Oleh Kholda Naajiyah
Indonesia kembali
dilanda demam AADC alias Ada Apa Dengan Cinta. Ya, bagi pembaca yang
melewatkan masa remaja di era awal 2000-an, pasti sangat familiar
dengan film AADC yang dirilis 2002 lalu. Dampaknya pun sangat
membekas, bahkan hingga hari ini, saat penonton di era 2002 itu
kebanyakan kini sudah tak remaja lagi. Sudah ibu-ibu dan bapak-bapak,
beserta anak-anaknya.
Demam AADC jilid 2 ini
melanda ketika layanan chatting Line membuat mini drama AADC
yang seolah sekuel dari kisah tokoh utamanya Rangga (Nicholas
Saputra) dan Cinta (Dian Sastro). Sontak para ibu dan bapak-bapak
muda ini pada heboh. Terlebih di dunia maya, netizen (sebutan untuk
pengguna internet) begitu antusias membincangkan segala hal tentang
tayangan berdurasi 10 menit tersebut.
Saking kuatnya efek
tayangan tersebut, beberapa dialog dalam film ini masih menjadi bahan
obrolan. Bahkan juga memunculkan candaan sehari-hari atau
pelesetan-pelesetan (meme) yang lucu-lucu. Pesona Rangga dan Cinta
yang begitu sempurna kembali menjadi sorotan. Citra laki-laki ideal
digambarkan pada diri Rangga yang sukses berkarir di Amerika Serikat,
cool dan puitis. Cinta pun tak kalah sukses, berkarir mapan,
tetap ceria dan dikelilingi sahabat-sahabat karibnya.
Line tampaknya sukses
mengharu biru para penggemar AADC akan sebuah kenangan 'indah' di
masa lalu dan mengajak bernostalgia. Ya, minidrama ini dibuat untuk
mempromosikan salah satu layanan Line, yakni Find Alumni. Dengan
fitur tersebut, urusan nostalgia, romantika masa lalu dan
reuni-reunian dengan teman-teman lama semakin terfasilitasi.
EFEK NEGATIF
"Waktu tidak
pernah berjalan mundur dan hari tidak pernah berulang. Tetapi, pagi
selalu menawarkan cerita yang baru," suara Cinta terdengar di
penghujung kisah mini drama itu. "Untuk semua pertanyaan, yang
belum sempat terjawab," jawab Rangga tak kalah puitis.
Demikianlah, dialog-dialog yang memikat dalam sebuah film, kerap
menyihir para penikmatnya ke dalam filosofi dan pemahaman hidup
tertentu. Sangat smooth, menyerap bak spon menghisap butiran
air.
Saat dirilis 12 tahun
lalu, AADC sukses luar biasa, bahkan 2-3 kali lebih besar dari yang
diperkirakan. Hal itu diungkapkan Mira Lesmana, sang produser.
Menurut Mira efek positif film tersebut berupa diliriknya buku dan
dunia sastra oleh remaja, sebagaimana karakter tokoh utamanya Rangga
dan Cinta yang menggemari puisi dan sastra (Perspektif Edisi
327,18/6/02).
Namun, efek negatifnya
juga luar biasa. Seperti adanya adegan ciuman dalam film tersebut,
menjadi promosi akan gaya hidup liberal. Waktu itu, sempat menjadi
perbincangan pro-kontra karena adegan mesum itu dinilai tidak sesuai
dengan budaya ketimuran. Apalagi dilakukan pelajar berseragam, sangat
tidak patut ditiru.
Mira sebenarnya sadar,
film punya dampak yang besar.
“Karena itu, dari awal biar penontonnya sedikit pun, ada tanggung
jawab untuk selalu punya sensor sendiri,” katanya (sumber, idem).
Ironisnya, adegan kissing bukan bagian yang disensor
itu. Bahkan, itu termasuk yang membekas di kalangan penontonnya.
Sejak itu hingga kini,
sudah menjadi keniscayaan, film-film bergenre apapun tak pernah absen
dari adegan mesum. Buka aurat, kissing hingga percintaan. Efeknya
luar biasa. Pada akhirnya perlahan tapi pasti, adegan mesum di film
pun diusung di kehidupan nyata.
Ciuman di kalangan
remaja sudah bukan barang tabu lagi. Kita menyaksikan gaya remaja
saat ini yang sudah demikian dekat dengan aktivitas syahwat.
Jangankan ciuman, berzina pun dilakukan. Bukan sekadar akting, bahkan
mereka tak malu memvideokan aksinya. Na'uzubillahi minzalik.
Tanpa
menuduh AADC sebagai penyebabnya, namun kita tidak bisa menutup mata
bahwa AADC adalah lokomotif penarik gerbong bangkitnya perfilman
Indonesia yang saat itu mati suri. AADC efek tampaknya terus bekerja.
Terbukti, miniseri AADC
juga sukses membangkitkan romantisme para penggemarnya. Line melalui
AADC kembali menggiring pemahaman tentang indahnya pacaran di masa
remaja. Generasi AADC yang hidup di masa kini, yang notabene tumbuh
dewasa bersama AADC, pada akhirnya adalah follower gaya hidup
pacaran. Kelak anak-anak mereka juga akan 'dididik' sebagai generasi
pacaran. Maka jangan heran jika tips pacaran pun sampai-sampai
dimasukkan dalam kurikulum pelajaran.
GENERASI
CLBK
Generasi AADC ini juga
menjadi penggemar ajang-ajang reunian. Apalagi media sosial dan
layanan chatting sangat memungkinkan. Ya, dengan sarana
teknologi yang ada saat ini, bukan perkara sulit untuk menemukan
kembali teman lama. Hampir semua ibu-ibu dan bapak-bapak usia 30-40
tahunan memiliki akun di berbagai jejaring sosial.
Terhubunglah mereka
dengan para alumni: teman SMP, SMA, kuliah, teman kos, teman kerja di
tempat lama, relasi yang sudah lama tidak bertemu dan seterusnya.
Setelah bertemu di dunia maya, mengalirlah kembali kenangan masa-masa
lalu itu. Lalu, diteruskan dengan indahnya reuni di masa (setengah)
tua itu, bahkan jika perlu kopi darat.
Di sinilah bahaya
mengancam. Jika tidak menyikapinya dengan pondasi Islam, bisa-bisa
melenakan. Pasalnya, biasa mengobrol dan bernostalgia bersama tentang
masa lalu, berpotensi memunculkan bibit-bibit asmara. Seperti CLBK
(cinta lama bersemi kembali), TTM (teman tapi mesra) dan bahkan
perselingkuhan. Terlebih, konon pada usia-usia tersebut terjadi yang
namanya masa-masa pubertas jilid II. Lelaki sangat mudah tergoda
perempuan lain, demikian pula sebaliknya.
Sudah banyak kasus
terjadi, konflik rumah tangga yang bahkan berujung perceraian terjadi
gara-gara suami atau istri selingkuh dengan teman lamanya melalui
jejaring sosial. Alasan untuk menjalin silaturahmi dengan teman lama,
mungkin sah-sah saja. Namun ketika jalinan silaturahmi itu justru
dipintal secara intim dan intens dengan lawan jenis, apalagi
berstatus mantan pacar, reuni adalah pilihan menyesatkan.
PUTUS ROMANTISME
Sungguh,
kita tidak ingin ibu-ibu dan bapak-bapak hari ini menjadi teladan
buruk bagi putra-putrinya karena asyik masyuk dengan AADC. Seperti
melumrahkan pacaran dan reuni-reunian yang kian menjamur sebagai
bagian dari gaya hidup liberal. Untuk itu, orangtua, kaum ibu dan
bapak, harus berani memutuskan hubungan romantismenya dengan AADC.
Dengan demikian kelak mereka mampu menjadikan Islam saja sebagai
teladan. Mendidik generasi dengan nilai-nilai Islam yang bertentangan
dengan gaya hidup yang ditawarkan ala AADC.(*)
* Tulisan ini dipublikasikan di Tabloid Media Umat Edisi 139
Meme AADC yang ramai jadi perbincangan. Pict by Google. |
1 comment:
bener mbak, generasi sekarang kayak bebek gampang ikut-ikutan gaya hidup barat. gak punya prinsip..
Post a Comment