Menghentikan Penyebaran HIV/Aids


Oleh Asri Supatmiati, S.Si
(Jurnalis, penulis buku The World of Me)

Secara global, menurut data UNAIDS/WHO 2006 “AIDS Epidemic Update” yang dipublikasikan pada 21 November 2006, diperkirakan 39,5 juta orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Terdapat 4,3 juta infeksi baru pada 2006, 2,8 juta (65 persen) dari jumlah tersebut terjadi di Sub-Sahara Afrika, sedangkan kawasan Asia Selatan dan Asia Tenggara menyumbang angka 860.000 (15 persen).
Di Indonesia, penderita HIV/AIDS sebesar 1,3 juta orang dengan jumlah paling banyak di daerah Papua, sekitar 30 persen dari jumlah penderita di Indonesia. Menurut dr Peter Piot, executive director UNAIDS, Indonesia disebut sebagai negara dengan epidemi tercepat.
Jumlah itu belum termasuk pengidap yang telah meninggal dunia. Yang mengerikan, 50 persen dari jumlah itu berada pada usia produktif 15 - 29 tahun.
Dibandingkan penyakit lain, jumlah kasus HIV/AIDS memang tak begitu banyak, akan tetapi sangat mengkhawatirkan. Jumlah kasus yang tercatat belum mencerminkan keadaan sebenarnya, melainkan sebagai fenomena gunung es, yaitu kasus yang timbul di permukaan hanya sebagian kecil dari kondisi sebenarnya. Hal ini karena belum semua orang dengan HIV/Aids (ODHA) terdeteksi, diantaranya karena keengganan untuk memeriksakan diri.

Upaya Pencegahan
Upaya pencegahan penularan HIV/Aids pun gencar dilakukan. LSM-LSM telah banyak yang memberikan edukasi kepada mereka-mereka yang rentan terkena HIV/Aids. Diantaranya dengan mengadakan penyuluhan kepada para pelaku seks aktif, seperti Pekerja Seks Komersial (PSK).
Bukan itu saja, pengetahuan tentang HIV/Aids pun telah dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan. Pemerintah Kabupaten Merauke dan Biak, Provinsi Papua, bekerja sama dengan Dinas Pendidikan setempat mulai memasukkan pelajaran mengenai seluk-beluk HIV/AIDS dan penyakit menular lain dalam kurikulum pendidikan tahun ajaran 2007/2008 ini.
Materi tentang HIV/AIDS, sebagai bahan mata pelajaran muatan lokal di sekolah, akan diajarkan mulai sekolah dasar hingga SMA/SMK, dengan tujuan agar siswa memperoleh berbagai pengetahuan tentang penularan HIV/AIDS dan tata cara pencegahannya.
Materi tentang HIV/Aids juga dikemas dalam kurikulum Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR) dan sedang disosialisasikan ke sekolah-sekolah.
Sayang, materi penyuluhan tentang HIV/Aids untuk masyarakat umum maupun pelajar itu minus muatan moral dan agama. Bahkan faktor moral dan agama sengaja dihilangkan dan sama sekali tabu dibicarakan, karena menurut mereka, HIV/Aids sekadar fakta medis yang tidak bisa dikait-kaitkan dengan moral dan agama.
Ini karena menurut mereka, tidak semua ODHA adalah para pelaku tindak amoral seperti pelaku seks bebas. Ada anak yang tertular HIV/Aids dari ibunya, atau istri baik-baik tertular dari suaminya. Jadi, dalam logika ini, memasukkan nilai-nilai moral atau agama hanya akan memvonis ODHA sebagai pelaku tindak amoral.
Padahal, penyakit HIV/Aids jelas-jelas terkait dengan perilaku sosial yang tentu erat kaitannya dengan moral. Sebab jika ditelusuri, munculnya HIV/Aids terjadi karena aktivitas sosial yang menyimpang dari tuntunan agama.
Ingat, virus mengerikan ini pertama kali ditemukan tahun 1978 di San Fransisco Amerika Serikat pada kalangan homoseksual, suatu perilaku yang ditentang dalam agama manapun. Di Indonesia kasus HIV/AIDS ini pertama kali ditemukan pada turis asing di Bali tahun 1981. Kita tahu, bagaimana perilaku seks turis asing, meski tak semuanya memang penganut seks bebas. Karena itu, minusnya muatan agama dalam kurikulum penyuluhan HIV/Aids dipastikan tidak akan membuat upaya pencegahan penyebaran HIV/Aids efektif.

Solusi Semu
Sementara itu, gagasan pencegahan HIV/Aids yang bersumber dari UNAIDS (United Nation Acquired Immune Deficiency Syndrome) dan WHO melalui PBB juga tampak tidak mengakar.
Dalam kampanye pencegahan HIV/Aids, ada istilah ABCD. Ringkasnya, A=Abstinence alias jangan berhubungan seks; B=Be faithfull alias setialah pada pasangan, C=Condom alias pakailah kondom, atau D=no use Drugs atau hindari obat-obatan narkotika.
Solusi yang ditawarkan tampaknya bagus. Namun, pada realitasnya program kondomisasi lebih mendominasi. Padahal, orang bodoh pun tahu bahwa menyodorkan komdom sama saja dengan menyuburkan seks bebas. Apalagi, faktanya kondom justru dibagi-bagikan di lokasi-lokasi prostitusi, hotel dan tempat-tempat hiburan yang rentan terjadinya transaksi seks.
Lagipula, efektivitas kondom dalam pencegahan HIV/Aids masih diperdebatkan, mengingat tidak ada produsen kondom yang berani mengklaim 100 persen produknya aman tak bisa ditembus virus HIV/Aids. Artinya, efektivitas kondom dalam mencegah HIV/Aids patut dipertanyakan."Penggunaan kondom untuk cegah HIV tidak aman 100 persen," kata psikiater dan guru besar FK UI Prof Dr dr Dadang Hawari (bkkbn.go.id)
Selanjutnya, karena penularan HIV/Aids banyak terjadi pada pengguna narkoba terutama suntik, maka untuk mencegah penggunaan narkoba, para pecandunya diberi solusi dengan substitusi metadon.
Metadon adalah turunan dari narkoba (morfin, heroin dkk) yang mempunyai efek adiktif (nyandu) dan menyebabkan “loss control” (tidak mampu mengendalikan diri). Dengan dalih agar tidak menggunakan narkoba suntik  metadon pun ditempuh karena metadon melalui mulut. Padahal, “loss control” dapat menyebabkan perilaku seks bebas sebagai transmisi utama penularan virus HIV/AIDS.
Lebih ironis lagi adalah upaya untuk melegalisasi penggunaan jarum suntik pada pecandu narkoba, dengan dalih agar tidak terjadi penggunaan jarum suntik secara bersama-sama. Padahal, langkah ini justru akan melestarikan penggunaan narkoba suntik. Siapa yang bisa menjamin jarum suntik akan digunakan sendiri? Sebab, fakta menunjukkan pengguna narkoba biasanya hidup berkelompok.
Dengan demikian jelaslah bahwa solusi yang diberikan/ditawarkan oleh PBB untuk memberantas penyakit AIDS tidak memberantas faktor penyebab utama (akar masalah) atau menghilangkan media penyebarannya yaitu seks bebas, namun justru melestarikannya. Dengan melestarikan seks bebas, virus HIV/AIDS ini akan semakin merajalela.

Solusi Tuntas
Media utama penulatan HIV/AIDS adalah seks bebas. Oleh karena itu pencegahannya harus dengan menghilangkan praktik seks bebas tersebut. Hal ini meliputi rangsangan-rangsangan menuju seks bebas, termasuk pornografi-pornoaksi, tempat-tempat prostitusi, tempat maksiat dan pelaku maksiat.
Lalu untuk pencegahan penularan, penderita HIV/AIDS wajib dikarantina. Karantina bukan berarti diskriminasi, karena hak-hak penderita tetap diberikan. Seperti kebutuhan makan, minum dan obat gratis, dll.
Selain negara wajib memfasilitasi para ilmuwan dan ahli kesehatan agar secepatnya bisa menemukan obat HIV/Aids yang belum ditemukan itu. Dengan demikian, bukan sekadar upaya pencegahan yang dilakukan, tapi juga pengobatan yang efektif.(*)

Untung Rugi Bersahabat dengan Cowok

Oleh Asri Supatmiati

Penulis Buku Cewek Buka-bukaa
 Nggak sedikit diantara kamu-kamu lebih memilih sohiban ama lawan jenis. Katanya sih cowok lebih pengertian dan nggak 'ember' sehingga lebih bisa nyimpen rahasia. Cowok juga lebih rasional, nggak gampang marah dan lebih care. Benarkah begitu?


Cewek Tak Selalu Matre

Oleh Asri Supatmiati
Penulis Buku The World of Me 


Cewek matre...cewek matre...
Cewek matre…cewek matre…ke laut aje...

Penggalan lagu rap di atas pernah ngetop tahun 90-an. Tuh lagu sarat banget dengan sindiran buat cewek-cewek yang konon katanya doyan duit. Yup, cewek mana yang nggak ijo matanya ngeliat rupiah? Ngelirik cowok aja, yang pertama diliat bukan sekadar tampangnya, tapi isi dompetnya. Wah! Apa bener semua cewek kayak gitu?
Susi mengaku nggak masalah kalo cewek dibilang matre. “Gimana ya, mereka tuh kebutuhan buat belanjanya memang lebih gede ketimbang cowok. Kalau cowok kan nggak harus fashionable, beda sama cewek. Wajar dong kalo butuh duit lebih banyak,” ujarnya ketika ditodong Sobat Muda. Ia mencontohkan, para ABG-ABG cewek aja, udah pasti lebih doyan belanja pernak-pernik dibanding ABG-ABG cowok. “Perlengkapan cewek kan lebih banyak, jadi butuh banyak duit,” kata ABG abu-abu putih ini.
Ela justru komentar lain. Menurutnya, nggak semua cewek bisa dicap matre. “Kalau memang materi itu untuk kebutuhan dia, ya nggak bisa dibilang matre. Tapi kalo sekadar buat hura-hura, baru tuh namanya cewek matre,” katanya. Ia mencontohkan seorang ibu rumah tangga yang minta uang belanja kebutuhan keluarga, itu nggak bisa dibilang matre. “Beda kalo ibu-ibu itu mintanya berlebihan, misalnya buat beli barang-barang mewah seperti perhiasan atau baju-baju mahal, nah itu baru matre,” katanya. Setuju?!
Tergantung Pola Pikir
Matre nggaknya cewek, sangat tergantung pola pikirnya. Makanya, cap cewek matre itu sebenarnya hanya mitos. Soalnya, nggak semua cewek bisa dibilang matre. Kebanyakan cewek sekarang jadi matre karena pola pikirnya udah teracuni sama ideologi kapitalis. Itu tuh, ideologi yang mengedepankan kebahagiaan materi sepuas-puasnya. Menurut ideologi yang memisahkan agama dari kehidupan ini, materi dianggap sebagai satu-satunya tolak ukur kebahagiaan. Makin banyak punya materi, makin bahagialah dia.
Ideologi ini juga mengajarkan gaya hidup (life style) yang selalu mengikuti perkembangan zaman. Kepribadian seseorang hanya diukur dari penampilan fisik. Nah, untuk menunjang penampilan fisik yang oke, dirancanglah berbagai produk. Siapa yang mengikutinya kudu punya modal besar, karena kalau tidak akan ketinggalan zaman. Misalnya mode rambut atau sepatu, tiap tahun ganti. Mode pakaian malah tiap musim berubah. Bahkan untuk situasi tertentu, model pakaiannya juga tertentu pula. Gimana nggak butuh banyak duit coba?
Cewek yang nggak mau ketinggalan up to date otomatis tiap saat kudu sedia anggaran untuk ganti model rambut, model sepatu, model baju, dll. Buat potong rambut aja, minimal 10.000 perak melayang. Padahal itu nggak cukup setahun sekali. Begitu rambut terlihat nggak rapi, atau poni udah nutupin mata dikit, udah musti nyalon. Belum buat creambath atau hair spa. Bagi yang pengin rebonding, minimal sedia Rp 50.000. Tambah lagi kalo pengin bleaching atau beli produk-produk penghilang ketombe dan perawatan rambut lainnya. Hm, itu baru urusan rambut.
Belum lagi urusan kulit. Buat ngilangin jerawat, komedo atau flek item, kudu rajin beli produk-produk kosmetik atau jika perlu konsultasi ke dokter. Atau kalau nggak pede kulit gelap, berarti kudu sedia anggaran buat beli produk pemutih yang harganya bisa ratusan ribu. Belum buat lotion, make up, pedicure, menicure, dll.
Apalagai urusan baju. Mau renang, bajunya ada sendiri. Harganya bisa ratusan ribu perak. Mau pesta atau dugem, nggak bakal pede kalo pake baju sehari-hari. Mau shopping atau jalan-jalan, ya nggak oke kan kalo pakai seragam sekolah. Bisa-bisa ditegur satpam di pusat perbelanjaan, kan malu-maluin. Minimal kudu punya potongan casual plus jeans. Belum buat sepatu dan tas. Untuk pesta, jalan-jalan, sekolah atau main, sepatu/sendal dan tasnya juga musti beda-beda. Yang penting matching. Alamak, ribetnya!
Dari sinilah bermula gaya hidup konsumtifisme. Nah, untuk memenuhi konsumsi kebutuhan-kebutuhan sekunder dan bahkan kebutuhan tersier inilah kaum cewek biasanya suka menjerat cowok-cowok yang berkantong tebal. Nggak heran kalo mereka akhirnya masuk kategori cewek matre. Bagi yang niat nyari jodoh, kemapanan materi cowok juga jadi penilaian nomor satu. Gaji musti gede, punya rumah pribadi atau mobil pribadi and so on. Soal agama atau kelakuan, akhirnya dinomorsekiankan. Parah!

Muslimah Anti Matre
Cap cewek matre idealnya nggak bakal menghinggapi remaja muslimah yang berpedoman pada pola pikir Islam. Soalnya dalam Islam, ukuran kebahagiaan bukanlah terpenuhinya kebutuhan materi dan penampilan fisik, tapi gimana kehidupan ini senantiasa selaras dengan perintah Allah Swt. Yup, ridho Allah Swt itulah yang menjadi ukuran kebahagiaan.
Makanya, seorang muslimah Insya Allah nggak bakalan jadi cewek matre. Coba bandingkan, mereka nggak perlu ribet mikirin urusan model rambut. Toh rambut hanya terlihat di dalam kehidupan khususnya. Kalaupun butuh perawatan seperti creambath, toh nggak seberapa sering. Insya Allah, dengan rambut tertutup ketika keluar rumah, udah mengurangi risiko-risiko buruk akibat terpaparnya rambut oleh sinar matahari, kering dan patah-patah misalnya. Jadi, anggaran perawatan rambut bisa diminimalisir.
Untuk urusan perawatan kulit juga sama. Seorang muslimah nggak bakal ribut buat mutihin kulit, karena ia yakin bahwa warna kulitnya adalah ciptaan Allah Swt yang terbaik, yang nggak bakal membawa efek pahala atau dosa dengan mengganti warnanya. Ia akan mensyukuri apa adanya. Meski sesekali dikunjungi jerawat atau komedo, nggak perlu terlalu stress buat ngilanginnya. Tertutupnya kulit sehingga terhindar dari paparan sinatr matahari, juga akan lebih menjaga kelembaban kulit sehingga produk perawatan yang dibutuhkan nggak perlu yang mahal-mahal.
Sementara itu, kosmetik, parfum, pernak-pernik rambut, ikat pinggang, perhiasan seperti kalung, anting, cincin dan gelang juga tak masuk daftar anggaran belanja. Jadi, lebih hemat kan? Makanya, cewek muslimah dijamin nggak matre. Apalagi mereka yakin, gaya hidup yang serba dilihat dari penampilan fisik itu sama sekali nggak selaras dengan nilai-nilai Islam. Jadi, ngapain diikuti? Cuek aja lagi!

Hidup Bersahaja
Di sisi lain, Rasulullash Saw sebagai suri teladan kita mengajarkan kita untuk hidup bersahaja. Bukannya menganjurkan melarat ya, tapi hidup secukupnya. Rasul nggak melarang sama sekali kita menikmati materi, bahkan sangat menghargai hambanya yang kaya, tapi saleh. Seperti sahabat Abdurrahman bin Auf. Kekayaannya Non, kalau dijejer-jejer, orang yang berdiri barisan depan kekayaannya nggak bakalan bisa ngelihat barisan kekeyaannya yang ada di paling belakang. Bayangin! Tujuh turunan nggak bakal abis tuh! Tapi, apakah beliau membelanjakannya untuk sekadar memenuhi kebutuhan sekunder dan tersier? Sama sekali nggak. Malah harta beliau dihamburk-hamburkan untuk infak dan sedekah. Apa lantas cepat habis? Nggak juga. Malah semakin bertambah dan terus bertambah.
Begitulah, kalo berpedoman pada Islam, nggak usah keburu nafsu mencari banyak doku kalau sekadar dibelanjakan buat kebutuhan-kebutuhan lux. Apalagi sekadar belanja untuk mempercantik penampilan fisik atau gengsi-gengsian. Bisa-bisa stress sendiri! Iya nggak Non?(*)


/ Boks

Ruginya Cewek Matre

Jadi cewek matre, kelihatannya seneng ya. Soalnya, semua kebutuhan materinya terpenuhi. Tapi ada loh sisi negatifnya kalau kita udah kadung dicap cewek matre. Makanya hati-hati, hindari label itu! Karena jadi cewek matre bisa-bisa:
  1. Dijauhi temen.
Nggak semua temen kamu suka loh sama cewek matre. Bikin sebel atau mungkin iri. Lagipula, biasanya temen yang matre tuh kadang-kadang suka morotin temennya. Dikit-dikit minta traktir, dikit-dikit minta ini itu.
  1. Pemborosan.
Kebiasaan beli pernak-pernik yang sebetulnya bukan kebutuhan primer, sama saja dengan buang-buang duit. Kelihatannya sih sepela, karena harganya yang mungkin murah. Tapi kalau frekeunsi belanjanya sering, namanya pemborosan. Padahal barang itu akhirnya nggak dipakai.
3. Terjerumus dosa.
Awas, kalo virus matre udah kronis, halal-haram bisa dilabrak. Demi tuntutan materi, akhirnya menjerumuskan diri ke dalam kubangan dosa. Jual diri atau ngutil misalnya. Kan berabe!
4. Sulit Jodoh.
Serius Non! Ini bukan main-main. Banyak loh cowok-cowok yang ngeper mau
married gara-gara nggak pede dengan penghasilannya. Soalnya di benak mereka yang
kebayang adalah cukup nggak ya gaji gue buat nafkahi istri kelak? Ya nafkah dapur,
plus ngongkosi penampilannya. Belum lagi pas mau married suka ada aja cewek yang
meminta mahar selangit, gimana cowok nggak ngeper. (Bener nggak para ikhwan? Jujur ye!).(*)


Duh, Mantan Pacar Come Back!


Oleh Asri Supatmiati
Penulis Buku The World of Me  

Tahu nggak, sekarang makin banyak loh yang nyadar kalo pacaran tuh nggak dianjurkan Islam. Dan alhamdulillah, makin banyak muslimah yang berani mengambil keputusan meninggalkan doinya. Tapi, gimana ya kalo doi masih juga menghubungi? Gimana pula kalo masih ada perasaan sayang ama dia?

Pacaran bagi muslimah emang udah basi. Nggak sedikit kok para muslimah yang udah berani mengambil keputusan ogah pacaran sebelum married. Merekapun menenggelamkan diri dalam aktivitas dakwah buat melupakan masa lalu. Ya, nggak sedikit para aktivis dawah yang dulunya juga aktivis pacaran.
Asma (nama disamarkan neh) punya pengalaman menggeluti dunia hitam itu. Gadis cantik yang tergolong kembangnya aktivis ini, bisa dibilang tergolong aktivis pacaran. Bukannya nyombong, waktu sekolah SMP dan SMA, banyak cowok naksir pengin jadi pacarnya. Doi juga ingat betul, pernah menjalin cinta ama cowok sebanyak tiga kali. “Untungnya sih cuma cinta monyet, di SMP sekali, SMU dua kali. Jadi, nggak terlalu mendalam hubungannya. Lalu pas kuliah nggak lagi, keburu ngaji,” paparnya malu-malu.
Asma mengakui, waktu pertama-tama ngaji nggak mudah melupakan mantan pacarnya waktu SMU. Mereka emang pisah baik-baik karena kuliah secara terpisah. “Tadinya nggak menyatakan putus, tetep surat-suratan. Tapi karena udah nggak pernah ketemuan, trus kebetulan tahu nggak boleh pacaran, ya udah aku nggak pernah menghubungi dia lagi,” paparnya.
Masih sayang ama dia nggak? “Awalnya iya, tapi dengan berbagai kesibukan akhirnya nggak kepikiran lagi tuh!” kata akhwat yang kini udah married ini.
Pengalaman serupa juga dialami Nur (nama aslinya nggak mau disebut, malu!), aktivis yang pernah berhubungan ama seorang calon dokter mantan teman SMU-nya. Meski udah ngaji sekitar setahun, doi nggak bisa begitu saja melupakan gebetannya itu. “Dia kuliah di Jogja. Kita masih suka email-emailan. Api sekarang isinya lain, nggak sayang-sayangan lagi, tapi saya kirimi tulisan-tulisan Islam. Soalnya dia belum ngaji,” papar mahasiswi di Bogor ini.
Memang, mantannya itu masih suka menggoda hatinya. Tapi Nur sudah terus terang padanya bahwa dia nggak mau lagi pacaran. “Untungnya dia ngerti. Toh kalau jodoh nggak akan kemana,” ujar akhwat yang berharap mantannya itu bisa ngaji biar sefikroh dengannya. Duh, masih mengharap rupanya!

Nggak Gampang
Melupakan masa-masa indah pacaran itu nggak gampang loh. Apalagi kalo putusnya baik-baik alias nggak ada masalah. Wah, memori indah jaman jahiliyah itupun seringkali menggoda. Apalagi kalo di dalam hati ternyata masih ada benih-benih daun waru merah jambu. Duh...tambah susah deh melupakan mantan pacar. Belum lagi kalo ternyata mantan pacar juga masih ada perasaan yang sama. Waduh, gimana dong?
Tenang Girls, perasaan kamu itu sebenernya nggak salah kok. Namanya juga cewek normal, wajar dong ada perasaan sayang dan butuh ama lawan jenis. Soalnya dalam hati kamu tuh ada yang namanya gharizah nau' alias rasa kasih sayang yang salah satunya terhadap lawan jenis. Makanya, bagi yang udah terlanjur punya pengalaman pacaran, munculnya memori tentang si dia wajar-wajar saja. Bahkan memori itu sangat sulit buat dihilangkan. Meski udah berusaha melupakannya, seumur hidup memori itu nggak bakal bisa hilang 100 persen dari dalam benak. Otak kita ini punya kemampuan luar biasa buat menyimpan memori. Coba bayangkan, masa kanak-kanak atau SD aja, biar sedikit tetep ada kan yang kamu ingat? Apalagi masa-masa pacaran.
Tapi, justru itulah salah satu efek negatif pacaran. Memori saat pacaran akan terus melekat dalam benak, bahkan meski kamu kelak udah married. Baik memori indah maupun memori buruk saat pacaran akan tetap teringat. Hal itu bisa sangat mengganggu dan berdampak negatif bagi aktivitas kita. Bahkan sangat mengganggu kelak ketika kita udah menikah. Misalnya jadi membanding-mbandingkan antara suami ama mantan pacar dulu, baik dari wajah, fisik, sifat, sikap, dll. Kadang malah mengkhayalkan, andai saja aku nikahnya sama si A atau si B, pasti begini atau begitu. Andai saja dulu nggak putus, pasti lebih bahagia, nggak gini atau gitu. Begitu seterusnya. Bayangan macam itu akan terus ada kalau pola pikir nggak dirombak total.
Hal itu jelas bikin nggak sehat dalam hubungan suami-istri kelak, dan bahkan rawan menimbulkan ketidakharmonisan. Makanya Girls, bersyukurlah bagi kamu-kamu yang nggak sempat mencicipi pacaran. Nggak udah coba-coba deh! Insya Allah pacarannya ntar abis married deh, lebih ciamik (ups!).
Dan bagi kamu yang pernah pacaran, coba kubur dalam-dalam masa lalu dengan mantan pacar kamu. Usahakan semaksimal mungkin agar kelak nggak mengganggu pikiran kamu terus. Jangan sampai perasaan pada mantan pacar meracuni kesucian hatimu. Ntar lama-lama bisa jadi penyakit hati. Hal ini bisa berpengaruh pada aktivitas dakwahmu. Mungkin jadi lemah semangat, terlalu banyak mengkhayal dan melemahkan akal.
Gimana kalo dia masih semangat empat lima menghubungi kamu? Satu-satunya cara adalah memberikan pemahaman kepadanya bahwa pacaran itu melanggar aturan Allah Swt. Kamu harus tegas dan terus terang padanya bahwa kamu sekarang udah bukan kamu yang dulu lagi.
Kalo kamu masih sayang sama dia dan dia juga masih nekat mendekati kamu, tembak saja untuk melamarmu. Tapi tentu dengan syarat: kamu udah mantap dengan pilihanmu, dia orang yang hanif dan bisa membimbingmu dengan Islam, kamu udah siap maaried, serta bukan untuk melegalkan pacaran. Gimana, siap nggak?(*)

Menghapus Memori Kelam

Melupakan masa lalu, apalagi kenangan manis dengan pacar, emang nggak gampang. Tapi kalo ada tekad baja untuk bener-bener menghapus memori hitam itu, mudah aja kok. Gini neh caranya:
  1. Istighfar.
Ingat-ingat kembali, berapa banyak dosa yang udah tercetak gara-gara intim ama mantan pacar dulu. Jadikan ini sebagai pengendali utama agar tak terbersit keinginan buat come back.
  1. Buang semua kenangan tentang dia.
Pengalaman banyak orang menunjukkan, “membuang” semua benda-benda kenangan dengan mantan pacar adalah obat ampuh untuk melupakannya. Misalnya kado pemberian pacar, foto, nomor telepon, alamat rumah, alamat email dll. Juga diary kamu, buat apa tetep disimpan. Nggak usah eman-eman, buang!
  1. Hindari pertemuan.
Jangan menyengaja buat ketemuan ama doi. Kalao si dia pengin ketemu, jangan pernah memberi lampu hijau. Bikin saja alasan-alasan yang masuk akal, yang penting nggak boong.
  1. Sibukkan diri.
Daripada mikirin si dia terus, mendingan sibukkan pikiran dan fisik kamu dengan berbagai kegiatan yang positif. Jadi panitia kegiatan, belajar, baca buku, ngaji atau apalah yang penting bisa menghapus jejak dia dari banak kita.
  1. Hindari tempat-tempat 'bersejarah'.
Waktu pacaran, kalian berdua pasti punya tempat favorit dong buat mojok. Misalnya kafe, taman, tempat rekreasi atau mal tertentu. Nah, jangan sekali-kali kamu mendatangi tempat itu lagi kalo emang nggak ada keperluan yang mengharuskan kamu ke sana. Soalnya, bisa jadi kamu bakal inget lagi ama mantan kamu itu.
  1. Menghilangkan jejak.
Kalo pake HP, mendingan ganti nomor deh, biar doi gak bisa lagi menghubungi atau SMS. Bagi kamu yang kos, sebaiknya pindah kos agar gak terlacak keberadaanmu biar doi gak lagi datang atau telepon ke kosan. Tentunya penghuni kos yang lama udah diwanti-wanti jangan ngasih info kalo ada yang nanyain kos barumu. Bagi pelajar yang masih sekolah atau kuliah, emang nggak perlu sampai pindah sekolah atau kuliah sih, yang penting kalo doi nekat datang ke sekolah atau kampus, hindari dengan berbagai alasan. Bisa kan? Yakin deh, dengan bantuan Yang di Atas insya Allah mudah kok!(*)

Ngecengin Pemain Bola

Oleh Asri Supatmiati 
(Penulis Buku "Cewek Buka-bukaan")


Demam sepakbola nggak hanya melanda kaum adam loh. Kaum hawa juga pada heboh menyambut gegap gempita Worl Cup 2006. Waduh, apa yang mereka cari ya?

Yup, bukan cowok aja yang gila bola, ternyata ada juga cewek yang gila bola. Apalagi menjelang ajang Wolrd Cup, para cewek pun nggak mau kalah ikut menyambutnya dengan gegap gempita. Saking gibolnya, ampe fanatik banget ama apa aja yang terkait dengan sepakbola.
Seperti Andi Nabila yang mengaku penggemar berat klub sepak bola asal Italia AC Milan. Mulai dari pakaian, pernak-pernik, bahkan ponsel pun bernuansa AC Milan. "Pokoknya bagi saya AC Milan adalah number one. Ponsel saya dilengkapi pernak-pernik AC Milan," ungkap siswi Kelas II IPA 6 SMA Kartika Chandra Kirana ini.
Bahkan, seandainya ada ponsel bermerek AC Milan, sudah pasti ia menjadi orang pertama yang memiliki ponsel tersebut. Pemain favoritnya di AC Milan adalah pemain muda Kakha dan Paulo Maldini (www.tribun-timur.com).
Hal senada juga melanda Rosa, jebolan SMU yang udah gawe ini. Dahulu, doi demen banget ama yang namanya sepakbola. Alasannya, “Bukan hanya para penjudi bola yang merasakan adrenalin terpicu saat nonton bola, penonton biasa macam gue pun, suka deg-degan juga. Apalagi kalo playernya ganteng, he…he…he…,” katanya.
Apa sih yang lu suka dari sepak bola? Kan masih banyak olah raga lain yang nggak kalah asyik? “Em..gimana ya…soalnya sepakbola tuh berseni banget, makanya hampir semua orang doyan sama sepakbola. Populer dari kota hingga ke desa,” ujarnya.
Ditanya pemain idolanya, Rosa menyebut deretan nama seperti Christian Vieri, Fabio Cannavarro, Paolo Maldini, Alessandro Del Piero dan Andrij Shevchenko. Wah, ngelontok banget!
Pemain bola yang rata-rata cakep-cakep itu menjadi salah satu daya tarik buat kaum cewek. Nggak sedikit cewek gibol yang nggak peduli permainan bolanya sendiri, tapi lebih fokus buat ngecengin pemainnya yang keren-keren. “Wah gua mengakui kalo gua termasuk orang yang menyukai sepakbola karena pemainnya,” cetusnya. Doipun rajin nyimak berbagai turnamen, macam World Cup, Champion Cup, Liga Inggris dll. “Gua nonton semuanya, bukan tim yang gua dukung aja,” tuturnya bersemangat.
Saking rajinnya nyimak pertandingan bola, akhirnya jadi tahu segala peraturan dan seluk-beluk sepak bola. “Sampai-sampai gua ngobrol ama temen-temen gua yang cowok dulu cuma buat bahas sepakbola doang dan nyambung karena gua ngerti peraturan dan juga cara mainnya mereka,” paparnya. Tapi, imbuh Rosa, itu dulu pas SMP ama SMA. “Sekarang mah dah nggak ada waktu buat ngikutin,” tandasnya.
Kalau lu ketemu pemain bola kira-kira gimana? “Wah…pasti seneng banget dong. Aku pasti foto-foto bareng dia dan minta tanda tangannya,” ujarnya.

Sekadar Trend
Keterlibatan kaum hawa dalam gegap gempita sepakbola emang bukan hal aneh. Emang sih, nggak sedikit yang jadi pecandu bola dadakan gara-gara ada even World Cup. Nah, kelompok ini demen sepak bola sekadar karena trend aja. Mereka nggak telaten nyimak seluruh even, cuma ajang besar macam Piala Dunia aja.
Seperti penuturan Ami yang waktu SMA dulu sempat ngikuti Piala Dunia 1994 dari awal ampe akhir. “Dulu rajin ngikuti bola karena kebetulan pas liburan sekolah, jadi begadang malem nggak masalah. Dan habis itu udah, nggak ngikuti berita-berita sepakbola lagi,’’ katanya.
Apalagi doi lantas kuliah dan sibuk dengan berbagai aktivitas. Malah doi akhirnya sadar, ngikuti pertandingan bola kayak gitu hanya buang-buang waktu dan energi. “Soalnya kalo betul-betul mau disebut pecandu sepakbola, berarti kita musti ngikuti terus perkembangan even-even, nyimak analisis berbagai pengamat sepakbola, baca koran, nonton pertandingannya meski hanya lewat TV, tahu gosip-gosip pemainnya dan seterusnya. Wah, mana sempat lah yaw,” katanya.
Dan memang betul, kalo dipikir-pikir, berapa waktu terbuang percuma yang musti kita habiskan buat menyimak seluruh pertandingan sepakbola. Dalam satu even aja, kudu ngikuti puluhan pertandingan. Belum lagi karena evennya di Eropa, kita musti rela begadang karena siaran langsung di tivi biasanya tengah malam atau dini hari. Padahal, kalo buat belajar atau sholat malam, belum tentu kuat melek ampe dini hari. Tul nggak?
Paling parah kalo sampe bermimpi pengin jadi pemain bola. Yup, jangan salah, sekarang sepakbola wanita kan juga ada. Malah bisa dijadikan sebagai profesi. Maklum, para pemain bola yang ngetop biasanya langsung kaya mendadak. Siapa yang nggak tergiur coba.
Padahal, pastinya banyak banget aturan sepakbola yang nggak selaras ama aturan Islam. Seperti cara berpakaiannya yang nggak menutup aurat misalnya. Juga para penontonnya yang campur baur nggak karuan. Belum lagi kalo sampai terjadi kerusuhan, udah pasti itu nggak islami banget.
Belum lagi skandal-skandal yang terjadi di balik even bola. Olah raga yang mustinya buat kesehatan, telah berkembang jadi ladang bisnis buat mengeruk rupiah. Akibatnya seringkali menghalalkan segala cara, termasuk mengekploitasi wanita. Duh, jangan sampai kita terlena gara-gara sepakbola deh!(*)

Stop Kekerasan Terhadap Anak!



Oleh Kholda Naajiyah

Kasus kekerasan terhadap anak (child abuse) kembali menjadi perhatian. Korban terbaru adalah Jovita yang babak belur dihajar orang tuanya sendiri. Komnas Perlindungan Anak (KOMNAS PA) merekam, kasus kekerasan terhadap anak meningkat dari 441 pada tahun 2004 menjadi 688 kasus pada 2005 (Media Indonesia, 13/07/06).
Gianfranco Rotigliano dari Unicef memaparkan, anak mengalami kekerasan dalam beragam cara antara lain dicubit, dimarahi, diejek, dipukuli, disuruh lari, didorong, dibentak dan kekerasan psikis lainnya. Bentuk yang lebih mengerikan antara lain penyiksaan, pencabulan, pemerkosaan, penculikan dengan kekerasan, penjualan anak (trafficking) hingga pembunuhan.
Ironisnya, pelaku kekerasan tersebut didominasi orang-orang yang dikenal dekat dengan si anak. Seperti kakak, kakek, nenek, paman, guru, orang tua tiri dan bahkan ayah atau ibu kandung. Mereka berpeluang paling besar sebagai pelaku kekerasan terhadap anak karena intensitas interaksinya dengan anak-anak. Menyedihkan. Orang-orang terdekat yang diharapkan kasih sayang dan perlindungannya oleh anak, justru mengakibatkan kesengsaraan dan menjadi ancaman yang membahayakan diri si anak. Mengapa ini bisa terjadi? Bagaimana mengantisipasinya?

Akar Masalah

Bila kita cermati, munculnya kekerasan terhadap anak bisa disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, paradigma yang salah dalam memandang anak. Kebanyakan orang tua berpikir bahwa anak adalah hak milik orang tua. Orang tua berhak mengendalikan anak, sekalipun dengan cara-cara kasar dan keras. Orang dewasa memandang bahwa anak-anak itu “tidak tahu apa-apa”, sehingga mereka harus menurut kepada apa kata orang dewasa. Anak-anak selalu dianggap sebagai trouble maker yang merepotkan. Anak-anak harus diam, duduk manis dan menurut apa kata orang tua, baru disebut sebagai anak baik. Membentak, mencubit dan memukul anak seolah menjadi hal biasa dalam rangka mendisiplinkan anak-anak.
Ironisnya, pemahaman yang salah itu ikut tertanamkan di benak anak yang sejak kecil diperlakukan keras oleh orang tuanya. Akibatnya, kekerasan terus terjadi secara turun temurun. Sebab, kelak ketika si kecil menikah dan memiliki anak, maka ia akan memperlakukan anak-anaknya sebagaimana ia diperlakukan orang tuanya.
Kedua, faktor pendidikan. Pandangan yang keliru terhadap anak-anak di atas, tidak lepas dari rendahnya tingkat pendidikan masyarakat. Tidak banyak orang tua yang memiliki bekal ilmu yang cukup dalam mendidik anak, khususnya anak usia dini.
Akibatnya, tidak banyak yang menyadari betapa rawannya masa anak-anak bagi proses tumbuh kembangnya kelak. Minimnya informasi dan ilmu pengetahuan seputar dunia anak-anak dan bagaimana memahaminya, menyebabkan mereka terjebak pada pensikapan yang salah terhadap anak.
Mereka tidak paham pentingnya mendidik anak sejak dini, bagaimana teknik mendisiplinkan anak tanpa harus memukul, bagaimana mengajarkan kesantunan pada anak, bagaimana mengarahkan potensi anak, bagaimana mengembangkan bakatnya, begitu seterusnya. Ironisnya, anak-anak yang kreatif, seringkali malah dicap nakal. Anak-anak yang butuh kasih sayang dicap manja dan seterusnya sehingga kekerasan dijadikan sebagai cara untuk membuat diam anak.
Ketiga, faktor ekonomi. Ketidakmapanan ekonomi keluarga, memicu tingkat stres bagi orang-orang di sekitar anak, khususnya ayah dan ibu dalam keluarga tersebut. Beban ekonomi yang berat, membuat frustasi sehingga ada ibu yang tega bunuh diri dan membunuh anak-anaknya karena tak kuat menangung hidup.
Pada kondisi dimana seorang ayah tidak bekerja –mungkin akibat PHK atau usahanya bangkrut--, tentu saja ibu terpaksa bekerja mencari nafkah. Beban pengasuhan yang ditimpakan kepada ayah, seringkali tak mampu dipikul hingga anak-anak menjadi korban kekerasan akibat rasa frustasi pada diri ayahnya.
Belum lagi jika ibu bekerja, stres meningkat akibat beban kerja ditambah beban pengasuhan anak. Labilnya emosi menyebabkan anak menjadi sasaran pelampiasan stres si ibu, apalagi jika banyak masalah yang dihadapinya di tempat kerja. Sadar atau tidak, kerapkali si ibu melampiaskan kekesalannya atas himpitan persoalan hidup pada anak-anak. Ibu yang mengalami kelelahan fisik dan pikiran, tak lagi mampu mencurahkan energinya untuk memperhatikan si kecil. Kemauan si kecil malah ditanggapi sebagai bentuk rengekan dan bentakanlah yang didapatkan.
Sementara itu, anak yang berasal dari keluarga tak mampu, seringkali dipaksa untuk bekerja. Di sana mereka mendapat perlakuan kasar, baik dari teman, masyarakat maupun siapa saja. Seperti menjadi korban pencabulan, perkosaan, penjualan anak hingga pembunuhan. Semua bermuara karena himpitan kemiskinan.
Keempat, pengaruh lingkungan dan media massa. Lingkungan tempat anak berinteraksi yang dibangun atas dasar kekerasan, akan memicu kekerasan selanjutnya. Seorang anak yang dididik dengan pukulan, maka ketika ia keluar rumah akan mudah memukul temannya yang tak seide dengan dia. Ketika ia biasa mendengar kata-kata kasar, makian atau umpatan, maka kata-kata itulah yang akan ia luncurkan ketika dirinya kesal. Ketika orang tuanya bisa mencubit dirinya, jangan salahkan jika ia pun biasa mencubit adiknya. Demikian seterusnya. Satu kekerasan, memicu kekerasan selanjutnya.
Selain belajar dari lingkungan terdekatnya, anak juga belajar kekerasan dari pengaruh media massa. Setiap anak, pasti tidak steril dari tayangan televisi atau bahan bacaan. Film, sinetron, komik atau gim, tidak terhitung yang bermuatan kekerasan. Kisah-kisah kepahlawanan seperti Superman atau bahkan film kartun sekadar gambar seperti Tom and Jerry pun tak luput dari muatan kekerasan. Wajar jika anak-anak masa kini lebih mudah terinveksi virus kekerasan. Dan jangan heran bila anak-anak bukan hanya menjadi korban kekerasan, namun juga bisa menjadi pelaku kekerasan terhadap anak-anak lain.
Kelima, faktor negara. Kebijakan negara secara langsung maupun tidak telah mengabaikan pemenuhan hak-hak anak sehingga mereka rentan menjadi korban kekerasan. Kemiskinan yang menimpa orang tua si anak –hingga mereka tak mampu memenuhi kebutuhan anaknya-- adalah tanggung jawab negara. Sebab kemiskinan yang melanda negeri ini adalah kemiskinan struktural yang disebabkan oleh kebijakan negara yang tidak menjamin kesejahteraan masyarakat. Kemiskinan yang muncul adalah bentuk kekerasan yang dilakukan negara, sehingga memicu berbagai bentuk kekerasan lainnya, seperti orang tua terhadap anak.
Kemiskinan juga telah menafikkan hak anak untuk mendapatkan layanan pendidikan dan kesehatan yang memadai. Bahkan hak anak-anak untuk bermain terampas karena mereka terpaksa bekerja untuk mengidupi dirinya sendiri.

Pencegahan dan Solusi

Melihat banyaknya akar masalah di atas, bukan berarti kekerasan terhadap anak tak dapat dihentikan atau dicegah. Jika kita berpedoman pada tatanan Islam dalam mengatur masyarakat dan mendidik anak, niscaya kekerasan terhadap anak tidak akan terjadi.
Bentuk solusi yang ditawarkan Islam tersebut adalah pertama, luruskan paradigma mengenai anak. Bahwa anak adalah amanah, milik Allah Swt dan bukan milik orang tuanya. Orang tua hanyalah dititipi untuk menjalankan amanah mengasuh anak menjadi pribadi yang siap mengemban tugas sebagai hamba Allah Swt.
Kedua, berikan ruang yang nyaman bagi Ibu untuk melaksanakan fungsinya sebagai ummu wa rabbatul bait atau ibu pengatur rumah tangga. Ibu harus dicegah dari faktor-faktor stres akibat beban kerja tambahan di luar rumah yang menambah berat beban pekerjaannya di dalam rumah.
Ketiga, kembalikan fungsi ayah-ibu, yaitu ayah sebagai orang yang bertanggung jawab mencari nafkah, dalam hal ini negara harus memberikan kemudahan-kemudahan/menfasilitasi kepala keluarga untuk mendapatkan pekerjaan.
Keempat, negara harus memenuhi kebutuhan publik, seperti kesehatan, pendidikan, yang berkualitas, murah dan mudah dijangkau seluruh lapisan masyarakat.
Kelima, negara menjamin ketersedian pangan, sandang dan papan yang sehat dan berkualitas dan mudah dijangkau oleh semua kalangan. Negara wajib memfasilitasi agar para bapak memiliki kesempatan luas dalam berekonomi. Misalnya dengan menyediakan lapangan kerja dan mempermudah mereka yang ingin berusaha mandiri. Negara wajib memberikan jaminan pendidikan, kesehatan dan perumahan yang murah. Dengan demikian beban hidup tidak terlalu berat untuk dipikul sehingga tercukupi kebutuhan pokok masyarakat secara merata.
Logikanya, jika para suami telah memiliki sumber perekonomian yang mapan, para ibu tidak perlu lagi memikirkan ekonomi keluarga. Secara naluriah ia akan tenang dan tenteram sehingga lebih fokus dalam mendidik anak. Ketenangan dan ketenteraman itu akan membuat rumah tangga penuh dengan kasih sayang. Jika demikian, insya Allah peluang untuk terjadinya kekerasan, khususnya kekerasan terhadap anak tidak akan terjadi. Wallahu’alam.(*)

Penulis adalah pemerhati masalah sosial, khususnya wanita dan anak-anak, tinggal di Bogor.