Stop Kekerasan Terhadap Anak!



Oleh Kholda Naajiyah

Kasus kekerasan terhadap anak (child abuse) kembali menjadi perhatian. Korban terbaru adalah Jovita yang babak belur dihajar orang tuanya sendiri. Komnas Perlindungan Anak (KOMNAS PA) merekam, kasus kekerasan terhadap anak meningkat dari 441 pada tahun 2004 menjadi 688 kasus pada 2005 (Media Indonesia, 13/07/06).
Gianfranco Rotigliano dari Unicef memaparkan, anak mengalami kekerasan dalam beragam cara antara lain dicubit, dimarahi, diejek, dipukuli, disuruh lari, didorong, dibentak dan kekerasan psikis lainnya. Bentuk yang lebih mengerikan antara lain penyiksaan, pencabulan, pemerkosaan, penculikan dengan kekerasan, penjualan anak (trafficking) hingga pembunuhan.
Ironisnya, pelaku kekerasan tersebut didominasi orang-orang yang dikenal dekat dengan si anak. Seperti kakak, kakek, nenek, paman, guru, orang tua tiri dan bahkan ayah atau ibu kandung. Mereka berpeluang paling besar sebagai pelaku kekerasan terhadap anak karena intensitas interaksinya dengan anak-anak. Menyedihkan. Orang-orang terdekat yang diharapkan kasih sayang dan perlindungannya oleh anak, justru mengakibatkan kesengsaraan dan menjadi ancaman yang membahayakan diri si anak. Mengapa ini bisa terjadi? Bagaimana mengantisipasinya?

Akar Masalah

Bila kita cermati, munculnya kekerasan terhadap anak bisa disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, paradigma yang salah dalam memandang anak. Kebanyakan orang tua berpikir bahwa anak adalah hak milik orang tua. Orang tua berhak mengendalikan anak, sekalipun dengan cara-cara kasar dan keras. Orang dewasa memandang bahwa anak-anak itu “tidak tahu apa-apa”, sehingga mereka harus menurut kepada apa kata orang dewasa. Anak-anak selalu dianggap sebagai trouble maker yang merepotkan. Anak-anak harus diam, duduk manis dan menurut apa kata orang tua, baru disebut sebagai anak baik. Membentak, mencubit dan memukul anak seolah menjadi hal biasa dalam rangka mendisiplinkan anak-anak.
Ironisnya, pemahaman yang salah itu ikut tertanamkan di benak anak yang sejak kecil diperlakukan keras oleh orang tuanya. Akibatnya, kekerasan terus terjadi secara turun temurun. Sebab, kelak ketika si kecil menikah dan memiliki anak, maka ia akan memperlakukan anak-anaknya sebagaimana ia diperlakukan orang tuanya.
Kedua, faktor pendidikan. Pandangan yang keliru terhadap anak-anak di atas, tidak lepas dari rendahnya tingkat pendidikan masyarakat. Tidak banyak orang tua yang memiliki bekal ilmu yang cukup dalam mendidik anak, khususnya anak usia dini.
Akibatnya, tidak banyak yang menyadari betapa rawannya masa anak-anak bagi proses tumbuh kembangnya kelak. Minimnya informasi dan ilmu pengetahuan seputar dunia anak-anak dan bagaimana memahaminya, menyebabkan mereka terjebak pada pensikapan yang salah terhadap anak.
Mereka tidak paham pentingnya mendidik anak sejak dini, bagaimana teknik mendisiplinkan anak tanpa harus memukul, bagaimana mengajarkan kesantunan pada anak, bagaimana mengarahkan potensi anak, bagaimana mengembangkan bakatnya, begitu seterusnya. Ironisnya, anak-anak yang kreatif, seringkali malah dicap nakal. Anak-anak yang butuh kasih sayang dicap manja dan seterusnya sehingga kekerasan dijadikan sebagai cara untuk membuat diam anak.
Ketiga, faktor ekonomi. Ketidakmapanan ekonomi keluarga, memicu tingkat stres bagi orang-orang di sekitar anak, khususnya ayah dan ibu dalam keluarga tersebut. Beban ekonomi yang berat, membuat frustasi sehingga ada ibu yang tega bunuh diri dan membunuh anak-anaknya karena tak kuat menangung hidup.
Pada kondisi dimana seorang ayah tidak bekerja –mungkin akibat PHK atau usahanya bangkrut--, tentu saja ibu terpaksa bekerja mencari nafkah. Beban pengasuhan yang ditimpakan kepada ayah, seringkali tak mampu dipikul hingga anak-anak menjadi korban kekerasan akibat rasa frustasi pada diri ayahnya.
Belum lagi jika ibu bekerja, stres meningkat akibat beban kerja ditambah beban pengasuhan anak. Labilnya emosi menyebabkan anak menjadi sasaran pelampiasan stres si ibu, apalagi jika banyak masalah yang dihadapinya di tempat kerja. Sadar atau tidak, kerapkali si ibu melampiaskan kekesalannya atas himpitan persoalan hidup pada anak-anak. Ibu yang mengalami kelelahan fisik dan pikiran, tak lagi mampu mencurahkan energinya untuk memperhatikan si kecil. Kemauan si kecil malah ditanggapi sebagai bentuk rengekan dan bentakanlah yang didapatkan.
Sementara itu, anak yang berasal dari keluarga tak mampu, seringkali dipaksa untuk bekerja. Di sana mereka mendapat perlakuan kasar, baik dari teman, masyarakat maupun siapa saja. Seperti menjadi korban pencabulan, perkosaan, penjualan anak hingga pembunuhan. Semua bermuara karena himpitan kemiskinan.
Keempat, pengaruh lingkungan dan media massa. Lingkungan tempat anak berinteraksi yang dibangun atas dasar kekerasan, akan memicu kekerasan selanjutnya. Seorang anak yang dididik dengan pukulan, maka ketika ia keluar rumah akan mudah memukul temannya yang tak seide dengan dia. Ketika ia biasa mendengar kata-kata kasar, makian atau umpatan, maka kata-kata itulah yang akan ia luncurkan ketika dirinya kesal. Ketika orang tuanya bisa mencubit dirinya, jangan salahkan jika ia pun biasa mencubit adiknya. Demikian seterusnya. Satu kekerasan, memicu kekerasan selanjutnya.
Selain belajar dari lingkungan terdekatnya, anak juga belajar kekerasan dari pengaruh media massa. Setiap anak, pasti tidak steril dari tayangan televisi atau bahan bacaan. Film, sinetron, komik atau gim, tidak terhitung yang bermuatan kekerasan. Kisah-kisah kepahlawanan seperti Superman atau bahkan film kartun sekadar gambar seperti Tom and Jerry pun tak luput dari muatan kekerasan. Wajar jika anak-anak masa kini lebih mudah terinveksi virus kekerasan. Dan jangan heran bila anak-anak bukan hanya menjadi korban kekerasan, namun juga bisa menjadi pelaku kekerasan terhadap anak-anak lain.
Kelima, faktor negara. Kebijakan negara secara langsung maupun tidak telah mengabaikan pemenuhan hak-hak anak sehingga mereka rentan menjadi korban kekerasan. Kemiskinan yang menimpa orang tua si anak –hingga mereka tak mampu memenuhi kebutuhan anaknya-- adalah tanggung jawab negara. Sebab kemiskinan yang melanda negeri ini adalah kemiskinan struktural yang disebabkan oleh kebijakan negara yang tidak menjamin kesejahteraan masyarakat. Kemiskinan yang muncul adalah bentuk kekerasan yang dilakukan negara, sehingga memicu berbagai bentuk kekerasan lainnya, seperti orang tua terhadap anak.
Kemiskinan juga telah menafikkan hak anak untuk mendapatkan layanan pendidikan dan kesehatan yang memadai. Bahkan hak anak-anak untuk bermain terampas karena mereka terpaksa bekerja untuk mengidupi dirinya sendiri.

Pencegahan dan Solusi

Melihat banyaknya akar masalah di atas, bukan berarti kekerasan terhadap anak tak dapat dihentikan atau dicegah. Jika kita berpedoman pada tatanan Islam dalam mengatur masyarakat dan mendidik anak, niscaya kekerasan terhadap anak tidak akan terjadi.
Bentuk solusi yang ditawarkan Islam tersebut adalah pertama, luruskan paradigma mengenai anak. Bahwa anak adalah amanah, milik Allah Swt dan bukan milik orang tuanya. Orang tua hanyalah dititipi untuk menjalankan amanah mengasuh anak menjadi pribadi yang siap mengemban tugas sebagai hamba Allah Swt.
Kedua, berikan ruang yang nyaman bagi Ibu untuk melaksanakan fungsinya sebagai ummu wa rabbatul bait atau ibu pengatur rumah tangga. Ibu harus dicegah dari faktor-faktor stres akibat beban kerja tambahan di luar rumah yang menambah berat beban pekerjaannya di dalam rumah.
Ketiga, kembalikan fungsi ayah-ibu, yaitu ayah sebagai orang yang bertanggung jawab mencari nafkah, dalam hal ini negara harus memberikan kemudahan-kemudahan/menfasilitasi kepala keluarga untuk mendapatkan pekerjaan.
Keempat, negara harus memenuhi kebutuhan publik, seperti kesehatan, pendidikan, yang berkualitas, murah dan mudah dijangkau seluruh lapisan masyarakat.
Kelima, negara menjamin ketersedian pangan, sandang dan papan yang sehat dan berkualitas dan mudah dijangkau oleh semua kalangan. Negara wajib memfasilitasi agar para bapak memiliki kesempatan luas dalam berekonomi. Misalnya dengan menyediakan lapangan kerja dan mempermudah mereka yang ingin berusaha mandiri. Negara wajib memberikan jaminan pendidikan, kesehatan dan perumahan yang murah. Dengan demikian beban hidup tidak terlalu berat untuk dipikul sehingga tercukupi kebutuhan pokok masyarakat secara merata.
Logikanya, jika para suami telah memiliki sumber perekonomian yang mapan, para ibu tidak perlu lagi memikirkan ekonomi keluarga. Secara naluriah ia akan tenang dan tenteram sehingga lebih fokus dalam mendidik anak. Ketenangan dan ketenteraman itu akan membuat rumah tangga penuh dengan kasih sayang. Jika demikian, insya Allah peluang untuk terjadinya kekerasan, khususnya kekerasan terhadap anak tidak akan terjadi. Wallahu’alam.(*)

Penulis adalah pemerhati masalah sosial, khususnya wanita dan anak-anak, tinggal di Bogor.

No comments: