Memutus Rantai Kekerasan Ibu pada Anak


Oleh Kholda Naajiyah

Selalu ada kabar miris dari rumah tangga Indonesia. Kali ini anak disetrika ibu tirinya. Korban adalah Denis (10), siswa kelas 3 SD di Duren Sawit, Jakarta Timur. Penganiayaan dilakukan oleh Eni (33) Minggu (22/3) siang. Saat itu korban baru saja pulang setelah bermain. Ia disiksa dengan alasan tidak mau tidur siang (detik.com, 22/3).

Walaupun faktor pemicu terhadap kejadian itu beragam –tak hanya faktor ibu, juga anak-- namun ini menjadi peringatan, betapa pentingnya membenahi pola pendidikan dalam keluarga. Pasalnya, Denis bukanlah korban pertama. Jika kita rajin mengikuti berita, banyak kasus sejenis di berbagai tempat yang memiliki benang merah yang sama, yakni langgengnya pola didik anak melalui kekerasan secara turun temurun.

Pola pendidikan ini bukan berasal dari Islam, melainkan akar budaya masyarakat. Sebab, Islam melarang menganiaya anak. Pendidikan dan pendisiplinan dilakukan dengan cara yang baik dan bijak. Nah, bagaimana agar kekerasan ibu terhadap anak tidak terjadi lagi?

Pembenahan di sisi ibu
Semua ibu paham anak adalah amanah. Anak memiliki pola pikir meski belum sempurna. Harus paham betapa buruknya dampak kekerasan terhadap anak, karena kelak jika dewasa bisa jadi anak tersebut akan menjadi pelaku kekerasan. Memang, banyak faktor ibu mudah emosi. Capek, lapar, banyak pikiran dan stres. Ibu harus mengatasinya. Kenadlikan diri. Tanamkan iman dan keikhlasan dalam menjalankan tugas. Penuhi kasih sayang pada seluruh anggota keluarga.

Pembenahan di sisi ayah
Ayah wajib berjuang habis-habisan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Sebab, faktor ekonomi kerap menjadi pemicu stres istri. Sudah kerja keras mengurus rumah, masih harus memutar otak mengatur keuangan. Ditambah mengatur anak-anak yang jauh lebih sulit lagi. Maka, sesibuk apapun, ayah sebagai kepala keluarga harus memperhatikan istri dan anak-anaknya. Istri melampiaskan stres pada anak kadang karena tidak ada ruang untuk didengar. Padahal suami cukup mendengar keluhan istri saja, tak perlu berkomentar –apalagi pedas--. Karena memang seperti itulah karakter istri jika capek.

Pembenahan di sisi anak
Anak harus diajak mengerti dan berempati pada kondisi rumah. Jalin kedekatan dengan anak agar menjadi sahabat mereka. Tanamkan rasa tanggungjawab agar patuh pada orangtua. Memang, anak zaman sekarang cenderung sulit diatur. Mereka keasyikan dengan dunianya sendiri, tanpa memahami kerepotan orangtua. Misal kecanduan main game sehingga sulit diarahkan untuk melakukan sendiri kegiatan positifnya. Jangankan membantu orangtua, merapikan kamar atau mengerjakan PR saja masih harus dikejar-kejar. Harus diomeli baru bergerak. Ini yang harus diubah. Tumbuhkan tanggungjawabnya.

Pembenahan di keluarga
Bisa jadi, kekerasan ada karena beban di pundak ibu terlalu berat. Ayah bisa ikut berperan. Selain itu juga anak yang usianya lebih besar. Anak yang lebih tua diajak memiliki tanggungjawab terhadap adik-adiknya, sehingga ibu tidak stres karena semua diurus sendiri olehnya. Anak usia baligh sudah harus diajari mengasuh adik-adiknya. Juga, mengurus kepentingannya sendiri. Seperti mencuci bajunya sendiri, menyetrika dan merapikan kamarnya. Keterampilan itu penting ditanamkan pada anak-anak agar tidak menghabiskan waktunya hanya bermain dan bersantai ria.

Pembenahan negara
Negara juga punya andil melanggengkan kekerasan dalam rumah tangga. Ketidaharmonisan suami-istri atau orangtua-anak adalah dampak penerapan kebijakan yang melemahkan keluarga. Kemiskinan, perceraian, perselingkuhan dan pertukaran peran laki-laki dan perempuan baik di ranah domestik maupun publik telah mengacaukan interaksi dalam rumah tangga. Untuk itu negara harus segera memutuskan mata rantai kekerasan ini dengan menerapkan sistem Islam.(*)


* Tulisan ini tayang di Media Umat edisi 148

No comments: