Oleh Kholda Naajiyah
Anak
perempuan umur 6 tahun gila dan dirawat di rumah sakit jiwa gara-gara
obsesi ibunya yang memaksa anak dengan seabrek les. Sampai-sampai si
anak setiap ditanya yang keluar angka-angka matematika. Berita yang
disinyalir hoax (berita bohong) itu jadi trending topic
dan jadi perbincangan ibu-ibu, karena tersebar luas melalui media
sosial, broadcast dan grup-grup diskusi di smartphone.
Ada saja
orangtua yang percaya mentah-mentah kabar miris tersebut dan segera
membahasnya panjang lebar tanpa peduli kebenarannya. Bahkan, dengan
bangga –karena merasa pertama yang menyebarkannya-- dan penuh
percaya diri segera meneruskan kabar tersebut ke teman-temannya
disertai komentar 'prihatin'.
Ada juga
yang sebenarnya tidak percaya, tapi tetap 'gatal' juga untuk tidak
membahasnya, dengan dalih 'kita ambil ibrohnya' kalaupun kabar itu
tak benar. Ujungnya sama, menyebarkan ke teman kontaknya disertai
komentar 'benar gak ya ini'. Lalu, semakin meluaslah diskusi tentang
topik hangat tersebut.
Tulisan
ini tidak bermaksud ikut-ikutan membahas benar-tidaknya kabar anak
malang itu, melainkan mengajak pembaca untuk cerdas dan bijak dalam
menyikapi sebuah informasi. Terutama ibu-ibu yang mudah panik,
trenyuh dan percaya apapun informasi yang masuk inbox-nya.
IBU
DIGITAL
Ibu-ibu
masa kini banyak yang memegang gadget sebagai sebuah kebutuhan.
Manfaatnya untuk memperlancar urusan memang sangat besar. Baik untuk
urusan mengelola rumah tangga, meningkatkan potensi diri, menambah
wawasan, memperluas pergaulan, mendongkrak pendapatan hingga
kepentingan dakwah.
Tidak ada
yang salah dengan fenomena ini. Sebab, kemajuan zaman tidak bisa kita
bendung. Ibu-ibu memang harus melek teknologi di era digital ini.
Apalagi anak-anak pun sudah demikian canggih (Tapi, ini juga bukan
dimaksudkan untuk menginspirasi ibu-ibu yang belum memiliki
smartphone untuk rame-rame memintanya pada suami, ya!).
Yang
penting bagaimana kaum ibu cerdas dan bijak dalam memanfaatkan
smartphone-nya. Misal dari sisi waktu. Jangan sampai
keberadaan gadget merampas quality time ibu bersama sang buah
hati. Ibu dan anak ada dalam satu ruang, tapi sama-sama sibuk dengan
gadget-nya masing-masing. Tak ada percakapan, tak ada canda
tawa. Ironisnya, masih satu lokasi malah ngobrolnya lewat gadget.
Duh! Jangan sampai kita jadi 'ibu digital' yang hanya hadir di gadget
anak-anak.
Lebih
celaka lagi, jika kesibukan ibu dengan gadgetnya justru hanya untuk
menyebarkan informasi yang tergolong hoax tadi. Sibuk copy
paste sana sini, membahas dan mendiskusikan berbagai topik di
berbagai grup yang diikuti, komentar di berbagai status media sosial
yang sama sekali tidak penting, dan sejenisnya.
Benar,
menebarkan inspirasi melalui saran, usul, kritik, tausiyah dan
tulisan apapun, sangat bermanfaat. Itu tanda kita menjadi orang yang
berguna bagi sesama. Silakan melakukannya. Bahkan kalau bisa sesering
dan sebanyak mungkin. Tapi, idealnya itu karya pribadi yang kita
produksi setelah urusan tetek-bengek kewajiban rumah tertunaikan.
Sayangnya,
di era Prof Google inipun, kita cenderung dicetak untuk menjadi
manusia instan. Tak mau bersusah payah menciptakan karya, cukup
mencomot sana sini dengan begitu mudahnya. Padahal jika karya kita
sendiri yang membuatnya, bukankah itu akan menambah investasi pahala?
Baiklah,
bila pun kita belum mampu membuat sendiri dan baru bisa menyebarkan
karya orang lain, biasakan pula saat copy paste itu menyertakan
sumber asal muasal informasi tersebut. Misalnya ketika menyebarkan
tausiyah, sebut ustad siapa yang pertama menulis tentang tausiyah
itu, akun media sosial atau alamat website di mana, kapan tanggal
pertama pemuatannya. Cantumkan dengan jelas.
Kebiasaan
kita, kerap copy paste tanpa merunut dan menyebut sumber pertamanya.
Inilah yang kerap ikut andil menyuburkan hoax, yang tanpa kita
sadari akan menjadi investasi dosa. Na'uzubillahi min zalik.
Lagipula,
dalam hukum positif yang berlaku saat ini, ancaman bagi yang menyebar
berita bohong –sekalipun iseng-- adalah pidana penjara maksimal 6
tahun dan denda Rp1 miliar, sesuai pasal 28 ayat 1 Undang-undang
Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Bukankah
sudah banyak –perempuan dan ibu-- yang terserat kasus hukum
gara-gara kekhilafannya di media sosial? Seperti Prita Mulyasari yang
mengeluhkan layanan rumah sakit, Florence yang mengeluarkan umpatan
tentang Yogyakarta atau Ervani Emihandayani yang mengomentari
dipecatnya sang suami di Facebook dan berujung penjara. Jangan sampai
hal buruk itu menimpa kita.
PRODUK
RESMI
Sebuah
informasi yang disebut produk jurnalistik, tidak begitu saja
ditayangkan. Harus memenuhi kaidah-kaidah jurnalistik yang ketat.
Ibarat makanan, bahan-bahan mentah pemberitaan berupa fakta di
lapangan, konfirmasi nara sumber dan komentar pihak berkompeten harus
diolah dulu. Diuji kebenarannya, dicek dan ricek. Dianalisa pula
dampak positif-negatifnya jika kelak ditayangkan. Dirapatkan dulu,
mulai tingkat reporter, redaktur, editor hingga pemimpin redaksi.
Jadi, tidak serta merta dipublikasikan begitu saja.
Karena
itu sebaiknya jadikan media massa yang kredibel sebagai sumber
rujukan. Sebab berita yang sudah ditayangkan resmi di media massa,
lazimnya sudah terkonfirmasi pada sumber-sumber yang bisa dipercaya.
Boleh
mencari informasi dari media di luar media massa mainstream, namun
harus tetap dari sumber yang bisa dipercaya. Harus diakui, saat ini
informasi bukan hanya mengandalkan pemberitaan resmi media massa,
seperti koran atau televisi. Pasalnya, memang tidak semua informasi
mampu diakomodir oleh media massa mainstream. Masih banyak fakta di
lapangan yang tidak “tercium” media. Apalagi media yang ada juga
sudah banyak yang tidak independen alias dikangkangi berbagai
kepentingan.
Maka,
berkembang citizen jurnalisme, dimana masyarakat awam pun bisa
menciptakan apa itu berita. Termasuk, bermunculan berita-berita yang
termasuk palsu tadi. Berita palsu ini biasanya juga beredar di media
massa tak resmi, seperti blog, website atau akun media sosial. Lalu
yang kini mudah, yakni melalui SMS, broadcast BlackBerry Masanger
(BBM) dan berbagai aplikasi chatting.
Ingat, di
era digital ini selalu saja ada manusia-manusia tak berperasaan, baik
iseng maupun sengaja, yang menciptakan berita bohong atau bahkan
fitnah untuk kepuasaan sesaat atau bahkan keuntungan materi. Bisa
saja berniat membuat keresehan, mendongkrak jumlah follower
atau liker, meningkatkan popularitas, memeras pihak tertentu
dan sebagainya.
KEWAJIBAN
TABAYUN
Islam
mengajarkan untuk tabayyun dalam menyikapi informasi apapun. Jangan
hanya percaya dengan “katanya si fulanah, aku sih tahu dari temen,
katanya sih bener.” Jadi, telitilah dalam menerima berita. Sikapi
berita dengan tenang, jangan emosional dan main perasaan. Allah SWT
berfirman:
“Hai
orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa
suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak
menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui
keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
(QS Al-Hujurat : 6)
Semoga
kita diberi kekuatan untuk menjadi orang yang makin bijak mengelola
informasi di sekitar kita. Terutama informasi yang berkaitan dengan
tugas-tugas sebagai perempuan, istri dan ibu rumah tangga, pendidik
putra-putri, pengemban dakwah sekaligus pendidik umat.
Tugas
tersebut membutuhkan banyak ilmu, wawasan dan strategi yang kerap
kita peroleh dari berbagai informasi yang berseliweran di sekitar
kita. Jadi, jangan tutup keran informasi itu hanya karena kita takut
dengan efek negatifnya. Terimalah, cermati, teliti dan baru tentukan
sikap. Diamkan jika merasa informasi itu tak membawa efek positif,
sebarkan jika yakin itu terpercaya danbisa mendatangkan
pahala.(*)
* Tulisan ini tayang di Tabloid Media Umat Edisi 140
Dua perempuan sibuk dengan gadget masing-masing. Foto: Asri. Lokasi: Harris Hotel Malang |
No comments:
Post a Comment