Kontes Kecantikan, Mengangkat Harkat Perempuan?





Oleh Asri Supatmiati

Miss Indonesia 2007 Agni Pratista Arkadewi gagal memboyong salah satu gelar dari ajang Miss Universe 2007 di Mexico. Padahal, delegasi Indonesia itu berangkat dengan persiapan matang dan penuh rasa percaya diri dengan target menang. Namun jangankan menang menjadi ratu sejagat, tembus 15 besar pun tidak. Kagagalan Agni ini mengikuti jejak pendahulunya, Putri Indonesia 2005 Artika Sari Devi dan Putri Indonesia 2006 Nadine Candrawinata.
Apakah masyarakat Indonesia berkabung atas kegagalan Agni? Bagi mereka yang pro dengan pengiriman wakil Indonesia ke ajang kontes kecantikan dunia tersebut, kegagalan Agni memang menyedihkan. Sebab mereka sudah sangat berharap Agni bisa menang, atau minimal merebut salah satu gelar dari berbagai gelar yang dipertandingkan.
Dalam paradigma para pendukung dan penggiat kontes kecantikan, keberhasilan membawa gelar akan sangat berarti bagi langkah perjuangan mereka selanjutnya. Minimal untuk “membungkam” suara-suara kontra yang selama ini keras menentang pengiriman delegasi Indonesia ke ajang kontes kecantikan dunia tersebut.
Logikanya, jika Agni berhasil menang, rakyat bangsa ini akan bangga, berhenti mencaci maki dan bahkan bisa jadi mendukung ajang tersebut. Jika demikian, ke depan pengiriman delegasi Indonesia ke ajang kontes kecantikan dunia akan semakin mulus, bahkan peluang untuk menjadi tuan rumah akan semakin terbuka. Itulah yang diharapkan.
Sebaliknya, bagi masyarakat yang menentang ajang Miss Universe, sesungguhnya kegagalan Agni adalah “kemenangan” bagi mereka. Kegagalan Agni setidaknya mampu membendung opini mengenai pentingnya pengiriman wanita Indonesia ke ajang ratu sejagat itu. Bahkan pengiriman duta Indonesia, toh tak berdampak apa-apa seperti digembar-gemborkan. Mengangkat harkat dan martabat bangsa? Dari sisi manakaH?
Perempuan dalam Industri Kapitalis
Ajang Miss Universe kali pertama berlangsung pada 1952 dengan tujuan mencari gadis cantik untuk model swimsuit dan make up produk sponsor ajang tersebut. Jadi, kontes kecantikan itu murni mencari wanita cantik --wajah dan fisik- untuk dijadikan ikon produk-produk kecantikan.
Kontes kecantikan adalah bagian dari industri kapitalisme, dimana perempuan menjadi ujung tombaknya. Perempuan cantik diorbitkan untuk mendongkrak image sebuah produk. Siapa yang diuntungkan? Tentu saja para sponsor yang terlibat dalam ajang tersebut. Umumnya, mereka adalah produk wanita seperti pakaian, baju renang dan kosmetik.
Di Indonesia, kontes Putri Indonesia yang memilih satu wanita tercantik di nusantara disponsori sebuah perusahaan kosmetik. Maka, jika nanti di Miss Universe wakil Indonesia menang, maka perusahaan itulah yang akan diuntungkan karena bisa jadi digandeng sebagai sponsor ajang Miss Universe. Itu merupakan kesempatan besar bagi perusahaan tersebut untuk menembus pasar internasional.
Bagaimana keuntungannya bagi bangsa Indonesia dalam mengangkat harkat dan martabat bangsa? Sesungguhnya sangat tidak relevan mengharapkan seorang putri cantik, hanya dengan mengenakan selempang di dadanya yang bertuliskan “INDONESIA” lantas membuat bangsa ini harum namanya. Sebaliknya, bahkan image negara ini bisa jatuh. Bukankah kasus keseleo lidah Nadine dalam Miss Universe 2006 justru menjadi bahan perguncingan akan rendahnya pemahaman Bahasa Inggris bangsa ini?
Kalaupun ada tugas-tugas mulia seperti menjadi duta wisata, duta sosial, duta pendidikan dan sejenisnya, itu pun tak lepas dari program promosi produk sponsor yang bersangkutan. Toh belum ada penelitian yang menunjukkan, bahwa upaya Miss Universe dalam menekan penggunaan narkoba, meminimalkan HIV/Aids, meningkatkan pendidikan anak-anak dan seterusnya demikian signifikan. Bisa jadi masyarakat lebih terpana dengan kecantikannya dibanding misi yang dia bawa.
Lagipula, ketika mereka berhasil menjadi pemenang kontes –atau cukup sebagai finalis—, hanya akan menjejali dunia hiburan/entertainment, menjadi artis, penyanyi, model dan sejenisnya. Tentu saja untuk itu tidak dibutuhkan kriteria faktor ‘kepintaran’, melainkan cukup kecantikan wajah dan fisik. Dengan demikian, jelas bahwa ideologi kontes kecantikan adalah untuk memilih wanita tercantik, bukan terpintar.

Kemunduran Kaum Hawa
Kontes kecantikan tidak akan mendatangkan kehormatan bagi kaum perempuan. Sebaliknya, kontes ini justru menurunkan status kaum perempuan. Perempuan kembali hanya dilihat dari segi penampilan fisiknya saja: cantik tidaknya dia. Persis seperti zaman jahiliyah dahulu, dimana wanita hanya dilihat secara fisik.
Orang awam pun pasti tahu bahwa ajang ratu-ratuan ini memang sangat menonjolkan aspek penampilan fisik. Untuk itulah dibuat standar umur, tinggi badan, bobot badan dan sederet persyaratan lainnya.
Para perempuan yang ambil bagian dalam ajang seperti itu berlomba pamer aurat, berjuang untuk meraih predikat yang tercantik. Mereka tidak lagi punya rasa malu, berlenggak-lenggok di depan publik memamerkan tubuh indahnya. Mereka membiarkan tubuh indahnya dinikmati jutaan mata dan mengakses foto-foto sensual mereka dengan harga yang sangat murah.
Jika perempuan cantik itu benar-benar wanita yang cerdas tentu dia tidak akan mau berbusana minim yang memamerkan sebagian besar tubuhnya layaknya perempuan-perempuan yang hidup di zaman purba. Hal itu sangat merendahkan kaum perempuan.
Menjamurnya ajang kontes kecantikan yang jelas-jelas mengeksploitasi aurat kaum hawa ini menunjukkan kemunduran perjuangan kaum perempuan. Padahal para pejuang pendahulu kaum perempuan, seperti R.A.Kartini, Dewi Sartika dan lain-lain, telah berjuang untuk meningkatkan martabat kaum perempuan dan membebaskannya dari segala unsur kekerasan dan eksploitasi. Mereka bahu-membahu mengangkat martabat kaum perempuan agar tidak dipandang sebelah mata apalagi sebagai objek pemuas hawa nafsu kaum laki-laki.
Mereka berusaha sekuat tenaga untuk meningkatkan posisi tawar kaum perempuan dengan menonjolkan potensi-potensi yang dimilikinya seperti otaknya yang cemerlang. Keduanya ingin kaum perempuan bisa jadi rekan kerja dan seperjuangan dalam menjalani kehidupan, bukan sekadar sebagai pemanis ataupun piala hasil tangkapan laki-laki untuk dipamerkan. Ironisnya, saat ini kaum perempuan ini dengan kesadarannya sendiri menjerumuskan diri ke dalam kenistaan. Mereka membiarkan orang menilai, menghargai dan menghormatinya dari segi fisiknya saja, kecerdasan bakat ataupun kepribadian nomor dua.
Sepinya kritik dari kalangan yang mengaku memperjuangan harkat perempuan, seperti kaum feminis atas keikutsertaan perempuan Indonesia dalam ajang Miss Universe menjadi tanda tanya besar. Seharusnya mereka yang jadi terdepan menentang keikutsertaan kaum hawa ini dalam ajang kontes kecantikan karena sangat jelas telah melecehkan kaum perempuan dan mengekploitasi tubuh mereka.
Bukankah selama ini mereka selalu mengembar-gemborkan agar kaum perempuan tidak dijajah dan dieksploitasi? Lalu mengapa diam seribu bahasa, saat pelecehan dan eksploitasi kaum perempuan dilakukan di depan umum atas nama kebebasan dan HAM?
Kaum feminis telah membiarkan kaum perempuan yang bodoh ini menjadi santapan lezat laki-laki hidung belang untuk diekspolitasi tubuh indahnya. Kaum feminisme ini sejatinya telah mengkhianati kaum perempuan itu sendiri.(*)

Asri Supatmiati, S.Si, jurnalis, penulis buku "Cewek Buka-bukaan".

Selempang 'wanita tercantik' tak perlu diperebutkan. Cantik itu bukan untuk dilombakan. Foto by Asri.

No comments: