Oleh Asri Supatmiati
Diah (7) sedih
kehilangan Theola Nadifa (7) alias Ola. Akrab sejak TK hingga kelas 1
di SDN 1 Semampir, Kediri, Diah menganggap Ola seperti saudara. Ola
sendiri anak yang cerdas. Hampir semua mata pelajaran nilainya
80-100. Bahkan pernah menjuarai lomba seni montase tingkat provinsi
ketika TK. Sayang, masa depan Ola terhenti. Ia menjadi korban
keputus-asaan kedua orangtuanya yang nekad bunuh diri.
Ya, rentetan kasus
bunuh diri terus terjadi. Di Bali misalnya, sejak awal tahun hingga
Maret, sudah 28 kasus. Mulai dari polisi, pelajar SMP, SMA,
mahasiswa, pembantu rumah tangga (PRT), bahkan mantan anggota DPRD.
Gubernur Bali I Made Mangku Pastika pun meminta kepada akademisi,
praktisi, tokoh agama, dan pihak kepolisian untuk mencari solusi
kasus genting ini (sindonews.com, 3/3/15)
Sementara itu, dua
polisi bunuh diri di tempat berbeda. Satu di Desa Cot Gapu, Kecamatan
Kota Juang, Kabupaten Bireuen, Aceh. Kepala Unit Provos Polsek Juli
Bireuen, Brigadir Kepala Oktaviano (35), tewas dengan luka tembak di
kepala. Satu lagi, Brigadir Arifin (40) di Kepolisian Sektor
Manggala, Makassar, yang menembak kepala sendiri setelah apel pagi
(tempo.co.id, 5/4/15)
Kasus lain, juragan
bakso di Serang, Wahyudin (45) tewas gantung diri. Ibu rumah Aam
(35), gantung diri di kontrakannya di Kecamatan Binong. Pemuda
Bukittinggi, Riki Nisi Jaya (24) juga gantung diri (sindonews.com,
10/4/15).
Paling tragis adalah
yang menimpa Ola, ayahnya Yudi Santoso (41) dan ibunya Fajar Retno
(40). Mereka ditemukan tewas membusuk di atas kasur Jumat (3/4/15)
lalu. Dalam wasiatnya, mereka mengaku lelah dan putus asa karena tak
henti menghadapi masalah (tempo.co.id, 5/4/15).
Putus Asa Global
Fenomana bunuh diri
bukan hanya di Indonesia, juga di berbagai negara. Secara global,
dunia juga mengarah pada keputus-asaan hingga berujung pada bunuh
diri. Tertinggi di Korea Utara, Korea Selatan dan Jepang. Motifnya,
bukan saja karena kesulitan ekonomi. Nyatanya orang yang bergelimpang
harta dan ketenaran pun melakukannya. Seperti artis-artis Korea
Selatan atau orang-orang sukses di Jepang.
Mereka memilih bunuh
diri dengan anggapan masalah akan selesai. Dalam keyakinan budaya
mereka, bunuh diri adalah menyelamatkan martabat dan harga diri.
Apalagi kebanyakan mereka tak memiliki pondasi agama, sehingga
menganggap bunuh diri sebagai akhir segalanya.
Lantas, mengapa muslim
juga bunuh diri? Tentu agama Islam tidak bisa dituduh sebagai
pemicunya. Semua paham, Islam mengharamkan umatnya bunuh diri.
Dilarang keras. Berarti, ada faktor di luar agama yang memicu
tindakan nekat tersebut. Sebuah tekanan yang demikian dahsyat.
Ola dan ayah-ibunya semasa hidup. Foto: kompas.com. |
Tekanan itu akibat dari
penerapan sistem hidup yang kejam, keras, tidak manusiawi dan memicu
depresi. Depresi yang bukan hanya melanda individu-individu,
melainkan mayoritas masayarakat. Depresi masal. Kondisi ini
berbanding lurus dengan makin beratnya beban ekonomi dan beban
psikologis. Segalanya mahal. Hidup banyak masalah. Tidak tenteram.
Jauh dari kebahagiaan. Semua karena diterapkannya sistem kapitalis
sekuler yang tidak menjamin pemerataan kesejahteraan dan kering
nilai-nilai keimanan.
Kegagalan Sistemik
Fenomena bunuh diri
adalah bukti nyata gagalnya negara dalam menjamin ketenteraman,
kenyamanan dan kebahagiaan hidup warganya. Gagal menjamin kebutuhan
pokok warganya. Gagal mendidik warganya menjadi pribadi yang optimis,
tangguh dan antidepresi.
Negara tidak mampu
membekali warganya kemampuan untuk mengatasi masalah. Bahkan, negara
berlepas tangan dari dampak-dampak akibat kebijakannya yang
menyengsarakan dan menzalimi umat. Cenderung tidak peduli dengan apa
yang akan dialami rakyatnya.
Misalnya, kebijakan
mencabut subsidi yang membuat harga-harga kebutuhan pokok melambung
tanpa terkendali. Demikian juga kebijakan liberalisasi di berbagai
sektor kehidupan, menciptakan masyarakat liberal yang jauh dari
nilai-nilai agama.
Dalam masyarakat
liberal, terjadi persaingan bebas. Siapa yang memiliki modal terbaik,
dialah yang menang. Modal itu bisa berupa harta, kecantikan atau
ketampanan, jaringan atau relasi, dan fisik lainnya. Jika tidak
memiliki, hilanglah peluangnya untuk menjadi orang sukses.
Inilah yang memicu
persaingan tak sehat, perilaku culas dan keserakahan. Nilai-nilai
kemanusiaan pun luntur. Berganti dengan sikap saling iri, dengki,
hasut, dan dendam. Interaksi dalam masyarakatpun tak lagi guyub
(akrab), tapi egois dan individualis. Masyarakat yang merasa
terpinggirkan pun akhirnya apatis.
Derita Wanita dan
Anak
Bunuh diri jelas bukan
solusi. Bahkan menyisakan sederat persoalan baru bagi keluarga yang
ditinggalkannya. Menambah orang stres baru. Dalam berbagai kasus
bunuh diri, kerap kali anak-anak dan wanita menjadi korban. Misal,
jika yang bunuh diri suami atau kepala rumah tangga, bagaimana nasib
istri dan anak-anak yang ditinggalkannya? Pasti depresi. Bunuh diri
menyisakan penderitaan bagi perempuan dan anak-anak ini.
Demikian pula jika
suami pelaku bunuh diri malah mengajak dan memaksa istri dan
anak-anaknya. Akhirnya, perempuan dan anak yang biasanya berada pada
posisi lemah, tak kuasa menentang kehendak suami. Apalagi jika istri
juga merasakan keputus-asaan yang sama. Jangan sampai bunuh diri
menjadi trend di kalangan bapak-bapak.
Sedangkan anak-anak,
menjadi korban egoisme orang tuanya. Terpaksa mengakhiri masa
depannya lebih awal. Padahal anak-anak inilah pewaris keluarga. Jika
satu keluarga bunuh diri, habislah keturunannya. Hilanglah eksistensi
generasi keluarga tersebut.
Terlebih, anak-anak
adalah calon generasi penerus bangsa. Fenomena bunuh diri yang
melibatkan anak-anak mereduksi kesempatan untuk melahirkan
generasi-generasi terbaik. Ini tak bisa dibiarkan oleh negara.
Anak-anak potensial itu harus diselamatkan dari kejahatan bunuh diri.
Iman yang Kokoh
Berbeda dengan sistem
sekuler yang menafikkan agama, Islam membekali umatnya dengan
nilai-nilai keimanan dan ketakwaan yang kokoh guna mencegah orang
berputus asa. Muslim yang bunuh diri itu, bisa dipastikan, tidak
mempelajari ajaran Islam ini dengan baik. Bukankah banyak muslim yang
awam dengan agamanya sendiri?
Islam mengajarkan
umatnya untuk memiliki tujuan hidup yang jelas. Lalu memilihkan jalan
hidup yang lurus dan benar, agar sampai pada tujuan tersebut. Selama
perjalanan menuju tujuan itu, Islam juga memberikan rambu-rambu
aturan dan panduan, agar tidak salah jalan atau bahkan tersesat.
Itulah pedoman dalam
Alquran dan Sunnah. Sebuah sistem hidup yang lengkap, mulai pondasi
keimanan yang membentuk prinsip hidup yang optimis, hingga penerapan
aturan negara yang manusiawi. Karena itu, kembali pada Islam adalah
satu-satunya solusi menanggulangi bunuh diri. Hal ini bisa dimulai
dari diri umat Islam sendiri, jangan berhenti mengkaji agar memahami
Islam secara komprehensif. Selain jangan berhenti mendekatkan diri
pada Allah SWT tentunya.(*)
* Tulisan ini tayang di Media Umat Edisi 149
No comments:
Post a Comment