Para PRT di rumah Syamsul Anwar yang diselamatkan polisi. |
Oleh Kholda Naajiyah
Sepasang suami istri
Syamsul Anwar (51) dan Radika menciptakan kisah horor di rumahnya, Jl
Madong Lubis/Jl Beo, Lingkungan XI, Sidodadi, Medan. Mereka menyekap,
menyiksa dan bahkan membunuh para pekerja rumah tangga (PRT). Hingga
tulisan ini dibuat dipastikan dua PRT tewas dibunuh, yakni Hermin
Rusdiawati yang jasadnya dibuang di Barus Jahe, Kabupaten Karo dan
Yanti di Labuhan Deli (www.kompas.com,12/12/14)
Sementara tiga PRT
ditemukan selamat, yakni Endah (55) asal Madura, Anisa Rahayu (25)
asal Malang dan Rukmaini (43) asal Demak. Ketiga perempuan ini
mengaku kerap disiksa bahkan pernah diberi makan dedak (makanan
hewan). Gaji mereka selama bertahun-tahun juga tidak dibayar.
Anisa mengaku majikan
yang telah menganiaya dirinya dan dua rekannya selama beberapa tahun
terakhir, bukan hanya kejam, tetapi juga bengis dan sadis. “Cici
(maksudnya Hermin, red) dibunuh di depan saya. Dia dimasukkan didalam
bak mandi dengan kepala dibawah dan kaki di atas. Aku bilang kenapa
dibunuh kawanku dan mereka bilang membunuh itu tidak berdosa. Kalau
aku macam-macam, maka aku juga akan direndam sampai mati,” ujarnya
di Polresta Medan, Jumat (28/11/2014) sore.
Sedangkan Endah (55)
mengaku lima tahun bekerja hanya sekali menerima gaji. “Sampai hari
ini cuma bulan pertama aku digaji, selebihnya enggak pernah. Saya
enggak bisa melawan, enggak bisa kabur juga karena enggak pernah
dikasih keluar,” ucapnya lirih.
Sungguh, tragedi
seperti ini bukan baru sekali. Berulang kali, baik di dalam maupun
luar negeri.
Dilihat dari usianya,
sebagian korban itu adalah wanita setengah baya yang berarti kaum
ibu. Bagaimana bisa mereka bekerja jauh dari rumahnya? Tentu ada yang
tidak beres di rumah: kurangnya nafkah.
Sayang, di tengah
perjuangannya mencari sesuap nasi, nyawa pun jadi taruhan.
Demikianlah salah satu derita yang dialami kaum ibu yang hari ini,
hidup di negeri ini, di bawah penerapan sistem sekuler kapitalisme.
PERAN PAHIT
Berita pilu dari Medan
itu menjadi kado pahit Peringatan Hari Ibu (PHI) 22 Desember ini.
Moment yang pada dasarnya dapat mengingatkan masyarakat untuk tetap
memberikan perhatian, pengakuan akan pentingnya eksistensi peran dan
kiprah perempuan dalam berbagai sektor kehidupan.
Tapi, itu hanya di atas
kertas. Sangat paradoks dengan tujuan PHI selanjutnya, yakni
mendorong meningkatkan kesetaraan peran perempuan dan laki-laki dalam
mengisi kemerdekaan serta pembangunan yang berkelanjutan dan
berkeadilan demi mewujudkan tujuan kehidupan berkeluarga,
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Persis seperti tema PHI
ke 86 tahun ini, yakni “Kesetaraan Perempuan dan Laki-Laki dalam
Mewujudkan Pembangunan yang Berkelanjutan dan Berkeadilan Menuju
Indonesia Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian.” Tema tersebut
hendak menanamkan pemahaman bahwa perempuan dan laki-laki mempunyai
kesempatan dan tanggung jawab yang sama dalam berpartisipasi untuk
mewujudkan demokrasi dan pembangunan Indonesia seutuhnya.
Yang dimaksud
partisipasi itu antara lain: berkiprah di ranah publik dengan
bekerja, berkarya atau beraktivitas sosial di masyarakat. Contoh
nyata berbondong-bondongnya para ibu menjadi PRT atau TKI ke luar
negeri. Peran pahit yang harus dipikul kaum ibu ini bukan memberi
penghargaan pada kaum ibu, sebaliknya menjerumuskan. Bagaimana tidak,
ibu-ibu kemudian dituntut menjadi tulang punggung keluarga untuk
mencari nafkah.
DERITA BERSAMA
Hingga kini, Hari Ibu
belum mampu mengembalikan ibu-ibu ke dalam rumahnya. Bahkan peran
domestik ibu masih juga dipandang sebelah mata. Tidak dinilai sebagai
kontribusi dalam pembangunan. Padahal justru inilah peran strategis
dan politis yang sudah fitrahnya digenggam kaum ibu.
Ibu adalah ummu
warobbatu bayt. Pengatur rumah tangga, pendidik pertama dan utama
anak-anaknya. Ibulah peletak dasar suksesnya proses regenerasi
sebuah bangsa dan peradaban. Ibu mengemban amanah luar biasa besar
untuk mencetak calon pemimpin bangsa di masa depan. Sungguh tidak
adil jika partisipasi kaum ibu hanya dinilai dari aktivitasnya di
publik.
Faktanya, ketika
perempuan mengambil peran di ruang publik, ternyata sistem tidak
memberikan jaminan keamanan dan kenyamanan. Bahkan aqidah, akhlak dan
nyawa pun jadi taruhan. Seperti kasus PRT di atas.
Karena itu, peran
publik dalam payung sistem sekuler hanya menambah derita ibu. Peran
pahit itu terpaksa dilakoni para perempuan yang modal dasarnya juga
sudah sangat minim: miskin, berpendidikan rendah dan lemah akidah.
Karakter perempuan seperti ini akhirnya semakin tertindas oleh sistem
kapitalisme.
Untuk itu, saatnya
mengingatkan kembali pada kaum perempuan akan bahaya sistem
sekulerisme bagi mereka.Perempuan selamanya akan terus menderita
dalam penjajahan neoliberalisme. Bahkan bukan hanya menimpa para
perempuan lugu seperti kaum PRT tadi, hampir-hampir semua wanita
merasakan penderitaan itu.
Termasuk sebagian besar
para perempuan sukses yang terkesan hebat, kaya, cantik dan modern,
tapi hatinya kosong dari kebahagiaan hakiki. Juga para publik figur
yang sudah bergelimang harta dan popularitas. Jangan dikira mereka
tak butuh pertolongan untuk diselamatkan dari kubangan derita akibat
sistem neoliberalisme. Terbukti, belakangan ini muncul fenomena
tobatnya para artis kembali ke pangkuan Islam.
Itulah yang
diperjuangkan Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia dengan
menyelenggarakan Kongres Ibu Nusantara (KIN) dengan tema, “Derita
Ibu dan Anak karena Matinya Fungsi Negara dalam Rezim Neolib”.
Kongres diadakan selama 14-21 Desember 2014 di 50 kota besar di
Indonesia dan dihadiri 30 kaum ibu dan tokoh perempuan. Sebuah upaya
untuk mengembalikan kesadaran kaum ibu dan mendudukkan kembali
kemuliaan harkat dan martabat mereka. Kemuliaan yang hanya bisa
direbut kembali jika sistem Islam diterapkan, mengganti sistem
neoliberalisme.
MENDAMBA KHILAFAH
Derita ibu-ibu belum
terentaskan. Padahal sudah puluhan tahun negeri ini merdeka dan sudah
puluhan kali pula setiap 22 Desember diperingati Hari Ibu. Inilah
yang menjadi salah satu alasan mengapa kaum perempuan begitu
merindukan sistem Islam. Sistem yang diterapkan secara kaffah oleh
Daulah Islamiyah dipimpin Khalifah yang membawa perubahan pada nasib
kaum perempuan.(*)
No comments:
Post a Comment