Perempuan: Sistem Sekuler vs Islam


Oleh Kholda Naajiyah

Baru saja diselenggerakan Konferensi Perempuan Internasional serentak di lima negara, yakni Palestina, Turki, Tunisia, Indonesia dan Inggris, Sabtu (28/3). Konferensi bertemakan ‘Perempuan dan Syariah: Memisahkan Realita dari Fiksi’. Direktur Divisi Muslimah Hizbut Tahrir, Nazreen Nawaz mengatakan, agenda fenomenal Hizbut Tahrir Internasional ini membahas, apakah hukum sekuler ataukah hukum syariah yang harus menetapkan hak-hak perempuan di dunia.

Saat ini, perempuan di dunia dipimpin oleh sistem sekuler. Sistem ini menempatkan perempuan pada posisi sejajar, sama persis dengan laki-laki. Di dunia Barat, hal ini sudah lama terwujud. Bahkan karena dampak buruknya, akhirnya meredup.

Di dunia Islam, kampanye kesetaraan dan keadilan gender ini tak henti diulang-ulang. Bukan dengan mengedepankan keunggulan sistem sekuler itu sendiri, justru menyerang sistem Islam terkait syariahnya terhadap perempuan.

Mereka sengaja menutup-nutupi kegagalan sistem sekuler dalam menjamin hak-hak perempuan. Sebaliknya, mengulang-ulang tuduhan terhadap syariah Islam sebagai tidak layak untuk diterapkan pada perempuan. Lantas, apakah hak-hak perempuan bisa mendapatkan jaminan terbaik di bawah sistem sekuler ataukah sistem Islam? Berikut perbandingannya.

Sistem Sekuler

Pada intinya, pemikiran dasar sistem sekuler menempatkan perempuan sebagai makhluk yang sama dengan laki-laki (musawah). Tidak ada lagi pembedaan berdasar jenis kelamin. Semua aspek disamaratakan, tanpa memandang fakta adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan.

Laki-laki dan perempuan diatur dengan regulasi yang sama. Mereka boleh berkontribusi di ruang domestik maupun publik dengan aktivitas yang sama. Dalam sistem pemerintahan, perempuan boleh menduduki jabatan apa saja. Dalam sistem hukum, kedudukan laki-laki dan perempuan sama saja. Dalam sistem ekonomi, pendidikan dan kesehatan, sama sekali tidak dibedakan.

Dalam sistem sosial, laki-laki dan perempuan juga bebas berekspresi, berperilaku dan bergaul tanpa aturan baku. Hak individu laki-laki dan perempuan sama-sama dijunjung tinggi. Dalam rumah tangga, perempuan berperan sama persis dengan laki-laki. Boleh menjadi kepala keluarga. Tidak harus taat pada suami. Boleh meminta cerai. Boleh menolak hamil. Tidak boleh dilarang jika ingin bekerja dll.

Secara global hasil dari penerapan sistem tersebut: perempuan mengejar karier setinggi langit. Karier yang diraih dengan mengekploitasi seluruh potensi keperempuanannya. Fisik, pikiran dan bahkan tubuh diperas habis-habisan demi meraih eksistensi diri.

Dampaknya: sistem sekuler ini menjauhkan perempuan dari hak-haknya. Hak untuk menikah dan menjalani kehidupan rumah tangga misalnya. Sebab, dengan disibukkan untuk mengejar karier, mereka enggan menikah. Kalaupun menikah, malas punya anak. Kalaupun punya anak, ogah mendidiknya. Lahirnya anak-anak bermasalah.

Sistem sekuler ini telah sukses menjauhkan perempuan dari kehangatan keluarga. Suami istri tidak harmonis. Keduanya sama-sama sibuk. Perempuan sibuk inipun mengalami alienasi (keterasingan), depresi dan masalah psikologis lainnya. Ia berusaha menutupi naluri dan kodrat sebagai perempuan. Hati kecilnya membutuhkan perlindungan dan pertolongan, tapi fisiknya menampakkan ketangguhan di ruang publik. Dilema peran ganda tak terelakkan.
Dampak bagi istri: stres dan depresi. Dampak bagi suami: tidak tenang, cemburu dan curiga pada istrinya. Selain itu, juga tidak terpenuhinya hak-hak suami. Dampak bagi keluarga: tidak harmonis. Dampak bagi anak-anak: kehilangan kasih sayang, kehilangan figur orang tua, kehilangan teladan pemimpin dan pendidik di rumah. Dampak bagi rumah tangga: disharmonisasi berujung perceraian. Dampak bagi masyarakat: meluasnya ekses-ekses sosial seperti perselingkuhan, pergaulan bebas, pelecehan seks, pemerkosaan dan kemaksiatan lainnya.

Sistem Islam

Pada intinya, pemikiran dasar sistem Islam menempatkan perempuan sebagai makhluk yang sama dengan laki-laki dalam posisinya sebagai manusia. Ada pembebanan hukum yang sama bagi keduanya, tanpa membedakan jenis kelamin.

Namun, jika dilihat dari sisi jenis kelamin, Islam membedakan laki-laki dan perempuan. Pembedaan ini bukan karena tidak adanya kesetaraan (musawah), melainkan menunjukkan adanya keadilan. Ada aturan khusus untuk laki-laki dan ada aturan khusus untuk perempuan.

Tidak boleh laki-laki dan perempuan saling iri atau bertukar peran karena hal itu hampir-hampir mustahil dilakukan. Hal ini karena peran kelelakian dan keperempuanan itu didasari perbedaan fisik dan psikologis yang benar-benar tak bisa dipertukarkan.

Pembedaan ini meniscayakan pengaturan dalam aktivitas laki-laki dan perempuan. Laki-laki lebih banyak dibebani kewajiban di ruang publik, seperti menjadi pemimpin negara, mencari nafkah, salat berjamaah di masjid, dll. Sedangkan perempuan lebih banyak dibebani kewajiban di ruang domestik, seperti mengurus rumah dan mendidik anak. Namun, perempuan tidak dilarang berkontribusi di ruang publik. Seperti mengakses pendidikan, kesehatan, bekerja, dakwah, dll.

Ada perbedaan aturan untuk laki-laki dan perempuan. Dalam sistem pemerintahan, perempuan dilarang menduduki jabatan kepala negara. Ya, mengatur rumah tangga saja sudah pusing, apalagi mengatur negara, bukan?

Dalam sistem hukum, kedudukan laki-laki dan perempuan sama di mata Allah SWT, namun ada pembedaan sesuai karakter dasar kedua jenis kelamin tersebut. Misal dalam persaksian, wanita harus dua dibanding satu laki-laki. Kecuali untuk kasus dimana hanya kaum wanita saja yang bisa mengakses lokasi kejadian yang privat khusus wanita.

Dalam sistem ekonomi, pendidikan dan kesehatan, perempuan juga boleh saja berkontribusi sama dengan laki-laki. Karena, amal kebaikan memang boleh dikejar baik laki-laki maupun perempuan. Dalam sistem sosial, laki-laki dan perempuan tidak bebas berekspresi. Tingkah laku mereka wajib terikat pada syariah. Ada hukum pergaulan untuk menjaga kehormatan masing-masing jenis kelamin. Hak individu laki-laki dan perempuan sama-sama dijunjung tinggi.

Dalam rumah tangga, perempuan dan laki-laki dibagi perannya. Suami sebagai kepala rumah tangga, wajib mencari nafkah. Istri sebagai manajer rumah, wajib mengasuh dan mendidik anak. Nah, dua peran berbeda ini tidak boleh diperebutkan atau dipertukarkan. Jika keduanya mengambil peran yang sama, lantas siapa yang menjalankan peran satunya lagi? Jika suami dan istri sama-sama kepala rumah tangga, siapa yang layak ditaati? Jika suami dan istri sama-sama bekerja, siapa yang mengurus rumah dan mendidik anak-anak?

Hasil penerapan sistem Islam ini: perempuan tercukupi kebutuhannya, tenteram jiwanya, merasakan kehangatan keluarga, tersalurkan fitrah dan kecintaannya pada dunia anak-anak, tidak terbebani peran ganda, terjaga kehormatannya, tidak menjadi komoditi umum, dst.

Dampak positifnya bagi perempuan, yakni tercegah dari pelecehan, kekerasan, diskriminasi dan eksploitasi. Dampak positif bagi suami: merasa tenang karena istri taat di rumah, tenteram jiwanya karena tidak tergoda perempuan lain di ruang publik. Dampak positif bagi anak-anak: ada yang senantiasa mengawasi dan mendidik mereka, menyambut hangat dan melindungi mereka, penuh limpahan kasih sayang.

Dampak bagi keluarga: harmonis, tenteram dan bahagia. Minim konflik rumah tangga, apalagi hancur dalam perceraian. Lahirlah generasi-generasi anak-anak yang baik. Dampak bagi masyarakat yakni kehidupan sosial yang sehat.

Saatnya Khilafah

Dari pemaparan singkat di atas, sistem manakah yang lebih cenderung dengan fitrah perempuan? Sistem manakah yang lebih menjamin ketentraman dan keadilan bagi perempuan? Sistem manakah yang menjunjung tinggi kemuliaan perempuan? Jelas dan gamblang bagaimana posisi, hak dan peran perempuan yang benar sebagaimana ditetapkan oleh Islam. Maka, saatnya perempuan berontak dari sistem sekuler beralih ke sistem Islam.(*)

* Tayang di Media Umat edisi 148
Foto ilustrasi by MMC MHTI.

No comments: