Oleh
Asri Supatmiati, S.Si
(Jurnalis, Trainer Remaja)
Sudah
37 praja yang tewas akibat kerasnya pendidikan di IPDN (dulu STPDN)
(Radar Bogor, 9/4/07). Angka itupun, diyakini sebagai puncak
gunung es karena diduga masih banyak korban kekerasan yang tidak
sempat mencuat seheboh kasus Wahyu Hidayat tahun 2003, atau Cliff
Muntu kali ini.
Dosen
IPDN Inu Kencana Syafi'i mengungkapkan, ada 34 praja meninggal sejak
1993 dan 17 diantaranya meninggal tidak wajar (detikcom, 9/4/07).
Ada yang dilaporkan meninggal akibat jatuh dari barak, kecelakaan
karena latihan motor di lingkungan kampus, tenggelam di Danau Toba,
bunuh diri, overdosis bahkan ada praja wanita yang disebut-sebut
meninggal akibat aborsi.
Rata-rata
pada kematian tak wajar itu, pihak IPDN menolak dilakukannya visum
pada para korban. Keluarga korban pun tak bisa berbuat banyak karena
kampus itu cenderung sangat tertutup. Sungguh mengerikan.
Horor
kematian di IPDN sebanyak itu, jelas menimbulkan tanda tanya besar.
Bukankah seleksi untuk masuk kampus ini sangat ketat? Syarat
kesehatan fisik sudah pasti nomor satu, selain kecerdasan. Sehingga,
jika tiba-tiba ada praja yang meninggal, padahal ketika diterima di
IPDN dalam keadaan segar bugar, pasti ada yang terjadi di dalam
kampus itu. Apalagi jika jumlah kematian itu cukup bertubi-tubi.
Demikian
pula bila meninggal karena narkoba atau aborsi, maka patut
dipertanyakan, begitu longgarnyakah kampus pencetak aparat
pemerintahan itu sehingga narkoba dan seks bebas bisa leluasa
menyeruak? Lalu mengapa tidak diusut tuntas? Itulah sekelumit
gambaran bobroknya sistem pendidikan di IPDN.
Faktor
Penyebab
Bila
ditelaah, kiranya ada banyak faktor atas membudayanya kekerasan di
kampus IPDN. Misalnya penerapan sistem militerisasi dalam kurikulum
pendidikan. Sistem ini diharapkan mampu mendidik mahasiswanya menjadi
calon pemimpin yang disiplin.
Namun,
pola militerisasi yang diterapkan pada lembaga pendidikan sipil ini
justru melahirkan budaya kekerasan yang melebihi lembaga pendidikan
militer. Sementara di sisi lain, kekerasan sama sekali tidak efektif
untuk mendidik kedisiplinan. Satu kekerasan hanya akan memunculkan
kekerasan baru dan terus berulang.
Praja
yunior yang menerima perlakukan keras dari seniornya, akan membawa
dendam kesumat itu ketika ia naik tingkat. Iapun mempraktikkan
kekerasan yang sama terhadap adik kelasnya. Walhasil, dendam senior
terhadap yunior terus berulang. Hal ini diperparah dengan lemahnya
pengawasan interaksi antara senior dengan yunior dalam lingkungan
kampus.
Selain
itu, masih kuatnya ikatan kesukuan di antara praja turut memberi
kontribusi atas langgengnya budaya tersebut. Seperti diketahui,
mahasiswa IPDN berasal dari berbagai daerah. Biasanya, mereka
memiliki wadah organisasi tersendiri yang menimbulkan sentimen
kesukuan. Jika ada persoalan menimpa praja satu daerah, sentimen
kesukuan inipun mencuat. Cara yang ditempuh untuk menyelesaikannya
adalah dengan otot dibanding otak.
Akibat
Sekularisasi Pendidikan
Selain
faktor di atas, faktor terpenting munculnya budaya kekerasan adalah
lemahnya pondasi keimanan pada individu mahasiswa. Hal ini tidak
terlepas dari kultur sistem pendidikan di Indonesia, dimana saat ini
telah terjadi sekularisasi pendidikan yang luar biasa. Terutama
pendidikan di tingkat perguruan tinggi.
Selama
ini, agama tersingkir dari kehidupan kampus. Mata kuliah agama tak
lagi diajarkan di tingkat perguruan tinggi. Entah bagaimana
sejarahnya, yang pasti hanya kampus-kampus tertentu yang masih
melekatkan agama pada kurikulumnya. Itupun hanya kampus yang memang
berplatform agama, seperti Universitas Islam Negeri (UIN).
Sekularisme
kampus sangat kentara. Berbagai bidang keilmuan digeluti mahasiswa
tanpa pedoman agama. Kurikulum sains kering dari nilai-nilai
spiritual. Terlebih di lembaga pendidikan semacam IPDN. Kalaupun
diajarkan agama, hanya sebatas retorika yang tidak menyentuh
implementasi. Membudayanya kekerasan di lembaga pendidikan tersebut
adalah bukti nyata keringnya nilai-nilai rpiritual dalam membentuk
karakter anak didik.
Padahal,
si sisi lain, saat ini banyak bermunculan sekolah-sekolah berbasis
agama (baca: Islam), mulai SD sampai SMU. Sekolah Islam terpadu,
begitu istilahnya, menjadi primadona di tengah-tengah terjadinya
demoralisasi dan dehumanisasi masyarakat, khususnya kawula muda.
Harapannya,
dengan dibekali agama Islam sejak dini, diharapkan anak didik
memiliki pondasi kuat untuk menapaki jenjang pendidikan lebih tinggi.
Sayang, penanaman nilai-nilai agama itu tidak berlanjut karena di
tingkat perguruan tinggi agama tersingkirkan. Agama hanya ada di
organisasi kerohanian kampus semata.
Maka,
kiranya inilah moment yang tepat untuk kembali menguatkan nilai-nilai
spiritual sebagai landasan dalam berbagai jenjang pendidikan. Tak
terkecuali perguruan tinggi. Sudah saatnya dihentikan sekularisasi
pendidikan, dimana kurikulum pendidikan kering dari nilai-nilai
spiritual. Kurikulum pendidikan harus dilandasi agama (baca: Islam).
Karena
itu, mustinya penerimaan mahasiswa dibarengi dengan syarat kecerdasan
spiritual. Bukankah dalam konteks peningkatan sumber daya manusia
modern saat ini, kecerdasan spiritual sudah menjadi trend kebutuhan
yang tak bisa dielakkan? Lantas mengapa justru poin penting ini
diabaikan?
Jadi,
basis agama harus dijadikan salah satu syarat bagi mahasiswa yang
diterima. Tentu bukan sekadar agama KTP, tapi bagaimana komitmen dia
dalam menjalankan nilai-nilai agama yang dianutnya. Minimal ia adalah
orang yang bermoral, mamahami kitab sucinya, menjalankan syariat,
berlaku baik, sopan santun dan lemah lembut.
Toh
agama, jika dipahami seutuhnya, tidak pernah mengajarkan kekerasan.
Agama juga mengajarkan kedisiplinan, perbuatan baik, rasa kasih
sayang, lemah lembut dan semua karakter positif pada manusia. Karena
itu, tidak pada tempatnya pesantren yang mengajarkan pendidikan agama
malah dicurigai karena dituduh mengajarkan kekerasan/terorisme.
Sebaliknya, IPDN yang terbukti pencetak generasi preman malah
dibiarkan.
Dan
yang lebih penting, keterikatan kepada Sang Pencipta merupakan
pengontrol perilaku utama manusia. Keterikatan kepada syariat agama
ini akan menjadi pengendali utama manusia dalam berbuat. Sebaliknya,
ketika agama lepas dari nurani, sifat kehewananlah yang muncul. Insya
Allah, dengan nilai-nilai spiritual ini budaya kekerasan di kampus
–bahkan dimanapun-- akan bisa dihentikan.(*)
Kuliah itu sampai berhasil diwisuda dengan mengandalkan kecerdasan, bukan malah disiksa. Location: IPB. Foto by Someone. |
No comments:
Post a Comment