Oleh Asri Supatmiati
KONTRAS: Turini alias Ninih Getuk, dulu dan kini. |
Telah
18 bulan ia bekerja sebagai CS di stasiun tersebut. Duma bekerja
untuk membiayai kuliah. Ia saat ini tercatat sebagai mahasiswa
Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Institut Bina Bisnis Indonesia
(IBBI) Medan.
Heran, akhir-akhir ini
media –tepatnya wartawan yang mungkin juga kebanyakan laki-laki--
begitu centil menyajikan berita tentang si “cantik” yang menekuni
pekerjaan “tidak cantik”. Tukang getuk cantik jadi trending
topik. Tukang jamu cantik menghiasi halaman koran. Kali ini cleaning
service cantik pun “digoda” sang kuli tinta (Padahal
tepatnya, dia itu mahasiswi yang nyambi jadi cleaning service).
Para cewek cantik yang
disorot media itu, memang memiliki profesi yang mungkin dalam
pandangan masyarakat kebanyakan –tepatnya dalam sudut mata genit si
wartawan laki-laki itu-- tidak lumrah dan tidak layak dilakukan oleh
si cantik.
Seolah-olah ingin
mengatakan, si cantik yang kebetulan bernasib sebagai masyarakat
marginal ini tidak pantas bekerja kasar. Kasihan “cuma” jadi
petugas kebersihan. Bergaji kecil. Tidak bergengsi. Tidak pantas
miskin. Kecantikan itu seharusnya bisa mengantarkannya pada profesi
yang lebih 'mulia.' Lebih mentereng. Lebih nyaman kerjanya. Lebih
gede gajinya.
Pandangan ini berarti
juga berlaku sebaliknya, seolah-olah ingin mengatakan bahwa pekerjaan
yang dianggap remeh-temeh seperti menjadi tukang jamu, jual getuk
atau cleaning service itu mestinya cuma dijalani oleh mereka-mereka
yang bermuka standar atau bahkan (maaf) jelek. Karena, pekerjaan
kasar semacam itu nggak butuh modal kecantikan.
Maka itu, akhirnya si
tukang getuk pun “diangkat” derajatnya, diorbitkan jadi artis.
Penyanyi dangdut. Dandannya jadi modis. Tak lagi ndeso. Lah iya,
sayang toh cantik-cantik kok cuma jadi tukang getuk. Padahal dengan
kecantikannya dia bisa ngetop, banyak fans dan banyak duit. Begitu
logikanya.
Jangan-jangan nanti si
cleaning service juga akan di-'naik-daunkan'. Sekali diberitakan dan
rame di media, siapa tahu tiba-tiba ada produser nawari main film.
Atau ngajak rekaman. Soalnya, para kapitalis di dunia hiburan itu
sangat suka memanfaatkan orang mendadak ngetop kayak gitu. Biar
dagangannya laris. Khas kapitalis!
Ukuran Relatif
Mencari berita yang
unik dan eksklusif memang kerjaan wartawan. Nah, orang cantik tapi
miskin itu, mungkin dikategorikan unik dalam kacamata mereka. Seakan
ada kontradiksi dengan kecantikan dan kemolekan tubuhnya, dengan
pekerjaan kasar yang dia lakoni.
Walaupun, sejatinya
ukuran cantik sendiri sangat relatif. Meskipun ada ukuran standar
yang menjadi opini umum bahwa cantik itu: langsing, putih, kulit
mulus, rambut legam, hidung mancung, eye cahcthing dan serba
proporsional. Tapi, semua sepakat, cantik itu relatif. Tidak ada
definisi baku mengenai kecantikan.
Yang menjadi
pertanyaan, jika cantik tapi miskin dianggap ironi, apakah akan
berlaku sebaliknya? Bagaimana jika tidak cantik, tapi nasibnya baik?
'Jelek' tapi kaya atau ngetop? Apakah wartawan berani membuat berita
'jelek' yang dipadankan dengan 'profesi mulia nan sukses'? Misal, ada
seorang perempuan yang (maaf) 'jelek dalam standar ukuran kebanyakan'
tapi sukses menjadi pengusaha atau miliarder? Berani nggak melabelkan
embel-embel 'jelek'?
Jangan Dikotomi
Jangan-jangan wartawan
itu waktu liputan sengaja nyari yang cantik-cantik saja, karena
ketemu yang cantik tapi “nyeleneh” sudah bisa jadi berita. Tapi,
bukankah profesi yang dijalani si cantik itu sungguh beragam? Memang
sih, biasanya kalau cantik itu pekerjaannya berhubungan dengan modal
kecantikannya.
Logikanya: kalau sales
promotion girl cantik, itu biasa. Kalau celaning service cantik, itu
luar biasa. Ya iyalah, perekrutan sales promotion girl itu memang
sudah memakai saringan: hanya menerima yang cantik-cantik. Sedangkan
rekrutmen cleaning service itu kan tidak mencantumkan: hanya menerima
yang “jelek” atau menolak yang cantik.
Jadi, jangan
mendikotomi perempuan dengan cantik atau jelek. Adillah. Tak usah
kegenitan. Jutaan informasi penting yang mencerdaskan lebih
inspiratif dibanding sekadar menyorot fisik perempuan.
Pekerjaan wartawan itu
banyak!
Eksploitasi Fisik
Di sinilah buruknya
sistem sekuler-kapitalistik. Ukuran fisik tetap jadi parameter nomor
satu untuk menilai seseorang. Eksploitatif! Ukuran fisik dianggap
sangat penting dalam menentukan masa depan: cerah atau suram.
Perempuan dengan
anugerah fisik cantik, biasanya akan bernasib baik. Mendapat
pekerjaan yang baik, kedudukan terhormat, harta berlimpah, dan suami
yang ganteng serta kaya raya. Dunia begitu ramah pada si cantik,
sehingga mereka umumnya akan mendapatkan kemudahan-kemudahan itu.
Sebaliknya, nasib yang
tidak cantik biasanya suram. Kalau ingin cemerlang, harus berusaha
lebih keras lagi dibanding si cantik. Ya, kalau si cantik cukup modal
tampang, si 'biasa' (untuk tidak menyebut jelek) ini harus menambah
modal berupa: kepintaran, kecerdikan, dan kerja keras lainnya.
Karena, kalau cantik tapi tidak pintar, masih bisalah hidup enak.
Tapi kalau sudah 'standar' juga tidak pintar dan malas, kiamatlah
masa depannya. Begitukah?
Islam
Antidiskriminasi
Tentu jika Islam tidak
mengenal dikotomi cantik dan jelek. Yang membedakan keduanya hanyalah
derajat ketakwaan-Nya. Allah SWT tidak akan menghisab hamba-Nya
dengan pertanyaan: kenapa kamu tidak cantik? Tapi, yang penting
anugerah fisik kita itu, digunakan untuk apa.
Tidak akan mendapat
keberkahan hidup dan kebahagiaan akhirat jika fisik cantik justru
dimanfaatkan untuk maksiat. Walau dengan motif bekerja atau apapun.
Jadi artis top cantik tapi ternyata nyambi jual diri misalnya.
Sebaliknya, jika berwajah biasa tapi jauh dari maksiat, itu lebih
mulia. So, jadi tukang getuk, tukang jamu atau cleaning service
cantik tak masalah, kan?(*)
* Tulisan ini tayang di
Majalah D'Rise edisi Mei 2015.
No comments:
Post a Comment