebut. Umumnya, mereka adalah produk wanita seperti pakaian, baju renang dan kosmetik.
Di Indonesia, kontes Putri Indonesia yang memilih satu wanita tercantik di nusantara disponsori sebuah perusahaan kosmetik. Maka, jika nanti di Miss Universe wakil Indonesia menang, maka perusahaan itulah yang akan diuntungkan karena bisa jadi digandeng sebagai sponsor ajang Miss Universe. Itu merupakan kesempatan besar bagi perusahaan tersebut untuk menembus pasar internasional.
Bagaimana keuntungannya bagi bangsa Indonesia dalam mengangkat harkat dan martabat bangsa? Sesungguhnya sangat tidak relevan mengharapkan seorang putri cantik, hanya dengan mengenakan selempang di dadanya yang bertuliskan “INDONESIA” lantas membuat bangsa ini harum namanya. Sebaliknya, bahkan image negara ini bisa jatuh. Bukankah kasus keseleo lidah Nadine dalam Miss Universe 2006 justru menjadi bahan perguncingan akan rendahnya pemahaman Bahasa Inggris bangsa ini?
Kalaupun ada tugas-tugas mulia seperti menjadi duta wisata, duta sosial, duta pendidikan dan sejenisnya, itu pun tak lepas dari program promosi produk sponsor yang bersangkutan. Toh belum ada penelitian yang menunjukkan, bahwa upaya Miss Universe dalam menekan penggunaan narkoba, meminimalkan HIV/Aids, meningkatkan pendidikan anak-anak dan seterusnya demikian signifikan. Bisa jadi masyarakat lebih terpana dengan kecantikannya dibanding misi yang dia bawa.
Lagipula, ketika mereka berhasil menjadi pemenang kontes –atau cukup sebagai finalis—, hanya akan menjejali dunia hiburan/entertainment, menjadi artis, penyanyi, model dan sejenisnya. Tentu saja untuk itu tidak dibutuhkan kriteria faktor ‘kepintaran’, melainkan cukup kecantikan wajah dan fisik. Dengan demikian, jelas bahwa ideologi kontes kecantikan adalah untuk memilih wanita tercantik, bukan terpintar.

Kemunduran Kaum Hawa
Kontes kecantikan tidak akan mendatangkan kehormatan bagi kaum perempuan. Sebaliknya, kontes ini justru menurunkan status kaum perempuan. Perempuan kembali hanya dilihat dari segi penampilan fisiknya saja: cantik tidaknya dia. Persis seperti zaman jahiliyah dahulu, dimana wanita hanya dilihat secara fisik.
Orang awam pun pasti tahu bahwa ajang ratu-ratuan ini memang sangat menonjolkan aspek penampilan fisik. Untuk itulah dibuat standar umur, tinggi badan, bobot badan dan sederet persyaratan lainnya.
Para perempuan yang ambil bagian dalam ajang seperti itu berlomba pamer aurat, berjuang untuk meraih predikat yang tercantik. Mereka tidak lagi punya rasa malu, berlenggak-lenggok di depan publik memamerkan tubuh indahnya. Mereka membiarkan tubuh indahnya dinikmati jutaan mata dan mengakses foto-foto sensual mereka dengan harga yang sangat murah.
Jika perempuan cantik itu benar-benar wanita yang cerdas tentu dia tidak akan mau berbusana minim yang memamerkan sebagian besar tubuhnya layaknya perempuan-perempuan yang hidup di zaman purba. Hal itu sangat merendahkan kaum perempuan.
Menjamurnya ajang kontes kecantikan yang jelas-jelas mengeksploitasi aurat kaum hawa ini menunjukkan kemunduran perjuangan kaum perempuan. Padahal para pejuang pendahulu kaum perempuan, seperti R.A.Kartini, Dewi Sartika dan lain-lain, telah berjuang untuk meningkatkan martabat kaum perempuan dan membebaskannya dari segala unsur kekerasan dan eksploitasi. Mereka bahu-membahu mengangkat martabat kaum perempuan agar tidak dipandang sebelah mata apalagi sebagai objek pemuas hawa nafsu kaum laki-laki.
Mereka berusaha sekuat tenaga untuk meningkatkan posisi tawar kaum perempuan dengan menonjolkan potensi-potensi yang dimilikinya seperti otaknya yang cemerlang. Keduanya ingin kaum perempuan bisa jadi rekan kerja dan seperjuangan dalam menjalani kehidupan, bukan sekadar sebagai pemanis ataupun piala hasil tangkapan laki-laki untuk dipamerkan. Ironisnya, saat ini kaum perempuan ini dengan kesadarannya sendiri menjerumuskan diri ke dalam kenistaan. Mereka membiarkan orang menilai, menghargai dan menghormatinya dari segi fisiknya saja, kecerdasan bakat ataupun kepribadian nomor dua.
Sepinya kritik dari kalangan yang mengaku memperjuangan harkat perempuan, seperti kaum feminis atas keikutsertaan perempuan Indonesia dalam ajang Miss Universe menjadi tanda tanya besar. Seharusnya mereka yang jadi terdepan menentang keikutsertaan kaum hawa ini dalam ajang kontes kecantikan karena sangat jelas telah melecehkan kaum perempuan dan mengekploitasi tubuh mereka.
Bukankah selama ini mereka selalu mengembar-gemborkan agar kaum perempuan tidak dijajah dan dieksploitasi? Lalu mengapa diam seribu bahasa, saat pelecehan dan eksploitasi kaum perempuan dilakukan di depan umum atas nama kebebasan dan HAM?
Kaum feminis telah membiarkan kaum perempuan yang bodoh ini menjadi santapan lezat laki-laki hidung belang untuk diekspolitasi tubuh indahnya. Kaum feminisme ini sejatinya telah mengkhianati kaum perempuan itu sendiri.(*)

Asri Supatmiati, S.Si, jurnalis, penulis buku "Cewek Buka-bukaan".

Selempang 'wanita tercantik' tak perlu diperebutkan. Cantik itu bukan untuk dilombakan. Foto by Asri.